Wednesday 25 March 2009

Revisi Target Pembiayaan Konsumen 2008

Ditundanya rencana penerbitan obligasi senilai Rp. 2,3 triliun oleh 4 multi finance untuk semester II tahun 2008 selanjutnya akan mempengaruhi struktur pendanaan untuk rencana ekspansi tahun 2008 sampai 2009. Penundaan ini karena investor di pasar obligasi minta bunga yang lebih tinggi dari BI rate sekaligus mengatasi laju inflasi. Kenaikan BI rate menjadi 8,5% dan laju inflasi 11,03% bulan Juni telah membawa dampak bagi perbankan dan multi finance yang terpaksa merevisi atau meninjau ulang target-target pembiayaan yamg sudah ditetapkan pada triwulan ketiga tahun 2008. Ini dari aspek pendanaan.
Sementara dari sisi permintaan atau pasar konsumen diperkirakan belum terdapat dampak negatif yang signifikan sehingga memaksa kalangan multifinance untuk merevisi target pembiayaan tahun 2008. Meskipun beberapa indikator moneter makro tidak terlalu kondusif, namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa penjualan produk-produk konsumen tetap tinggi. Sampai Juni 2008 penjualan elektronik nasional naik 22%, realisasi KPR dan KPA naik 33% sedangkan penjualan otomotif naik 34% dan kalangan produsen optimis target tahun 2008 akan tercapai. Bahkan transakai pembiayaan konsumen masih naik sekitar 31%. Dengan melihat perkembangan selama semester I 2008 memberikan optimisme kepada perbankan maupun multifinance yang menekuni pembiayaan konsumen. Perkembangan strategis selama semester pertama ini diperkirakan akan mempengaruhi proyeksi atau target-target sampai akhir 2008 yang telah ditetapkan di awal tahun.
Dari survey INBRA berjudul “Potensi dan Peluang Bisnis Pembiayaan Konsumen” bulan Juni 2008, diketahui terdapat sedikitnya 13 multifinance yang targetnya akan menyalurkan kredit pembiayaan sebesar Rp 72,4 triliun. Jajaran multifinance ini termasuk pemain-pemain utama yang menguasai pangsa pasar dengan fokus atau spesialisasi pembiayaan yang beragam. Yang terbesar adalah PT Federal International Finance (FIF) yang menguasai 7,2% pangsa pasar pembiayaan konsumen tahun 2007. Perusahaan afiliasi Astra Group ini menargetkan pembiayaan Rp 10 triliun dengan alokasi pembiayaan 89% motor baru dan 11% motor bekas, selengkapnya lihat tabel. Target Pembiayaan Multi Finance Tahun 2008
Dari survey ini, juga diketahui ada potensi pasar kredit konsumen dengan berbasiskan karyawan berpenghasilan tetap. Potensi daya beli konsumen yang berpenghasilan tetap ini mencapai Rp 50,8 triliun terdiri dari 949 ribu karyawan di seluruh Indonesia yang bekerja pada 318 perusahaan publik sampai akhir 2007. Dari kelompok ini sebesar 74% adalah kelompok karyawan yang berpenghasilan diatas Rp 4 juta per bulan dengan total penghasilan Rp 38 triliun milik 333 ribu karyawan. Lihat tabel.
Dengan adanya tekanan dari sisi permintaan atau pasar dan dari sisi pendanaan jelas akan mendorong multifinance untuk meninjau kembali target dan strategi bisnisnya sepanjang semester II tahun 2008. Salah satu contoh multifinance besar yang menunda penerbitan obligasinya adalah PT Wahana Ottomitra Multi Artha (WOM) dengan nilai emisi sebesar Rp 1 triliun. Afiliasi BII ini tidak terlalu bermasalah dalam pendanaannya dengan fokus pembiayaan yang 70% untuk kredit motor baru dan 30% untuk motor bekas. Karena pada beberapa hal permintaan masih baik.
Komitmen Bank Indonesia untuk terus menjaga agar NPL gross dibawah 4% dan netto dibawah 2% sepanjang semester II tahun 2008 (10 Juli 2008) yang disertai peringatan dini agar perbankan menjaga kualitas kreditnya perlu dicermati agar balon yang sudah ditiup jangan sampai kempes atau malah meledak.
Memang dampak langsung baru terlihat pada satu semester kemudian. Sebagaimana dampak ketika terjadi kenaikan harga BBM tahun 2005 dimana nominal kredit konsumsi oleh perbankan tidak menurun kecuali pertumbuhannya yang menurun, dimana hanya tumbuh 9,7% tahun 2006 sedangkan tahun 2005 tumbuh 36,4%. Setelah mengalami penurunan tahun 2006, maka sampai triwulan pertama 2007 kredit mulai pulih dan tumbuh menjadi 45,2% (Rp 231 triliun Maret 2007). Dengan rincian untuk konsumsi real estate (untuk KPR dan KPA) nominal kredit konsumsi masih bertambah Rp 12 triliun dari Rp 21,5 triliun (Desember 2005) menjadi Rp 33,2 triliun (Desember 2006). Demikian juga dengan permintaan kredit untuk ruko dan rukan pada periode yang sama naik dari Rp 157 triliun menjadi Rp 162 triliun. Secara implisit menunjukkan meskipun menurun tapi animo masyarakat untuk menarik kredit konsumen tetap ada dan meningkat. Bahkan selama semester pertama tahun 2006 disalurkan Rp. 23 triliun kredit konsumsi atau naik 10,1% dibandingkan Desember 2005.
Dari pengalaman tahun 2005 dan perkembangan terkini maka selayaknya perbankan dan multifinance mengambil sikap yang lebih hati-hati dalam hal penyaluran kredit konsumsi yang baru, sehingga tidak harus terjebak pada pencapaian target kuantitatif. Oleh sebab itu merevisi target yang telah ditetapkan pada awal tahun 2008 atau triwulan terakhir 2007 bukanlah sebuah noda tak berampun. Karena bagi beberapa perusahaan tanpa direvisipun mungkin targetnya tidak akan tercapai. -*- Agustus 2008,Investor Daily

Read more...

Tuesday 24 March 2009

Anatomi dan Anomali Dana – Kredit Perbankan

Mengamati perbankan arus dana dan kredit perbankan selama semester pertama 2004 menunjukkan bahwa hubungan bank dengan dunia usaha dan induvidu berada dalam sebuah siklus yang menarik sehingga membentuk anatomi yang disertai anomaly (penyimpangan atau keganjilan). Posisi ini diperoleh jika kita melihat potret pergerakan perbankan dari Januari sampai Juni 2004 yang tentu saja bisa memberikan warna lain di masa depan. Sehubungan dengan itu berikut kita mendalami dua aspek penting dalam anatomi perbankan yakni anamoly arus kredit perbankan dan anomaly arus dana, yang jika tidak ditata secara baik bisa menciptakan anatomi bencana bagi perbankan khususnya. Pendekatan ini tidak lepas dari pelbagai keluhan yang sudah menjadi rahasia umum dalam hubungan segitiga antara bank, dunia usaha dan individu dimana pelbagai solusi yang diterapkan belum mencapai hasil maksimal.

Anomali Dana Masyarakat
Dari perlombaan menghimpun dana masyarakat yang sudah memasuki perang sengit dengan aneka hadiah langsung telah mewarnai peta pendanaan perbankan nasional. Selama 6 bulan pertama 2004 ini ternyata dana pihak ketiga yang berhasil diserap oleh bank bertambah Rp 12,7 triliun sehingga menjadi Rp 902 triliun. Dilihat dari pemiliknya maka 60% milik deposan individu senilai Rp 542 triliun atau bertambah Rp 9 triliun selama 6 bulan pertama 2004. Peningkatan dana milik individu tersebut akan menguasai 70% dari total dana pihak ketiga yang masuk ke sistim perbankan untuk kemudian dijual kembali ke dunia usaha. Lihat tabel.
Sebaliknya deposan lainnya menyusut Rp 1 triliun. Sehingga total dana milik deposan perorangan di Indonesia mencapai Rp 542 triliun atau hampir setengahnya PDB dan 60% total dana public di perbankan. Secara eksplisit ini menunjukkan bahwa individu – individu kaya di Indonesia bertambah dan peranannya semakin dalam perputaran arus dana di masyarakat. Lima tahun lalu (1999) uang deposan individu menguasai 56% total dana di perbankan dan tahun 2004 (Juni) malah sudah mencapai 60%.

Fakta ini menunjukkan bahwa pengusaha atau individu atau deposan di Indonesia punya dana yang cukup besar, namun untuk pengembangan pelbagai jenis usaha tentu lebih aman dan menarik menggunakan kredit bank yang sudah relative murah selama ini. Sehingga ketika simpanan hartanya di bank terus bertambah Rp 9 triliun mereka juga menarik kredit hampir 2,5 kali lipat menjadi Rp 24,3 triliun. Dengan gabungan dana tersebut maka individu kaya di Indonesia bertindak dan memainkan peranan dua muka yakni sebagai deposan (bahkan ibarat kreditur) sekaligus menjadi debitur perbankan nasional.
Kemana mereka ini menyimpan dananya?. Ternyata sebagian terbesar dilarikan ke tabungan yang memang paling gencar menjanjikan ribuan paket hadiah yang sangat menggiurkan, dan langkah ini praktis menurunkan alokasi ke deposito. Saldo dana milik deposan individu sebesar Rp 9 triliun berasal dari tersebut berasal dari dana masyarakat yang berduyun – duyun masuk ke tabungan, sementara deposito menyusut Rp 11,6 triliun. Sebuah perubahan yang sangat signifikan dan ini tidak lepas kerja internal perbankan (pemasaran dan pelayanan) dan pengaruh suku bunga. Tidak mudah untuk mencari tahu dari mana asal usul dana tersebut apalagi sampai saat ini masih menjadi perdebatan sengit antara Depkeu khususnya Ditjen Pajak dengan Bank Indonesia yang membawahi bank pelaksana untuk mendapatkan hal akses data deposan.

Anomali Kredit
Adalah sebuah fakta yang tak terbantahkan bahwa penyaluran kredit oleh perbankan terus meningkat sampai Juni 2004 mencapai Rp 486 triliun, sehingga diklaim oleh pelbagai pihak sebagai prestasi dan dijadikan indicator bahwa bank sudah bergerak. Bahkan antara 1999 sampai 2003 penambahan kredit baru per tahun berkisar antara Rp 47 triliun sampai Rp 72 triliun. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah kemana kredit tersebut disalurkan dan bagaimana nasib kredit tersebut setelah dikucurkan ke dunia usaha?.
Kita lihat siapa debitur yang bernasib baik dan bisa memperoleh kredit puluhan triliun tersebut ditengah suku bunga yang masih dianggap tinggi dan masih terus menerus menunggu sampai mencapai titik nadir terendah. Jika kita fokuskan pada perkembangan terbaru selama semester pertama 2004, maka dari Rp 48 triliun kredit yang dikucurkan bank ternyata hanya 40,3% (sebesar Rp 19,4 triliun) yang diserap oleh dunia usaha khususnya dari perusahaan swasta. Dengan demikian catatan secara rill hanya kredit sebesar itulah yang bisa dijadikan modal (utama) dalam menggerakan roda sector rill melalui deru mesin dan cerobong asap pabrik termasuk lalu lintas produksi dan pemasaran. Dengan catatan bahwa tidak semuanya sudah masuk ke sistim produksi dan bergerak karena tidak sedikit yang gagal, fiktif atau salah arah. Bayangkan saja jika ada 3 kasus penyaluran mega kredit (sekelas Gramerindo grup di BNI di tahun 2003) berati tidak kurang Rp 3 triliun kredit akan bernasib macet dan gagal. Padahal sepanjang tahun 2003, jajaran perusahaan swasta berhasil menyerap kredit baru Rp 26 triliun.
Lalu kemana kredit yang lainnya disalurkan? Ternyata sisanya 50,5% disalurkan kepada debitur perorangan atau individu yang mencapai Rp 24,3 triliun. Dengan penambahan ini maka per Juni 2004 jumlah kredit yang sudah diserap oleh debitur perorangan mencapai Rp 197 triliun, atau setara 17,5% PDB (sementara) per Juni 2004. selanjutnya sisa 9,1% diserap oleh pelbagai pihak terutama oleh BUMN, lembaga pemerintah dan pemda.
Dari fakta ini maka kita bisa memahami lebih jauh tentang seberapa besarnya alokasi kredit ke dunia usaha yang diserap sekaligus menjadi kilas balik dan instrospeksi bagi perbankan apakah arah penyaluran kredit sudah mencapai sasarn yang tepat dan sesuai yang diharapkan. Ringkas kata bahwa penyaluran kredit memang terus menerus meningkat tapi tidak semuanya disalurkan ke dunia usaha (perusahaan swasta), justru debitur individu yang mendapat kredit lebih besar (50,5%). Pernyataan selanjutnya siapa sih debitur individu atau perorangan yang selama bulan pertama tahun 2004 ini dipercaya dan sanggup menyerap kredit Rp 24,3 triliun dan bagaimana kredit tersebut dikelola sehingga nilai tambah.
Secara umum, angka ini memnag bisa menimbulkan pelbagai tafsir oleh pelbagai pihak di luar perbankan apalagi jika komposisi riilnya disembunyikan rapat – rapat dalam pagar rahasia, meskipun dipahami bahwa informasi debitur tidak wajib dirahasiakan sebagaimana halnya informasi deposan. Debitur individu ini bisa saja berasal dari pengusaha kecil menengah yang tidak atau belum memiliki kelengkapan administrasi sehingga mengajukan kredit atas nama pribadi sebagai pengusaha kecil. Sesuai aturan BI (PBI No. 3 tanggal 4 Januari 2001) ditetapkan bahwa untuk plafond kredit maksimum Rp 500 juta digolongkan sebagai KUK. Artinya tidak menutup kemungkinan debitur individu ini adalah pengusaha kecil yang ingin mengembangkan usahanya berbagai sektor sehingga membutuhkan kredit perbankan. Jika, dan sekali lagi jika fenomena ini benar maka kita patut berbangga bahwa wiraswastawan individu di Indonesia semakin banyak dan tumbuh subur. Artinya perbankan telah sukses menyalurkan kredit ke pengusaha kecil menengah di berbagai sektor dan skala usaha.
Tapi apakah betul UKM penerima KUK kita sudah mencatat prestasi demikian menggembirakan. Ternyata tidak demikian adanya. Karena disisi lain terdapat perkembangan aneh dan tragis bahwa kredit KUK selama periode yang sama justru menurun Rp 4 triliun dari Rp 74 triliun. Penurunan terbesar justru terjadi di lingkungan bank pemerintah yang menurun Rp 6,5 triliun dan selama ini menjadi motor penggerak dan mengkontribusi setengah KUK nasional. Ini terjadi justru ditengah promosi dan gembar-gembor luar biasa dari sebagian besar bank papan atas bahwa KUK adalah fokus pembiayaan mereka dan mempertegas UKM sebagai tumpuan masa depan. Tapi fakta bicara lain. Menurutnya KUK bisa disebabkan oleh berbagai faktor misalnya write off, pelunasan hutang (karena relatif lebih displin dan patuh, katanya), dan menurunnya permintaan kredit baru. Kondisi – kondisi ini melahirkan sebuah anomaly kredit, dimana di satu sisi kredit individu bertambah Rp 24,3 triliun sementara alokasi KUK turun Rp 4 triliun.
Oleh sebab itu keputusan Menteri Keuangan (KMK No. 461/tanggal 9 Oktober 2004) yang memberikan diskon (35%-50%) atas hutang pokok debitur UKM yang pinjamannya berkisar antara Rp 5 miliar sampai Rp 10 miliar, memiliki relevansi yang cukup luas. Karena klasifikasi UKM yang sempat “nongkrong” di PPA (eks BPPN) ini juga perlu diperjelas sehingga tidak rancu dan menjadi kuda tunggangan bagi pihak yang tidak selayaknya mendapatkan fasilitas tersebut. Menurut versi BI pinjaman antara Rp 0,5 miliar sampai Rp 5 miliar tergolong kredit menengah. Sementara untuk mendalami dan menelusuri tentang “who and who” UKM kelas puluhan miliar tersebut bisa dijalankan dengan cepat, transparan, guna menjustifikasi layak mendapat fasilitas tersebut atau tidak. Ini tentu memiliki keterkaitan dengan kebijakan di beberapa bank yang memberikan hak kepada anggota direksi dan komisaris untuk memutuskan write off bagi debitur tertentu dengan plafond pinjaman maksimal Rp 5 miliar. Ini merupakan tugas dan hak yang bisa membawa berkah sekaligus bencana bagi sang banker. Diperkirakan sekitar Rp 12 triliun hutang milik UKM yang berpeluang direstrukturisasi dengan jurus ampuh tersebut dan sayangnya ini dikeluarkan pada minggu terakhir kabinet gotong royong.
Selanjutnya, jika debitur individu tidak mewakili persis seratus persen KUK maka yang perlu ditelusuri adalah kemana kredit dialokasikan?. Salah satu saluran yang potensial adalah dipergunakan untuk kredit konsumsi dan kredit property dalam berbagai bentuk mulai dari kredit pemilikan rumah, apartment, mobil, dan kebutuhan lainnya. Selama periode yang sama permintaan untuk kredit property dan kredit konsumsi bertambah Rp 19,8 triliun atau menyerap 41% dari total kredit baru. Terutama kredit konsumsi Rp 10,3 triliun disusul oleh KPR dan KPA Rp 4,3 triliun kredit kepada debitur individu dengan lonjakan hampir Rp 20 triliun kredit ke property dan konsumsi. Sebagai perbandingan nilai pembiayaan kredit konsumen oleh perusahaan multifinance bertambah Rp 7 triliun sepanjang tahun 2003 dan tahun 2004 dan 2005 akan naik pesat khususnya oleh 5 raksasa multifinance.
Anomaly lain yang muncul terkait dengan kredit adalah un-disbursed loan atau kredit yang sudah disetujui bank tapi belum dimanfaatkan oleh debitur. Ketika INBRA merilis hasil penelitian bulan Juli 2003 tercatat bahwa un-disbursed loan milik 10 bank rekap per Desember 2002 baru mencapai Rp 42,3 triliun atau 72,9% dari total kredit yang sudah disalurkan. Ternyata 18 bulan kemudian (per Juni 2004) jumlah un-disbursed loan sudah meningkat 50% menjadi Rp 64,4 triliun. Dengan rincian tiga besar yakni Bank Mandiri bertambah Rp 8,2 triliun, BCA bertambah Rp 4,5 triliun dan BNI bertambah Rp 3,7 triliun. Gabungan 10 bank papan ini menguasai setengah dari total kredit mubazir yang mencapai Rp 127 triliun. Sepanjang semester pertama tahun 2004 jumlah undisbursed loan naik Rp 24,6 triliun. Naiknya undisbursed loan merupakan beban bagi perbankan karena dana yang sudah dibeli (ditarik) dari masyarakat tidak bisa dijual kembali semuanya. Sehingga masih mengendap dan terpaksa dibeli ke instrument moneter terutama SBI per Agustus 2004 mencapai Rp 112 triliun.
Sebagai penutup ingin digarisbawahi dan disimpulkan beberapa hal terkait.
perlu dimaklumi bahwa dari total kredit yang disalurkan perbankan hanya 40% yang diserap oleh dunia usaha khususnya perusahaan swasta yang menjadi motor penggerak ekonomi nasional. Justru alokasi terbesar (50%) diberikan kepada debitur individu yang menjadi deposan utama karena memiliki 60% dari total dana diperbankan. Ini salah satu anomaly yang masih mewarnai anatomi perbankan nasional.
bahwa penyimpangan dan belum terarahnya penyaluran kep sektor rill sebagaimana yang diharapkan jelas bukan kesalahan perbankan semata. Tapi mereka juga terkendala oleh faktor eksternal yang justru ikut menentukan kesuksesan dan kelangsungan kredit sang debitur.
meski suku bunga untuk kredit modal kerja dan kredit investasi sudah turun rata – rata berkisar 14% (Juni 2004) tidak praktis menarik calon debitur untuk menggunakan kredit tersebut karena suku bunga bukan satu – satunya indikator utama. Padahal setelah dipotong dengan rata – rata suku bunga deposito 1 tahun (sekitar 7%) maka beban investasi rill hanya 7%.
besarnya peranan dan eksistensi deposan maupun debitur individu dalam peta perbankan nasional juga berpotensi melahirkan bencana yang bersifat sistemik. Artinya kalau dulu kredit macet karena perilaku puluhan konglomerat maka sekarang kredit macet karena jutaan konsumen. Apalagi jika mayoritas debitur individu tersebut menggunakan pinjaman bank untuk investasi ke sektor konsumsi dan property yang akan memasuki titik klimaks. Dengan menarik KPA/KPR (pada contoh kasus developer dengan bank tertentu minggu lalu) sebesar Rp 1 miliar bunga 0% tahun pertama dan selanjutnya floating maka deposan kelas milyaran rupiah akan tertarik untuk memborong sekaligus property untuk investasi. Disisi lain developer sudah mengambil uang muka yang jumlahnya ratusan miliar bahkan ada yang setara tigaperempat total salesnya.
gebyar pengembangan dan fokus ke UKM tidak semuanya didukung dan terealisir sesuai target. Malahan jumlah KUK menyusut sementara kredit baru bertambah yang justru diserap oleh debitur yang penggunaan kreditnya sangat bervariasi. (*). Warta Ekonomi, 10 November 2004

Read more...

Monday 23 March 2009

Anti-Dumping, Kepentingan Nasional VS Dagang Global

Dari berbagai kasus sengketa dagang antar negara maju dan berkembang menunjukkan globalisasi perdagangna dunia tidak serta merta selalu membuat setiap negara menempatkan kepentingan global diatas kepentingan nasional mereka.
Bahkan demi kepentingan nasional maka negara (baca: pemerintah) sebagai pengawal kepentingan perusahaan nasional tersebut melibatkan diri dalam menyelesaikan sengketa bisnis dengan pihak asing.
Oleh sebab itu adalah salah besar dan menjadi kebablasan jika kita tidak berani bersikap tegas atas dasar kebenaran dlam menghadapi mitra dagang asing hanya karena takut dituduh proteksi, anti perdagangan liberal dengan ancaman akan dikucilkan pasar internasional.
Padahal kita tidak buta melihat bahwa negara maju pun tidak tanggung – tanggung membela kepentingan industri nasionalnya, dengan berbagai argumentasi. Perilaku protektif masih menjadi jurus konvensional yang laris bahkan dilakukan oleh AS dan EU yang justru dianggap kampiun liberalisasi perdagangan dunia.
Menjelang ganti bajunya GATT menjadi WTO di Marrakesh tahun 1994 ramai sindiran bahwa GATT adalah general agreement of talk and talk.
Karena selama setengah abad tidak banyak hasil positif yang ditelurkan guna mengembangkan perdagangan dunia.
Kini belum genap satu dekade WTO juga dimulai mendapatkan kritikan pedas setidaknya bermula dari demo di Seatle.
Negara berkembang dan bahkan sebagian unsur di negara maju sendiri memprotes kebijkan WTO dijuluki sebagai world of talk only.
AS secara tak langsung mengeluh bahwa pasar ekspor mereka mengalami kendala di pasar luar negeri. Laporan dari USTR (April 2001) mengungkapkan hampir 60 negara termasuk 15 negara anggota EU dan 6 negara Teluk masih memiliki dan memberlakukan proteksi dagang terhadap negara luar.
Yang jelas USTR (United State Trade Representative) tidak mengungkapkan berapa banyak kebijakan protektif yang diambil alih AS guna melindungi industri nasional mereka.
Pembatasan akses pasar dengan berbagai argumentasi dan jenis perlakuan tersebut menyulitkan negara berkembang menerobos pasar domestik mereka. Dalam konperensi World Bank (Mei 2001) di Brussel diungkapkan setiap negara tahun negara miskin rugi US$ 2,5 miliar akibat pembatasan pasar ekspor oleh negara – negara maju.
Yang paling ketat adalah AS sehingga menciptakan neraca di mana untuk setiap US$1 bantuan AS yang diterima Afghanistan maka mereka kehilangan US$7 akibat pembatasan ekspor tekstil dan garmen oleh AS. Ini termasuk dampak lanjutannya sehingga terjadi pengurangan order, penutupan pabrik dan pengangguran.
Demikian juga di EU. Bulan Oktober 2001 Pascal Lumy, trade commissioner EU, mempopulerkan program EBA (everything but arm) yang intinya EU membuka akses pasar seluas – luasnya kepada produk negara miskin untuk masuk ke pasar, kecuali yang diharamkan, yakni dagang senjata. Tapi langkah positif dari aspek perdagangan global ini tidak mendapat dukungan bahkan tantangan dari para anggota EU maupun asosiasi pengusaha seperti National Farmer Union dan British Sugar. Mereka menolak karena takut kepentingan bisnisnya mereka kalah bersaing dan hancur akibat serbuan produk impor (ekspor oleh negara berkembang). Mereka hanya setuju dengan catatan jika everything but Arm dirubah menjadi everything but Farm (boleh ekspor apa saja kecuali pertanian – agribisnis).

Kasus di Haiti
Lain lagi contoh kasus di Haiti. Negeri ini sangat agresif membuka pasar lokalnya dengan mencabut berbagai kendala impor sejak awal 90-an khususnya di bidang makanan dan agribisnis.
Akibatnya banjir barang impor dari AS yang pelan tapi pasti menghancurkan industri lokal dan industri rumah tangga mereka. Akibatnya posisi Haiti bergeser dari negara swasembada pangan menjadi negara yang tergantung pada impor dan bahkan produk impor sudah menguasai setengah dari konsumsi nasionalnya.
Ironisnya adalah negara maju di kawasan Utara terus – menerus mendorong liberalisasi sementara mereka sendiri (negara kawasan Utara) malah asyik mensubsidi produsen mereka hampir US$1 miliar per hari.
Kasus lainnya adalah penelitian dumping atas impor baja oleh produsen asing ke pasar AS. Perintah yang diamanatkan langsung oleh George Bush ini sangat baik dilihat dari kacamata kepentingan AS karena dumping akan merusak industri baja mereka. Apalagi eksekutif dan serikat buruh pabrik baja sudah mengeluh dampak negatif baja impor.
Langkah ini mendapat dukungan sangat solid karena Alcoa (produsen almunium kedua terbesar dunia setelah Nippon Steel dan terbesar di AS beromzet US$ 16 miliar menyerap 107.000 karyawan) juga mengalami kondisi serupa.
Sangat kebetulan chairman Alcoa Paul O’Neill adalah menteri keuangan kabinet Bush saat ini. Klop sudah pertemuan “kebetulan” antara politisi dan pengusaha yang bersatu padu mempertahankan industri nasional. Membisniskan poltik dan mempolitikan bisnis.
Akibat kebijakan tersebut EU justru pusing tujuh keliling karena mereka yakin jika AS membatasi impor baja maka produsen baja EU akan terpukul dan bahkan produsen baja lain akan menyerbu pasar EU.
Oleh sebab itu Pascal Lumy sempat sewot dan menyatakan this bad news and the cost of restructuring in the US steel sector should not be shifted onto the rest of the world.
Sementara Jepang hanya bilang apappun keputusan AS diharapkan itu tetap sejalan dengan aturan main WTO.
Gesekan strategis seperti ini tidak heran jika berdampak bagi produsen baja luar negeri termasuk dari Indonesia, sehingga tidak luput dari tuduhan dumping dan terkena BMAD di negara luar.
Berbagai contoh ini menyiratkan bahwa adalah kewajiban negara untuk melindungi kepentingan industri nasionalnya secara benar demi menghadapai persaingan luar negeri, termasuk juga menjaga tercipatanya persaingan bisnis yang sehat di pasar domestik dari serbuan produk impor khususnya yang melakukan perdagangan tidak fair.
Perilaku bisnis curang yang menjadi kendala ini sangat beragam mulai dari kendala tarif, non tarif, sertifikasi, subsidi ekspor sampai ke anti dumping dan lingkungan.
Tapi kita juga tidak bisa menerapkan serta merta tanpa toleransi. Karena negara lain khususnya negara maju justru masih sibuk dan tetap ngotot melindungi industri nasional mereka dengan pelbagai alasan dan kriteria.
Sehingga jika tidak hati – hati kita bisa menjadi Haiti kedua yang berubah status dari swasembada menjadi pengimpor nomor wahid untuk semua produk industri. Populer dan bagus dimata perdagangan internasional (apalagi importir dan produsen asing) tapi industri lokalnya hancur lebur.

Kasus terigu
Salah satu contoh yang menarik untuk kasus di Indonesia adalah usulan pengenaan bea masuk antidumping (BMAD) yang diajukan asosiasi tepung terigu nasional (Aptindo) terhadap impor tepung terigu dari Australia, UE dan Uni Emirat Arab.
Setelah KADI (Komite Anti Dumping Indonesia) melakukan investigasi sampai selesai September 2001 terdapat bukti kuat bahwa impor tepung terigu dari 3 negara terbukti dumping dan perlu dikenakan BMAD antara 5,9% sampai 35,9%.
Sejak impor tepung terigu dikenakan bea masuk 0% (tahun 1998) pangsa pasar terigu impor meningkat dari 2% tahun 1998 menjadi 15% tahun 2000 dari total konsumsi nasional 3 juta ton.
Tahun 1999 impornya mencapai US$ 18 juta dari volume atau hampir satu juta ton. Pengajuan oleh BMAD sudah disertai bukti kuat dumping ini hanya dikenakan kepada importir dari 3 negara tersebut diatas.
Sehingga importir dari 36 negara lainnya tidak melakukan dumping bisa masuk dengan normal dan tidak dikenakan BMAD. Namun usulan ini belum mendapat persetujuan pemerintah untuk dilanjutkan atau tidak karena berbagai alasan.
Jika kepentingan industri nasional adalah kepentingan negara secara menyeluruh maka sudah pada tempatnya pemerintah melakukan BMAD secara selektif tersebut.
Pengenaan BMAD selektif ini sangat tepat karena memberikan pelajaran kepada perusahaan asing untuk tidak main – main. Selain itu BMAD tidak bisa dibaca sebagai tindakan protektif karena pemasok lain yang tidak melakukan dumping tidak dikenakan BMAD, sehingga cukup fair dan adil.
Berangkat dari kondisi ada beberapa hal yang dapat disimpulkan. Bahwa pengenaan BMAD terhadap tepung terigu impor selayaknya disetujui oleh pemerintah dengan alasan untuk melindungi kepentingan industri nasional dan memberi sanksi kepada perusahaan yang tidak mengikuti aturan persaingan bisnis yang sehat.
Konsistensi melindungi kepentingan industri nasional jangan dilihat dari kacamata sempit pada aspek kepemilikan. Jika kita melihat pada aspek pemilikan oleh pihak tertentu maka kita perlu melihat bagaimana sikap pemerintah dalam pengenaan BMAD atas produk lain dengan pemilik berbeda.
Ringkas kata jika Salim Grup sebagai pemain maka dibiarkan saja sebaliknya jika tidak bukan Salim Grup maka harus dibantu all out.
Jika ini pendekatan yang dipergunakan, maka strategi pengembangannya adalah bukan mengembangkan industri nasional secara menyeluruh tapi mengembangkan industri nasional dengan melihat kepentingan siapa pemiliknya.
Jika ingin menciptakan iklim persaingan bisnis yang sehat maka lebih tepat jika KPPU (Komisi Pegawas persaingan Usaha) yang memantau anatomi industri tepung terigu ini, misalnya dari aspek penguasaan pasar.
Ringkas kata membela kepentingan industri nasional jangan mudah terjebak pada aspek subjektif dalam negeri dan juga tidak bisa terlena mengikuti slogan liberalisasi agar dianggap sopan dalam tata krama perdagangan internasional.
Negara majupun tidak malu – malu memproteksi industri nasionalnya sejauh itu memungkinkan (ada saja alasannya), sementara kita merasa hebat dan yakin bisa bersaing habis – habisan di pentas global. (*)Kompas, 24 Maret 2002

Read more...

Saturday 21 March 2009

Raksasa Semen Asing Mulai Unjuk Gigi


Rencana pemerintah Indonesia (1 April 2002) menggugat pemerintah Filipina ke WTO karena memberlakukan safeguard atas produk semen dari Indonesia pada intinya bukanlah permasalahan antara pemerintah dengan pemerintah (G to G). Tapi itu lebih merupakan dampak dari persaingan bisnis antara multi nasional (MNC) di industri semen Indonesia dan Filipina. Apalagi pasarnya tidak lagi didominasi para produsen lokal tapi sudah dikuasai oleh produsen asing dengan pelbagai metode baik pra maupun pasca krisis ekonomi. Sehingga persaingan antar MNC dalam merebut dan menguasai pasar akhirnya memaksa kedua pemerintah untuk menyelesaikannya karena pertimbangan kepentingan nasional. Padahal jika ditilik lebih mendalam kepentingan nasional hanya sebatas papan nama karena isi sebenarnya adalah kepentingan bisnis MNC di industri semen kedua negara. Alangkah dahsyat dan ironisnya nasib negara berkembang di bawah kepungan MNC.
Dalam konteks inilah kita perlu mendalami bagaimana posisi produsen semen raksasa mulai memainkan peranan sesungguhnya sebagai mesin ekonomi yang wajar dan universal. Sehingga akan menjawab kapan para produsen semen asing di Indonesia mulai menunjukkan sifat yang sesungguhnya, mulai kelihatan belangnya dalam menjalankan strategis bisnis.
Munculnya bibit – bibit perang bisnis ini mengingatkan saya akan diskusi pada makan siang dengan salah satu analis dari Cemex di Shangrila Hotel, 24 September 1998, tepat setahun setelah Cemex masuk ke semen Gresik, dan tiga hari setelah Salim Grup menandatangani MSAA (21 September) yang mewajibkan Salim melunasi utang BLBI Rp 52 triliun (termasuk bunga sekitar 68%) dengan menyerahkan 108 unit usahanya di pelbagai sektor. Minggu itu juga Paris Club I ditandatangani. Sementara salah satu topik di masyarakat bisnis ibukota adalah bakal masuknya Heilderberger ke Indocement (yang direalisir resmi setahun kemudian, Oktober 1999). Sehingga pada masa – masa itulah skenario masa depan industri semen Indonesia (dan industri nasional pada umumnya) mulai di setting secara halus, terarah dan rapi dalam sebuah grand design berskala global.
Salah satu inti diskusi adalah bahwa mereka sangat optimis akan prospek bisnis semen di Indonesia yang bisa menjadi basis industri untuk menguasai pasar regional. Oleh sebab itu perlu dijadikan basis investasi (harga tak jadi masalah) guna merebut captive market yang sudah by design. Meski belum diutarakan secara jelas, tampak bahwa mereka sepaham masuknya raksasa semen asing di industri semen nasional bukan merupakan ancaman bagi mereka. Karena sudah merupakan komitmen umum diantara para MNC global sejenis untuk membagi pasar atau marketing zone sesuai komitmen demi keuntungan bersama. Pesaing sekaligus mitra bisnis.
Lalu apa kaitannya dengan kondisi sekarang. Salah satu yang sudah menjadi fakta adalah bahwa pembatasan impor semen dari Indonesia oleh Philipina yang berpotensi memicu perang dagang akhirnya melibatkan negara, padahal salah satu penyebab adalah perang bisnis antar MNC dalam memperebutkan pasar. Sebagaimana diketahui bahwa industri dan pasar semen Asean dan Asia tidak lepas dari peranan the big three yakni Holdersbank, Cemex dan Heilderberger. Dengan mengakuisisi pelbagai perusahaan semen yang terkena krisis di Asia akhirnya mereka mulai menancapkan kuku bisnisnya di wilayah potensial ini (hot growth areal).
Dengan demikian pasca dominasi asing di industri semen nasional maka salah satu trend utama yang bakal muncul adalah meningkatnya ekspor (yang pasti akan didengungkan sebagai prestasi besar dalam menghasilkan devisa). Trend ekspor ini akan meningkat terus karena didukung mulusnya jaringan pemasaran antar afiliasi perusahaan tersebut. Untuk jangka panjang praktek ini bisa berpotensi mnjadi kelangkaan semen di pasar domestik. Jika kondisi ini terjadi maka impor akan menyerbu ke pasar domestik yang pada akhirnya akan dipasok oleh afiliasi produsen luar negeri tersebut yang notabene adalah afiliasi mereka sendiri. Skenario ini tentu akan dengan mudah mengatur harga pasar regional dan nasional secara bersamaan.
Untuk meningkatkan rasio ekspor (agar tampak sukses marketing-nya) maka tidak menutup kemungkinan penjualan ekspor antar afiliasi dari jaringan MNC global tersebut menggunakan harga yang disepakati. Agar tidak terjebak pada definisi apakah itu masuk dalam kartel harga, kartel pemasaran atau kartel – kartel lainnya maka inilah salah satu aspek teknis yang bisa mereka jalankan. Dimana harga ekspor oleh produsen semen di Indonesia akan dijual relatif lebih murah kepada para afiliasi mereka di luar negeri (sebagai importir) dibandingkan dengan yang lainnya. Dengan penjualan lebih murah maka akan mendapatkan keuntungan lebih awal yang dikantongi oleh afiliasi mereka. Sementara afiliasi mereka di Indonesia justru kehilangan “potential gain” yang jika dilakukan dengan transaksi murni akan menguntungkan pemegang saham lainnya (yakni, pemerintah, pengusaha Indonesia dan investor publik pemegang saham).
Artinya jika harga semen biasanya bisa dijual dengan harga US$ 100 maka sekarang tidak menutup kemungkinan untuk dijual dengan harga lebih rendah misalnya US$ 75. Dus, afiliasi sudah dapat untung duluan sementara pemegang saham lain akan dapat untung (rugi) belakangan. Praktek markdown sebagai bagian dari jurus transfer pricing merupakan kisah klasik yang sama usianya dengan berkembangbiaknya MNC di seluruh dunia. Sebuah jurus bisnis yang tidak membutuhkan ilmu khusus tapi cukup dari nalar dan pikiran bisnis yang biasa – biasa saja. Oleh sebab itu praktek – praktek seperti ini tidak menutup kemungkinan diterapkan juga oleh para raksasa semen asing di Indonesia. Misalnya Heilderberger dengan Indocementnya, Holdersbank dengan Semen Cibinongnya, atau Cemex dengan Semen Gresiknya.
Tidak mudah bagi pihak luar untuk membuktikan apakah mereka sudah menjual ke pasar luar negeri dengan harga yang lebih murah dibandingkan pasar domestik atau internasional. Jika itu semua bisa dibuktikan maka bisa menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah bertindak pro-aktif yakni menuntut mereka agar menjalankan praktek bisnis yang baik (fair trade practice). Karena selain bisa dituduh markdown, membentuk kartel harga dan marketing zone mereka juga bisa dituntut ke WTO karena berpotensi melakukan dumping. Lebih jauh lagi bisa menuntut ke pemrintah masing – masing MNC karena melanggar etika bisnis dalam WTO apalagi jika negaranya sudah memiliki aturan yang mengatur praktek bisnis sehat bagi perusahaan mereka yang beroperasi di luar negeri seperti AS. Praktek ini tidak hanya di industri semen tapi bisa berlaku di seluruh sektor industri semen dalam pelbagai bentuk dan pola. Dengan demikian ini akan menjadi PR baru yang lebih menantang bagi KPPU agar lebih proaktif dan jangan sebatas menangani “selingkuh bisnis” antara pemerintah dengan ekskonglomerat saja.
Dengan demikian kita tinggal menunggu waktu untuk melihat secara jelas, faktual dan objektif (bulan asal tuduh) kapan dan bagaimana para MNC ini akan kelihatan belangnya dalam menjalankan praktek bisnis yang miring. Analisis singkat ini hanya melihat dari cakrawala fenomena global yang pasti merembes ke Indonesia. Meski demikian perlu dipahami bahwa ini bukan mengarah pada posisi chauvinisme sempit atau xenophobia (anti asing) karena tidak zamannya lagi kita menggunakan konsep pemikiran demikian, terlepas suka atau tidak suka. Yang menjadi masalah adalah bagaimana mendayagunakan asing bagi kepentingan nasional dan menjaga mereka menjalankan bisnis sesuai aturan di mana mereka berada (bukan dari mana mereka).
Dalam konteks dan posisi kecil apapun maka nasionalisme harus tetap dipertahankan asal jangan disalahtafsirkan dan disalahgunakan. Mulai dan semakin dominannya asing di pentas bisnis nasional adalah sebuah fakta yang harus diterima. Jika dulu konglomerat yang dituduh menguasai dan menyetel industri nasional maka sekarang giliran asing yang menyetel industri nasional. Ringkas kata “hilang konglomerat yang muncul MNC dan ekspartriat” yang anehnya lagi oleh sebagian orang justru disambut positif berlebihan dengan “red carpet” sekalian dengan “red tape” yang tidak mudah dikikis. (*) Prospektif, 14 Januari 2002

Read more...

Friday 20 March 2009

Swastanisasi Terjebak Dikotomi IPO dan Investor Strategis

Berkaca dari “sengketa bisnis” pada Semen Gresik Grup (SGG), yakni pro-kontra pemisahan anak perusahaan (spin-off) dan penjualan lanjutan sesuai hak opsi (putoption) yang belum juga tuntas, bahkan bisa berkepanjangan, merupakan akses lain dari program swastanisasi yang memang sudah banyak menyimpang dari tujuan semula. Terlalu banyak dibebani misi dan kepentingan. Mulai dari pemerintah, DPR, BUMN sendiri dan pelbagai pihak yang merasa relevan dan punya kepentingan. Akibatnya, muncul dengan pendekatan nasionalisme, otonomi daerah, transparansi, globalisasi, antimonopoli, dan sebagainya.
Sengketa bisnis ini hanyalah puncak dari gunung es swastanisasi BUMN yang berpotensi disusul oleh pelbagai kasus lain yang bakal mencuat. Akan tetapi, kali ini kita tidak menfokuskan pada sengketa SGG, tetapi mengkaji bagaimana perkembangan swastanisasi nasional selama tiga dasawarsa secara menyeluruh, dan eksistensi BUMN sendiri yang dinilai dengan standar ganda. Dengan demikian, proses swastanisasi sendiri sering terjebak dikotomi yang sebenarnya tidak perlu.

Perkembangan
Ditinjau dari kuantitasnya, maka misi serta mengurangi dan menjual saham pemerintah kepada masyarakat (publik), menunjukkan sebuah keberhasilan. Survei Bussiness Intelligence Report (BIRO) tahun 2000 berjudul Eksistensi dan Masa Depan BUMN menemukan bahwa selama dekade terakhir (sejak tahun 1990 sampai 2000) jumlah BUMN menyusut 25,8 persen atau berkurang 48 buah. Dari 186 BUMN pada tahun 1990 menjadi 138 tahun 2000, setelah mencapai puncak jumlahnya 222 pada tahun 1983.
Penyusutan BUMN tersebut karena proses restrukturisasi internal BUMN melalui merger, akuisisi dan atau likuidasi antar-BUMN sendiri, di samping berdirinya BUMN baru. Akibatnya, sejak tahun 2000 tidak lagi BUMN berstatus Perusahaan Negara dan PT Lama, sementara pemerintah (termasuk pemda) malah mulai aktif mendirikan perusahaan jawatan.
Akan tetapi, dari sisi kualitasnya, maka tujuan swastanisasi untuk menyehatkan BUMN secara keseluruhan (harus diakui) belum mencapai target. tahun 1990, sebanyak 32 persen BUMN bisa menyandang predikat sangat sehat, namun sejak tahun 1998 tidak adal lagi yang berpredikat sangat sehat (bertepatan dengan kondisi puncak krisis moneter).
Dengan demikian, sebagian besar BUMN tersebut, predikatnya menurun dari sangat sehat menjadi sehat sehingga porsi yang naik dari 21 persen tahun 1990 menjadi 71 persen tahun 1998. Penurunan kinerja perusahaan ini tentu saja tidak terlepas dari kebijakan para nakhoda dan pengawas, yakni 645 anggota dewan direksi dan 466 anggota dewan komisaris BUMN. Jangan hanya menuduh faktor eksternal!.
Meski dengan kuantitas maupun kualitas yang cenderung menurun tersebut, tetapi eksistensi BUMN dalam peta ekonomi nasional, khususnya pada sektor rill masih cukup dominan, apalagi di sektor hulu. Survei BIRO di atas juga menemukan keterlibatan BUMN di sektor rill yang masih cukup dominan pada 72 produk atau sektor melibatkan 173 BUMN (ada BUMN yang memproduksi lebih dari satu produk). Dengan rincian, ada 59 BUMN menguasai pangsa pasar di atas 51 persen pada 38 produk dan 34 komoditas lainnya, dengan pangsa pasar di bawah 50 persen. (tabel 1).
Perlu dipahami, bahwa penguasaan pangsa pasar oleh BUMN ini belum mencakup pelbagai sektor atau produk nasional lain yang dalam kenyataannya, tidak ada yang melibatkan BUMN. Padahal, jumlahnya sedikit. Untuk perspektif ke depan, komposisi diperkirakan tidak mengalami pergeseran yang signifikan karena tidak munculnya kekuatan swasta baru sebagai pesaing yang memperebutkan pasar tersebut.
Meskipun jumlahnya menyusut dan kinerjanya cenderung menurun, kontribusi BUMN bagi keuangan negara (khususnya dalam penerimaan APBN) tetap dibutuhkan, walaupun porsinya menurun. Penurunan ini bukan disengaja, tetapi lebih dikerahkan kondisi krisis ekonomi di pelbagai sisi yang akhirnya menekan proyeksi perolehan laba BUMN dan hasil privatisasi.
Perkembangan APBN sejak lima periode (sejak tahun 1999 sampai RAPBN 2002) menunjukkan bahwa kontribusi BUMN (dari laba dan hasil swastanisasi) terhadap total penerimaan APBN kian menyusut. Dari 13,2 persen (tahun 1999/2000) menjadi 5,4 persen (APBN 2001) dan menyusut lagi jadi 4,2 persen (RAPBN 2002). Secara implisit ini menunjukkan bahwa meski jelek, tetapi BUMN masih menjadi tumpuan harapan di masa kritis. Padahal, BUMN yang akan diswastakan tersebut adalah “barang lama” yang seharusnya sudah dijual tahun 2000. Bahkan, target laba BUMN ini dinaikkan lagi menjadi Rp 10,3 triliun (tabel 2).
Artinya, defisit Rp 43 triliun pada RAPBN 2002, sebagian dibiayai dari hasil swastanisasi BUMN sebesar Rp 3,9 triliun atau 9,1 persen, menyusut dari target APBN tahun 2001 yang diharapkan memasok 12 persen. Pelbagai kondisi ini secara tidak langsung sudah mengubah arah dan misi swastanisasi BUMN, dari tujuan utama untuk menyehatkan BUMN berkembang menjadi salah satu motor pemasok dana untuk APBN. Sangat berisiko besar jika fenomena ini terus berlanjut dari melihat eksistensi BUMN dari kepentingan jangka pendek hanya sebatas APBN per APBN.

IPO versus SI

Perkembangan sepanjang tiga dasawarsa menunjukkan bahwa swastanisasi BUMN baru melibatkan publik, pada dekade tahun 1990-an, dipelopori oleh penjualan perdana untuk publik (IPO atau initial public offering) Semen Gresik (1991). Sebelumnya, yang palng banyak dilakukan adalah melalui kerja sama dengan pihak asing maupun swasta (joint venture). Dengan demikian, saat itu mulai banyak BUMN yang memiliki anak perusahaan dan umumnnya bergerak di bidang yang masih terkait dengan BUMN induk. Atau patungan langsung antara pemerintah dengan pihak investor asing yang pada tahun 1973 tercatat 10 perusahaan patungan.
Sepuluh tahun kemudian, pola ini masing dianggap yang paling umum dan jumlahnya naik pesat jadi 28 buah. Pada dekade tahun 1990-an mulai dipergunakan pola baru, yakni IPO, joint operation (KSO) di luar KSO sektor migas, dan penempatan langsung (private placement-PP) atau investor strategis (strategic investors-SI). Pola ini masih berlanjut sampai sekarang.
Yang paling dipersoalkan adalah plus-minus dan pola mana yang lebih menarik atau positif antara IPO dengan PP kepada SI. Dapat diyakini bahwa kedua pola ini sama – sama punya kelebihan dan kekurangan. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa IPO lebih transparan dibandingkan PP/SI. Sebaliknya, tidak ada yang bisa memastikan bahwa harga lewat PP/SI bisa menguntungkan dibandingkan IPO. Oleh sebab itu, agar tidak larut dalam perbandingan keunggulan maya (virtual’s compentitiveness) tersebut, maka sebaiknya kita jangan terjebak pada dikotomi antara IPO versus PP dan atau SI. Lebih bijak jika kedua pola ini diterapkan sekaligus pada sebuah BUMN, tergantung jurus mana yang diinginkan lebih dahulu. Melakukan IPO dulu kemudian disusul dengan PP/SI atas sisa saham pemerintah, sebaliknya PP/SI dulu baru menyusul IPO.
Dari rencana strategis swastanisasi versi pemerintah, tetap memilih IPO dan PP/SI sebagai pilihan yang sangat diandalkan dengan pelbagai kelebihannya. Sepanjang dasawarsa tahun 1990-an, IPO lebih banyak dipergunakan. Sementara strategi PP/SI akan semakin populer bahkan bisa menjadi alternatif ekspers bagi pemda yang agresif mengembangkan peluang bisnis di daerah masing – masing dalam menumbuhkembangkan local competitiveness.
Namun jika dicermati, ada kecenderungan untuk memberi porsi lebih besar kepada PP/SI, naik melalui pola tunggal atau sekaligus dengan IPO. Berdasarkan rencana pemerintah saat ini, maka diperkirakan sampai akhir 2002 akan tercatat 19 BUMN yang akan diswastaskan tahun 2002, di luar BUMN yang sudah tercatat di bursa sejak tahun 1991 sampai Juli 2001. Dari jumlah itu ternyata 10 diantaranya diperkirakan menggunakan pola PP/SI dan atau IPO. Bahkan, empat di antaranya diperkirakan langsung menggunakan pola PP/SI, yakni BNI, ITP, Sarinah, dan Angkasa Pura II.
Contoh kasus swastanisasi di Inggris menunjukkan bahwa 54 persen transaksi swastanisasi dilakukan melalui private offering (PP/SI), dan sisanya melalui IPO. Selama 16 tahun (1977-1993) sejak dimulainya gelombang swastanisasi Inggris dengan konsep taking eapitalism to the people, Inggris sudah menswastaskan 47 BUMN dengan hasil 55 miliar pounsterling (setara 90 miliar dollar AS). Dua misi dan tujuan swastanisasi adalah meningkatkan kinerja perusahaan secara menyeluruh (capitalism) dan menyebarluaskan kepemilikan saham bagi rakyat (people). Misi penyebaran saham tercapai sehingga rakyat Inggris yang memiliki saham naik dari tiga juta orang tahun 1979 menjadi 10 juta orang tahun 1993. Harga jual produk dan jasa menurun pascaswastanisasi dan BUMN mulai untung. Padahal, sebelumnya defisit besar. Satu aspek yang belum dipenuhi dari program swastanisasi di Indonesia.

Kecenderungan global
Mengingat investasi tidak bisa lepas dari kontelasi dan dinamika keuangan global, maka kita perlu melihat bagaimana pola swastanisasi global, khususnya dilihat dari kecenderungan antara cara IPO dan SI/PP, setidaknya dari trend investasi portofolio.
Swasatanisasi global di negara berkembang antara 1990 sampai 1998, sudah mencatat nilai transaksi 271 miliar dollar AS, khusus untuk tahun 1998 nilainya menurun dari 66, 5 miliar dollar (posisi puncak) menjadi 49 miliar dollar. Ternyata pemasukan devisa dari kantung investor asing dalam swastanisasi tersebut mencapai 127 miliar dollar atau 46,7 persen sehingga sisanya dari sektor domestik yang sedikit lebih besar.
Perubahan penting dari dekade ini bahwa peranan instensi asing langsung (foreign direct investment-FDI) cenderung menyusut, meski kontribusinya masih cukup besar, yakni 71,5 persen dari sisanya melalui investasi portofolio asing (foreign potofolio investment-FPI). Tahun 1990, FDI masih menguasai 98 persen total dana asing yang masuk dalam swastanisasi dan sisanya via FPI. Menjelang era krisis ekonomi tahun 1997, porsi FDI meningkat dan FPI menurun drastis. Sudah menjadi fenomena umum bahwa investasi asing berbentuk portofolio sifatnya easy come easy go berbeda dari FDI yang hadir dengan investasi mendirikan pabrik langsung (disebut juga dengan greenfield investment) sehingga tidak mudah lari jika terjadi krisis. Perubahan porsi ini menunjukkan bahwa keikutsertaan pihak asing dalam swastanisasi masih lebih dominan lewat PP/SI, dibandingkan dengan pola penyertaan portofolio saham (FPI).
Untuk melihat daya tarik dan keunggulan sektoral itu bisa mengacu pada “Index of Marketability” yang disusun Bank Dunia tahun 1994. Indeks in menggolongkan sektor usaha berdasarkan lima kriteria, yakni tingkat persaingan, karakteristik produk dan jasa, potensi pembayaran dari konsumen, kewajiban publik, dan aspek eksternal. Semakin tinggi indeks semakin menarik. Sektor telekomunikasi dan kelistrikan punya indeks tertinggi (3) disusul oleh pengelolaan sampah, PLTU, dan jasa telekomunikasi.
Indeks ini memang tercermin dari perkembangan swastanisai global dimana telekomunikasi adalah sektor terlaris untuk diperjualbelikan. Nilai swastanisasinya mencapai 70,7 miliar dollar, 26,1 persen dari total swastanisasi global antara 1990-1998, (tabel 3).

Kesimpulan
Arah dan tujuan swastanisasi di Indonesia sudah bergeser dari tujuan utama menyehatkan BUMN bergeser menjadikan BUMN sebagai sumber uang APBN. Sementara kinerja BUMN tidak semakin sehat, ditambah dengan aneka kepentingan eksternal dari stakeholder sampai manajeman BUMN sendiri.
Oleh sebab itu, tidak heran jika swastanisasi BUMN belum memberikan manfaat langsung bagi konsumen (rakyat) dengan meningkatkan pelayanan serta menurunkan harga jual produk dan jasa ke konsumen. Malah sebaliknya, harga jual konsumen harus dinaikkan agar swastanisasinnya lebih menarik bagi investor asing. Sungguh ironis.
Tidak ada strategi khusus dalam proses swastanisasi. Jadi, kita jangan terjebak dikotomi antara IPO dan atau PP/SI, karena kedua strategi ini memiliki keunggulan dan kelemahannya. Tidak ada jaminan bahwa IPO seratus persen transparan dan sebaliknya PP/SI bisa menjamin tercapainya harga maksimal yang menguntungkan dan KKN. Sengketa SGG hanyalah puncak gunung es dari efek negatif swastanisasi.
Strategi IPO sebaiknya diterapkan kepada BUMN yang bergerak di sektor pelayanan publik dimana rakyat sebagai konsumen langsung dan captive market, misalnya di bidang air minum, kelistrikan, telekomunikasi, transportasi dan migas. Sementara PP/SI sebaiknya difokuskan pada di luar utilitas publik, misalnya manufaktur, keuangan, dan industri primer lainnya. Apalagi, jika BUMN berstatus patungan lebih baik dijual kepada mitra semula.
Demi meningkatkan kesejahteraan publik, maka perlu ditetapkan kuota saham bagi karyawan dengan harga nominal (dengan pola ESOP), terlepas dari penjualan IPO maupun PP/SI. Justru investor yang harus mengikuti semua perilaku global dengan komitmen penuh.
Perlu segera disusun undang – undang (UU) Privatisasi agar terdapat sebuah pedoman kerja yang mantap dan jelas agar dinamikanya tidak jatuh bangun, seperti kabinet dan para menterinya. Ini salah satu kelemahan kita, karena misi, program dan infrastrukturnya tidak solid dan terpadu. Pemerintah harus bersikap tegas, bersih dan kuat (strong and clean government) karena jika lemah akan terus terombang –ambing.
Dalam konteks itu, DPR juga masuk terlalu jauh mengurusi privatisasi. Cukup berperan sebagai pengawas via UU. Terlalu rajin dan pro-aktif (dengan pro-kontranya) malah membuat target swastanisasi tidak tercapai, dimana anggota DPR sendiri “mungkin” tidak ikut merasa bersalah atas kegagalan pencapaian target yang akhirnya mengganggu struktur APBN secara menyeluruh. (*)
5 November 2001

Read more...

Thursday 19 March 2009

Restitusi Pajak Pemegang Kartu ,Mendukung Ekstensifikasi Pajak

Pembayaran pajak lewat perbankan senilai Rp 22,1 triliun selama January sampai April 2003 (Kompas, 17 April 2003) atau setengah dari total penerimaan pajak pada periode tersebut serta menyumbang 10 persen total target penerimaan pajak Rp 213,7 triliun tahun 2003, merupakan prestasi yang tertunda bagi Ditjen Pajak. Ini merupakan bagian kecil dari potensi dua juta wajib pajak bagi perorangan dan 685.000 wajib pajak badan. Ini juga contoh positif sinergi pemerintah dengan swasta sehingga pajak bisa dibayar melalui 35 bank dari 83 bank yang akan bekerja sama.
Dalam konteks ekstensifikasi pajak terdapat banyak cara yang bisa dikembangkan sambil terus meningkatkan intensifikasi pemungutan pajak terhadap wajib pajak (WP) yang besar dan potensial, khususnya WP kelas kakap. Artikel berikut menawarkan sebuah wacana guna menjadi bahan diskusi untuk dikembangkan lebih lanjut.
Intisari dari konsep ini adalah memberikan intensif pajak kepada konsumen atau masyarakat yang berbelanja menggunakan kartu debet atau kartu kredit. Insentif yang dimaksud bisa diberikan dalam berbagai bentuk, namun yang terutama adalah memberikan restitusi pajak bagi WP pribadi sebagai konsumen (rakyat) yang telah memenuhi kewajibannya.
Mekanisme restitusi bukan hal baru, namun sosialisasi dan pelaksanaanya kurang berjalan lancar, apalagi terkesan mekanisme restitusi bukan hal yang gampang diterapkab ke WP pribadi.
Ini tentu bisa dijalankan dengan baik, apalagi jika didukung hubungan kerja harmonis dan terpadu antara dua lembaga, yakni Direktorat Jendral (Ditjen) Pajak dan Bank Indonesia, khususnya Direktorat Sistem Pembayaran Nasional. Mekanisme ini juga akan membuat usaha untuk membangun dan mengembangkan pusat data transaksi pembayaran dan dinamika bisnis perdagangan nasional yang sangat akurat. Ringkas kata, dengan memberikan insentif dan restiusi pajak langsung kepada konsumen yang berbelanja dengan kartu (e-payment), akan mendukung suksesnya program ekstensifikasi pajak.
Secara menyeluruh, mekanisme ini tentu saja melibatkan beberapa pihak yang saling terkait secara teknis, yakni konsumen, merchant, bank, jasa pembayaran e-payment, dan tentu saja direktorat pajak dan Bank Indonesia. Dimana dalam praktiknya, semua pihak tidak ada yang dirugikan bahkan saling melengkapi dan mendukung terciptanya pasar dan potensi bisnis yang lebih luas.

“No card no buy”
Dengan adanya kebijkan insentif pajak dari pemerintah kepada konsumen yang berbelanja memakai kartu debet maupun kredit, maka konsumen akan terdorong untuk membayar belanja dengan kartu. Ini akan lebih bergema, menarik, dan populer jika diikuti dengan program hadiah langsung yang cukup bernilai dan skala nasional. Kondisi ini secara perlahan akan mendorong konsumen lebih selektif dan memiliki daya tawar dalam berbelanja, yakni hanya mau belanja jika toko tersebut menerima pembayaran kartu (debet maupun kredit). Jika tidak menerima kartu, lebih baik tidak berbelanja di tempat (merchant) tersebut. Singkatnya, no card no buy.
Pada tahap ini, secara tak langsung juga terjadi proses edukasi kepada konsumen agar berbelanja dengan bijak (sesuai kemampuan). Dengan demikian, ini praktis akan meningkatkan jumlah konsumen pengguna kartu, bahkan bukan mustahil bisa tumbuh di atas 50 persen dibandingkan rata – rata 35 persen selama ini.
Berdasarkan data dari Bank Indonesia (Biro Sistem Pembayaran Nasional) tercatat bahwa dari Januari sampai Juli 2002, jumlah kartu debet di Indonesia sebanyak 13, 4 juta lembar dengan transaksi Rp 4,3 triliun, dikelola 12 bank dan tumbuh pesat. Disisi lain, ada 3,8 juta kartu kredit tapi dengan transaksi senilai Rp 14,2 triliun, tiga kali lipat dari transaksi kartu debet. Dengan demikian, gabungan dua alat pembayaran ini mencatat transaksi Rp 18,5 triliun selama satu semester dari 17 juta kartu belanja yang dikelola oleh 20 bank (kartu kredit dan debet).
Selanjutnya adalah terkait para merchant, yakni retailer dan toko kelas menengah atas yang beromzet besar dan tentu sudah biasa menerima kartu selama ini. Jika sudah berbentuk kondisi no card no buy, maka para merchant akan terdorong untuk menerima menyediakan transakasi e-payment. Karena jika tidak, maka para merchant akan kalah bersaing sebab bukan hanya mereka saja yang menjual produk tersebut. Kondisi ini memang tidak bisa disamaratakan sehingga harus bisa dibatasi minimum transaksi, misalnya Rp 50.000 atau tergantung jenis produk. Hal positif lain bagi merchant adalah mereka tidak repot menghitung uang tunai dan uang recehan menangkal uang palsu dan mempercepat waktu transaksi.
Melalui mekanisme insentif pajak ini, pemerintah akan mengetahui nilai dan frekuensi merchant juga tidak tertarik mengelak karena itu tercatat di bank penagih maupun bank penerbit, dimana kedua belah pihak ini justru akan melaporkan semua transaksinya ke bank sentral. Dengan demikian, semua transaksi akan tercatat sehingga yang ditelusuri adalah transaksi dan bukan alasan merchant untuk meningkatkan komisi (fee) atau pungutan lain sehingga membuat mahal produk. Alhasil, pemerintah secara pasti dan terarah bisa menggali dan menambah penghasilan pajak dari dunia usaha yang memang seharusnya dikeluarkan.
Dengan demikian, bank sebagai penyedia jasa pembayaran elektronis akan memperoleh manfaat besar. Karena ini akan meningkatkan basis nasabah, meningkatkan saldo rata – rata nasabah, mengurangi biaya operasional dan penyediaan kas di ATM, serta meminimalisasi uang mengganggur (idle money) di ATM dan sumber fee base income yang potensial. Jika setiap mesin ATM yang saat ini berjumlah 9.000 unit lebih, harus diisi uang minimal (katakanlah) Rp 300 juta, berati perbankan harus menyediakan Rp 2,7 triliun uang yang tentu saja bisa menghasilkan bunga jika tidak masuk ATM.

Efisiensi
Bagi bank sentral, ini membantu efisiensi operasional karena akan mengurangi biaya pencetakan uang kertas dan logam mulia, biaya pengiriman atau distribusi, dan termasuk biaya penghancuran bila rusak atau kedaluwarsa (juga perlu uang). Setiap tahun tidak kurang dari Rp 700 miliar dikeluarkan Bank Indonesia hanya untuk biaya pengedaran uang ke berbagai wilayah. Dengan meningkatnya e-payment, maka sejumlah pos biaya bisa dihemat di samping mempercepat proses, efisiensi dan menghambat peredaran uang palsu.
Proses ini tentu akan berkembang dan berjalan lancar jika didukung oleh infrastruktur proses keuangan yang terpadu. Ini mencakup implementasi teknologi informasi, jaringan bank penerbit kartu, dan sampai ke penyedia mesin EDC yang menjadi platform dasar dan terpenting dari proses administrasi transaksi e-payment, khususnya kartu kredit maupun debet. Dengan demikian, meningkatnya kartu selayaknya diikuti oleh tersedianya “mesin gesek” di seluruh outlet retailer dan toko – toko.
Sampai saat ini, eksistensi penyedia mesin gesek umumnya adalah bank penarik dana (acquirer bank) utama, misalnya BCA, BII, Bank Danamon, BNI, Bank Mandiri, dan Permata Bank (eks unit Bank Bali dan Bank Universal). Disamping itu, juga ada para spesialis seperti PT Multi Adiguna Manunggal dengan bendera Kartuku yang tergolong aktif sudah bermitra dengan 5 retailer besar dan 4 bank nasional mengoperasikan 3.000 lebih mesin gesek (EDC), sejak Juni 2002. Kehadiran Kartuku sebagai pendatang baru cukup menarik disamping pemain lama seperti Dinner Club yang sudah diakuisisi oleh investor baru dari tangan BPPN (eks grup Gajah Tunggal). Dengan dukungan infrastruktur para penyelenggara jaringan transaksi e-payment ini, maka proses teknisnya akan berjalan lancar dan menguntungkan semua pihak. Selain itu, juga memberikan pilihan dan kesempatan lebih luas kepada merchant dalam memilih mitra pengelola mesin gesek yang cocok.
Pada titik terakhir, posisi pemerintah sebagai stimulator pencipta insentif dan pemberi restitusi pajak harus mengalokasikan dana untuk potongan atau pengurangan pajak serta hadiah bagi konsumen e-payment. Disini perlu dihitung secara rinci plus minus dari pola ini bagi pemerintah, yakni seberapa besar potensi pajak baru yang berhasil ditarik lalu dikurangi dengan berapa besar alokasi insentif, restitusi pajak, dan termasuk hadiah yang harus dikeluarkan. Jika masih surplus, pola ini layak dan positif dijalankan. Sebaliknya, jika defisit, maka perlu ditinjau lagi komposisi dan teknis pelaksanaannya. Yang jelas, ini merupakan program terpadu jangka panjang, dan bermanfaat ganda serta mendukung pengembangan e-payment menuju cashless society, dimana masyarakat lebih cenderung berbelanja dengan menggunakan kartu (nontunai).
Besaran insentif pajak bagi konsumen atau masyarkat yang berbelanja dengan kartu (bagian dari cashless society) memang perlu dihitung secara rinci yang menjadi wewenangnya Ditjen Pajak. Sebagai perbandingan, tercatat bahwa restitusi pajak tahun 2002 mencapai Rp 13 triliun atau rata – rata di bawah 10 persen dari target penerimaan pajak. Kemudian paket stimulus pajak untuk pemulihan ekonomi pascabom Bali sebesar Rp 5 triliun dan penghapusan piutang pajak mencapai Rp 2 triliun karena kedaluwarsa atau tidak dapat ditagih. Rincian sumber pajak di APBN 2002 menunjukkan bahwa pemasukan dari Pajak Penghasilan (PPh) nonmigas Rp 202 triliun, sebanyak Rp 67,8 triliun berasal dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPn-BM). Ini diluar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), BPHTB, bea, cukai, dan pajak migas lainnya.
Untuk menghitung berapa besar potensi penerimaan pajak dan besarnya insentif yang harus dikeluarkan pemerintah memang diperlukan sebuah perhitungan lebih rinci dan dukungan data yang terpadu. Sebagai ilustrasi makro kita lihat trend konsumsi swasta yang memasok tiga perempat Produk Domestik Bruto (PDB), sebagai motor penggerak ekonomi nasional selama ini. Konsumsi swasta tahun 2002 mencapai Rp 1.135 triliun atau 3,5 kali lipat dari konsumsi pemerintah. Jika diasumsikan minimum 15 persen saja dari jumlah tersebut adalah transaksi di sektor ritel dan perdagangan besar, maka nilainya berkisar Rp 170 triliun, setara dengan nilai PDB sektor perdagangan dan ritel.
Dimana kontribusi sektor perdagangan terhadap PDB selama lima tahun terakhir berkisar 12 persen sampai 15 persen. Contoh mikro, misalnya Matahari Department Store yang total berkisar Rp 6 triliun (satu tahun) di asumsikan 50 persen berbelanja lewat kartu (deber, kredit, retail card), berati nilai transaksi e-payment mencapai Rp 3 triliun (mencakup ribuan konsumen yang adalah WP pribadi).
Dari jumlah ini, maka pemerintah bisa menghitung nilai restitusi pajak yang dikembalikan ke konsumen dalam bentuk unsur pengurang (deductible) kewajiban pajak. Dengan demikian, semakin banyak berbelanja melalui e-payment, maka semakin besar nilai pengurang dalam menghitung kewajiban pajak konsumen. Selain itu, memang perlu dibantu dengan program cepat, yakni memberikan hadiah menarik seperti motor atau mobil. Ini bisa dijalankan dengan kerjasama erat pemerintah, merchant, penyedia jasa pembayaran elektronis, dan perbankan.

Kesimpulan
Perlu disimpulkan beberapa benang merah dari analisis ini agar tidak terdapat salah tafsir baik dari pihak pro maupun kontra. Peluang pemerintah memperluas wajib pajak badan atau dunia usaha masih terbuka lebar sehingga yang diperlukan adalah bagaimana menjaring dan mendayagunakan potensi tersebut secara kreatif dan sukses. Sehingga, tidak perlu dengan pelbagai jurus yang sudah mengarah pada tindakan paksa badan (gijzeling) untuk wajib pajak terhutang minimal Rp 100 juta. Ada tindakan lain yang lebih bersih dan mendidik, yakni memberi insentif dan restitusi pajak bagi konsumen yang menjadi ujung tombak dalam transaksi berbelanja. Mekanisme yang sudah ada selama ini tinggal disosialisasi dan dikembangkan lebih jelas. Paksa badan memang perlu dan cukup dijalankan bagi WP pribadi kelas kakap jika dipaksa.
Dengan restitusi atau insentif pajak, konsumen cenderung menggunakan kartu dan akhirnya akan mendorong pedagang, toko dan ritel menengah ke bawah untuk menerapkan belanja lewat kartu. Selanjutnya, semua transaksi ini akan terkumpul dalam satu pusat data yang sangat berguna untuk menyusun strategi moneter, ekonomi, sistem pembayaran nasional, perdagangan domestik, dan penerimaan pajak. Ini awal menuju terciptanya cashless society dalam arti sempit. Semakin besar transaksi pembayaran nontunai, semakin kecil peredaran uang kertas dan mempersempit peredaran uang palsu.
Dari pengalaman suksesnya promosi swasata menjual produk dan jasa, pemerintah juga bisa menerapkan strategi serupa agar lebih sukses secara profesional dalam pendekatan bisnis. Paradigma juga perlu diubah menjadi paradigma bisnis dari paradigma birokrat dengan jurus paksa badan.
Perlu dukungan dan kesiapan dunia usaha yang terlibat di bidang transaksi pembayaran elektronis ini. Para pihak yang terlibat tidak dirugikan atau berkurang fee atau pendapatannya. Karena semua insentif ini akhirnya ditanggung pemerintah sebagai biaya program ekstensifikasi pajak yang berdimensi strategis nasional. Sebagai imbalan akan mendapatkan penerimaan pajak lebih besar akibat bertambahnya jumlah WP badan maupun pribadi.
Sasaran dari program ini menggarap potensi WP pajak secara persuasif melalui mekanisme pasar bisnis murni. Pemerintah tidak perlu membatasi atau mengatur jenis barang atau minimal transaksi yang perlu diberi insentif, tetapi diserahkan semuanya kepada konsumen. Yang terpenting, pemerintah konsisten memberikan insentif dan restitusi pajak kepada konsumen. Dengan sendirinya sistem akan berjalan mendukung target nasional, yakni meningkatk penerimaan pajak. Mau menangkap ikan memang perlu pancing dan umpan. (*).
Kompas, 2 Mei 2003

Read more...

Reaktif atau Menuju “Good Banking Governance”



Pada rapat kerja Bank Indonesia dengan DPR 19 November 2001 lalu terungkap rencana BI untuk membatasi kepemilikan saham maksimum di perbankan, sebagai baigan dari aspek pengaturan dalam enam pilar utama arsitektur perbankan masa depan. Bahkan, menurut Deputi Senior Gubenur BI, para pemilik saham mayoritas di perbankan sudah dikontak agar segera membagi sahamnya ke public dan mereka menyambut baik kebijakan ini.
Kebijakan ini jelas sebuah langka positif yang perlu ditindaklanjuti dan direalisasikan di tengah ramainya kebijakan bank sentral yang berbau “pembatasan” atau “kuota”.
Langkah itu menyusul Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 4 yang membatasi pembelian aset kredit oleh bank maksimum 50 persen dari modal inti.
Kebijkan inti tidak terlepas dari mekanisme perbankan global yang terangkum dalam 25 prinsip dasar pengawasan perbankan (Core Principles for Effective Banking Supervision).
Core Principles ini dicetuskan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G7 di Lyon, Juni 1990 yang intinya membangun sistem pengawasan perbankan dan keuangan yang kuat dan sehat.
Indonesia termasuk salah satu negara yang dilibatkna dalam pengembangan 25 prinsip – prinsip pengawasan perbankan ini.
Secara menyeluruh, 25 prinsip tersebut dibagi dalam tujuh aspek utama.
Pertama, prakondisi untuk pengawasan perbankan yang efektif, kedua masalah perizinan dan struktur kepemilikan saham mencakup empat prinsip.
Ketiga, kewajiban dan kebijakan yang hati – hati mencakup 10 prinsip. Keempat, metode dan pola pengawasan perbankan mencakup lima prinsip. Kelima, penyediaan informasi dalam rangka transparansi mencakup satu prinsip.
Keenam, lembaga formal untuk melakukan pengawasan mencakup satu prinsip. Ketujuh, mekanisme operasionalisasi dan penetrasi bank global mencakup tiga prinsip.
Dalam konteks ini, rencana kebijkan BI tersebut merupakan implementasi prinsip ketiga Basle Accord yang salah satu intinya adalah bank sentral atau pengawas (supervisor) harus meneliti kepemilikan saham bank, baik langsung maupun tidak langsung untuk major shareholder.
Klasifikasi major shareholder jika sahamnya melebihi atau di atas 10 persen dari ekuitas. Sehingga dengan demikian, bank sentral sudah memiliki batasan baru yang sifatnya standar dan global.
Kebijakan kuota saham ini sebenarnya bukan hal baru, karena pemerintah sendiri sudah melakukan pelbagai pembatasan, khususnya terhadap kepemilikan asing di bank patungan.
Namun, kondisi ini ternyata tidak bisa diandalkan sebagai salah satu mekanisme untuk mendukung pengawasan operasionalisasi perbankan yang berhati – hati (prudent).
Tidak tegasnya kuota pemilikan saham harus diakui sebagai salah satu unsur yang ikut mendorong krisis perbankan domestik, yang diimplikasikan melalui konsentrasi penyaluran kredit kepada pihak terkait (BMPK/batas maksimum pemberian kredit atau legal lending limit), sehingga krisis yang menimpa debitor afiliasi, langsung berpengaruh terhadap bank dari grup terkait.
Aspek ini juga diatur dalam prinsip ketiga, dimana bank dilarang menjadi captive market bagi pembiayaan usaha pemilik.
Sehubungan dengan itu INBRA (Investment and Banking Research Agency) tertarik mengaitkannya dengan hasil riset bertajuk “Indonesian Banking Market Share” (INBRA, November 2002).
Riset yang dimulai bulan Oktober 2002 tersebut salah satu bagiannya menganalisis trend perubahan pemilikan saham perbankan Indonesia sejak tahun 1997 sampai tahun 2002.

Beberapa fakta
Berikut ini adalah apa dan bagaimana trend tersebut dan relevasinnya dengan kebijakan yang akan diambil oleh bank sentral secara menyeluruh. Dari perkembangan yang ada, terdapat beberapa fakta.
Pertama sampai Maret 2002 tercatat 580 pihak sebagai pemegang saham 145 bank di Indonesia, dengan catatan ada lebih dari satu pihak atau pemegang saham di satu bank dalam analisis ini dianggap sebagai pihak tersendiri.
Kedua, ada 52 persen (terdiri dari 303 pihak pemegang saham) yang porsi sahamnya lebih dari 10 persen.
Perinciannya, 36 persen (211 pihak) sahamnya lebih dari 20 persen dan 92 pihak (16 persen) tercatat sebagai pemegang saham dengan porsi saham antara 10 persen – 20 persen.
Sisanya, 277 pemegang saham (48 persen) porsi sahamnya tidak lebih dari 10 persen (lihat tabel).
Ketiga, data lebih rinci menunjukkan 61 orang (20,1 persen) yang punya saham lebih dari 10 persen (major shareholder) di masing – masing bank.
Sementara itu, ada 204 perusahaan (67,3 persen) yang memiliki saham lebih dari 10 persen (lihat tabel).
Komposisi ini menunjukkan pemilik saham dengan porsi lebih dari 10 persen masih dikuasai atau tercatat atas nama perorangan dan perusahaan afiliasinya dengan konsentrasi 97,4 persen. Dengan kata lain, seperlima major shareholder tercatat atas nama pribadi.
Sehingga, tidak mengherankan jika BI melihat sisi ini perlu ditata kembali dengan pendekatan kuota atau pembatasan pada tahap tertentu.
Posisi yang terkonsentrasi ini tentu saja memiliki sisi negatif, khususnya dari kaca mata praktik perbankan yang berhati – hati (prudential banking secara global).
Dapat dibayangkan bagaimana proses pengambialihan keputusan di sebuah bank, jika pemegang saham mayoritasnya adalah pribadi (umumnya terdiri dari dua atau tiga orang).
Sementara, saham lainnya tercatat atas nama perusahaan afiliasi yang notabene pemiliknya adalah para pemegang saham yang terkait, dengan alokasi bahkan sampai 90 persen.
Pola ini masih banyak ditemui umumnya pada bank swasta nasional papan menengah eks bank milik keluarga atau konglomerasi.
Bahkan, atas nama beberapa perusahaan yang sebenarnya masih terkait, juga banyak ditemukan, sehingga bisa memberi peluang untuk dikendalikan oleh pemegang saham utama sebagai the godfather.
Kondisi demikian tidak boleh langsung diasumsikan sebagai sebuah praktik yang tidak baik atau terlarang karena memang selama ini tidak ada pembatasan yang jelas dan khusus.
Sebaliknya, bank atas nama perusahaan yang kepemilikannya tidak dominan juga banyak dan tidak menjamin bermutu baik.
Khusus untuk perbankan swasta nasional, terdapat tren menarik dimana saham atas nama pribadi dijual atau beralih kepada perusahaan sebagiaan atau seluruhnya.
Dari tahun 1997 sampai Maret 2002 ada 19 bank yang saham mayoritasnya dikuasai perorangan beralih kepada perusahaan, yayasan, publik maupun pemerintah (pada kasus bank rekap di Badan Penyehatan Perbankan Nasional/BPPN).
Ini merupakan sebagian dari 36 bank dari struktur sahamnya berubah.
Sementara itu, 44 bank tidak mengalami perubahan kepemilikan saham. Masih terdapat 17 bank yang mayoritas saham dimiliki oleh perorangan, 24 bank mayoritasnya dimiliki oleh perusahaan dan/atau yayasan.
Di jajaran bank patungan, terjadi perubahan drastis di mana ada 21 bank patungan mengalami perubahan karena beberapa hal.
Sebanyak 14 bank patungan saham asingnya meningkat karena mengakuisisi sebagian atau seluruh saham mitra lokal yang rata – rata berkisar 15 persen – 20 persen.
Ini termasuk di antaranya tiga bank yang struktur kepemilikannya menjadi 100 persen milik bank asing asal Jepang, menyusul merger global perusahaan induk di luar negeri sepanjang tahun 2001.
Di sisi lain, terjadi divestasi saham asing di tiga bank patungan, termasuk satu bank yang sudah menutup usahanya.
Perkembangan terakhir adalah divestasi seluruh saham bank asal Eropa di Bank Multicor yang dijual kepada tiga orang (rata- rata 10 persen) akhir November lalu.
Dua bank patungan dengan mitra dari Eropa berencana akan menutup usaha mereka di Indonesia karena memang kinerjanya menurun selama ini.
Tren ini menunjukkan bahwa pascakrisis banyak bank swasta nasional dan pemerintah yang sahamnya diakuisisi oleh bank atau investor asing, sebuah tren umum di pelbagai negara berkembang.
Di jajaran bank swasta nasional, tercatat tidak kurang delapan bank yang sebagian sahamnya dkuasai asing, investor atau lembaga keuangan internasional dengan saham bervariasi antara 6 persen sampai 66 persen.
Inilah dampak lain krisis moneter, liberalisasi dan globalisasi perbankan.
Sebagai penutup, perlu digarisbawahi beberapa hal berikut. Pertama, kuota pemilikan saham di bank merupakan hal penting sebagai bagian dari etika dan norma perbankan di global, dengan catatan itu bukan jaminan terciptanya sebuah prudent banking sebagaiman yang diharapkan.
Akan lebih baik jika ini dimotivasi oleh pertimbangan global demi kepentingan nasional. Bukan sekadar reaksi atas kasus – kasus tertentu yang sudah mengemuka, sehingga perlu ditanggapi.
Kedua, langkah BI untuk mengimplementasikan prinsip ketiga core principles perlu didukung oleh lembaga terkait lainnya dan tentu saja harus dipatuhi oleh bank sebagai pemain. Tentu saja realisasinya membutuhkan waktu karena ini menyangkut aspek permodalan bukan hanya sekedar ganti jaket.
Ketiga, hal lain yang perlu dijelaskan oleh BI adalah bagaimana kebijakan ini akan dijalankan agar tidak bertentangan dengan kebijakan BI sebelumnya dan/atau kebijakan pasar modal untuk publik.
Misalnya, bagaimana mengatur bank asing yang sahamnya dominan (di atas 10 persen) di bank patungan maupun bank swasta nasional, padahal mereka diundang dalam program liberalisasi perbankan.
Apalagi jika ikut membeli saham bank yang didivestasi BPPN seperti BCA, Bank Niaga, Bank Danamon, BII, Bank Lippo, dan Bank Mandiri.
Keempat, kuota saham juga sangat bisa diakali oleh pihak lain memang berniat jelek dengan cara divestasi ke puluhan paper company dadakan (investor asing) yang tercatat di berbagai offshore centre dengan saham, misalnya dibawah 9 persen. Tetapi pemilik akhirnya orang yang sama dan berdomisili di Jakarta.
Sebuah pola investasi keuangan yang berusia lebih dari setengah abad dan bukan hal baru bagi Indonesia.
Jika memang ingin dikendalikan, maka para areal inilah sikap tegas dengan pengawasan lebih terpadu. (*).

Read more...

Wednesday 18 March 2009

Indonesia Kehilangan Bea Masuk US$ 1,9 Miliar

Survei yang dilakukan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM-UI) menunjukkan, setiap tahun Indonesia kehilangan penerimaan bea masuk sebesar US$ 1,9 miliar atau sekitar Rp 17 triliun. Hal itu terjadi karena adanya deviasi yang cukup besar dari laporan yang dibuat eksportir dari dan ke Indonesia.
“Tingginya bea masuk yang dikenakan di Indonesia dibandingkan bea masuk di negara lain merupakan pemicu utama pengusaha enggan melaporkan nilai barang ekspor dan impor yang sebenarnya. Akibatnya, kita mengalami kerugian US$ 1,9 miliar,” ujar M Chatib Basri, pengamat ekonomi kepada Investor Daily di Jakarta, Rabu (16/2).
Chatib menjelaskan, nilai kehilangan bea masuk sebesar US$ 1,9 miliar itu hampir sama, bahkan lebih besar dari jumlah penerimaan negara dari perdagangan internasional setiap tahun. (lihat tabel). Penerimaan negara dari perdagangan internasional terdiri atas bea masuk dan pajak pungutan ekspor.
Mayoritas importir, kata Chatib, melaporkan nilai barang lebih rendah dari nilai yang sebenarnya. Demikian juga sebaliknya, eksportir melaporkan nilai barang yang dieskpor ke luar negeri lebih rendah dari nilai sebenarnya. Menurut Chatib, LPEM-UI meneliti nasabah ini pada seluruh negara tujuan ekspor Indonesia dan negara asal importir.
“Coba bandingkan (data) nilai ekspor yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) dengan (data dari) pemerintah Singapura. Angkanya pasti berbeda dan devisanya cukup besar. Itu membuktikan, eksportir telah memanipulasi laporan sebenarnya,” kata Chatib.
Di tempat terpisah, Beni Sindhunata, direktur eksekutif Investment and Banking Research Agency (INBRA) menjelaskan, INBRA pernah melakukan riset serupa di Singapura, Hong Kong, dan Malaysia. Hasil riset menunjukkan, angka deviasi terbesar terjadi pada perdagangan internasional dengan Sngapura. Modus para pengusaha adalah memanfaatkan pencatatan under invoice dan penyeludupan.
Chatib juga menyoroti masalah manupulasi ini, terutama kayu ilegal dan bahan bakar minyak (BBM) serta mobil mewah. Itu disebabkan harga kayu ilegal dan BBM di luar negeri jauh lebih mahal dibandingkan di Indonesia. Sedangkan penyeludupan mobil mewah karena bea masuk mobil mewah amat tinggi. Pengusaha Singapura tidak mau menyelundupkan mobil mewah karena bea masuknya rendah.
Menurut Chatib, salah satu upaya untuk mengatasi ketidakjujuran pengusaha itu adalah menurunkan tarif bea masuk serendah mungkin. Dengan begitu, mereka akan melaporkan barang yang sebenarnya. “Tapi kalau kita mengusulkan tarif bea masuk diturunkan, kita dituduh penganut paham neoliberalisme. Padahal, tujuannya untuk menguntungkan Indonesia. Sebab suka atau tidak suka, liberalisasi perdagangan harus diterapkan,” katanya. (*)
***
Investor Daily, 17 Februari 2005 (Press Release)

Read more...

Sunday 15 March 2009

Potensi Pasar Kredit Konsumsi Rp. 50,8 Triliun, Terancam

Kenaikan harga BBM (23 Mei) dengan dampak meningkatnya laju inflasi yang selanjutnya diantisipasi dengan naiknya BI rate telah menurunkan daya beli masyarakat, yang sebelumnya memang telah melemah. Meskipun demikian kondisi ini perlu diantisipasi dengan hati-hati dan bukannya menjadi kiamat kecil bagi perbankan maupun multi finance yang telah menyalurkan kredit konsumen.
Ketika terjadi kenaikan harga BBM tahun 2005 kredit konsumsi oleh perbankan tidak mengalami gangguan berarti kecuali pertumbuhannya yang menurun, dimana hanya tumbuh 9,7% tahun 2006 sedangkan tahun 2005 tumbuh 36,4%. Setelah mengalami penurunan tahun 2006, maka sampai triwulan pertama 2007 kredit mulai pulih dan tumbuh menjadi 45,2% (Rp 231 triliun Maret 2007). Dirinci untuk konsumsi real estate (untuk KPR dan KPA) nominal kredit konsumsi masih bertambah Rp 12 triliun dari Rp 21,5 triliun (Desember 2005) menjadi Rp 33,2 triliun (Desember 2006). Demikian juga dengan permintaan kredit untuk ruko dan rukan pada periode yang sama naik dari Rp 157 triliun menjadi Rp 162 triliun.
Ini menunjukkan bahwa meskipun mengalami penurunan tapi animo masyarakat untuk menarik kredit konsumen tetap ada dan meningkat. Bahkan selama semester pertama tahun 2006 disalurkan Rp. 23 triliun kredit konsumsi atau naik 10,1% dibandingkan Desember 2005. Belajar dari kondisi tahun 2005 maka selayaknya perbankan dan multifinance mengambil sikap yang lebih hati-hati dalam hal penyaluran kredit konsumsi yang baru. Karena pada kenyataannya memang masih ada peluang dan potensi pasar meskipun telah mengalami tekanan sehingga tergantung kepada perbankan maupun multi finance untuk mencari dan mendayagunakan potensi yang ada.
Dari survey terakhir Investment And Banking Research Agency (INBRA) menunjukkan ada potensi pasar kredit konsumen dengan berbasiskan karyawan berpenghasilan tetap. Potensi daya beli konsumen yang berpenghasilan tetap ini mencapai Rp 50,8 triliun terdiri dari 949 ribu karyawan di seluruh Indonesia yang bekerja pada 318 perusahaan publik sampai akhir 2007. Dari kelompok ini sebesar 74% adalah kelompok karyawan yang berpenghasilan diatas Rp 4 juta per bulan dengan total penghasilan Rp 38 triliun milik 333 ribu karyawan.
Ditinjau secara sektoral terlihat bahwa karyawan perbankan masih menjadi pasar potensial dan terbesar meskipun pertumbuhannya relatif kecil. Karyawan hanya bertambah 21,6% dan penghasilannya hanya tumbuh 1,4%. Karyawan di sektor perkebunan, pertambangan dan jasa keuangan mengalami peningkatan penghasilan. Dalam kondisi seperti saat ini maka target pada konsumen berpenghasilan tetap merupakan alternatif yang lebih baik dibandingkan konsumen lain yang kemampuan dasarnya belum terukur atau terfokus.
Dari survey yang mencakup pelaku bisnis kredit konsumen baik perbankan maupun perusahaan multi finance ini juga menyimpulkan bahwa pasar di industri kredit konsumen (khususnya untuk pembiayaan konsumen) bersifat fragmented market sehingga tidak ada perusahaan yang sangat dominan dan berpotensi memonopoli pasar, karena perusahaan terbesarnya hanya menguasai pangsa pasar 5,4%, dengan rincian rasio konsentrasi lima besar atau C5 (sebesar 14,8%), rasio C10 (sebesar 19,5%) dan C20 (sebesar 23,2%).
Sementara sampai saat ini pembiayaan konsumen masih merupakan kontributor utama industri pembiayaan dengan komposisi yang beragam. Sehingga rasio kontribusi pendapatan dari pembiayaan konsumen terhadap total pendapatan multifinance maasih besar. Diketahui ada 15 perusahaan multi finance yang rasio kontribusinya antara 90% sampai 100%, dan sebaliknya ada 15 perusahaan dengan rasio di bawah 50%. Konsentrasi pendapatan ini menunjukkan bahwa masing-masing perusahaan memiliki karakteristik dan fokus bisnis yang berbeda dengan tantangan pasar yang berbeda. Sehingga penilaian adanya potensi monopoli perlu dicermati lebih rinci karena masih banyak faktor lain yang ikut mempengaruhi iklim bisnisnya.
Dengan kumulasi total kredit konsumsi nasional sampai akhir tahun 2007 yang mencapai Rp 344,1 triliun, merupakan gabungan dan sinergi dari multi finance dengan perbankan. Kredit konsumsi yang disalurkan pihak perbankan (menyerap 82%) dan khusus pembiayaan konsumen oleh multifinance (menyerap 18%) atau sebesar Rp 67 triliun (mewakili 62% dari total perputaran kredit industri pembiayaan Rp.107 triliun).
Karyawan memang telah menjadi tumpuan pasar yang termasuk relative aman, apalagi jika didayagunakan melalui paket kerjasama dengan bank. Dimana pelunasan cicilan dapat dikoordinasikan dengan perusahaan tempatnya bekerja. Pola ini sudah dilakukan oleh perbankan untuk karyawannya yang merupakan bagian dari kredit konsumennya dengan porsi cukup signifikan.
Dari 31 bank publik per Desember 2007 tercatat mereka telah menyalurkan kredit karyawan sebesar Rp. 14,6 triliun atau mewakili 8,3% dari total kredit konsumsinya pada priode yang sama. Bank yang memiliki rasio terbesar adalah BTPN 100% dengan alokasi kredit karyawan senilai Rp. 7,8 triliun, dimana sebagian besar merupakan kredit pemilikan rumah (KPR). Rasio ini mengalahkan rasio bank nasional terbesar saat ini yakni BNI 12,3%, Bank Mandiri 7,4%, Bank Central Asia 7,4%, BII 3,9% atau Bank Permata (3,2%). Diukur dari nominalnya maka ada 4 bank yang menyalurkan kredit karyawan skala diatas Rp. 1 triliun.

Penutup

Bagi perbankan kredit konsumen memang pilihan yang serba sulit saat ini meskipun disadari bahwa undisbursed loan di sektor ini relatif kecil dibandingkan dengan kredit untuk modal kerja atau investasi. Karena umumnya eksekusi atau realisasi pencairan kredit konsumen hampir pasti dibandingkan kredit lainnya.
Perkembangan dua bulan terakhir (Mei-Juni) yakni meningkatnya beberapa faktor vulnerabilitas (laju inflasi, BI rate, dan BBM) menjadi ancaman yang akan menurunkan daya beli konsumen. Ancaman lainnya adalah terjadinya PHK di perusahaan-perusahaan sebagai akibat meningkatnya biaya produksi baik langsung maupun tidak langsung sehingga potensi besar ini meski masih ada tapi terancam menyusut. Kredit konsumsi menjadi sektor paling awal terkena dampak krisis dan juga yang paling awal pulih dengan dampak gandanya yang bisa menarik gerbong sektor lain.
-*- Jakarta, 9 Juni 2008

Read more...

Saturday 14 March 2009

Investasi Anak Perusahaan Bank Dunia (IFC) Mempermalukan Indonesia !

Mengamati perkembangan sengketa bisnis sejak Oktober 2000, sampai saat ini masih banyak yang belum terselesaikan. Terutama antara International Finance Corporation (IFC) – afiliasi Bank Dunia dengan beberapa kreditornya di Indonesia. Kreditor IFC di Indonesia yang bermasalah, antara lain PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (AJMI) dan PT Panca Overseas Finance (POF).
Dua kasus itu bisa menimbulkan aneka penafsiran yang mencermikan sebuah ironi. Karena sengketa bisnis ini sudah menjalar di tingkat makro Ekuin, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), IMF, Bank Dunia, sampai ke Istana Presiden sebagai bagian dari restrukturisasi ekonomi nasional. Sementara itu, di tingkat mikro sudah merambah dari Kantor Pengadilan Niaga, Balai Lelang, kantor fiktif dari Hayam Muruk sampai Hong Kong dan offshore center, yakni Bahama, British Virgin, dan Western Samoa.
Dalam konteks ini, kita mendalami kasus ini dari sisi makro dan eksistensi IFC sendiri sebagai sebuah lembaga keuangan internasional yang misinya adalah mengembangkan dunia usaha swasta di negara berkembang. Kondisi ironis ini dapat dicermati, jika kita mengkaji bagaimana posisi investasi IFC di Indonesia, khususnya pascakrisis.
Perkembangan selama tiga tahun terakhir (Juni 1997 sampai Juni 2000) menunjukkan trend bahwa IFC sebagai kreditor dan pemilik saham sudah mengurangi aktivitasnya di Indonesia. Dengan porsi Juni 2000 yang hanya mencapai 500 juta dollar AS, berati investasinya sudah menurun 11 persen dibandingkan posisi prakrisis Juni 1997 yang ketika itu sudah mencapai 564 juta dollar AS.
Dilihat dari jenis investasinya, maka kumulatif portofolio 500 juta dollar AS ini terbagi dalam bentuk jaminan senilai 359 juta dollar AS atau 72 persen, yang menurun dari porsi 76 persen pada Juni 1997. Sebaliknya, alokasi dalam bentuk penyertaan saham meningkat dari 24 persen menjadi 28 persen atau sebesar 140 juta dollar AS.
Perubahan ini menunjukkan bahwa peran serta IFC dalam pinjaman ke dunia swasta Indonesia memang cenderung menurun dan lebih difokuskan pada penyertaan saham. Secara implist ini menunjukkan bahwa IFC cukup yakin akan prospek masa depan di Indonesia sehingga merasa perlu ikut serta sebagai pemegang saham termasuk juga memberikan pinjaman.
Artinya, walau krisis datang dan pergi, IFC tetap memperhatikan Indonesia. Sama dengan induknya Bank Dunia dan “pamannya” IMF yang sepakat mengguyur paket kredit tiga tahun senilai lima miliar dollar AS. Meski nilai investasi menurun, tetapi unit penyertaannya bertambah satu perusahaan dari 39 unit menjadi 40 unit perusahaan (Juni 2000).
Akan tetapi, yang diperoleh IFC terhadap nasib investasinya di Indonesia bukannya pembagian dividen, tetapi malah menuai sengketa bisnis yang selain merepotkan juga bisa berdampak negatif bagi manajemen dan eksekutif top IFC.
Bahwa lembaga investasi sekelasnya IFC bisa “jeblok” dalam sengketa bisnis yang sangat kompleks dan yang bisa saja mengarah atau bagian dari sebuah corporate crime yang lebih luas.
Artinya, orang luar bisa mempertanyakan bagaimana kinerja IFC dalam berkiprah. Padahal, lembaga keuangan ini cukup hati – hati dalam membatasi investasi maksimal 100 juta dollar AS per proyek yang bisa direalisasikan dalam bentuk penyertaan ekuiti maksimal 35 persen dari saham dan maksimal 25 persen jika dilakukan untuk pinjaman.
Berangkat dari dua kasus di Indonesia, khususnya kasus Panca Overseas Finance dan AJ Manulife Indonesia, dapat dilihat sebuah benang merah yang menarik untuk ditelesuri lebih lanjut. Setidaknya bisa dilihat lebih jauh keterkaitan bisnis antara Highmead Ltd. (terdaftar di Western Samoa), Harvest Hero International Ltd. (terdaftar di Hong Kong), dan Roman Gold Asset (terdaftar di British Virgin Island).
Highmead juga ikut dalam sindikasi pinjaman ke Panca Overseas Finance. Keterlibatan paper company dari offshore centre dengan pelbagai metode keuangannya merupakan salah satu konsekuensi dari liberalisasi dan globalisasi keuangan.
Oleh sebab itu, jangan heran jika ada perusahaan seumur jagung dari luar negeri yang bermodal dasar tidak sampai 10 juta dollar AS.
Mengemuknya sengketa ini tentu tidak lepas dari keputusan pengadilan niaga yang diharapkan bisa menjadi pintu terakhir dalam menyelesaikan sengketa bisnis secara fair dan adil.
Pelbagai kekalahan investor atau perusahaan asing dalam sengketa bisnis yang diselesaikan di pengadilan niaga memang sedikit banyak mempengaruhi pandangan mereka terhadap kinerja pengadilan niaga, yang justru dibentuk dengan ambisius atas prakarsa IMF dan Bank Dunia, sebagai bagian dari program restrukturisasi.
Bahkan, investor mendapat kesan, ini merupakan salah satu cara menggagalkan tuntutan pailit dan menghindari pelunasan utang. Jadi, di mata IFC dan sejumlah investor asing, eksistensi Pengadilan Niaga tidak menjamin bisa menyelesaikan sengketa bisnis yang adil dan fair.
Kiranya mereka perlu banyak belajar meski Pengadilan Niaga dibentuk dalam paket restrukturisasi oleh IMF, namun itu tidak menjamin bisa menyelesaikan sengketa dengan baik, setidaknya dilihat dari aspek mereka sendiri.
Salah satu jurus ampuh yang dicoba lagi bagi IFC dan kreditor asing untuk memenangkan kasus mereka di pengadilan niaga adalah mencari pengacara yang tepat.
Ujung tombak ada di pengacara. Fenomena larisnya pengacara spesialis kasus pailit dan sejenisnya bukan hanya di Jakarta, tetapi juga melanda AS, yang justru mengalami langkanya pengacara spesialis pailit.
Memang sangat ironis.
Oleh sebab itu, permintaan Menko Ekuin agar Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) mengkaji kasus penjualan saham AJMI agar jangan sampai berimplikai dan berdampak negatif bagi dunia usaha internasional, memang langkah tepat. Meski itu belum optimal dan bahkan agak terlambat.
Terlepas dari seberapa besar sengketa bisnis melibatkan afiliasi IFC berdampak pada pinjaman IFC kepada Indonesia, yang jelas kita harus segera memperbaiki dan membenahi kepastian hukum, khususnya pada pengadilan niaga. Karena secara makro dan jangka panjang, kasus – kasus seperti itu akan menjadi noda hitam yang merusak citra hukum dan perilaku bisnis di Indonesia.
Sampai – sampai editorial The Asian Wall Street Journal (AWSJ) dengan sinis mengingatkan bahwa 90 persen hukum di Indonesia sudah hilang. Dalam konteks inilah kita bisa memahami mengapa IFC menyatakan akan mempertimbangkan kembali masa depan investasinya di Indonesia.
Tentu saja kita perlu melihat bagaimana kinerja 41 afiliasi IFC sampai saat ini, diman 43 persen total investasinya atau senilai 364 juta dollar AS pada 14 proyek ternyata bermasalah. Sektor keuangan adalah sektor yang investasinya paling intensif dengan total pinjaman dan penyertaan saham senilai 72 juta dollar AS pada 12 perusahaan.
Berdasarkan posisi keuangan tahun 1999 terlihat bahwa beberapa perusahaan keuangan tersebut khususnya di sektor jasa keuangan (multi-finance) memang kritis, meski bisa meraih laba.
Modal tiga perusahaan multifinance bahkan sudah defisit ada yang mencapai hampir Rp 700 miliar. Aktivitas pembiayaan tiga perusahaan tersebut juga menyusut ada yang sampai 80 persen.
Dilihat dari mitra bisnis di afiliasinya IFC tersebut, memang terdapat grup – grup besar yang sekarang sebagian sedang mengalami masalah keuangan. Beberapa di antara pemilik afiliasi IFC tersebut mulai dari Astra, Bakrie, Dharmala, Ongko, Panin, Lyman Grup, Argo Pantes, Indorama, sampai Gramedia (khusus perhotelan).
Memang tidak semua afiliasi IFC yang kinerjanya menurun karena pada beberapa afiliasi lainnya justru menunjukkan kinerja yang baik, termasuk manajemennya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, jika IFC mengurangi investasinya di Indonesia, tentu saja mereka akan bersifat selektif. Karena, bagaimanapun pertimbangan utama investasinya adalah bisnis murni, meskipun tidak bisa menutup mata terhadap konstelasi politk global.
Secara umum, jika pelbagai sengketa bisnis tidak dapat diselesaikan dengan baik dan adil, maka kasus – kasus selama ini bisa menjadi preseden buruk dan sebagai yurisprudensi di masa depan. Padahal, kita memahami dengan kondis ekonomi sekarang, maka letupan kasus – kasus sejenis akan berpotensi muncul, khususnya menyangkut investor, IFC atau kreditor asing lainnya. (*)
Kompas, 27 Maret 2001

Read more...

Friday 13 March 2009

Kinerja Perusahaan Ritel Besar Nasional Memble

Selama 15 tahun terakhir sejak masuknya jaringan ritel asing melalui Franchise ke Indonesia, ternyata dinamika dan peta persaingan bisnis ritel masih belum lepas dari sindroma umum sebagai kisah klasik. Yakni memandang persaingan dengan dikotomi antara riteler besar dan riteler kecil atau asing versusu nasional.
Disamping inkonsistensi dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah pusat dan sekarang ditambah lagi dengan inkonsistensi pemerintah pusat dengan pemerintah daerah (dengan payung otonomi daerah). Termasuk juga pelaksanaan aspek perpajakan, yang dicermati lebih mendalam lintas sektor bisa menjadi disinsentif dan unsur negatif bagi pengusaha ritel dibandingkan usaha perdagangan lainnya.

Kinerja menurun
Perkembangan mutakhir sepanjang semester pertama 2003, juga menarik untuk dicermati. Karena disaat para riteler mengalami penurunan omzet dan laba, ternyata mereka terus membuka gerai baru dan cenderung melebar ke luar Jawa. Penurunan kinerja terjadi pada tiga riteler utama per Maret 2003 dibandingkan Maret 2002.
Dimana omzet Matahari turun 10,5%, sehingga laba usaha menurun 98,7% dan akibatnya laba bersih juga turun 88,5%. Hero Supermarket meski omzetnya naik 1,2% namun laba usaha turun 30% dan laba bersih turun 13,5%. Ramayana masih menikmati kenaikan omzet 14,8%, namun laba usaha dan laba bersihnya merosot 68% dan 70%.
Rimo juga omzetnya turun 13% dan masih rugi. Bahkan Alfa Ritelindo mengalami penurunan laba bersih menjadi Rp 2,2 miliar.
Merosotnya kinerja ini tidak lepas dari naiknya biaya operasional mencakup kenaikan listrik, telepon, gaji dan beban lainnya yang meningkat antar 35% sampai 40%. Memang daya beli masyarakat cenderung menurun.
Namun perlu dicermati dan dipahami bahwa ini bukan kejadian luar biasa yang bisa bikin kiamat, karena kondisi ini adalah mengikuti siklus bisnis konsumsi masyarakat. Masa pesta pora dan gebyar konsumsi paling tinggi terjadi pada kuartal keempat, apalagi pada siklus kalender 4 tahun terakhir di mana hari raya Lebaran dan Imlek bertemu dan “ngumpul” di bulan January dan February dengan Natal dan Tahun Baru.
Dengan demikian, potret sementara ini tidak layak dijadikan indikator melemahnya bisnis ritel dan atau melihatnya dari kacamata persaingan bisnis riteler asing dan lokal atau besar versus kecil.
Sebab para retiler raksasa lokal juga sibuk mengantisipasi dengan buka gerai sehingga menerbitkan obligasi di pasar domestik tidak kurang dari setengah triliun (sejak September 2002 sampai Juni 2003).
Malahan raksasa Hero bulan ini mengeluarkan Rp 111 miliar untuk akuisisi 22 gerai Top Supermarket (milik Royal Ahold yang bermitra dengan PSP).
Secara eksplisit merupakan akuisisi Dairy Farm (Hong Kong) terhadap gerai Royal Ahold (Belanda) di pasar Indonesia. Sebuah pertarungan bisnis murni yang bisa terjadi antara riteler asing terhadap mitra lokal dan juga sesama riteler lokal.
Memahami persaingan bisnis ritel dengan dikotomi asing versus lokal, jelas tidak kontekstual lagi untuk diperdebatkan. Mengapa? Karena membedah dan memilah predikat asing tidak lagi hanya sebatas nama tapi juga sudah harus melihat unsure permodalan mulai dari investasi portofolio sampai investasi langsung (foreign direct investment).
Tentu saja kita tidak bisa bilang Makro dan Carrefour asing sementara Matahari atau Hero berbaju lokal. Asing bisa masuk langsung tanpa ribut – ribut melalui lantai bursa dan bahkan bisa menyedot habis jatah saham ritel ke asing.
Justru yang lebih penting dan berdampak besar ke konsumen, dunia usaha dan pemerintah adalah bagaimana memberdayakan kekuatan jaringan dan posisi riteler dari berbagai kelas bagi kemajuan ekonomi dalam arti kecil sekalipun.

Inkonsistensi Kebijakan
Inkonsistensi kebijakan yang dimaksud disini adalah belum terpadunya pemerintah dalam menata kebijakan rill di bisnis ritel ini justru seringkali membingunkan dunia usaha.
Ini menyangkut banyak aspek mulai dari masalah lokasi pasar, zoning law, jam buka, limbah, sampai ke masalah pajak yang penyelesaiannya butuh pendekatan lintas sektor.
Dari perangkat hukum, sangat jelas bahwa semua aspek utama sudah diatur bahkan sedemikian banyaknya malah tumpang tindih, berlawanan, dan bikin bingung di lapangan. Misalnya tentang alokasi 20% lahan untuk usaha kecil sementara disisi lain sudah diatur jarak (zoning law) antara pasar tradisional dengan pasar ritel modren.
Memang diberi altenatif lain bahwa jika alokasi 20% tidak memungkinkan maka diganti kompensasi sebesar 20% dari luas efektif dikalikan nilai bangunan.
Bagi pengelola pasar modren (riteler maupun developer) tinggal mengkalkulasi ulang mana yang lebih menguntungkan antara membayar kompensasi ke pemda atau menyewakan lahan 20% ke pasar bebas yang nilainya terus meningkat.
Peraturan daerah yang lebih banyak mengatur mekanisme kerja dan operasional pasar modern dan tradisional juga dapat diperkirakan tidak bisa berfungsi seragam di seluruh wilayah.
Karena masing – masing tergantung kebijakan pemda setempat. Misalnya jarak pasar modern dengan luas lebih dari 200 m² harus berjarak minimal 500 m dari pasar lingkungan dan satu kilometer dari pasar lingkungan.
Ini untuk wilayah Jakarta melalui SK Gubenur DKI No. 50 tahun 1999. Namun aturan ini belum tentu berlaku seragam di wilayah lain Indonesia apakah itu di Bandung, Semarang, Medan, Surabaya, Makassar, Manado, Pontianak atau Banjarmasin. Karena masing – masing pemda merasa berhak dan punya wewenang dengan aturan sendiri.
Pada tahap inilah pelaksanaan kebijakan di lapangan bisa berbenturan.
Ringkas kata jangan yakin bahwa Kepmen diakui dan dihormati oleh pemda setempat bahkan bisa jadi Kepres sekalipun. Birokrasi kita sedang asyik menikmati buah otonomi daerah berbalut reformasi demokratisasi. (*)
Bisnis, 16 Juni 2003

Read more...

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP