Saturday 5 January 2008

Multi Media Masuk DNI


Oleh : Beni Sindhunata
Dalam konteks perdagangan global lahirnya Keppres 96/2000 mulai berlaku 20 Juli 2000 yang diantaranya menutup atau melarang masuknya investor asing atau perusahaan patungan ke bidang usaha jasa multi media (dalam pengertian luas) merupakan sebuah langkah mundur, mengejutkan dan berbenturan dengan sejumlah produk hukum ekonomi nasional. Menyadari bahwa masih luasnya pengertian jasa layanan informasi multi media maka sebaiknya pemerintah segera mengeluarkan pernyataan guna mempertegas bagaimana rincian jenis usaha tersebut agar masyarakat bisnis segera memahaminya secara transparan dan tentu saja perlunya diberi argumentasi dan motivasi atas Kepres 96 tersebut. Sehingga tidak membuat banyak pelaku bisnis di sektor multi media seperti kebakaran jenggot dengan pelbagai reaksi yang diantaranya malah jauh panggang dari api, khususnya dari perusahaan-perusahaan patungan asing.
Disaat dunia internasional membuka diri dan memperlunak masuknya investor asing ke sekrtor multi media dan teknologi informasi (secara umum), Indonesia justru menutup diri. Padahal Komisi Multimedia dan Komunikasi Malaysia (negara yang termasuk paling getol membangun multimedia) minggu lalu mengeluarkan keputusan yang mempermudah izin pendirian perusahaan internet dan jasa multimedia lain, diantaranya cukup mengisi formulir singkat dan membayar iuran tahunan 2.500 ringgit. Sementara RRC yang setengah mati berjuang masuk WTO diantaranya juga bersedia membuka jasa multimedia bagi pihak asing. Sehingga orang asing diperbolehkan memiliki sampai 30% saham perusahaan internet milik pengusaha Cina dan bisa diperbesar jadi 50% menjelang akhir 2001.
Sehubungan dengan itu melalui kolom berikut kita mencoba mengkaji bagaimana peta makro sektor industri dan jasa teknologi informasi yang didalamnya praktis akan terkait dengan jasa layanan multimedia. Untuk itu terlebih dahulu perlu adanya dikotomi yang jelas di bidang teknologi informasi (TI) yakni antara sektor jasa (software and services) dan pabrikasi (hardware). Sektor manufaktur atau pabrikasi di Indonesia sebenarnya sudah memasuki tahap yang cukup menggembirakan sebagai salah satu motor penghasil devisa ekspor. Pelan, pasti dan tanpa banyak gembar-gembor industri TI untuk perangkat keras bisa menyumbang ekspor US$ 1,4 milyar atau hampir sepertiga total ekspor produk elektronika, permesinan dan telekomunikasi dan suku cadang yang mencapai US$ 4,7 milyar. Meski krisis ekspornya naik seperlima dibandingkan tahun 1998 berbanding terbalik dengan impor yang menurun, sehingga tercipta surplus US$ 1,2 milyar. Perkembangan ini tentu saja tidak lepas dari peranan dan kontribusi perusahaan asing spesial produk TI yang jumlahnya kian bertambah, disamping kontribusi dari perusahaan-perusahaan elektronika yang juga memproduksi produk TI secara terpadu.
Para produsen TI (hardware) ini merupakan bagian dari 235 perusahaan asing (berstatus PMA) yang masuk Indonesia per Maret 2000, di mana 64 buah diantaranya memilih Batam sebagai lokasi bisnisnya. Bergerak dalam bidang produsen IC, semi konduktor, PCB, perangkat kompuetr, telekomunikasi sampai ke jasa dan konsultan multimedia dalam pelbagai aplikasi. Bahkan juga sudah memproduksi produk software seperti gambar animasi dan produk entertainment lainnya. Seluruh PMA tersebut merencanakan investasi senilai US$ 2,2 milyar dengan dukungan modal atau ekuiti US$ 719 juta. Gabungan target ekspor semua perusahaan ini diperkirakan bisa mencapai US$ 4,3 milyar dan menyerap hampir 69 ribu tenaga kerja (sekitar 2 ribu diantaranya adalah ekspatriate). Namun guna mengembangkan industri jasa ini mereka juga membutuhkan impor barang senilai US$ 842 juta.
Dari jajaran perusahaan asing tersebut ternyata yang spesifik memilih bidang usaha jasa konsultan TI dan multi media (termasuk internet) ternyata sudah mencapai 75 perusahaan tapi dengan rencana investasi (sesuai izin investasi) hanya US$ 52 juta (setara Rp. 390 milyar) didukung oleh modal sendiri hanya US$ 26 juta dan menyerap tenaga kerja 2.500 orang (12% diantaranya ekspatriate). Dari komposisi makro ini menunjukkan bahwa struktur investasi di jasa konsultan TI dan multimedia tidak terlalu padat modal sebagaimana halnya sektor pabrikasi. Sesuai aplikasi yang masuk ke BKPM tersebut maka tercatat investasi terbesar hanya mencapai US$ 9,3 juta (perusahaan patungan salah satu grup media dengan investor AS). Sementara mayoritas yakni 59 perusahaan justru hanya memiliki rencana investasi dibawah US4 1 juta, bahkan 8 perusahaan diantaranya hanya sebesar US$ 100 ribu.
Dari gambaran angka makro sektor jasa multi media dan konsultasi TI yang dalam pelaksanaannya pasti bersedia melakukan pelbagai praktek bisnis sejauh terkait dengan TI, ternyata tidak atau belum menunjukkan sebuah kontribusi yang luar biasa sekali. Kehadiran mereka memang tak lebih dari bagian euphoria bisnis multi media global yang penuh hingar bingar, terlebih lagi pada jasa internet dan layanan multimedia. Jauh dari konsep atau keinginan untuk menghasilkan devisa sebagaimana halnya dalam perdagangan riil, karena memang falsafah dasarnya sendiri adalah “virtual business” tapi bisa menghasilkan uang. Di mana transaksi dalam B2B dan e-commerce tentu akhirnya dapat dimasukan sebagai kontributor penghasil devisa. Pemaparan aspek ini bukan untuk merendahkan peranan jasa multimedia dan konsultan TI tapi lebih difokuskan untuk mendudukan persoalan secara objektif. Bahwa multi media dan konsultan TI (terlepas itu asing atau ahli local) memang sangat dibutuhkan sekarang dan masa depan dalam pelbagai lini kehidupan, kecuali hanya oleh kalangan orang tidak waras.
Dari kaca mata sempit, sejujurnya para pemain di sektor jasa layanan multimedia saat ini harus merasa “bersyukur” karena dengan tertutupnya bisnis ini bagi pendatang baru berarti membatasi para pemain yang sudah kebanjiran. Sebab ini praktis menutup pintu bagi masuknya investor asing dalam bisnis jasa layanan multi media kecuali bagi perusahaan swasta nasional. Disisi lain penutupan ini tidak berarti para pemain yang sudah eksis sekarang ini harus berhenti, gulung tikar atau merobah struktur. Sehingga ini menimbulkan komentar yang malah cenderung berlebihan. Dengan argumentasi bahwa mereka sudah menginvestasikan dana yang sangat besar, menyerap banyak tenaga kerja dan pelopor dari kemajuan dunia TI.
Menyadari belum jelasnya aturan dan klasifikasi ranci dari Keppres 96 tersebut yang juga menutup jasa televisi berlangganan dan orbit satelit dimana semuanya membentuk jaringan bisnis dari hulu sampai ke hilir, maka pelbagai reaksi yang ada sepanjang minggu ini perlu dicermati lagi. Bahwa bukan mustahil ini merupakan “reaksi ala kadarnya” padahal sebagian diantaranya sudah tahu dan paham. Bahkan lebih celaka lagi jika ini merupakan hasil loby bisnis dari para pemain yang sudah masuk agar jasa layanan multimedia masuk DNI guna membendung masuknya perusahaan multimedia asing lain.
Alasan paling kuat adalah bahwa mereka sudah menginvestasikan dana jutaan dollar dan sebagian diantaranya bisa atau sedang memasuki masa kritis mulai dari gelombang PHK, restrukturisasi manajemen dan reposisi pasar. Akuisisi atau private placement berlansgung terus-menerus bahkan baru saja diumumkan terjadi akuisisi senilai jutaan dollar, tepat pada medio Juli saat ditandatanganinya Keppres tersebut. Dengan kebijakan ini berarti hanya ada satu jalur bagi investor asing untuk masuk ke jasa layanan multi media yakni lewat pasar modal dengan IPO perusahaan local berstatus PMDN. Semoga saja asumsi ini tidak sebagaimana yang terjadi. (*).

Bistek, 14 Agustus 2000







0 comment:

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP