Thursday 27 December 2007

BMAD, Kisah Sukses atau Kalah Bersaing ?

Oleh : Beni Sindhunata, Direktur Eksekutif INBRA

Selama setengah tahun terakhir kita menyaksikan beberapa industri dalam negeri mengajukan petisi untuk menerapkan bea masuk anti dumping (BMAD) kepada beberapa produk impor yang masuk pasar domestic. Dalam perspektif persaingan bisnis global maka mekanisme penerapan BMAD kepada produsen asing (atau eksportir dari negara lain) sebenarnya memiliki posisi yang setara jika ada produsen Indonesia yang juga dituduh melakukan dumping (dikenakan BMAD) oleh produsen di negara luar. Dan semuanya wajar-wajar saja. Tidak ada yang aneh. Justru ini menjadi tolak ukur daya saing dan kemampuan produsen Indonesia bertempur dalam persaingan bebas dan juga kemungkinan pasar Indonesia direbut oleh produsen asing, konsekwensi logis dari aturan global World Trade Organization (WTO).
Kenapa demikian ?. Karena apabila produsen Indonesia berproduksi dengan biaya tinggi sehingga harga jualnya tinggi maka akan kalah dengan produsen asing yang menjual lebih rendah. Disinilah kita perlu mempertanyakan kinerja dan daya saing mereka (terlepas dari jenis produknya). Sehingga mendorong mereka untuk minta pemerintah menerapkan BMAD, guna perlidungan atau proteksi. Sebaliknya jika ada produsen nasional yang dituduh dumping oleh negara asing (menjual lebih rendah di luar negeri dari harga di Indonesia) justru menjadi berita bagus bagi Indonesia karena produsennya bisa memproduksi lebih murah dan sanggup menyerbu pasar global. Ini yang kalau perlu diberi bintang jasa sebagai produsen dan eksportir unggul.
Namun semua ini bisa direalisir jika kita (pemerintah) sudah melakukan penelitian mendalam dan bisa membuktikan apakah tuduhan-tuduhan tersebut benar atau salah. Ini semua bisa terjadi setiap saat pada setiap produk dan bahkan oleh perusahaan yang sama. Artinya dulu pernah terbukti tidak melakukan dumping (di pasar global) dan sekarang malah meminta BMAD (proteksi), atau sebaliknya.
Oleh sebab itu tidak tepat jika pemerintah langsung memvonis dan menyetujui BMAD yang diusulkan oleh para produsen domestic tanpa penyelidikan yang terbukti dan belum kedaluarsa. Karena jika tidak terbukti malah memalukan dan ibarat “buruk muka cermin dibelah”. Apalagi mekanisme BMAD hanyalah salah satu mekanisme proteksi yang memang legal dan diizinkan oleh WTO, dengan kondisi tertentu. Antara 1996 sampai medio 2002, KADI (Komite Anti Dumping Indonesia) menerima 23 pengaduan kasus dumping untuk dikenakan BMAD. Ternyata setelah diselidiki ada 9 kasus yang dihentikan karena tidak terbukti, 7 kasus masih dalam tahap penyelidikan dan hanya 7 kasus yang disetujui untuk dikenakan BMAD. Dari catatan histories ini kita perlu memaklumi bahwa pengajuan BMAD tidak bisa semena-mena meskipun dengan argumentasi melindungi industri dalam negeri atau lebih dahsyat lagi jika mengatasnamakan nasionalisme ekonomi yang kebablasan. Semuanya perlu dilakukan dengan terpadu serta terbukti.
Disisi lain pengenaan BMAD juga harus memperhatikan dampak kerugiannya bagi industri local sebagai konsumen dari produk tersebut di sector hilir atau lanjutannya. Karena kita tidak bisa hanya melihat factor injuri yang dipikul oleh produsen pengaju BMAD tapi juga harus melihat seberapa besar “aspek injuri” yang juga diterima oleh industri local sebagai industri lanjutan yangh mengkonsumsi produk tersebut. Artinya jika ada produk impor yang lebih murah saat ini lalu dikenakan BMAD maka konsumen akan membayar lebih mahal sementara produsen local (pengaju BMAD) terlindungi dalam perang harga. Oleh sebab itu setidaknya Deperindag dan KADI perlu memikirkan aspek “local injuries” dalam mempertimbangkan BMAD.
Dari kilas balik persaingan global kita juga harus menyadari bahwa perilaku proteksi dalam bentuk apapun masih dan mungkin dilakukan oleh negara maju sekalipun. Contoh termutakhir adalah pada sidang Agreement on Agriculture WTO (31 Maret 2003) dimana negara maju tidak setuju mengurangi proteksi dan subsidi bagi sector pertanian mereka. Secara implicit dalam tataran global ini menunjukkan bahwa mereka setuju jika Indonesia memberikan subsidi dan proteksi ke produk pertanian mulai dari bunga perbankan, peralatan pertanian, pupuk sampai ke pemasaran. Ini cerminan bahwa negara maju yang menjadi konsumen dan juga produsen besar tidak bisa dikatakan jujur dan konsisten menerapkan aturan WTO di semua lini.
Yang lebih kacau dan tragis lagi di jajaran pemerintah juga tidak semuanya selalu selaras dan konsisten dalam memandang WTO, apalagi jika sampai diambil keputusan tanpa dukungan data yang kuat dan mutakhir. Bahkan dengan alasan mematuhi aturan WTO yang menuntut liberalisasi maka semua produk dan sector dibuka habis. Padahal dipahami bahwa tidak semua industri local siap dan mampu bersaing dengan serbuan produk impor, apalagi yang illegal. Sementara WTO sendiri masih memberi toleransi bagi kita untuk memproteksi dengan kondisi tertentu, yang banyak dimanfaatkan oleh negara lain (mitra sekaligus pesiang produsen Indonesia).
Sebagai contoh produk baja jenis HRC dan CRC yang minta BM 25% sampai 30% dari 5% sampai 10% saat ini. Ini masih tergolong rendah karena beberapa negara Asia sudah menerapkan BM antara 25% sampai 50%. Demikian pula dengan produk tepung terigu dimana hampir seluruh negara menerapkan BM yang cukup tinggi disamping proteksi non tariff. Berbeda dengan Indonesia yang justru ingin membebaskan sama sekali padahal produsennya mengusulkan BMAD 5% sampai 10%. Kedua produk ini akhirnya juga gagal menaikan BM dan BMAD karena menurut KADi tidak terbukti.
Bagaimana dengan produk lain yang tidak kalah gencar minta peningkatan BM dan BMAD. Salah satu contoh yang juga gencar dilakukan adalah produsen kertas dan bubur kertas yang tentu mengatasnamakan asosiasi. Sebagai salah satu produk berorientasi ekspor dan terkait erat dengan harga pasar internasional maka dinamika produk ini juga sangat fluktuatif. Sehingga tidak heran jika para produsen berniat mengusulkan BMAD agar bisa mempertahankan pasar domestic, sementara pasar ekspor relative tidak terkait. Tapi melihat perjalanan historisnya maka para produsen di industri kertas dan produk-produk kertas nasional bisa bersaing di pasar global bahkan industri pulp and paper Indonesia sendiri termasuk paling efisien dalam produksinya. Pada awal 90-an beberapa produsen buku dan produk kertas pernah dituduh dumping oleh Australia dan akan dikenakan BMAD.
Tapi jika tuduhan itu tidak terbukti, sehingga menunjukkan bahwa produsen Indonesia ini bisa memproduksi dan menjual denga harga bersaing di pasar global, atau minimal tidak lebih murah dari pasar domestic di Indonesia. Sehingga harga kertas dan aneka produk kertas di grosir Mangga Dua tidak jauh lebih mahal dari harga di Sydney atau Melbourne. Itulah yang diinginkan terjadi sebagai sebuah kisah sukses. Demikian pula nasib tiga produsen ban sepeda Indonesia yang tuduhan dumpingnya dicabut oleh Argentina (Agustus 2002) karena tidak terbukti. Tuduhan ini juga diajukan kepada produsen dari Cina dan Thailand. Catatan histories menunjukkan ada 99 produk ekspor Indonesia yang dikenakan tuduhan dumping namun 47 kasus ditunda karena tidak terbukti dan 42 kasus terbukti lalu dikenakan BMAD. Ini bisa jadi tolak ukur melilhat apakah produsen Indonesia semakin berdaya saing atau malah kalah bersaing.
Sehingga jika saat ini beberapa produsen dan raksasa kertas nasional minta BMAD maka perlu ditelusuri lebih mendalam motivasinya dan apakah betul sudah terjadi injuri kepada mereka serta dapat dibuktikan. Sebaliknya juga perlu dilihat sejauhmana BMAD tersebut akan menciptakan “local injuries” bagi para konsumen dan industri hilir pengguna produk tersebut. Karena dalam praktik per”dumpingan” secara umum tidak menutup kemungkinan terjadinya praktik (skenario) dimana dibikin skenario importer menyerbu pasar local dengan banting harga agar terbukti ada perilaku dumping. Dengan demikian produsen memiliki argumentasi dan bukti kuat untuk minta perlakuan BMAD. Ternyata sang importer yang bekerjasama dengan produsen asing tersebut adalah mitra dan teman satu scenario dari produsen local. Akhirnya pemerintah menyetujui BMAD yang tentu menguntungkan produsen local karena serbuan impor setidaknya dapat dihambat (minimal dan sementara). Apalagi dengan melihat peta dan anatomi industri ini yang memang harus dijaga karena menjadi salah satu ladang emas diantara sekian banyak industri “privilege” nasional, dan tentu saja harus dengan embel-embel “asset nasional”.
Tapi disisi lain konsekwensinya adalah para konsumen langsung maupun industri di sector hilir mulai yang jumlahnya ratusan bahkan ribuan yang mengalami “local injuries”. Kelompok usaha ini tentu tidak punya pilihan kecuali mengkonsumsi produk dengan harga relative tinggi. Ringkas kata jajarn konsumen ini tidak bisa menikmati sisi positif WTO, liberalisasi perdagangan dengan harga termurah dan produk terbaik. Oleh sebab itu jika BMAD akan terus dilanjutkan maka kembali KADI mendapat tugas maha berat. Apalagi jika terjadi perang tanding antara produsen pengusul BMAD dengan pihak yang kontra BMAD diantaranya tentu saja percetakan koran dan majalah yang menjadi pilar keempat dalam hal bersuara (bukan berdemokrasi).
Sebagai penutup ada beberapa hal dan sikap yang perlu digarisbawahi agar tidak menimbulkan salah tafsir.
melindungi industri nasional dari persaingan global yang tidak seimbang adalah kebijakan tepat, wajar dan perlu. Dengan tingkat persaingan seperti saat ini maka dalam mengembangkan industri nasional kita hanya punya satu pilihan yakni “proteksi atau mati”. Sikap proteksi (dalam berbagai bentuk) ini mungkin tidak semuanya diinginkan oleh industi nasional karena malu atau sungkan, padahal mereka butuh tapi malu. Budaya kebablasan dalam reformasi jangan menyebabkan kita menjadi tempat perdagangan global yang paling liberal. Terpuji tapi buntung.
dalam konteks tersebut pemerintah harus memiliki sikap yang tegas dan berwibawa serta berani mengambil sikap yang tidak populer (bagi kalangan tertentu), asalkan transparan dan didukung oleh argumentasi serta data yang kuat tak terbantahkan (kita pasti memahami bagaimana “nyawa” sebuah data hasil rekayasa). Sehingga perlu penelitian secara objektif dan akurat sehingga memberikan kesimpulan independent kepada pemerintah untuk tindak lanjut. Untuk mendapatkan data tersebut tentu saja butuh dana yang harus dikeluarkan pemerintah, jika ingin membantu dan menyehatkan dan memperkuat industri nasional. Lain halnya jika misi dan visi sudah berubah.
kerugian (injuri) bagi produsen yang mengajukan BMAD harus diperhatikan karena itu menyangkut nasib investasi, peluang meraih devisa ekspor, tenaga kerja dan sebagainya. Namun hal serupa juga harus diperhatikan kepada konsumen atau industri lanjutan (hilir) yang mengkonsumsi produk tersebut, karena mereka juga bakal terkena “local injuri” (kerugian akibat tertutupnya pilihan produk impor dan tergantung pada produk local). Sektor hulu maupun hilir sama-sama investasi, menyerap tenaga kerja, penghasil devisa dan tentu saja pembayar pajak. Yang berbeda (mungkin) hanya kepemilikan, siapa dulu pemiliknya dan seberapa besar kekuatan. Disilah benang merahnya yakni memberlakukan BMAD harus secara selektif dan terbukti serta plus minus injury (bagi sector hulu maupun hilir). (*).

Dimuat di Warta Ekonomi


















































































0 comment:

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP