Saturday 5 January 2008

Mauritius, Investor Ketiga Terbesar


Oleh : Beni Sindhunata, Pengamat bisnis dan investasi dari INBRA

Di tengah musim paceklik investasi asing (foreign direct investment) ternyata arus PMA yang meminta izin investasi menunjukkan peningkatan. Setidaknya dilihat dari izin yang diberikan BKPM di mana untuk tahun 2002 yang disetujui US$ 9,7 milyar terdiri dari 1.135. Atau naik dari US$ 8,9 milyar tahun 2001, meski masih jauh dari tahun 2000 yang berhasil menarik investasi US$ 15,4 milyar. Meski positif tapi ada hal lain yang menarik untuk dikupas lebih mendalam secara mikro yakni siapa dan darimana asal investasi tersebut dan apa maknanya dalam peta investasi nasional tahun ini yang justru dijadikan sebagai “the investment year”.
Ternyata dari rencana investasi tersebut, sebanyak 8,7% berasal dari perusahaan asing yang tercatat di Mauritius, salah satu offshore centre di tenggara Afrika, bertetangga dengan Suriname. FDI yang masuk lewat Mauritius tersebut membawa dana US$ 843 juta dengan rencana membangun 19 proyek, sehingga menjadikan Mauritius sebagai negara investor ketiga terbesar di Indonesia, mengalahkan Jepang, AS, dan Inggris. Dua negara investor terbesar dari Singapura dengan US$ 3,3 milyar terdiri dari 155 proyek disusul oleh Hongkong senilai US$ 1,7 milyar dengan 12 proyek. Bahkan dilihat dari rata-rata investasi per proyek ternyata investor asal Mauritius justru lebih besar dari rata-rata investasi PMA. Yakni US$ 44 juta per proyek mengalahkan semua negara raksasa investasi termasuk Singapura hanya US$ 21 juta dan rata-rata terbesar adalah investor asal Hongkong US$ 142 juta per proyek.
Fakta ini menunjukkan fenomena baru bahwa investor raksasa dari kawasan tradisional selama ini (AS, Eropa, Jepang) tampaknya sedang menahan laju investasi sehingga porsi semakin kecil dibandingkan dengan investor asal NIC (Singapura, Hongkong, Korea Selatan dan Taiwan). Inilah warna mutakhir dari peta investasi nasional yang tentu saja akan terus menerus berkembang sesuai irama global dan regional. Sehingga tidak heran jika Mauritius menjadi investor terbesar ketiga menggeser Inggris dan Jepang yang menduduki peringkat pertama dan kedua tahun 2000.
Dari pergeseran arus dan sumber investasi asing ini kita bisa dan perlu memahami bahwa sikap kontra terhadap masuknya investor asing ke Indonesia menggunakan special purpose vehicle (SPV) berbasis di offshore centre adalah tidak tepat sasaran, mubazir. Karena eksistensi SPV di offshore centre sendiri adalah sebuah mekanisme perdagangan dan investasi global dan sudah hampir setengah abad. Oleh sebab investor asing bisa masuk lewat pelbagai offshore centre mulai dari British Virgin Island (BVI), Nauru, Nassau, Caymand Island sampai ke tetangga terdekat Labuan, Malaysia. Mulai dari proyek cold-storage, perikanan terpadu, pabrik karet, jasa konsultan manajemen dan investasi, dan yang paling banyak adalah di sector jasa perdagangan ekspor dan impor. Nilai investasinya juga bervariasi dari minimal US$ 100 ribu sampai US$ 1 juta. Sangat jelas bahwa tidak mungkin investasi tersebut milik perusahaan asli Mauritius, tapi lebih banyak merupakan afiliasi perusahaan, lembaga keuangan, investment fund atau perusahaan kecil papan nama yang milik perorangan.
Apa yang salah dengan pergeseran pola FDI ini ?. Jika misi utama kita adalah mencari investor untuk masuk Indonesia maka tidak pada tempatnya kita bersikap apriori terhadap masuknya investor asing berbaju SPV dari offshore centre. Karena yang penting mereka membawa dana untuk membangun pabrik dan berproduksi serta menyerap tenaga kerja dan membayar kewajiban kepada negara sebagaimana layaknya sebuah institusi bisnis. Memang sangat terbuka kemungkinan pengendara SPV tersebut bukan asing tapi ali, baba atau keduanya.
Dalam pertarungan merebut aliran investasi dari MNC global tersebut dimana kita juga harus bertarung melawan China, NIC, EU serta AS sendiri maka bukan zamannya kita menyeleksi calon investor. Karena surga investasi bagi mereka bukan hanya Indonesia tapi sudah terbentang mulai dari belahan utara China sampai ke Delta Mekong (Thailand, Vietnam, Kamboja, Laos) dengan pelbagai keunggulan komparatif yang cukup signifikan. Bahkan ketika inflow FDI ke Indonesia negatif US$ 2,7 milyar tahun 1999 dan US$ 4,5 milyar tahun 2000, sejumlah negara offshore centre malahan positif. Misalnya pada tahun 2000 Bermuda surplus US$ 6,6 milyar, demikian pula dengan BVI US$ 1,4 milyar, Cayman Island US$ 4,7 milyar, Netherland Antilles US$ 0,7 milyar dan Mauritius US$ 0,2 milyar.
Ringkas kata menjajakan sepotong Batam disamping puluhan kawasan berikat di “hot growth areal” saja tidaklah cukup bagi kita untuk menarik masuk investasi asing. Perlu kerjasama terpadu antar instansi terkait tanpa saling menyalahkan dan lepas tanggungjawab. Sehingga kesan “ngambeknya” Sony yang mau hengkang dari Indonesia tidak perlu ditanggapi serius sebab puluhan raksasa elektronik lainnya siap ekspansi US$ 2 milyar sampai 2006.
Jika kita konsisten untuk apriori terhadap eksistensi investor asal offshore centre maka otoritas bursa dan moneter sudah harus mewaspadai dari dulu bukannya sekarang. Karena dengan mekanisme atau aturan main seperti apa kita bisa melarang investor atau SPV membeli saham di bursa apakah itu dalam program privatisasi maupun divestasi yang prinsipnya sama. Sekarang saja tercatat hampir dua lusin investor asing asal offshore centre menguasai saham perusahaan public. Ini baru sebatas pemilikan saham diatas plafond 5% yang harus diumumkan dan bagaimana jika ada 5 SPV (satu grup) masing-masing 4,9% sehingga gabungannya melebihi seperlima. Apalagi sepanjang tahun 2002 ramai dilakukan stock buy back dengan harga saham cenderung turun.
Melejitnya Mauritius sebagai negara investor ketiga terbesar bagi Indonesia tahun 2002 selayaknya dilihat dari kacamata murni persaingan memperebutkan investasi global bagi pembangunan industri nasional. Karena hasilnya merupakan bagian dari capital inflow setelah dilanda capital flight besar-besaran. Mengingat mayoritas PMA asal Mauritius tersebut bergerak di bidang jasa perdagangan dengan modal relative kecil beralamat di luar CBD Jakarta, maka bisa diasumsikan eksistensi PMA asal Mauritius ini tidak hanya sebatas jasa ekspor impor tapi bisa melebar ke jasa lain. Semuanya akan terkait dengan proses produksi, pemasaran, ekspor, impor dan sumber pendanaan bagi perusahaan lain.
Namun karena pertimbangan dasar adalah untuk kecurigaan adanya penumpang gelap (pemilik hot money hasil korupsi untuk di daur ulang) maka perlu langkah khusus. Jika kita memang ingin membatasi atau melarang masuknya SPV sebagai investor maka perlu ditetapkan dengan aturan yang tegas dan transparan dan inin harus berlaku menyeluruh dari bank sentral, departemen keuangan, pasar modal, sampai ke pintu BKPM. Tapi jika mau ikut aturan main di pentas investasi global maka perlakukan para investor “tercatat” asal Mauritius dan offshore centre lainnya sebagai mitra dalam bisnis global. (*).
Press Release ke Majalah Investor, 5 Februari 2003

0 comment:

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP