Tuesday 8 January 2008

HARMONISASI DEPKEU DAN BANK INDONESIA,KUNCI SUKSES ARSITEKTUR INDUSTRI KEUANGAN

Oleh Beni Sindhunata
Sektor industri keuangan memang sudah saatnya membutuhkan sebuah anatomi atau arsitektur yang terpadu dan menyeluruh sehingga bisa memberikan gambaran yang jelas dan positif bagi pelbagai pihak eksternal maupun internal. Sekaligus untuk mempermudah pemerintah dalam menentukan arah kebijakan nasional sektor keuangan apalagi sektor ini masuk dalam paket liberalisasi Asian Free Agreement Services tahun 2003. Meski terlambat tapi harus dijalankan mengingat struktur dan posisi sekarang yang membuat miris. Sumbangsih jasa keuangan dan perbankan terhadap PDB masih di bawah 5% dengan asset menyamai tigaperempat PDB. Selanjutnya sumbangsihnya bagi mesin ekonomi daerah berkisar antara sektor industri keuangan
Dalam konteks ini kita mengkaji peta perbankan dan jasa keuangan dengan dari perspektif mikro yang merupakan landasan penting untuk membuat sebuah skema besar (grand design) yang menyeluruh dan terpadu baik pelaku maupun para regulator.
Jasa keuangan nasional setidaknya melibatkan 5 lembaga yakni bank, asuransi, dana pensiun, sekuritas dan perusahaan pembiayaan. Ini bisa juga diperlebar lagi jika memasukan perusahaan reksadana yang besarannya kian bermakna strategis. Besaran asset dari 5 jasa keuangan ini mencapai Rp. 1.145 trilyun (versi Infobank, Oktober 2002) atau setara 76% PDB tahun 2001 Rp. 1.490 trilyun, dimana 91% dikelola oleh 145 bank dengan pelbagai status kesehatan.
Dari perspektif besaran aset tersebut timbul pertanyaan selanjutnya yakni apa arti dan kontribusi lembaga bank dan jasa keuangan ini bagi roda perekonomian nasional. Dalam arti kata bagaimana mereka mendayagunakan asset tersebut yang sebagian di investasikan ke sektor riil sebagai ujung tombak penggerak mesin ekonomi, dimana bank dan jasa keuangan adalah sebagai bahan bakarnya.
Melalui pendalaman data per sektor dan per lembaga keuangan tersebut terlihat bahwa dari total investasi mereka sebenarnya tidak semuanya disalurkan ke sektor riil atau dunia usaha. Namun sebagian diantaranya disalurkan kembali ke sektor jasa keuangan atau hanya berputar-putar diantara sesama pelaku antara bank dan jasa keuangan. Berdasarkan analisis data yang dilakukan oleh INBRA (Investment and Banking Research Agency) tercatat bahwa 4 lembaga keuangan dan jasa (bank, asuransi, dana pensiun, dan perusahaan pembiayaan) tahun 2001 total investasinya mencapai tidak kurang dari Rp. 726 trilyun. Ini belum mencakup reksadana dan perusahaan sekuritas yang memiliki kapasitas Rp. 30 trilyun lebih.
Tapi jelas tidak semuanya dari investasi tersebut ditanam ke sektor riil karena pelbagai pertimbangan bisnis yang multi kompleks. Sehingga hanya Rp. 395 trilyun yang diserap dan diinvestasikan ke sektor riil atau dunia usaha dalam pelbagai bentuk. Dari bank jelas berbentuk kredit atau pinjaman sebesar Rp. 358 trilyun, perusahaan asuransi dalam bentuk ekuiti dan penyertaan Rp. 3,7 trilyun, perusahaan pembiayaan Rp. 31,5 trilyun dan dana pensiun hampir Rp. 2 trilyun. Dengan demikian sekitar 54% total investasi lembaga keuangan tersebut yang diserap oleh dunia usaha baik konsumen maupun perusahaan. Lihat tabel alur investasi industri keuangan.
Alur Investasi di Industri Keuangan Nasional, 2001


Pilihan investasi
Lembaga Keuangan
Total
Bank
Perbankan
Pasar
Sektor
Lain-lain

Investasi
sentral

Modal
Riil

Asuransi
26,229
1,338
12,191
6,246
3,787
2,665
Dana Pensiun
27,785
na
18,882
5,620
1,965
2,293
Multi Finance
38,200
-
3,000
3,700
31,500
-
Perbankan
634,500
74,300
149,400
49,200
358,600
3,000
Diolah INBRA (Investment and Banking Research Agency) dari pelbagai sumber. Angka tahun 2001 (Rp. Milyar)

Bank sentral mencakup SBI
Perbankan mencakup dana pihak ketiga dan penempatan antar bank
Pasar modal mencakup saham, obligasi dan surat berharga lain di pasar modal
Sektor riil mencakup kredit dan pembiayaan ke dunia usaha, saham dan penyertaan
Lain-lain mencakup properti dan aktiva tetap lainnya

Lalu sisa dana lainnya diinvestasikan kemana ?. Pertama dan terbesar disimpan dalam bentuk deposito (instrumen fixed income) sebagai sarana investasi paling aman bagi lembaga keuangan apalagi publik dan individu. Dimana untuk periode yang sama 4 lembaga keuangan tersebut saling memutar dananya dideposito senilai Rp. 182 trilyun atau 40% dari total deposito yang dihimpun oleh bank. Dengan pendistribusian dimana Rp. 150 trilyun diantaranya adalah deposito penempatan antar bank dan sisanya deposito milik asuransi, dana pensiun dan perusahaan pembiayaan. Sarana investasi lainnya yang ampuh dan aman adalah membeli SBI yang besarannya sangat fluktuatif dimana per akhir 2001 mencapai Rp. 102 trilyun, Rp. 74, 3 trilyun atau 93% dibeli oleh perbankan dan sisanya 7% dibeli individu. Kemudian sebesar Rp. 64,7 trilyun lebih diinvestasikan di pasar modal dengan membeli pelbagai saham atau obligasi. Dalam hal ini tentu kita tidak bisa masuk dan membedah intervensi atau investasi lembaga keuangan khususnya bank di pasar uang yang perputarannya rata-rata US$ 167 juta per hari di tahun 2001.
Gambaran makro ini menunjukkan betapa tingginya tingkat ketergantungan dan korelasi antara bank dan perusahaan jasa keuangan sebagai institusi bisnis yang masing-masing memiliki struktur dan teknik tersendiri untuk mendayagunakan dana bagi keuntungan masing-masing. Dalam hal inilah peran pemerintah sebagai regulator harus bermain dan menunjukkan kepiawaian agar tidak banyak loophole dalam arti sempit sekaligus membentuk sebuah grand design yang terpadu dan ampuh untuk perspektif jangka panjang. Bukan sekedar untuk political milestone tahun 2004 atau 2009.
Komposisi ini juga menunjukkan betapa pentingnya bank sebagai lahan investasi bagi jasa keuangan lainnya dimana mereka mendapatkan fixed income atas penempatan deposito di bank. Dimana asuransi punya Rp. 12 trilyun deposito, dana pensiun punya Rp. 18,8 trilyun dan perusahaan pembiayaan memiliki Rp. 3 trilyun lebih. Selanjutnya bank sendiri menikmati manisnya deposito melalui penempatan antar bank dan pembelian SBI sehingga meningkatkan pendapatan bunga lain dalam portofolio pendapatan mereka. Demikian juga publik atau perorangan yang menguasai deposito terbesar senilai Rp. 250 trilyun atau 56% total. Dan tentu saja ujungnya bermuara pada bank sentral yang bertindak sebagai regulator sekaligus aktor (dalam hal SBI) dengan beban bunga SBI yang harus dibayar.
Dari sisi perbankan juga menyalurkan pinjaman ke jasa keuangan sebagai sumber dana untuk membantu pembiayaan dan kegiatan investasi mereka. Misalnya perusahaan multi finance meminjam uang hampir Rp. 20 trilyun ke bank guna mendukung investasi mereka dalam bisnis pembiayaan. Pola kerjasama antara bank dengan perusahaan pembiayaan memang penuh lika-liku apalagi pada era pra krisis (1997) dengan booming investasi dan kredit konsumsi. Sedangkan perusahaan asuransi meminjam Rp. 600 milyar lebih ke perbankan yang tentu saja relatif masih aman karena didukung oleh Rp. 12 trilyun deposito mereka di bank. Semua pola kerjasama ini merupakan jejaring bisnis yang sangat bagus dan kuat jika didukung oleh kebijakanyang fokus, terpadu dan saling menciptakan sinergi.
Mengingat bank sebagai titak sentral tentunya terkait dengan struktur perbankan yang secara umum dapat digolongkan masih rapuh meskipun sebagian bank rekap sudah banyak dilamar dan sebagian sudah masuk pelaminan. Namun mayoritas lainnya masih berjalan ditempat. Struktur bank memang penting sehingga tidak heran jika penggolongan bank oleh otoritas moneter (Bank Indonesia maupun Departemen Keuangan) masih terfokus pada besaran (kuantitas) seperti asset, jaringan, aneka produk dan jasa. Sehingga timbullah bank inti dan non inti, bank lokal, regional maupun global. Namun diluar itu kiranya perlu diperhatikan korelasi dan interaksi yang akhirnya menempatkan pelbagai lembaga keuangan sebagai sebuah supermarket yang menyediakan dan mendayagunakan pelbagai produk dan jasa di sektor keuangan menuju kearah lebih efisien, efektif dan menguntungkan bagi para pihak yang terkait.
Melalui pendekatan multi aspek ini maka dalam penyusunan skema atau peta jasa keuangan perlu memperhatikan beberapa aspek terkait.
faktor terpenting dan paling dini adalah menyelaraskan dan menyamakan persepsi makro antar regulator yakni Bank Indonesia (induknya perbankan) dan Departemen Keuangan (induknya lembaga jasa keuangan). Tanpa adanya sinergi dan kerjasama riil terpadu diantara mereka maka jangan mengharapkan munculnya sebuah peta jasa keuangan yang berjalan baik. Memang sudah penyakit universal dan berlaku global bahwa Departemen Keuangan dan bank sentral itu selalu berbeda pendapat karena memang demikianlah adanya. Bagaimana mungkin memadukan pelbagai lembaga keuangan dari induk berbeda yang masih tetap mempertahankan asal-usul induknya. Ini terkait dengan pengawasan jasa keuangan pasca terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan dan operasionalisasi Lembaga Penjamin Simpanan.
disisi lain juga ada institusi dadakan yakni BPPN yang lahir karena tragedi nasional sebagai pemegang saham puluhan bank rekap. Dalam konteks penyusunan peta industri keuangan ini, BPPN merupakan institusi yang harus dilibatkan karena sebagian besar pelaku di jasa keuangan justru berada dalam perawatannya. Namun perlu diperhatikan sebaiknya lembaga ini tidak lagi permanen atau hadir dalam struktur grand design industri keuangan, sebab akan semakin memperbanyak pos pengendalian padahal yang diawasi dan diatur tidak bertambah, malah cenderung akan berkurang.
filosofi dasar yang harus dijadikan pegangan adalah kesiapan industri jasa keuangan nasional menghadapi persaingan bebas di kawasan Asia dan tentu saja pasar global selanjutnya. Semakin besarnya penetrasi perusahaan asing (jangan dibaca sebagai dominasi) di sektor perbankan dan jasa keuangan seharusnya menjadikan point positif bagi industri keuangan untuk harus siap bersaing karena mereka juga menjadi bagian dari tubuh industri keuangan. Survey INBRA (November 2002) mencatat bahwa pangsa bank asing dan patungan dalam penyaluran kredit naik dari 9,5% tahun 1997 menjadi 19,6% per Mei 2002, penghimpunan dana naik dari 9,2% menjadi 10,2% dan meraih laba Rp. 2 trilyun lebih tahun 2001. Padahal sejak krisis sampai 2001, mereka hanya menambah modal Rp. 3,8 trilyun.
guna menciptakan medan persaingan bisnis yang setara maka perlu menata ulang insentif atau dis-insentif yang selama ini berlaku di pasar jasa keuangan demi mengurangi kecemburuan dan ketimpangan antar perusahaan misalnya dari instrumen pajak. Disamping itu juga perlu mengevaluasi kembali apakah mekanisme atau aturan tentang kuota portofolio investasi selama ini masih cocok dan relevan.
Kesimpulan
Peta dan pangsa pasar perbankan Indonesia masih terkonsentrasi pada kekuatan lima besar (the big five) yang secara riil semuanya milik pemerintah (bank persero dan bank swasta nasional program rekapitalisasi). Jajaran the big five menguasai antara 35% sampai 40% produk dan jasa perbankan dan untuk kelompok 20 besar menguasai 75% sampai 85%. Ini menunjukkan bahwa anatomi pasar perbankan bersifat fragmented market dimana pangsa bank terbesar tidak lebih dari seperlima, meski secara riil dari aspek kepemilikan bisa diasumsikan bersifat monopoli.
Dengan terpusatnya pengawasan di industri keuangan maka mempermudah pemerintah mengendalikan mesin moneter mulai dari siklus uang beredar, transaksi pembayaran tunai maupun cashless payment, karena sudah didukung oleh dana yang mutakhir, terpadu, komplit dan signifikan. Dengan demikian memperkecil loophole dan kebocoran keuangan secara nasional yang akhirnya merugikan aspek perpajakan.
Dalam membuat peta industri keuangan perlu dipikirkan untuk mengurangi tingkat ketergantungan antar lembaga keuangan tersebut kepada bank dengan mekanisme mendorong jasa keuangan semakin berani investasi di sektor riil dengan pelbagai insentif yang wajar. Apalagi terkait dengan rencana pendirian Otoritas Jasa Keuangan (OJK) serta Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) yang akan menjadi regulator dan wasit baru dalam arena perbankan dan jasa keuangan nasional sejak 2003.
Penggolongan perbankan nasional sebaiknya jangan hanya menggunakan indikator skala keuangan konvensional seperti asset, kredit atau modal dasar karena itu dasar-dasarnya tidak kokoh. Tapi juga pelu melihat aspek kredit, rasio sektoral dan struktur pendanaan. Sehingga akan terlihat bank yang spesialis dan fokus di sektor industri tertentu.
Aspek jaringan cabang, ketersediaan dan mutu SDM dan aneka produk dan jasa menjadi pertimbangan untuk menentukan sebagai bank skala global, bank skala nasional, bank regional-propinsi atau bank sektoral. Sehingga akan memperkuat basis masing-masing bank agar tidak terjebak pada paradigma klasik yang bermain di mana saja dan apa saja. Sekarang saatnya menentukan untuk menjadi bank spesialis, bank umum, atau mundur dari pentas perbankan dengan menjual bank atau merger.
Untuk perspektif ekonomi daerah maka bank pembangunan daerah perlu merubah paradigma karena ekspansi bank swasta secara nasional menjadi tantangan baik lintas sektor maupun lintas wilayah. Untuk eksistensi masa depan sebaiknya alokasi kredit BPD lebig terfokus menurut “keunggulan komparatif” masing-masing daerah.
Bagi bank swasta menengah bawah ada baiknya menjadi bank kecil spesialis (boutique bank) yang memiliki nasabah khusus, tradisional dan loyal. Ada kecenderungan bahwa bank raksasa papan atas dengan jutaan nasabah justru mulai kewalahan memberikan pelayanan yang sama memuaskan dan standard. Sebaliknya bank menengah kecil dengan nasabah sedikit (lebih familiar) bisa memberikan pelayanan sangat baik, cepat (tanpa melupakan online jaringan), dan tanggap menyamai servicenya “private banking” bank raksasa. -*-
Kompas, November 2002.

0 comment:

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP