Wednesday 29 April 2009

Berakhirnya Tax Haven dan Antisipasi Indonesia

Oleh: Beni Sindhunata,
Direktur Eksekutif Investment and Banking Research Agency

Rencana Ditjen Pajak untuk mengeluarkan daftar kawasan tax haven sesuai kriteria sendiri dan mewaspadai investasi yang tercatat di offshore centre tersebut merupakan langkah positif. Melengkapi langkah 7 tahun yang lalu dengan berdirinya PPATK momentum terciptanya rezim anti pencucian uang.
Langkah ini terkait dengan perkembangan global yang dipelopori negara OECD dalam Sidang G-20 Summit 3 April 2009 di London. Keputusan penting diantaranya membatasi operasional tax haven dan mendorong terciptanya transparansi dan pertukaran informasi perpajakan serta penerapannya sesuai standard pajak internasional. Sehingga akan ikut mereformasi sistim moneter dan keuangan global yang telah mengalami kekacauan dan berpuncak pada munculnya krisis finansial global sejak 2007 sampai saat ini. Angin perubahan yang mulai digencarkan oleh Barack Obama semasa kampanye tahun 2008 segera mendapatkan respon positif dan mengkristal menjadi keputusan global.
Pada evaluasi April 2009 FATF menentukan 4 negara Philipina, Malaysia (Labuan), Uruguay dan Costarica yang masuk dalam kelompok negara yang tidak ko-operatif (black list). Keputusan ini mengakhiri hampir setengah abad era kejayaan offshore centre dari yang klasik di Swiss sampai yang modern di puluhan negara eks persemakmuran Inggis atau Perancis (Mauritius, British Virgin Island atau Cayman Island). Keputusan ini telah mengusik ketenangan mereka yang selama ini menjadi tempat aman untuk berteduh atau surga bagi pemilik uang haram yang ingin menghindari pajak.
Komitmen negara maju dan offshore centre untuk membuka kerahasiaan serta identitas nasabah atau perusahaan serta berkomitmen untuk “globalisasi standar pajak internasional” akan mengurangi daya tarik, insentif dan kelebihan yang dimilikinya selama setengah abad terakhir. Akibatnya nasabah atau investor kaya yang menyimpan dana akan segera berpikir ulang untuk menyimpan dananya di sana. Demikian juga perusahaan-perusahaan investasi keuangan multi nasional yang sudah mendirikan banyak anak perusahaan atau cabang di negara-negara mini tersebut akan mengantisipasi keputusan G-20 ini.
Bagi nasabah individu yang memarkirkan uangnya di lembaga keuangan yang berdomisili di offshore centre tentu akan mengatur kembali portofolio investasinya. Karena tidak ada lagi privacy atau daya tarik di tax haven sehingga akan berlaku azas umum. Menuju titik equilibrium ekonomis yakni daya tarik tingginya suku bunga dan aman. Negara Swiss mengelola sekitar US$ 2 triliun atau sekitar 27% dari total dana yang dikelola oleh bank-bank yang terdaftar di seluruh offshore centre US$ 7,3 triliun pada tahun 2007. Ini merupakan sebagian dari uang panas yang asal muasal dan pemiliknya tidak ingin diketahui pemiliknya. Misalnya perdagangan obat, korupsi, prostitusi dan judi yang ingin menghindari pajak di negara asalnya.
Perlu juga dipahami bahwa selain puluhan offshore centre di negara mini di kawasan Pasifik dan Atlantik ini jangan lupa di AS sendiri ada kota dan negara bagian yang memberikan pelayanan serupa offshore centre dengan keunggulan lainnya seperti Nevada, Delaware dan Wyoming. Nevada sebuah negara bagian dengan 2,6 juta penduduk membuka jasa pelayanan pendaftaran perusahaan hanya dalam hitungan per jam dengan biaya US$ 753 per perusahaan, sehingga setiap tahun berdiri 60.000 perusahaan dari berbagai negara.
Nevada tidak mengenakan pajak atas pendapatan bunga dan tidak mewajibkan nama pemegang saham atau permodalan. Study dari Internal Revenue Services belum lama ini menemukan bahwa antara 50% -90% dari perusahaan-perusahaan ini sudah pernah melanggar UU federal yang ujung-ujungnya berpangkal pada penghindaran pajak. Sedangkan negara Montenegro bisa menjual izin bank swasta lewat internet seharga 10.000 dollar AS.
Cikal bakal FATF adalah G-7 Summit di Paris tahun 1989 yang merasa perlu mengatasi praktek pencucian uang di pusat–pusat keuangan internasional. Untuk pertama kalinya April 1990 mereka mengeluarkan aksi dan langkah teknis guna memberantas praktek-praktek yang merugikan tersebut. Ketika itu anggotanya baru terdiri dari 26 negara dan 2 organisasi internasional.
Pada evaluasi Juni 2001, OECD lewat Financial Action Task Force (FATF) memasukkan Indonesia sebagai satu di antara 15 negara yang dianggap tidak kooperatif (non-cooperative countries and territories, NCCT) dalam memberantas praktik pencucian uang (money laundring).

Kebijakan Indonesia
Sanksi black list ini ikut mendorong otoritas moneter dan hukum Indonesia untuk mempercepat implementasi kebijakan rezim anti pencucian uang sesuai norma global FATF. Implementasi kebijakan ini dah dimulai pasca reformasi. Diantaranya melalui PBI tanggal 28 Oktober 1999 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank. Sebagai tindak lanjut dari UU Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Tepatnya 7 tahun lalu yaitu 12 April 2002 terbit UU No. 15 tahun 2002 yang disahkan 12 April 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Bersamaan dengan ini maka dibentuklah lembaga independen PPATK (Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan). Sebelum resmi beroperasi 18 Oktober 2003 badan ini melanjutkan tugas Unit Khusus Investigasi Keuangan Bank Indonesia (UKIP BI).
Kehadiran PPATK terus dilengkapi dengan seperangkat hukum dan peraturan terkait. Yakni Surat Edaran Bank (SEBI) Nomor 3 Tanggal 13 Juni 2001 tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa oleh Bank. SEBI ini menetapkan bahwa bank wajib melaporkan transaksi keuangan oleh nasabah secara bulanan. Transaksi di atas 10.000 dollar AS (ekuivalen) harus dilaporkan secara individu yang berisi rincian tentang kategori, jenis rekening, pelaku dan hubungan keuangan antar pelaku transaksi, jenis valuta, dan tujuan transaksi. Batasan transaksi 10.000 dollar AS ini setidaknya sama dengan batasan yang diterapkan oleh AS sejak tahun 1970 yang mewajibkan bank harus melaporkan penerimaan di atas 10.000 dollar AS dan menggolongkannya pelbagai transaksi mencurigakan (suspicious transaction).
Dilanjutkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 3 Tanggal 18 Juni 2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (“know your customer principles”). Dua hari kemudian Indonesia bergabung dalam kelompok regional antipencucian uang Asia Pasifik (Asia Pacific Group on Money Laundring, APGML). Dengan berbagai langkah teknis dan kebijakan hukum ini maka 7 tahun setelah PPATK berdiri maka Indonesia tetap lolos dari black list.
FATF akan terus memonitor perkembangan dengan mengacuh pada 40 prinsip dan komitmen globalnya. OECD menetapkan 40 komitmen yang harus diterapkan guna menentukan keluar masuknya sebuah negara ke dalam daftar NCCT, dan ini tergantung pada kemauan negara tersebut. 40 buah rekomendasi anti pencucian uang ini dimonitoring oleh FATF (satgasnya OECD untuk anti pencucian uang). Empat puluh butir rekomendasi tersebut terbagi dalam empat bagian utama, terdiri dari kerangka umum rekomendasi, peranan sistem serta lembaga keuangan dalam strategi perang melawan pencucian uang haram dan memperkuat kerja sama internasional antar lembaga maupun negara.
Sidang G-20 bulan terakhir juga mengeluarkan daftar 80 negara berdasarkan implementasi mereka dalam kebijakan penerapan dan tansparansi pajak internasional. Ini kunci menuju terciptanya perlakuan sama perpajakan global dan menutup peluang untuk penghindaran pajak serta pencucian uang. Sebanyak 40 negara sudah menerapkan standard perpajakan internasional diantaranya Inggris, Perancis dan AS (agak aneh karena tidak mempermasalahkan eksistensi Nevada dan Delaware). Kemudian ada 36 negara yang sudah berkomitmen tapi belum menerapkannya. Diantaranya British Virgin Island, Cayman Island dan Liechtenstein. Dan 4 negara yang tidak berkomitmen untuk menerapkan standar pajak internasional (masuk black list) yakni Kostarika, Uruguay, Philipina dan Malaysia (Labuan) yang baru beroperasi tahun 1992.
Tulisan Harry Yusuf A. Laksana, Ka-subdit Ditjen Pajak (Bisnis Indonesia, 13 April 2009) mengungkapkan bahwa Indonesia menggolongkan negara tax haven sebagai negara yang tidak mengenakan pajak penghasilan, mengenakan tarif pajak lebih rendah 20% dari Indonesia dan negara yang tidak memiliki tax treaty dengan Indonesia. Berakhirnya tax haven berdampak positif bagi pemasukan pajak Indonesia khususnya dari golongan nasabah tajir (high net worth individual, HNWI). Sehingga kontribusinya bagi penerimaan pajak akan naik. Meski ada pendapat sebaliknya. Jika seluruh negara telah menerapkan globalisasi standar pajak internasional dan membuka kerahasiaan nasabah maka hal ini positif, meski perlu waktu.
Keputusan G 20 Summit ini perlu dicermati oleh pemerintah agar bisa menarik manfaat dari globalisasi standar pajak internasional dan dibukanya rahasia nasabah (bank secrecy) di tax haven kawasan offshore centre. Terdapat potensi untuk mengenakan pajak bagi nasabah yang hengkang dari tax haven dan tentu saja ini membutuhkan peningkatan kualitas dan kuantitas aparat pajak. Selain nasabah kaya juga masih ada potensi lain yaitu perusahaan-perusahaan asal Indonesia yang juga mendirikan perusahaan di tax haven untuk berbagai tujuan bisnis. Dan tidak heran jika saat ini terdapat ratusan perusahaan usia balita tapi punya asset puluhan triliun dan berdomisili di tax haven. Sehingga perusahaan ini laksana “bayi bongsor” yang perlu diperhatikan eksistensinya secara positif demi kemaslahatan negara tanpa merugikan dunia usaha. (*).

Read more...

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP