Thursday 27 December 2007

Elite Politik dan Resesi


Oleh : Beni Sindhunata, Direktur Riset BIRO

Karya mutakhir Pansus DPR Bulogate danBruneigate dengan Lahirnya Memorandum I oleh Pansus DPR soal Bulogate dan Bruneigate (15 Januari) yang garis besarnya mengingatkan dan bahkan meminta presiden Gus Dur lengser, berdampak serius bagi peta politik nasional yang secara tak sadar akhirnya berdampak bagi perekonomian nasional. Apalagi kemudian disusul dengan maraknya demo pro dan anti Gus Dur mulai dari Jakarta sampai Jawa Timur (awal Februari) yang bahkan melebar ke luar Jawa.

Keributan yang terjadi antar elite politik di dalam negeri ini sekarang menjadi komoditas informasi utama bagi masyarakat. Ditengah gemuruh elite politik jual dagangan, bencana alam dahsyat datang beruntun di minggu pertama Februari mulai dari meletusnya Gunung Merapi, banjir di Jawa Timur sampai tanah longsor di provinsi Banten yang menewaskan ratusan warga.
Sehingga elite politik kita terpaksa melupakan pelbagai perkembangan ekonomi global yang justru akan berdampak bagi masa depan Indonesia. Ini seharusnya menjadi PR bagi kita semua untuk mulai diantisipasi, jangan hanya meributkan periuk nasi di rumah sendiri. Pelbagai perubahan ini tentu saja akan berdampak bagi peta ekonomi kita yang sudah tidak bisa lagi dipisahkan dari perkembangan global dari masalah moneter, harga komoditi, investasi, suku bunga, perkembangan bursa saham dan perdagangan global termasuk masalah lingkungan hidup dan perburuhan.
Perkiraan bahwa resesi bakal membayangi ekonomi AS mulai terlihat dari langkah strategis The Fed yang menurunkan suku bunga (3 Januari 2001) jadi 6%. Langkah ini tidak lepas dari pelbagai indicator ekonomi makro AS yang menunjukan bahwa struktur ekonominya cenderung melemah dan berpotensi jadi masalah. Negara berpenduduk 275 juta dengan pendapatan per kapita US$ 33.800 ini tahun lalu tumbuh 2,4% dengan tingkat inflasi 3,4%. Meski cadangan emasnya hanya US$ 54 milyar (setengah dari Taiwan dan seperenam Jepang) merupakan lokomotif perdagangan dunia. Di mana tahun 1999, AS mengekspor US$ 682 milyar (12,6% ekspor dunia) dan mengimpor US$ 944 milyar (16,8% impor dunia) sehingga neraca perdagangan mereka defisit. Sehingga mereka menguasai sepertiga perdagangan dunia yang tahun 1999 tumbuh 5% atau pertumbuhan tertinggi selama 16 tahun terakhir.
Berangkat dari kondisi AS dan konflik perdagangan global baik itu multilateral maupun bilateral semuanya berpotensi untuk mengganggu jalannya perdagangan dunia dan Indonesia khususnya. Sebagai masukan kita lihat study dan scenario dari HSBC tentang dampak resesi AS terhadap ekonomi dunia jika resesi AS berlanjut dan menempatkan sejumlah negara/kawasan dalam tingkat resiko masing-masing.

Resesi di AS akan mengurangi impor (konsumsi) mereka, yang selanjutnya akan mengurangi ekspor dari negara lain. Dengan posisi ini maka negara yang sangat tergantung pada pasar AS jelas paling terpukul. Kanada, Meksiko, Malaysia, Korsel dan Taiwan menggantungkan ekspornya pada pasar AS berkisar antara seperempat sampai sepertiga PDB masing-masing. Menurunnya konsumsi produk IT berdampak hebat pada produsen IT dari Asia Timur. Sebaliknya ekspor EU dan Jepang ke AS hanya 3% PDB dan ekspor Indonesia ke AS 14% dari total ekspor US$ 48,6 milyar atau 4,5% PDB tahun 1999. .
Menurunnya aktivitas pabrik berarti menurunnya konsumsi minyak dunia dan bahan baku. Harga minyak akan turun dan berdampak pada negara-negara OPEC. Dari aspek ini maka dampaknya akan sama sebangun dengan negara diatas , di mana EU dan Jepang akan mendapat keuntungan.
Dari aspek investasi langsung maka negeri yang punya investasi (FDI) besar di AS akan terpukul karena pasar yang menurun sehingga keuntungan menyusut. EU dan Jepang akan terpukul karena FDI mereka di AS lebih besar dibandingkan transaksi perdagangan mereka.

Selain itu bergabungnya China ke dalam WTO juga akan menjadi tantangan sendiri bagi negara yang spesifikasi industrinya relatif sama dengan China, khususnya negara-negara Asia. Asumsi dasar bahwa produksi China akan lebih murah dan lebih kompetitif untuk menembus pasar ekspor negara lain. Sehingga pasar global yang semakin terbuka hanya bisa dipasok oleh produsen dari negara-negara dengan biaya produksi termurah. Misalnya untuk relokasi di kawasan Delta Mekong (Vietnam,Laos, Kamboja, Burma) meski negara ini juga memiliki segudang permasalahan.
Dari analisis ini terlihat bahwa resesi di AS akan memukul negara NAFTA dan
beberapa negara Asia, khususnya pada negara yang memiliki hubungan sangat erat dengan AS. Dengan ekspor RI ke NAFTA (AS, Meksiko dan Kanada) sebesar 15% (US$ 7,3 milyar) atau kedua terbesar setelah Jepang maka tentu saja ini berdampak bagi ekspor nasional. Menurunnya ekspor berarti menurunnya produksi pabrik dan akibatnya kinerja perusahaan menurun dan tidak tertutup kemungkinan berhenti produksinya. Ini baru satu sisi dari aspek perdagangan.
Trend menurunnya harga minyak dunia (sebagai dampak resesi AS) akan berdampak bagi pendapatan Indonesia.karena kontribusi pendapatan migas terhadap APBN sangat signifikan. Pergeseran pendapatan ini tentu harus ditutup dengan pemasukan dari sektor lain. Sektor lain yang paling empuk dan potensial untuk ditingkatkan adalah pajak.
Sehingga semakin ramailah perlombaan meningkatkan pendapatan pajak mulai dari meningkatkan pajak bunga deposito (dari 15% jadi 20% sejak 1 Februari 2001) sampai ke ekstensifikasi jenis barang mewah. Akibatnya setrika terpaksa diklasifikasikan sebagai barang mewah. Sebuah produk konsumsi rumah tangga yang sangat umum dengan pasar minimal 60 juta rumah tangga di Indonesia. Diluar pasar ekspor.
Belum lagi jika dilihat dari konstelasi dan dampak ikutan dari suku bunga, investasi dan portofolio di pasar modal. Banyak agenda sektoral lain yang harus dicermati dengan catatan scenario ini bukan untuk memburamkan masa depan ekonomi kita tapi lebih pada usaha untuk bisa introspeksi dan pro-aktif. Dengan demikian bahaya besar sebenarnya cukup potensial akan menerpa kita sebagaimana halnya serbuan badai besar yang sedang mengamuk sepanjang Februari-Maret ini. (BS).

Jika kita mengamati pelbagai debat, pro kontra atau pemunculan aneka isyu dari masalah politik, ekonomi, hukum sampai keamanan yang terbentang dari Senayan sampai Medan Merdeka maka hanya ada satu skenario paling pasti tentang masa depan negeri berpenduduk 203.456 ribu di 32 propinsi yaitu : suram dan kelabu. Bahkan tidak jarang para elite nasional dari pelbagai strata dan lembaga termasuk para pengamat tersebut berperilaku yang lebih mengherankan. Yakni dengan menggunakan indicator-indikator negatif dari luar negeri untuk menyerang kekuatan serta eksistensi diri sendiri atau sebaliknya menggunakan indicator positif untuk menambah “pede” diri sendiri. Sebuah situasi yang sangat tidak logis dan irasional bahkan tidak mendasar.

Tanpa disadari perdebatan di panggung politik khususnya antara lembaga tinggi negara dengan eksekutif justru menjadi bumerang yang malah semakin membuat negeri terpuruk dan belum bisa bangkit dari krisis dengan cepat sebagaimana halnya beberapa negara tetangga di Asia. Dengan demikian persepsi dan perspektif “rumah masa depan Indonesia” cenderung suram yang akhirnya justru membuat sebagian investor asing dan dunia luar semakin takut dan menjauh.

Dari sisi ekonomi, kita sependapat dengan pernyataan Prof. Mubyarto dalam orasi ilmiah di Solo (31/12/2000) bahwa banyak ekonom (asing maupun domestik) tidak melihat kenyataan bahwa ekonomi secara riil memang menggeliat dan tidak benar semuanya mengarah pada pesimisme. Karena sebagian dari pengamat tersebut tidak mau melihat kenyataan empiris yang ada khususnya peta daerah. Sehingga terjadilah perang proyeksi ekonomi antar lembaga yang semuanya tentu memiliki argumentasi dan analisis yang tidak lepas dari subjektivitas, sekecil apapun. Rabu lalu, Bank Indonesia memproyeksikan ekonomi Indonesia tahun 2001 akan tumbuh antara 4,5% sampai 5,5%, lebih rendah dari proyeksi Econit 6% - 7% tapi lebih optimis dari Indef (3,8%), Danareksa (4,3%) dan Jetro 4,7%. Sementara beberapa sekuritas dan bank asing relatif lebih rendah berkisar antara 2,5% sampai 5,3%. Percaya atau tidak, terserah masing-masing sembari tunggu sampai tahun 2002 dengan ambang batas 5% target RAPBN.
Lepas dari perbedaan proyeksi tersebut kita perlu melihat dan memahami fakta bahwa ekonomi riil terus bergerak dan tumbuh. Ekspor non migas hampir menembus US$ 50 milyar meski tidak ada satu jaminan bahwa devisa sedemikian besar pasti pulang kandang. Inflasi melambung jadi 9,35% secara implisit menjadi indikator bahwa masyarakat kita punya uang untuk dibelanjakan khususnya pada tiga hari raya di bulan Desember 2000. Tapi jangan tanya relevansinya dengan UMR atau gaji PNS. Denyut ekonomi ini seakan tidak terganggu sedikitpun oleh ledakan bom beruntun di 9 kota pada malam Natal terakhir di abad 20 yang lalu.

Dengan kondisi seperti ini sejujurnya perlu disadari bahwa ada kesalahan dalam melihat potensi, kekuatan dan kinerja ekonomi saat ini. Penyebabnya tak lain adalah hingar bingar yang ditiupkan oleh para pengamat, politisi dan lembaga asing yang terkadang sangat berlebihan, tidak proporsional dan meragukan objektifitasnya. Disadari atau tidak maka yang turut membantu memperlambat pemulihan ekonomi adalah diri kita sendiri. Kita masih lemah dalam hal independensi, objektif, faktuil dengan wawasan luas.

Sebagai bukti pembanding kita lihat dua laporan dari Jepang. Bulan November lalu Japan Bank for International Cooperation (JBIC), sebuah lembaga pemerintah, melakukan survey terhadap 469 perusahaan Jepang yang punya afiliasi atau patungan di Asia dan AS. Salah satu kesimpulan survey adalah bahwa 54,5% berniat meningkatkan produksinya di luar negeri untuk 3 tahun mendatang. Dari 10 negara paling favorit untuk dijadikan lahan investasi maka Indonesia menduduki peringkat ke 4, setelah RRC (1), AS (2) dan Thailand (3). Mungkin sebagian orang bilang itu hanya rencana dan prediksi yang bisa berubah setiap saat pada bulan-bulan mendatang. Setidaknya mereka cukup objektif karena dilakukan dari kacamata Jepang terhadap potensi pasar MNC mereka di Asia dengan motivasi tunggal yakni kepentingan ekonomi.

Supaya imbang kita lihat prestasi dan kinerja afiliasi MNC Jepang di Asia untuk sektor otomotif, elektronik dan telekomunikasi sampai Mei 2000. Laporan MITI menunjukkan bahwa penjualan oleh afiliasi Jepang di Asia naik 10% (US$ 24,5 milyar) selama kwartal kedua (April - Juni 2000), menciptakan kenaikan berturut-turut sejak September 1999. Pertumbuhan terbesar dialami oleh afiliasi Jepang di 4 negara Asean (Thailand, Indonesia, Filipina dan Malaysia) sebesar 12% menyusul turunnya penjualan di Eropa dan Amerika Utara. Peningkatan omzet ekspor ini mendorong para sogo sosha untuk memperluas jaringan dengan menambah tenaga kerja.

Afiliasi MNC dengan sebaran pabrik dari Batam sampai Jabotabek tetap menikmati omzet besar di pasar domestik sementara ekspornya terus meningkat. Produksi jalan terus, ekspor naik dan konsumsi domestik luar biasa sehingga tidak aneh bila MNC elektronik omzetnya menembus US$ 1 milyar. Tahun 2000, enam raksasa Jepang menguasai hampir 40% ekspor elektronik dan tahun 2001 diproyeksikan para raksasa menguasai 45% total ekspor atau setara US$ 3,4 milyar. Ini belum termasuk ratusan perusahaan kelas menengah lain yang menyebar dari Batam sampai Botabek. Sukses bisnis ini dilakukan tanpa gembar-gembor yang penting dapat untung dan setoran ke kantor pusat semakin besar. Demikian juga bank asing yang meraih untung besar tahun lalu dan setengah dari laba tersebut disetor ke kantor pusat. Tapi bank-bank ini masih saja menyuarakan pesimisme terhadap ekonomi Indonesia 2001, sama pesimisnya ketika mereka memasuki tahun 2000, tapi nyata membawa berkah. Ini menjadi bahan introspeksi bahwa disaat kita sibuk memperdebatkan hal-hal yang sarat kepentingan pribadi dan golongan sembari mengejek diri sendiri, ternyata investor asing terus bekerja dan menikmati hasil luar biasa.

Pelbagai skenario dan perkembangan terakhir ini sebaiknya tidak sampai membuat dunia usaha “larut” dalam perdebatan dan dinamika yang ditiupkan para elite nasional. Tapi tetaplah berkarya dan jangan sampai terombang-ambing dengan perdebatan antar elite. Mengingat para elite tidak bisa dilarang bicara maka jalan pintas adalah lupakan pernyataan dan komentar mereka. Setidaknya “forget the elite” lebih arif dibandingkan William Shakeaspeare dengan “the first thing we do…..lets to kill the lawyer” . (*).

Jakarta, Februari 2001



0 comment:

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP