Friday 12 June 2009

Ayo Bankir Kita Ke Kebun !

Minggu lalu Dirut Bank Bukopin di Surabaya (Investor, 23 Mei 2008) menyatakan bahwa perbankan nasional selama ini belum optimal dalam mengucurkan kredit ke sector pertanian. Secara implicit ini mempertegas bahwa sebenarnya perbankan memiliki kapasitas kredit yang besar, namun fokusnya belum maksimal ke sektor pertanian.
Kondisi ini diperkuat lagi dari kompilasi data penyaluran kredit bank papan atas yang jadi emiten pasar modal. Jajaran bank besar ini telah menyalurkan kredit sebesar Rp. 810 triliun tapi baru 6,7% atau Rp. 54,6 triliun yang disalurkan ke sector pertanian. Mencakup perkebunan, sarana produksi pertanian dan sector yang terkait dengan pertanian serata perikanan. Bank Agro Niaga menjadi bank yang paling tinggi konsentrasinya ke sector pertanian dengan porsi 43,7% meski nominalnya masih dibawah satu triliun. Disusul kemudian oleh Bank Ekonomi (24,7%) dan Bank Rakyat Indonesia (10,3%). Sedangkan Bank Bukopin sendiri baru 6% dari total kredit Rp. 22,4 triliun.
Terkait dengan munculnya wacana pembentukan bank pertanian setelah 2 tahun lalu mulai digulirkan oleh mantan Gubernur Bank Sentral Burhanudin Abdullah pada sidang pleno ke 12, ISEI di Balikpapan (20 Juli 2007), maka eksistensi atau kinerja kredit perbankan perlu dicermati. Sampai Maret 2009 penyaluran kredit perbankan ke sector pertanian baru 5,3% dari total kredit yang sudah mencapai Rp. 1.297 triliun.
Fakta makro dan mikro perbankan ini membuktikan bahwa sektor pertanian kurang sexy di mata perbankan. Salah satu penyebab karena belum adanya jaminan pasar dan harga produk-produk pertanian disamping aspek produktivitas produksi yang terkait dengan siklus musim. Secara ekonomis dan mencapai BEP jika produksi gabah kering giling mencapai 4 ton per hektar. Ini tentu tidak berdiri sendiri tapi didukung oleh sarana produksi pertanian dan pengairan disamping pupuk yang terjamin. Disamping kegiatan off farm yang selanjutnya terkait dengan distribusi serta pemasaran produknya harus terjamin. Mengalirnya kredit puluhan triliun ke perkebunan sawit, karet atau kopi menunjukan bahwa jenis komoditi tidak penting tapi yang lebih penting apakah menguntungkan bagi kreditur dan tentu saja bagi petani maupun pengusaha. Sehingga komoditi pertanian ini mencakup berbagai komoditi pangan lainnya seperti jagung dan produk sereal lainnya. Dengan demikian kendalanya berada di luar ranah perbankan yakni ada di sector pendung mulai dari pengairan, ketersediaan lahan, jaminan pupuk dan saprotan terkait.
Isyu ekonomi kerakyatan yang sedang laris manis dan menjadi primadona topik kampanye dari 3 pasang capres-cawapres, maka kita bisa menaruh harapan akan prospek industri peranian nasional (kecuali kalau hanya untuk kampanye populis dan pemanis). Karena siapapun pemenangnya bulan depan satu diantaranya pasti akan mengedepankan ekonomi berbasis kerakyatan dan berpotensi “meningkatkan daya beli” petani dan selanjutnya bakal jadi konsumen potensial bagi produk industri lainnya. Salah satu konsep yang jelas adalah program mencetak sawah baru sekian juta hektar. Sementara sekitar 3 atau 4 tahun lalu salah satu capres saat ini malah pernah membandingkan produktivitas pertanian dengan pabrik manufaktur diukur dari luas lahan sawah (per hektar) yang dipergunakan.
Pola pengembangan pertanian dengan refek gandanya bukanlah hal sulit tapi yang lebih diperlukan adalah political will, komitmen dan konsistensi dari pemerintah sebagai kunci. Karena tanpa disadari dan tanpa hituk pikuk sedang berlangsung proses konglomerasi pertanian, dalam arti positif bukan hanya melahirkan petani berdasi.
Menarik jika melihat rencana aksi salah satu konglomerasi nasional yang justru aktif dan terpadu mengembangkan bisnis pertanian yang produknya akan terkait dan mendukung industri intinya. Tetap dengan semangat plasma-inti dan teintegrasi dari hulu–hilir melibatkan pemain utama petani. Sekaligus membiayai sektor terkait saprotan (sarana produksi pertanian). Dengan cara mereka memberikan kredit langsung kepada petani untuk pengadaan seluruh kebutuhan yang terkait dengan kegiatan pertanian, mulai dari pembibitan, pupuk, alsintani, sampai ke pemasaran, perdagangan produk akhir pertanian. Jenis kreditnya Jika dilihat dari jenisnya tergolong sektor perdagangan tapi kenyataannya terkait sektor pertanian.
Ekspansi yang dilakukan oleh konglomerasi tersebut dapat menjadi embrio berskala nasional dengan pola pemasaran produk pertanian mengarah pada konsep outlet dengan jaringan pemasaran ala multilevel. Dengan konsep ini diharapkan memberikan multiplier effect yang akhirnya akan menaikkan pendapatan petani dan tentu saja mengamankan pengembalian kewajibannya kepada kreditur yang telah menyalurkan kredit. Perkembangan NPL sektor pertanian dari 2001 sampai 2006 menunjukan adanya penurunan dari Rp. 3,9 triliun (2001) menjadi Rp. 3,16 triliun (2006). Meski demikian rata-rata NPL pertanian 4% lebih tinggi dari industri lainnya.
Secara teknis dapat diungkapkan pola yang dilakukan oleh konglomerasi tersebut adalah petani yang mendapatkan kredit dari bank akan dibina dengan pola manajemen dari bank kreditur. Pada saat bersamaan juga disalurkan kredit kepada perorangan maupun petani untuk terlibat dalam aktivitas perdagangan alsintani (alat mesin pertanian, seperti traktor mini atau cangkul) yang akan didirikan pada setiap kecamatan yang akan menjangkau di wilayah setempat. Unit usaha ini yang nantinya akan membentuk outlet – outlet yang akan menjual produk alsintani, bibit dan pupuk dengan konsumen utama para petani di wilayah setempat. Dengan demikian aktivitas bisnisnya akan terkait langsung dengan dinamika sektor pertanian yang tentu saja tidak lagi hanya sebatas menghasilkan padi, tapi bisa produk pangan lainnya. Keberadaan outlet – outlet ini dapat melengkapi infrastruktur yang sudah dimiliki oleh jajaran koperasi selama ini.
Konsep ini diperkirakan akan berjalan dengan baik, dengan catatan sejauh didukung oleh pelaku utama sektor pertanian yaitu petani. Konsep “konglomerasi pertanian” dalam arti positif ini bisa menjadi prototype dalam menumbuh kembangkan taraf hidup petani. Ini dapat diterapkan oleh bank sebagai kreditur yang akan terlibat total dalam pengembangan pertanian ini. Sehingga tidak lagi hanya membatasi diri pada penyaluran kredit semata. Jika konsep ini diterapkan oleh bank–bank utama yang selama ini cukup mendominasi kredit di sektor pertanian maka diharapkan akan berdampak positif dalam peningkatan kredit ke sektor pertanian yang berkualitas baik. Dan tidak perlu lagi perdebatan panjang untuk mendirikan bank pertanian karena produknya sendiri sudah feasible dan laik kredit.
Saat ini memang belum ada bank spesifik atau mengklaim fokus khusus membiayai sektor pertanian, karena 3 bank negara sekalipun masih kecil porsinya. Yang terbesar porsinya BRI dengan alokasi 10,3% disusul Bank Mandiri 9,3% dan Bank Negara Indonesia 4,9%. Sedangkan Bank Agro yang pemegang sahamnya pihak – pihak yang terkait dengan pertanian dan perkebunan porsinya baru maksimal 43% dari total kreditnya atau sebesar Rp 865,9 miliar yang cenderung meningkat. Dengan demikian konsep “konglomerasi pertanian” diperkirakan dapat meningkatkan aktivitas kredit ke sektor pertanian yang selama ini khususnya pasca krisis telah menjadi penyelamat aktivitas ekonomi dan memiliki daya tahan dan keunggulan dibandingkan beberapa sub sektor perindustrian lainnya.
Minimnya alokasi kredit perbankan ke sektor pertanian dan sektor terkait tidak bisa disalahkan kepada pihak perbankan semata karena untuk pengembangan dan suksesnya bisnis pertanian memerlukan dukungan infrastruktur terkait lainnya yang saling menunjang. Mulai dari alokasi sawah garapan, ketersediaan alsintani sampai pemasaran hasil produksi baik lokal maupun ekspor. Jika semua sarana pendukung sudah memadai seperti dari jaringan infrastruktur pengairan, sarana produksi pertanian (saprotan), musim, ketersediaan pupuk dan jaminan dan kepastian harga pasca produksi dengan sistim distribusinya dan mekanisme resi gudang maka daya serapnya akan tinggi. Saat itulah momentum tepat membentuk bank pertanian atau perbankan umum sendiri akan mengalokasi kredit ke pertanian. Tidak mudah merobah paradigma bank follow the trade sama sulitnya dengan kampanye ayo ke bank termasuk ayo bankir kita ke kebun.
***
Dimuat di Investor Daily, 1 juni 2009

Read more...

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP