Thursday 5 November 2009

Memburu Pajak Orang Super Kaya

Awal April 2009, ketika Presiden meresmikan berdirinya Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Pribadi Besar, Ditjen Pajak telah memiliki daftar 1.200 orang superkaya atau miliarder tergolong high net worth individual. Ini terdiri dari orang-orang yang punya kekayaan diatas Rp. 10 miliar, pemegang saham atau professional yang menjadi pemegang saham atau orang yang melaporkan SPT tahunan diatas Rp. 1 miliar. Ini jumlah yang sangat kecil dibandingkan 11,7 juta wajib pajak pribadi pada periode yang sama.

Yang menjadi tantangan selanjutnya bagi Ditjen pajak adalah bagaimana menelusuri dan mengejar kewajiban pajak para WP super kaya tersebut. Karena setoran pajak mereka sangat signifikan bagi penerimaan PPH pribadi. Tidak mudah menetapkan potensi pajak wapa pribadi superkaya tersebut. Oleh sebab itu lebih penting mendayagunakan potensi yang telah tersedia sambil terus melakukan perluasan dan pendalaman target.

Menurut laporan World Wealth Report 2008 dari Capgemini dan Merryl Lynch jumlah orang super kaya atau super tajir di Indonesia tahun 2007 ada 23.000 naik 16,8% dari 2006. Lembaga ini telah berpengalaman 20 tahun lebih meneliti dan juga mengelola harta orang-orang tajir sedunia yang punya asset minimal US$ 1 juta (setara Rp. 10 miliar). Tahun 2007 di seluruh dunia ada 10,1 juta orang super kaya dengan total asset US$ 59,1 triliun, 4 kali lipat total ekspor dunia 2007 (US$ 14 triliun). Dari pertumbuhannya ternyata orang super tajir di Indonesia tumbuh paling tinggi kelima di dunia setelah Brasil, India dan China (BRIC) dan Korea Selatan. Sedangkan Singapura hanya punya 77 ribu orang kaya dan tumbuh 15,3%. Orang super tajir terbanyak ada di China sebanyak 415.000 orang yang tumbuh kedua tertinggi setelah India. Lihat tabel.

Dengan demikian, 23 ribu orang super tajir ini hanya 2,3% dari total 848 ribu wajib pajak tahun 2008 yang telah membayar pajak sebesar Rp. 12 triliun. Dari jumlah ini tercatat sebesar 47% (Rp. 5,7 triliun) berasal dari 5.588 wajib pajak yang bayar pajak diatas Rp.1 miliar. Pada puncak piramida hanya ada 411 orang superkaya yang membayar pajak diatas Rp. 5 miliar dengan total setoran Rp. 1,4 triliun.. Lihat tabel.

Dari perbandingan data orang super tajir versi Capgemini Merryl Lynch ini berarti terdapat potensi pajak orang super tajir yang sangat besar di Indonesia yang baru sebagian kecil disisir oleh Ditjen Pajak. Oleh sebab itu jangan berharap banyak pada kuantitas wajib pajak sebagaimana sukses sunset policy yang bisa meraih jutaan wajib pajak baru tapi 80% berpenghasilan rendah dibawah PTKP. Justru di depan mata yang sangat gamblang banyak potensi pajak yang “terlantar “ dibiarkan tak disentuh. Lihat saja 60% dari anggota DPR periode 2009-2014 yang dilantik awal Oktober ternyata belum memiliki NPWP.

Pemegang Saham di Tax Haven

Banyak negara yang memberikan fasilitas dan kemudahan perpajakan dan tidak adanya transparansi tentang rahasia nasabah (kawasan tax haven) telah menjadi tempat berlabuhnya orang-orang super tajir sedunia. Dan kawasan ini telah memainkan peranan penting dalam pengelolaan uang nasabah super kaya sedunia.

Survey Oxfam bulan Juni 2000 memperkirakan total dana internasional yang disimpan di international offshore company mencapai sekitar US$ 6 – US$ 7 triliun. Setengahnya sekitar US$ 3 - US$ 4 triliun milik pribadi-pribadi super kaya (high net worth individual, HNWI). Survey Cap Gemini dan Merryl Lynch dalam World Wealth Report juga menyatakan sepertiga dari total US$ 6 triliun kekayaan milik pribadi-pribadi tajir disimpan di offshore centre yang sebagian besar memberikan fasilitas bebas pajak atau tariff rendah. Praktek ini berakibat pada potensi kehilangan pajak sekitar US$ 50 miliar per tahun. Sekitar 31% dari keuntungan MNC global juga mengalir dan disimpan di offshore centre dengan fasilitas tax haven.

Sehingga para miliarder pemegang saham perusahaan Indonesia yang terdaftar di tax haven menjadi wajib pajak yang potensial untuk disisir. Penelitian Investment and Banking Research Agency (INBRA) terhadap aktivitas perusahaan publik sampai Desember 2008 menemukan terdapat 470 anak perusahaan dari Indonesia yang terdaftar atau domisili hukumnya di luar negeri yang tergolong tax haven (sesuai kriteria FATF, OECD). Jajaran paper company yang sebagian besar berusia balita ini memiliki asset Rp. 306,5 triliun (setara US$ 27,9 miliar). Naik 30% dari Rp. 235 triliun tahun 2007. Mencakup anak perusahaan dengan saham minimal diatas 51% yang bergerak di berbagai bidang usaha.

Ternyata mayoritas 30,7% atau Rp. 93,9 triliun dari asset tersebut terdaftar di Singapura milik 160 anak perusahaan. Disusul Mauritius yang mengantongi asset Rp. 30 triliun dan Belanda Rp. 29,6 triliun. Meskipun perusahaan berusia balita tapi memiliki asset kelas triliunan, dimana terdapat 73 anak perusahaan yang assetnya diatas Rp. 1 triliun. Dan sebagian besar bergerak di biang jasa keuangan dan investasi yang terkait dengan proses penerbitan aneka surat berharga untuk membiayai pinjaman dan investasi perusahaan induk. Juga menjadi agen pemasaran dan jaringan perdagangan internasional sebagai ujung tombak ekspor dan impor, termasuk pembiayaan dan jasa keuangan.

Kesimpulan

Dengan perbandingan data empiris ini serta asumsi Dittjen Pajak bisa focus, kerja keras dan benar maka potensi pajak yang diraih cukup besar. Sehingga jumlah wajib pajak yang bayar pajak diatas Rp. 1 miliar akan lebih dari 5.588 orang seperti tahun lalu.

Sementara laporan FATF OECD (14 September 2009) yang menyatakan bahwa sekarang semua negara (80 negara) sudah berkomitmen untuk menerapkan standard pajak internasional. Secara implisit ini menyatakan bahwa tidak ada lagi negara atau kawasan di planet bumi ini yang memberikan fasilitas bebas pajak, pajak rendah dengan rekening rahasia. Sehingga daya tarik atau keunggulan dari international offshore centre dengan fasilitas sebagai tax haven selama setengah abad mulai berkurang sebelum tamat.

Pergeseran global ini perlu diantisipasi oleh nasabah super kaya, perusahaan dan tentu saja otoritas moneter dan fiscal guna pemenuhan kewajiban pajaknya. Menjaring ikan besar perlu keahlian dan teknis khusus tanpa perlu merusak lingkungannya. * (Kompas 3 November 2009 )

Read more...

Saturday 29 August 2009

Bank Sentral dan OJK, Integrasi Hulu-Hilir

Oleh : Beni Sindhunata, Direktur Eksekutif INBRA

Ditengah perobahan pola investasi masyarakat dari saving soviety ke investment society, mekanisme hubungan antara lembaga perbankan dengan jasa keuangan perlu di perkuat. Agar bisa menciptakan sinergi yang baik dan kepastian bagi perlindungan konsumen.
Korelasi positif lainnya tercermin pada mengalirnya kredit perbankan ke perusahaan publik. Sebagaimana survey Investment and Banking Research Agency (INBRA) bulan Maret 2007 (“Pangsa Pasar Perbankan dan Kolektibilitas Kredit”). Sebesar Rp 115 triliun atau 30% dari total kredit perbankan yang disalurkan ke dunia usaha swasta juga diserap oleh 261 perusahaan public, diluar perusahaan jasa keuangan. Dari total hutang tersebut sebesar Rp 55,4 triliun merupakan hutang jangka panjang, Rp 46,3 triliun adalah hutang jangka pendek dan Rp 13,8 triliun adalah hutang yang masuk jatuh tempo (September 2007) sebesar 36,9% atau Rp 5,1 triliun merupakan hutang valas.
Terkait dengan perlindungan konsumen maka kehadiran berbagai produk keuangan yang semakin beragam perlu pengawasan dan pengaturan yang lebih ketat dan terpadu. Misalnya pemasaran polis asuransi yang sudah dipaket dengan aneka produk jasa keuangan dan dijual lewat perbankan produk asuransi (bancassurance), reksadana atau unit linked juga berpotensi untuk disalahgunakan yang akhirnya merugikan konsumen. Inilah yang telah berlangsung selama tahun terakhir. Ditengah perobahan pola investasi masyarakat dari saving society ke investment society maka perlu diperkuat mekanisme hubungan antar institusi ini agar bisa menciptakan sinergi yang baik dan kepastian perlindungan konsumen.

Dikotomi vs Integrasi
Eksistensi bank sentral dalam konteks pengelolaan stabilitas sistim keuangan juga mengalami perubahan sebagaimana hasil survey dari Financial Stability Institute (FSI) tahun 2006 yang menunjukan bahwa 66% atau 83 dari 125 negara menempatkan bank sentral sebagai pengawas utama perbankan, sebagai bagian inti dari stabilitas system keuangan dan mandatnya untuk bank sentral. Sedangkan survey tahun 2008 menyimpulkan trend bahwa bank sentral di negara negara berkembang cenderung memiliki fungsi dan tugas yang lebih luas dibandingkan negara maju. Dan krisis financial global tahun 2008 telah mendorong sebagian negara maju untuk merombak kembali sistim keuangan mereka yang cenderung dipisah-pisah seperti Inggris dan Amerika Serikat.
Globalisasi dan konglomerasi di sector jasa keuangan serta semakin ketatnya tata kelola perbankan terkait aturan Basle Accord II menuju terciptanya stabilitas system keuangan perlu diantisipasi dengan mempertimbang adanya pengaturan dan pengawasan sector jasa keuangan yang terpadu dengan perbankan. Jika perbankan ibarat hulunya maka sektor jasa keuangan adalah hilirnya sehingga terjadi integrasi pengawasan dan penglolaan yang terpadu dari hulu ke hilir. Pada tahap ini dibutuhkan adanya kerjasama pertukaran informasi dan data masing-masing pihak, sehingga bisa mendeteksi dini segala potensi penyimpangan dari para pelaku. Adanya pemisahan atau dikotomi pengaturan dan pengawasan antara moneter dan jasa keuangan menciptakan celah empuk untuk penyimpangan oleh pelaku bisnis. Terakhir adalah kasus di Bank Century terkait dengan produk reksadana dari Antaboga Sekuritas. Hubungan mesra antara sekuritas, perusahaan pembiayaan, asuransi, dana pensiun dan bank perlu diawasi lebih cermat, guna mencegah kerugian bagi investor.
Krisis perbankan satu dekade lampau telah membuat pengawasan di sektor perbankan semakin ketat yang harus diikuti oleh semakin ketatnya pengawasan di sector jasa keuangan. Jika tidak dimbangi akan berpotensi munculnya penyimpangan sejenis. Karena calon korban berikutnya beragam dari investor retail sampai investor institusi skala besar seperti perusahaan-perusahaan pengelola dana jaminan sosial dan tenaga kerja. Empat raksasa pengelola dana yang notabene persero saat ini punya asset Rp. 119 triliun milik 49 juta peserta di seluruh Indonesia dengan investasi Rp. 111 triliun. Juga pengelola dana pension yang total investasinya Rp. 100 triliun.
Dengan pendekatan seperti ini maka semangat pengaturan dan pengawasan satu atap sebenarnya bukan hal yang rumit karena tinggal mendayagunakan infrastruktur yang sudah tersedia saat ini yang sudah memahami peta dan anatomi jasa keuangan dan perbankan. Tanpa harus susah payah memikirkan pembentukan lembaga baru ibarat BPPN jilid 2. Karena membentuk lembaga baru perlu infrastruktur baru dengan sumber daya manusia yang memiliki latar belakang berbeda selain membutuhkan waktu dan fase penyesuaian dalam operasionalnya.
Selanjutnya untuk aktivitas sektor jasa keuangan maka dibentuk direktorat khusus dalam bank sentral. Ini akan memudahkan pengawasan dan manajemen informasi khususnya lalu lintas informasi dan data kegiatan perusahaan jasa keuangan. Sehingga potensi penyimpangan dari perusahaan jasa keuangan dapat segera diantisipasi agar tidak berpotensi menganggu stabilitas sistem keuangan yang berporos di perbankan. Pendekatan ini memiliki semangat yang sama dengan OJK kecuali dalam operasional teknisnya dengan tetap mempertahankan semangat independensi bank sentral dari intervensi pemerintah. Pengawasan dan pengelolaan terpadu dari hulu sampai hilir ini perlu segera direalisir mengingat perekonomian nasional belum lepas dari pusaran krisis finansial global yang belum berakhir tapi terus bergerak. Ini juga relevan dalam konteks penyusunan “dream team” kabinet SBY-Boediono yang sedang digodok saat ini. (*).
(Investor, 24 Juli 2009)

Read more...

Quo Vadis, Kontribusi Emiten Bagi Negara ?

Oleh : Beni Sindhunata, Direktur Eksekutif INBRA
(investor kamis, 26, agustus 2009)

Pernyataan Presiden SBY dalam pidato kenegaraan tanggal 15 Agustus 2009 bahwa Indonesia tidak lagi mengandalkan ekspor sebagai kekuatan ekonomi dan akan mengandalkan potensi pasar domestik, memang lebih mencerminkan kekuatan dan kinerja pelaku ekonomi di sektor riil tahun lalu yang “tertolong” oleh pasar domestik. Pemikiran ini di perkuat lagi oleh fakta di sektor riil yang menunjukan bahwa benar sebesar 68% penghasilan para emiten eksportir disumbang oleh penjualan domestic. Kelompok emiten eksportir ini adalah perusahaan public yang juga mengekspor.
Penelitian INBRA terhadap aktivitas ekspor oleh 132 eksportir dari tahun 2003 sampai 2008 menunjukan beberapa hal yang perlu dicermati. Adalah benar kontribusi pasar lokal terhadap total penjualan masih lebih besar dibandingkan pasar ekspor. Namun selama 5 tahun terakhir porsinya menurun dari 72,1% menjadi 67,2%. Secara implicit ini menunjukan bahwa kontribusi ekspor terhadap penjualan (rasio rekspor) justru meningkat. Dengan perolehan devisa tahun 2008 sebesar Rp. 152 triliun (setara US$ 13,9 miliar) atau tumbuh 23%, lebih tinggi dari pertumbuhan otal ekspor nasional (19,3%). Sehingga dalam 5 tahun dari 2003 sampai 2008 kontribusi ekspor terhadap penjualannya naik 27,9% menjadi 82,8%. Dengan demikian kontribusinya bagi perolehan devisa nasional (migas) juga naik dari 9,3% menjadi 10,2%. Lihat tabel.
Kontribusi Ekspor Emiten, 2003 – 2008
Diolah INBRA dari sumber BPS dan laporan keuangan

Jika gabungan kekuatan sektor riil yang diwakili oleh 132 emiten eksportir ini dijadikan semacam “miniatur” ekonomi Indonesia maka naiknya rasio ekspor dan kontribusinya bagi perekonomian nasional cukup positif mulai dari pajak, sektor riil sampai penyerap tenaga kerja.
Analisis kinerja per perusahaan menunjukan bahwa jumlah eksportir kelas triliunan bertambah dari 11 perusahaan tahun 2003 menjadi 30 tahun 2008. Komposisi sektoral untuk kelompok 10 besar terdiri dari sektor pertambangan 47%, produk pulp dan kertas 30,8% dan agri-industri 17,9% yang semuanya mengalami kenaikan harga. Untuk kelompok 20 konglomerasi besar ekspornya mencapai Rp. 134,1 triliun dengan rasio ekspor 30,4%.

Kesimpulan
Melambatnya pertumbuhan ekspor non migas jangan sampai merubah strategi pengembangan dan orientasi pasar industri nasional dari export oriented ke local oriented. Karena untuk jangka panjang strategi ini kurang tepat dan bisa melemahkan daya saing karena liberalisasi perdagangan harus dihadapi dengan segala konsekwensinya. Justru harus meningkatkan daya saing dengan segala upaya yang selama ini terkendala banyak faktor. Sehingga perlu semakin focus dalam pengembangan dan penguatan daya saing ekspor yang bernilai tambah dan bukannya membiarkan daya saing berkembang sendiri. Kinerja emiten eksportir menunjukan bahwa kontribusi dan rasio ekspornya naik bahkan tumbuh lebih tinggi dari total penjualan, ini perlu didukung.
Perbandingan empiris global selama 60 tahun menunjukan bahwa AS yang jadi eksportir raksasa tahun 1948 menguasai 21,7% ekspor dunia kini tahun 2007 turun di peringkat 3 (menguasai porsi 8,5%) dibawah Jerman dan China. Porsi Indonesia sejak 1997 juga turun dari 10,1% menjadi 8,5%. Ini semuanya tidak lepas dari peningkatan daya saing.
Dengan demikian untuk pengembangan ekspor nasional maka kata kuncinya adalah peningkatan daya saing dengan berbagai kebijakan insentif dan dis-insentif agar sektor riil benar-benar bisa berkembang. Pasar terbuka lebar dengan aneka komoditi. Kondusifnya sektor riil dan akan meningkatkan kinerja ekspor nasional termasuk emiten eksportir. Strategi focus ke export oriented atau local oriented merupakan tantangan bagi menteri bidang ekuin di cabinet mendatang. (Investor, 26 Agustus 2009)
-***-

Read more...

Friday 28 August 2009

Harmonisasi Bank dan Jasa Keuangan

Oleh : Beni Sindhunata, Direktur Eksekutif INBRA

Keputusan Bank Indonesia tanggal 1 Juli 2009 yang melarang bank memasarkan produk derivatif dari bank lain merupakan langkah tepat guna memberikan perlindungan kepada nasabah jasa keuangan dan sesama bank. Aneka produk derivatif dengan sebutan canggih dunia keuangan itu sejatinya tidak lebih dari daur ulang surat hutang yang akhirnya tetap harus bayar bunga dan kewajiban lainnya. Sebuah zero sum game yang hanya mencoba menunda dan memperpanjang waktu bayar kewajiban. Kebijakan ini sebagai satu langkah positif dalam meredam dan meminimalisir dampak negatif dari aneka produk jasa keuangan terhadap sistim perbankan. Karena krisis finansial global terbaru membuktikan bahwa partisipasi perbankan dalam proses daur ulang dan pemasaran produk-produk surat berharga bisa menjadi embrio krisis yang bakal memempailitkan sebuah bank besar sekalipun.
Krisis finansial global yang mencapai klimaks tahun 2008 yang telah membangkrutkan bank besar dan lembaga keuangan internasional telah mendorong negara-negara maju untuk menata kembali dan merubah sistim pengaturan dan perbankan dan jasa keuangan. Belajar dari bangkrutnya Lehman Brothers. Pemerintah Inggris bulan Juni mengembalikan wewenang pengawasan perbankan kepada bank sentral (Bank of England). Sebelumnya dibawah FSA (Financial Services Agency) yang menjadi OJK versi Inggris dan tidak mampu menangkal krisis finansial terbaru. Belajar dari gangkrutnya Royal Bank of Scotland yang kemudian dibeli oleh Stanchart dan ABN seharga US$ 1,5 miliar. Maka Obama mengantisipasinya dengan kebijakan memperluas peran bank sentral (The Fed) untuk mengawasi dan mengatur lembaga keuangan yang bersifat sistemik.
Kebijakan “back to basic“ ini memang telah menjadi kecenderungan global sebagaimana dilaporkan oleh Bank for International Settlement (BIS) dalam survey bulan Mei 2009, yang menyimpulkan kekuasaan bank sentral dalam mengawasi perusahaan keuangan yang berpotensi sistemik dan mengancam stabilitas sistem keuangan, perlu diperkuat. Trend lobal saat ini menuju pada penguatan pengawasan oleh bank sentral sebagai cara melindungi konsumen jasa keuangan.
Belajar dari trend global penyehatan sektor jasa keuangan nasional maka salah satu alternatif adalah memperkuat dan meningkatkan pengawasan oleh bank sentral terhadap perusahaan di sektor jasa keuangan. Sehingga menjadi pengawasan satu atap yang mencakup bank dan jasa keuangan dibawah bank sentral, sebagai induk dan pusat alliran dana. Perbankan sebagai hulu dan perusahaan sektor jasa keuangan sebagai hilirnya yang secara bersama mengelola perputaran dana nasabah. Ini terkait erat dengan fungsi utamanya mengelola moneter. Juga dipandang penting dengan memperhatikan fakta bahwa bank dan jasa keuangan dalam operasionalnya sudah memiliki keterkaitan bisnis langsung yang kian erat dan luas. Mulai dari hubungan sebagai kreditur dan debitur sampai ke posisi sebagai sama-sama produsen yang memiliki konsumen hampir sama (khususnya kredit konsumen).

Korelasi Bank dan Jasa Keuangan
Sampai akhir tahun 2008, perbankan masih mendominasi industri keuangan nasional dimana 79% assetnya berada di perbankan dan sisanya di lembaga keuangan lainnya seperti asuransi, dana pensiun, perusahaan pembiayaan, sekuritas dan pegadaian. Komposisi ini tidak banyak berubah. Demikian dominannya peran perbankan dalam perekonomian maka todak heran jika sudah terjalin hubungan erat yang kian kompleks sehingga saling mempengaruhi. Data per April 2009 menunjukan lembaga keuangan bukan bank seperti perusahaan pembiayaan, asuransi dan dana pensiun menarik pinjaman dari perbankan sebesar Rp. 25,4 triliun yang digunakan untuk aneka kebutuhan bisnisnya. Ini belum termasuk perusahaan sekuritas yang skala bisnisnya kian membesar.
Sementara itu keberadaan pasar modal juga semakin penting dan strategis baik. Pertama sebagai salah satu alternatif sumber pendanaan bagi dunia usaha yang kontribusinya semakin besar. Kedua, pasar modal juga bisa digunakan oleh bank sentral sebagai salah satu mekanisme dalam untuk meningkatkan peran mediasinya dengsan paket insentif atau dis-insentif. Sebagaimana tercermin pada paket relaksasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia bulan April 2008 bertujuan untuk mendorong pertumbuhan kredit agar sesuai target nasional 22% tahun 2008. Dimana bagi bank yang menjual sahamnya hingga 40% di pasar modal akan diberi insentif dan pelonggaran rasio BMPK.. Atau langkah BEJ yang minta bank sentral mewajibkan IPO bagi debitur diatas Rp. 500 miliar. Kerjasama yang harmonis ini akan sangat positif jika direalisir karena akan menguntungkan semua pihak. Semua kebijakan terpadu yang bersemangat harmonisasi pemerintah dengan bank sentral untuk tujuan nasional harus didukung.
Perkembangan dari tahun 2000 sampai Juni 2007 menunjukkan kontribusi bursa sebagai sumber dana bagi dunia usaha cenderung meningkat meski masih kecil dari 11,4% menjadi 36,2% per April 2007. Dana dari pasar modal ini mencakup emisi saham (IPO) dan corporate action lainnya termasuk obligasi. Tahun 2000 total nilai emisi saham mencapai Rp 206,6 triliun dan obligasi Rp 23,1 triliun sehingga total mencapai Rp 229,8 triliun. Pada saat yang sama perbankan secara akumulatif menyalurkan kredit sebesar Rp 225,3 triliun. Dengan demikian gabungan kredit dan hasil emisi dari dua pilar keuangan tersebut mencapai Rp 455,1 triliun.
(Investor, 23 Juli 2009)

Read more...

Friday 12 June 2009

Ayo Bankir Kita Ke Kebun !

Minggu lalu Dirut Bank Bukopin di Surabaya (Investor, 23 Mei 2008) menyatakan bahwa perbankan nasional selama ini belum optimal dalam mengucurkan kredit ke sector pertanian. Secara implicit ini mempertegas bahwa sebenarnya perbankan memiliki kapasitas kredit yang besar, namun fokusnya belum maksimal ke sektor pertanian.
Kondisi ini diperkuat lagi dari kompilasi data penyaluran kredit bank papan atas yang jadi emiten pasar modal. Jajaran bank besar ini telah menyalurkan kredit sebesar Rp. 810 triliun tapi baru 6,7% atau Rp. 54,6 triliun yang disalurkan ke sector pertanian. Mencakup perkebunan, sarana produksi pertanian dan sector yang terkait dengan pertanian serata perikanan. Bank Agro Niaga menjadi bank yang paling tinggi konsentrasinya ke sector pertanian dengan porsi 43,7% meski nominalnya masih dibawah satu triliun. Disusul kemudian oleh Bank Ekonomi (24,7%) dan Bank Rakyat Indonesia (10,3%). Sedangkan Bank Bukopin sendiri baru 6% dari total kredit Rp. 22,4 triliun.
Terkait dengan munculnya wacana pembentukan bank pertanian setelah 2 tahun lalu mulai digulirkan oleh mantan Gubernur Bank Sentral Burhanudin Abdullah pada sidang pleno ke 12, ISEI di Balikpapan (20 Juli 2007), maka eksistensi atau kinerja kredit perbankan perlu dicermati. Sampai Maret 2009 penyaluran kredit perbankan ke sector pertanian baru 5,3% dari total kredit yang sudah mencapai Rp. 1.297 triliun.
Fakta makro dan mikro perbankan ini membuktikan bahwa sektor pertanian kurang sexy di mata perbankan. Salah satu penyebab karena belum adanya jaminan pasar dan harga produk-produk pertanian disamping aspek produktivitas produksi yang terkait dengan siklus musim. Secara ekonomis dan mencapai BEP jika produksi gabah kering giling mencapai 4 ton per hektar. Ini tentu tidak berdiri sendiri tapi didukung oleh sarana produksi pertanian dan pengairan disamping pupuk yang terjamin. Disamping kegiatan off farm yang selanjutnya terkait dengan distribusi serta pemasaran produknya harus terjamin. Mengalirnya kredit puluhan triliun ke perkebunan sawit, karet atau kopi menunjukan bahwa jenis komoditi tidak penting tapi yang lebih penting apakah menguntungkan bagi kreditur dan tentu saja bagi petani maupun pengusaha. Sehingga komoditi pertanian ini mencakup berbagai komoditi pangan lainnya seperti jagung dan produk sereal lainnya. Dengan demikian kendalanya berada di luar ranah perbankan yakni ada di sector pendung mulai dari pengairan, ketersediaan lahan, jaminan pupuk dan saprotan terkait.
Isyu ekonomi kerakyatan yang sedang laris manis dan menjadi primadona topik kampanye dari 3 pasang capres-cawapres, maka kita bisa menaruh harapan akan prospek industri peranian nasional (kecuali kalau hanya untuk kampanye populis dan pemanis). Karena siapapun pemenangnya bulan depan satu diantaranya pasti akan mengedepankan ekonomi berbasis kerakyatan dan berpotensi “meningkatkan daya beli” petani dan selanjutnya bakal jadi konsumen potensial bagi produk industri lainnya. Salah satu konsep yang jelas adalah program mencetak sawah baru sekian juta hektar. Sementara sekitar 3 atau 4 tahun lalu salah satu capres saat ini malah pernah membandingkan produktivitas pertanian dengan pabrik manufaktur diukur dari luas lahan sawah (per hektar) yang dipergunakan.
Pola pengembangan pertanian dengan refek gandanya bukanlah hal sulit tapi yang lebih diperlukan adalah political will, komitmen dan konsistensi dari pemerintah sebagai kunci. Karena tanpa disadari dan tanpa hituk pikuk sedang berlangsung proses konglomerasi pertanian, dalam arti positif bukan hanya melahirkan petani berdasi.
Menarik jika melihat rencana aksi salah satu konglomerasi nasional yang justru aktif dan terpadu mengembangkan bisnis pertanian yang produknya akan terkait dan mendukung industri intinya. Tetap dengan semangat plasma-inti dan teintegrasi dari hulu–hilir melibatkan pemain utama petani. Sekaligus membiayai sektor terkait saprotan (sarana produksi pertanian). Dengan cara mereka memberikan kredit langsung kepada petani untuk pengadaan seluruh kebutuhan yang terkait dengan kegiatan pertanian, mulai dari pembibitan, pupuk, alsintani, sampai ke pemasaran, perdagangan produk akhir pertanian. Jenis kreditnya Jika dilihat dari jenisnya tergolong sektor perdagangan tapi kenyataannya terkait sektor pertanian.
Ekspansi yang dilakukan oleh konglomerasi tersebut dapat menjadi embrio berskala nasional dengan pola pemasaran produk pertanian mengarah pada konsep outlet dengan jaringan pemasaran ala multilevel. Dengan konsep ini diharapkan memberikan multiplier effect yang akhirnya akan menaikkan pendapatan petani dan tentu saja mengamankan pengembalian kewajibannya kepada kreditur yang telah menyalurkan kredit. Perkembangan NPL sektor pertanian dari 2001 sampai 2006 menunjukan adanya penurunan dari Rp. 3,9 triliun (2001) menjadi Rp. 3,16 triliun (2006). Meski demikian rata-rata NPL pertanian 4% lebih tinggi dari industri lainnya.
Secara teknis dapat diungkapkan pola yang dilakukan oleh konglomerasi tersebut adalah petani yang mendapatkan kredit dari bank akan dibina dengan pola manajemen dari bank kreditur. Pada saat bersamaan juga disalurkan kredit kepada perorangan maupun petani untuk terlibat dalam aktivitas perdagangan alsintani (alat mesin pertanian, seperti traktor mini atau cangkul) yang akan didirikan pada setiap kecamatan yang akan menjangkau di wilayah setempat. Unit usaha ini yang nantinya akan membentuk outlet – outlet yang akan menjual produk alsintani, bibit dan pupuk dengan konsumen utama para petani di wilayah setempat. Dengan demikian aktivitas bisnisnya akan terkait langsung dengan dinamika sektor pertanian yang tentu saja tidak lagi hanya sebatas menghasilkan padi, tapi bisa produk pangan lainnya. Keberadaan outlet – outlet ini dapat melengkapi infrastruktur yang sudah dimiliki oleh jajaran koperasi selama ini.
Konsep ini diperkirakan akan berjalan dengan baik, dengan catatan sejauh didukung oleh pelaku utama sektor pertanian yaitu petani. Konsep “konglomerasi pertanian” dalam arti positif ini bisa menjadi prototype dalam menumbuh kembangkan taraf hidup petani. Ini dapat diterapkan oleh bank sebagai kreditur yang akan terlibat total dalam pengembangan pertanian ini. Sehingga tidak lagi hanya membatasi diri pada penyaluran kredit semata. Jika konsep ini diterapkan oleh bank–bank utama yang selama ini cukup mendominasi kredit di sektor pertanian maka diharapkan akan berdampak positif dalam peningkatan kredit ke sektor pertanian yang berkualitas baik. Dan tidak perlu lagi perdebatan panjang untuk mendirikan bank pertanian karena produknya sendiri sudah feasible dan laik kredit.
Saat ini memang belum ada bank spesifik atau mengklaim fokus khusus membiayai sektor pertanian, karena 3 bank negara sekalipun masih kecil porsinya. Yang terbesar porsinya BRI dengan alokasi 10,3% disusul Bank Mandiri 9,3% dan Bank Negara Indonesia 4,9%. Sedangkan Bank Agro yang pemegang sahamnya pihak – pihak yang terkait dengan pertanian dan perkebunan porsinya baru maksimal 43% dari total kreditnya atau sebesar Rp 865,9 miliar yang cenderung meningkat. Dengan demikian konsep “konglomerasi pertanian” diperkirakan dapat meningkatkan aktivitas kredit ke sektor pertanian yang selama ini khususnya pasca krisis telah menjadi penyelamat aktivitas ekonomi dan memiliki daya tahan dan keunggulan dibandingkan beberapa sub sektor perindustrian lainnya.
Minimnya alokasi kredit perbankan ke sektor pertanian dan sektor terkait tidak bisa disalahkan kepada pihak perbankan semata karena untuk pengembangan dan suksesnya bisnis pertanian memerlukan dukungan infrastruktur terkait lainnya yang saling menunjang. Mulai dari alokasi sawah garapan, ketersediaan alsintani sampai pemasaran hasil produksi baik lokal maupun ekspor. Jika semua sarana pendukung sudah memadai seperti dari jaringan infrastruktur pengairan, sarana produksi pertanian (saprotan), musim, ketersediaan pupuk dan jaminan dan kepastian harga pasca produksi dengan sistim distribusinya dan mekanisme resi gudang maka daya serapnya akan tinggi. Saat itulah momentum tepat membentuk bank pertanian atau perbankan umum sendiri akan mengalokasi kredit ke pertanian. Tidak mudah merobah paradigma bank follow the trade sama sulitnya dengan kampanye ayo ke bank termasuk ayo bankir kita ke kebun.
***
Dimuat di Investor Daily, 1 juni 2009

Read more...

Wednesday 29 April 2009

Berakhirnya Tax Haven dan Antisipasi Indonesia

Oleh: Beni Sindhunata,
Direktur Eksekutif Investment and Banking Research Agency

Rencana Ditjen Pajak untuk mengeluarkan daftar kawasan tax haven sesuai kriteria sendiri dan mewaspadai investasi yang tercatat di offshore centre tersebut merupakan langkah positif. Melengkapi langkah 7 tahun yang lalu dengan berdirinya PPATK momentum terciptanya rezim anti pencucian uang.
Langkah ini terkait dengan perkembangan global yang dipelopori negara OECD dalam Sidang G-20 Summit 3 April 2009 di London. Keputusan penting diantaranya membatasi operasional tax haven dan mendorong terciptanya transparansi dan pertukaran informasi perpajakan serta penerapannya sesuai standard pajak internasional. Sehingga akan ikut mereformasi sistim moneter dan keuangan global yang telah mengalami kekacauan dan berpuncak pada munculnya krisis finansial global sejak 2007 sampai saat ini. Angin perubahan yang mulai digencarkan oleh Barack Obama semasa kampanye tahun 2008 segera mendapatkan respon positif dan mengkristal menjadi keputusan global.
Pada evaluasi April 2009 FATF menentukan 4 negara Philipina, Malaysia (Labuan), Uruguay dan Costarica yang masuk dalam kelompok negara yang tidak ko-operatif (black list). Keputusan ini mengakhiri hampir setengah abad era kejayaan offshore centre dari yang klasik di Swiss sampai yang modern di puluhan negara eks persemakmuran Inggis atau Perancis (Mauritius, British Virgin Island atau Cayman Island). Keputusan ini telah mengusik ketenangan mereka yang selama ini menjadi tempat aman untuk berteduh atau surga bagi pemilik uang haram yang ingin menghindari pajak.
Komitmen negara maju dan offshore centre untuk membuka kerahasiaan serta identitas nasabah atau perusahaan serta berkomitmen untuk “globalisasi standar pajak internasional” akan mengurangi daya tarik, insentif dan kelebihan yang dimilikinya selama setengah abad terakhir. Akibatnya nasabah atau investor kaya yang menyimpan dana akan segera berpikir ulang untuk menyimpan dananya di sana. Demikian juga perusahaan-perusahaan investasi keuangan multi nasional yang sudah mendirikan banyak anak perusahaan atau cabang di negara-negara mini tersebut akan mengantisipasi keputusan G-20 ini.
Bagi nasabah individu yang memarkirkan uangnya di lembaga keuangan yang berdomisili di offshore centre tentu akan mengatur kembali portofolio investasinya. Karena tidak ada lagi privacy atau daya tarik di tax haven sehingga akan berlaku azas umum. Menuju titik equilibrium ekonomis yakni daya tarik tingginya suku bunga dan aman. Negara Swiss mengelola sekitar US$ 2 triliun atau sekitar 27% dari total dana yang dikelola oleh bank-bank yang terdaftar di seluruh offshore centre US$ 7,3 triliun pada tahun 2007. Ini merupakan sebagian dari uang panas yang asal muasal dan pemiliknya tidak ingin diketahui pemiliknya. Misalnya perdagangan obat, korupsi, prostitusi dan judi yang ingin menghindari pajak di negara asalnya.
Perlu juga dipahami bahwa selain puluhan offshore centre di negara mini di kawasan Pasifik dan Atlantik ini jangan lupa di AS sendiri ada kota dan negara bagian yang memberikan pelayanan serupa offshore centre dengan keunggulan lainnya seperti Nevada, Delaware dan Wyoming. Nevada sebuah negara bagian dengan 2,6 juta penduduk membuka jasa pelayanan pendaftaran perusahaan hanya dalam hitungan per jam dengan biaya US$ 753 per perusahaan, sehingga setiap tahun berdiri 60.000 perusahaan dari berbagai negara.
Nevada tidak mengenakan pajak atas pendapatan bunga dan tidak mewajibkan nama pemegang saham atau permodalan. Study dari Internal Revenue Services belum lama ini menemukan bahwa antara 50% -90% dari perusahaan-perusahaan ini sudah pernah melanggar UU federal yang ujung-ujungnya berpangkal pada penghindaran pajak. Sedangkan negara Montenegro bisa menjual izin bank swasta lewat internet seharga 10.000 dollar AS.
Cikal bakal FATF adalah G-7 Summit di Paris tahun 1989 yang merasa perlu mengatasi praktek pencucian uang di pusat–pusat keuangan internasional. Untuk pertama kalinya April 1990 mereka mengeluarkan aksi dan langkah teknis guna memberantas praktek-praktek yang merugikan tersebut. Ketika itu anggotanya baru terdiri dari 26 negara dan 2 organisasi internasional.
Pada evaluasi Juni 2001, OECD lewat Financial Action Task Force (FATF) memasukkan Indonesia sebagai satu di antara 15 negara yang dianggap tidak kooperatif (non-cooperative countries and territories, NCCT) dalam memberantas praktik pencucian uang (money laundring).

Kebijakan Indonesia
Sanksi black list ini ikut mendorong otoritas moneter dan hukum Indonesia untuk mempercepat implementasi kebijakan rezim anti pencucian uang sesuai norma global FATF. Implementasi kebijakan ini dah dimulai pasca reformasi. Diantaranya melalui PBI tanggal 28 Oktober 1999 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank. Sebagai tindak lanjut dari UU Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Tepatnya 7 tahun lalu yaitu 12 April 2002 terbit UU No. 15 tahun 2002 yang disahkan 12 April 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Bersamaan dengan ini maka dibentuklah lembaga independen PPATK (Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan). Sebelum resmi beroperasi 18 Oktober 2003 badan ini melanjutkan tugas Unit Khusus Investigasi Keuangan Bank Indonesia (UKIP BI).
Kehadiran PPATK terus dilengkapi dengan seperangkat hukum dan peraturan terkait. Yakni Surat Edaran Bank (SEBI) Nomor 3 Tanggal 13 Juni 2001 tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa oleh Bank. SEBI ini menetapkan bahwa bank wajib melaporkan transaksi keuangan oleh nasabah secara bulanan. Transaksi di atas 10.000 dollar AS (ekuivalen) harus dilaporkan secara individu yang berisi rincian tentang kategori, jenis rekening, pelaku dan hubungan keuangan antar pelaku transaksi, jenis valuta, dan tujuan transaksi. Batasan transaksi 10.000 dollar AS ini setidaknya sama dengan batasan yang diterapkan oleh AS sejak tahun 1970 yang mewajibkan bank harus melaporkan penerimaan di atas 10.000 dollar AS dan menggolongkannya pelbagai transaksi mencurigakan (suspicious transaction).
Dilanjutkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 3 Tanggal 18 Juni 2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (“know your customer principles”). Dua hari kemudian Indonesia bergabung dalam kelompok regional antipencucian uang Asia Pasifik (Asia Pacific Group on Money Laundring, APGML). Dengan berbagai langkah teknis dan kebijakan hukum ini maka 7 tahun setelah PPATK berdiri maka Indonesia tetap lolos dari black list.
FATF akan terus memonitor perkembangan dengan mengacuh pada 40 prinsip dan komitmen globalnya. OECD menetapkan 40 komitmen yang harus diterapkan guna menentukan keluar masuknya sebuah negara ke dalam daftar NCCT, dan ini tergantung pada kemauan negara tersebut. 40 buah rekomendasi anti pencucian uang ini dimonitoring oleh FATF (satgasnya OECD untuk anti pencucian uang). Empat puluh butir rekomendasi tersebut terbagi dalam empat bagian utama, terdiri dari kerangka umum rekomendasi, peranan sistem serta lembaga keuangan dalam strategi perang melawan pencucian uang haram dan memperkuat kerja sama internasional antar lembaga maupun negara.
Sidang G-20 bulan terakhir juga mengeluarkan daftar 80 negara berdasarkan implementasi mereka dalam kebijakan penerapan dan tansparansi pajak internasional. Ini kunci menuju terciptanya perlakuan sama perpajakan global dan menutup peluang untuk penghindaran pajak serta pencucian uang. Sebanyak 40 negara sudah menerapkan standard perpajakan internasional diantaranya Inggris, Perancis dan AS (agak aneh karena tidak mempermasalahkan eksistensi Nevada dan Delaware). Kemudian ada 36 negara yang sudah berkomitmen tapi belum menerapkannya. Diantaranya British Virgin Island, Cayman Island dan Liechtenstein. Dan 4 negara yang tidak berkomitmen untuk menerapkan standar pajak internasional (masuk black list) yakni Kostarika, Uruguay, Philipina dan Malaysia (Labuan) yang baru beroperasi tahun 1992.
Tulisan Harry Yusuf A. Laksana, Ka-subdit Ditjen Pajak (Bisnis Indonesia, 13 April 2009) mengungkapkan bahwa Indonesia menggolongkan negara tax haven sebagai negara yang tidak mengenakan pajak penghasilan, mengenakan tarif pajak lebih rendah 20% dari Indonesia dan negara yang tidak memiliki tax treaty dengan Indonesia. Berakhirnya tax haven berdampak positif bagi pemasukan pajak Indonesia khususnya dari golongan nasabah tajir (high net worth individual, HNWI). Sehingga kontribusinya bagi penerimaan pajak akan naik. Meski ada pendapat sebaliknya. Jika seluruh negara telah menerapkan globalisasi standar pajak internasional dan membuka kerahasiaan nasabah maka hal ini positif, meski perlu waktu.
Keputusan G 20 Summit ini perlu dicermati oleh pemerintah agar bisa menarik manfaat dari globalisasi standar pajak internasional dan dibukanya rahasia nasabah (bank secrecy) di tax haven kawasan offshore centre. Terdapat potensi untuk mengenakan pajak bagi nasabah yang hengkang dari tax haven dan tentu saja ini membutuhkan peningkatan kualitas dan kuantitas aparat pajak. Selain nasabah kaya juga masih ada potensi lain yaitu perusahaan-perusahaan asal Indonesia yang juga mendirikan perusahaan di tax haven untuk berbagai tujuan bisnis. Dan tidak heran jika saat ini terdapat ratusan perusahaan usia balita tapi punya asset puluhan triliun dan berdomisili di tax haven. Sehingga perusahaan ini laksana “bayi bongsor” yang perlu diperhatikan eksistensinya secara positif demi kemaslahatan negara tanpa merugikan dunia usaha. (*).

Read more...

Wednesday 25 March 2009

Revisi Target Pembiayaan Konsumen 2008

Ditundanya rencana penerbitan obligasi senilai Rp. 2,3 triliun oleh 4 multi finance untuk semester II tahun 2008 selanjutnya akan mempengaruhi struktur pendanaan untuk rencana ekspansi tahun 2008 sampai 2009. Penundaan ini karena investor di pasar obligasi minta bunga yang lebih tinggi dari BI rate sekaligus mengatasi laju inflasi. Kenaikan BI rate menjadi 8,5% dan laju inflasi 11,03% bulan Juni telah membawa dampak bagi perbankan dan multi finance yang terpaksa merevisi atau meninjau ulang target-target pembiayaan yamg sudah ditetapkan pada triwulan ketiga tahun 2008. Ini dari aspek pendanaan.
Sementara dari sisi permintaan atau pasar konsumen diperkirakan belum terdapat dampak negatif yang signifikan sehingga memaksa kalangan multifinance untuk merevisi target pembiayaan tahun 2008. Meskipun beberapa indikator moneter makro tidak terlalu kondusif, namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa penjualan produk-produk konsumen tetap tinggi. Sampai Juni 2008 penjualan elektronik nasional naik 22%, realisasi KPR dan KPA naik 33% sedangkan penjualan otomotif naik 34% dan kalangan produsen optimis target tahun 2008 akan tercapai. Bahkan transakai pembiayaan konsumen masih naik sekitar 31%. Dengan melihat perkembangan selama semester I 2008 memberikan optimisme kepada perbankan maupun multifinance yang menekuni pembiayaan konsumen. Perkembangan strategis selama semester pertama ini diperkirakan akan mempengaruhi proyeksi atau target-target sampai akhir 2008 yang telah ditetapkan di awal tahun.
Dari survey INBRA berjudul “Potensi dan Peluang Bisnis Pembiayaan Konsumen” bulan Juni 2008, diketahui terdapat sedikitnya 13 multifinance yang targetnya akan menyalurkan kredit pembiayaan sebesar Rp 72,4 triliun. Jajaran multifinance ini termasuk pemain-pemain utama yang menguasai pangsa pasar dengan fokus atau spesialisasi pembiayaan yang beragam. Yang terbesar adalah PT Federal International Finance (FIF) yang menguasai 7,2% pangsa pasar pembiayaan konsumen tahun 2007. Perusahaan afiliasi Astra Group ini menargetkan pembiayaan Rp 10 triliun dengan alokasi pembiayaan 89% motor baru dan 11% motor bekas, selengkapnya lihat tabel. Target Pembiayaan Multi Finance Tahun 2008
Dari survey ini, juga diketahui ada potensi pasar kredit konsumen dengan berbasiskan karyawan berpenghasilan tetap. Potensi daya beli konsumen yang berpenghasilan tetap ini mencapai Rp 50,8 triliun terdiri dari 949 ribu karyawan di seluruh Indonesia yang bekerja pada 318 perusahaan publik sampai akhir 2007. Dari kelompok ini sebesar 74% adalah kelompok karyawan yang berpenghasilan diatas Rp 4 juta per bulan dengan total penghasilan Rp 38 triliun milik 333 ribu karyawan. Lihat tabel.
Dengan adanya tekanan dari sisi permintaan atau pasar dan dari sisi pendanaan jelas akan mendorong multifinance untuk meninjau kembali target dan strategi bisnisnya sepanjang semester II tahun 2008. Salah satu contoh multifinance besar yang menunda penerbitan obligasinya adalah PT Wahana Ottomitra Multi Artha (WOM) dengan nilai emisi sebesar Rp 1 triliun. Afiliasi BII ini tidak terlalu bermasalah dalam pendanaannya dengan fokus pembiayaan yang 70% untuk kredit motor baru dan 30% untuk motor bekas. Karena pada beberapa hal permintaan masih baik.
Komitmen Bank Indonesia untuk terus menjaga agar NPL gross dibawah 4% dan netto dibawah 2% sepanjang semester II tahun 2008 (10 Juli 2008) yang disertai peringatan dini agar perbankan menjaga kualitas kreditnya perlu dicermati agar balon yang sudah ditiup jangan sampai kempes atau malah meledak.
Memang dampak langsung baru terlihat pada satu semester kemudian. Sebagaimana dampak ketika terjadi kenaikan harga BBM tahun 2005 dimana nominal kredit konsumsi oleh perbankan tidak menurun kecuali pertumbuhannya yang menurun, dimana hanya tumbuh 9,7% tahun 2006 sedangkan tahun 2005 tumbuh 36,4%. Setelah mengalami penurunan tahun 2006, maka sampai triwulan pertama 2007 kredit mulai pulih dan tumbuh menjadi 45,2% (Rp 231 triliun Maret 2007). Dengan rincian untuk konsumsi real estate (untuk KPR dan KPA) nominal kredit konsumsi masih bertambah Rp 12 triliun dari Rp 21,5 triliun (Desember 2005) menjadi Rp 33,2 triliun (Desember 2006). Demikian juga dengan permintaan kredit untuk ruko dan rukan pada periode yang sama naik dari Rp 157 triliun menjadi Rp 162 triliun. Secara implisit menunjukkan meskipun menurun tapi animo masyarakat untuk menarik kredit konsumen tetap ada dan meningkat. Bahkan selama semester pertama tahun 2006 disalurkan Rp. 23 triliun kredit konsumsi atau naik 10,1% dibandingkan Desember 2005.
Dari pengalaman tahun 2005 dan perkembangan terkini maka selayaknya perbankan dan multifinance mengambil sikap yang lebih hati-hati dalam hal penyaluran kredit konsumsi yang baru, sehingga tidak harus terjebak pada pencapaian target kuantitatif. Oleh sebab itu merevisi target yang telah ditetapkan pada awal tahun 2008 atau triwulan terakhir 2007 bukanlah sebuah noda tak berampun. Karena bagi beberapa perusahaan tanpa direvisipun mungkin targetnya tidak akan tercapai. -*- Agustus 2008,Investor Daily

Read more...

Tuesday 24 March 2009

Anatomi dan Anomali Dana – Kredit Perbankan

Mengamati perbankan arus dana dan kredit perbankan selama semester pertama 2004 menunjukkan bahwa hubungan bank dengan dunia usaha dan induvidu berada dalam sebuah siklus yang menarik sehingga membentuk anatomi yang disertai anomaly (penyimpangan atau keganjilan). Posisi ini diperoleh jika kita melihat potret pergerakan perbankan dari Januari sampai Juni 2004 yang tentu saja bisa memberikan warna lain di masa depan. Sehubungan dengan itu berikut kita mendalami dua aspek penting dalam anatomi perbankan yakni anamoly arus kredit perbankan dan anomaly arus dana, yang jika tidak ditata secara baik bisa menciptakan anatomi bencana bagi perbankan khususnya. Pendekatan ini tidak lepas dari pelbagai keluhan yang sudah menjadi rahasia umum dalam hubungan segitiga antara bank, dunia usaha dan individu dimana pelbagai solusi yang diterapkan belum mencapai hasil maksimal.

Anomali Dana Masyarakat
Dari perlombaan menghimpun dana masyarakat yang sudah memasuki perang sengit dengan aneka hadiah langsung telah mewarnai peta pendanaan perbankan nasional. Selama 6 bulan pertama 2004 ini ternyata dana pihak ketiga yang berhasil diserap oleh bank bertambah Rp 12,7 triliun sehingga menjadi Rp 902 triliun. Dilihat dari pemiliknya maka 60% milik deposan individu senilai Rp 542 triliun atau bertambah Rp 9 triliun selama 6 bulan pertama 2004. Peningkatan dana milik individu tersebut akan menguasai 70% dari total dana pihak ketiga yang masuk ke sistim perbankan untuk kemudian dijual kembali ke dunia usaha. Lihat tabel.
Sebaliknya deposan lainnya menyusut Rp 1 triliun. Sehingga total dana milik deposan perorangan di Indonesia mencapai Rp 542 triliun atau hampir setengahnya PDB dan 60% total dana public di perbankan. Secara eksplisit ini menunjukkan bahwa individu – individu kaya di Indonesia bertambah dan peranannya semakin dalam perputaran arus dana di masyarakat. Lima tahun lalu (1999) uang deposan individu menguasai 56% total dana di perbankan dan tahun 2004 (Juni) malah sudah mencapai 60%.

Fakta ini menunjukkan bahwa pengusaha atau individu atau deposan di Indonesia punya dana yang cukup besar, namun untuk pengembangan pelbagai jenis usaha tentu lebih aman dan menarik menggunakan kredit bank yang sudah relative murah selama ini. Sehingga ketika simpanan hartanya di bank terus bertambah Rp 9 triliun mereka juga menarik kredit hampir 2,5 kali lipat menjadi Rp 24,3 triliun. Dengan gabungan dana tersebut maka individu kaya di Indonesia bertindak dan memainkan peranan dua muka yakni sebagai deposan (bahkan ibarat kreditur) sekaligus menjadi debitur perbankan nasional.
Kemana mereka ini menyimpan dananya?. Ternyata sebagian terbesar dilarikan ke tabungan yang memang paling gencar menjanjikan ribuan paket hadiah yang sangat menggiurkan, dan langkah ini praktis menurunkan alokasi ke deposito. Saldo dana milik deposan individu sebesar Rp 9 triliun berasal dari tersebut berasal dari dana masyarakat yang berduyun – duyun masuk ke tabungan, sementara deposito menyusut Rp 11,6 triliun. Sebuah perubahan yang sangat signifikan dan ini tidak lepas kerja internal perbankan (pemasaran dan pelayanan) dan pengaruh suku bunga. Tidak mudah untuk mencari tahu dari mana asal usul dana tersebut apalagi sampai saat ini masih menjadi perdebatan sengit antara Depkeu khususnya Ditjen Pajak dengan Bank Indonesia yang membawahi bank pelaksana untuk mendapatkan hal akses data deposan.

Anomali Kredit
Adalah sebuah fakta yang tak terbantahkan bahwa penyaluran kredit oleh perbankan terus meningkat sampai Juni 2004 mencapai Rp 486 triliun, sehingga diklaim oleh pelbagai pihak sebagai prestasi dan dijadikan indicator bahwa bank sudah bergerak. Bahkan antara 1999 sampai 2003 penambahan kredit baru per tahun berkisar antara Rp 47 triliun sampai Rp 72 triliun. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah kemana kredit tersebut disalurkan dan bagaimana nasib kredit tersebut setelah dikucurkan ke dunia usaha?.
Kita lihat siapa debitur yang bernasib baik dan bisa memperoleh kredit puluhan triliun tersebut ditengah suku bunga yang masih dianggap tinggi dan masih terus menerus menunggu sampai mencapai titik nadir terendah. Jika kita fokuskan pada perkembangan terbaru selama semester pertama 2004, maka dari Rp 48 triliun kredit yang dikucurkan bank ternyata hanya 40,3% (sebesar Rp 19,4 triliun) yang diserap oleh dunia usaha khususnya dari perusahaan swasta. Dengan demikian catatan secara rill hanya kredit sebesar itulah yang bisa dijadikan modal (utama) dalam menggerakan roda sector rill melalui deru mesin dan cerobong asap pabrik termasuk lalu lintas produksi dan pemasaran. Dengan catatan bahwa tidak semuanya sudah masuk ke sistim produksi dan bergerak karena tidak sedikit yang gagal, fiktif atau salah arah. Bayangkan saja jika ada 3 kasus penyaluran mega kredit (sekelas Gramerindo grup di BNI di tahun 2003) berati tidak kurang Rp 3 triliun kredit akan bernasib macet dan gagal. Padahal sepanjang tahun 2003, jajaran perusahaan swasta berhasil menyerap kredit baru Rp 26 triliun.
Lalu kemana kredit yang lainnya disalurkan? Ternyata sisanya 50,5% disalurkan kepada debitur perorangan atau individu yang mencapai Rp 24,3 triliun. Dengan penambahan ini maka per Juni 2004 jumlah kredit yang sudah diserap oleh debitur perorangan mencapai Rp 197 triliun, atau setara 17,5% PDB (sementara) per Juni 2004. selanjutnya sisa 9,1% diserap oleh pelbagai pihak terutama oleh BUMN, lembaga pemerintah dan pemda.
Dari fakta ini maka kita bisa memahami lebih jauh tentang seberapa besarnya alokasi kredit ke dunia usaha yang diserap sekaligus menjadi kilas balik dan instrospeksi bagi perbankan apakah arah penyaluran kredit sudah mencapai sasarn yang tepat dan sesuai yang diharapkan. Ringkas kata bahwa penyaluran kredit memang terus menerus meningkat tapi tidak semuanya disalurkan ke dunia usaha (perusahaan swasta), justru debitur individu yang mendapat kredit lebih besar (50,5%). Pernyataan selanjutnya siapa sih debitur individu atau perorangan yang selama bulan pertama tahun 2004 ini dipercaya dan sanggup menyerap kredit Rp 24,3 triliun dan bagaimana kredit tersebut dikelola sehingga nilai tambah.
Secara umum, angka ini memnag bisa menimbulkan pelbagai tafsir oleh pelbagai pihak di luar perbankan apalagi jika komposisi riilnya disembunyikan rapat – rapat dalam pagar rahasia, meskipun dipahami bahwa informasi debitur tidak wajib dirahasiakan sebagaimana halnya informasi deposan. Debitur individu ini bisa saja berasal dari pengusaha kecil menengah yang tidak atau belum memiliki kelengkapan administrasi sehingga mengajukan kredit atas nama pribadi sebagai pengusaha kecil. Sesuai aturan BI (PBI No. 3 tanggal 4 Januari 2001) ditetapkan bahwa untuk plafond kredit maksimum Rp 500 juta digolongkan sebagai KUK. Artinya tidak menutup kemungkinan debitur individu ini adalah pengusaha kecil yang ingin mengembangkan usahanya berbagai sektor sehingga membutuhkan kredit perbankan. Jika, dan sekali lagi jika fenomena ini benar maka kita patut berbangga bahwa wiraswastawan individu di Indonesia semakin banyak dan tumbuh subur. Artinya perbankan telah sukses menyalurkan kredit ke pengusaha kecil menengah di berbagai sektor dan skala usaha.
Tapi apakah betul UKM penerima KUK kita sudah mencatat prestasi demikian menggembirakan. Ternyata tidak demikian adanya. Karena disisi lain terdapat perkembangan aneh dan tragis bahwa kredit KUK selama periode yang sama justru menurun Rp 4 triliun dari Rp 74 triliun. Penurunan terbesar justru terjadi di lingkungan bank pemerintah yang menurun Rp 6,5 triliun dan selama ini menjadi motor penggerak dan mengkontribusi setengah KUK nasional. Ini terjadi justru ditengah promosi dan gembar-gembor luar biasa dari sebagian besar bank papan atas bahwa KUK adalah fokus pembiayaan mereka dan mempertegas UKM sebagai tumpuan masa depan. Tapi fakta bicara lain. Menurutnya KUK bisa disebabkan oleh berbagai faktor misalnya write off, pelunasan hutang (karena relatif lebih displin dan patuh, katanya), dan menurunnya permintaan kredit baru. Kondisi – kondisi ini melahirkan sebuah anomaly kredit, dimana di satu sisi kredit individu bertambah Rp 24,3 triliun sementara alokasi KUK turun Rp 4 triliun.
Oleh sebab itu keputusan Menteri Keuangan (KMK No. 461/tanggal 9 Oktober 2004) yang memberikan diskon (35%-50%) atas hutang pokok debitur UKM yang pinjamannya berkisar antara Rp 5 miliar sampai Rp 10 miliar, memiliki relevansi yang cukup luas. Karena klasifikasi UKM yang sempat “nongkrong” di PPA (eks BPPN) ini juga perlu diperjelas sehingga tidak rancu dan menjadi kuda tunggangan bagi pihak yang tidak selayaknya mendapatkan fasilitas tersebut. Menurut versi BI pinjaman antara Rp 0,5 miliar sampai Rp 5 miliar tergolong kredit menengah. Sementara untuk mendalami dan menelusuri tentang “who and who” UKM kelas puluhan miliar tersebut bisa dijalankan dengan cepat, transparan, guna menjustifikasi layak mendapat fasilitas tersebut atau tidak. Ini tentu memiliki keterkaitan dengan kebijakan di beberapa bank yang memberikan hak kepada anggota direksi dan komisaris untuk memutuskan write off bagi debitur tertentu dengan plafond pinjaman maksimal Rp 5 miliar. Ini merupakan tugas dan hak yang bisa membawa berkah sekaligus bencana bagi sang banker. Diperkirakan sekitar Rp 12 triliun hutang milik UKM yang berpeluang direstrukturisasi dengan jurus ampuh tersebut dan sayangnya ini dikeluarkan pada minggu terakhir kabinet gotong royong.
Selanjutnya, jika debitur individu tidak mewakili persis seratus persen KUK maka yang perlu ditelusuri adalah kemana kredit dialokasikan?. Salah satu saluran yang potensial adalah dipergunakan untuk kredit konsumsi dan kredit property dalam berbagai bentuk mulai dari kredit pemilikan rumah, apartment, mobil, dan kebutuhan lainnya. Selama periode yang sama permintaan untuk kredit property dan kredit konsumsi bertambah Rp 19,8 triliun atau menyerap 41% dari total kredit baru. Terutama kredit konsumsi Rp 10,3 triliun disusul oleh KPR dan KPA Rp 4,3 triliun kredit kepada debitur individu dengan lonjakan hampir Rp 20 triliun kredit ke property dan konsumsi. Sebagai perbandingan nilai pembiayaan kredit konsumen oleh perusahaan multifinance bertambah Rp 7 triliun sepanjang tahun 2003 dan tahun 2004 dan 2005 akan naik pesat khususnya oleh 5 raksasa multifinance.
Anomaly lain yang muncul terkait dengan kredit adalah un-disbursed loan atau kredit yang sudah disetujui bank tapi belum dimanfaatkan oleh debitur. Ketika INBRA merilis hasil penelitian bulan Juli 2003 tercatat bahwa un-disbursed loan milik 10 bank rekap per Desember 2002 baru mencapai Rp 42,3 triliun atau 72,9% dari total kredit yang sudah disalurkan. Ternyata 18 bulan kemudian (per Juni 2004) jumlah un-disbursed loan sudah meningkat 50% menjadi Rp 64,4 triliun. Dengan rincian tiga besar yakni Bank Mandiri bertambah Rp 8,2 triliun, BCA bertambah Rp 4,5 triliun dan BNI bertambah Rp 3,7 triliun. Gabungan 10 bank papan ini menguasai setengah dari total kredit mubazir yang mencapai Rp 127 triliun. Sepanjang semester pertama tahun 2004 jumlah undisbursed loan naik Rp 24,6 triliun. Naiknya undisbursed loan merupakan beban bagi perbankan karena dana yang sudah dibeli (ditarik) dari masyarakat tidak bisa dijual kembali semuanya. Sehingga masih mengendap dan terpaksa dibeli ke instrument moneter terutama SBI per Agustus 2004 mencapai Rp 112 triliun.
Sebagai penutup ingin digarisbawahi dan disimpulkan beberapa hal terkait.
perlu dimaklumi bahwa dari total kredit yang disalurkan perbankan hanya 40% yang diserap oleh dunia usaha khususnya perusahaan swasta yang menjadi motor penggerak ekonomi nasional. Justru alokasi terbesar (50%) diberikan kepada debitur individu yang menjadi deposan utama karena memiliki 60% dari total dana diperbankan. Ini salah satu anomaly yang masih mewarnai anatomi perbankan nasional.
bahwa penyimpangan dan belum terarahnya penyaluran kep sektor rill sebagaimana yang diharapkan jelas bukan kesalahan perbankan semata. Tapi mereka juga terkendala oleh faktor eksternal yang justru ikut menentukan kesuksesan dan kelangsungan kredit sang debitur.
meski suku bunga untuk kredit modal kerja dan kredit investasi sudah turun rata – rata berkisar 14% (Juni 2004) tidak praktis menarik calon debitur untuk menggunakan kredit tersebut karena suku bunga bukan satu – satunya indikator utama. Padahal setelah dipotong dengan rata – rata suku bunga deposito 1 tahun (sekitar 7%) maka beban investasi rill hanya 7%.
besarnya peranan dan eksistensi deposan maupun debitur individu dalam peta perbankan nasional juga berpotensi melahirkan bencana yang bersifat sistemik. Artinya kalau dulu kredit macet karena perilaku puluhan konglomerat maka sekarang kredit macet karena jutaan konsumen. Apalagi jika mayoritas debitur individu tersebut menggunakan pinjaman bank untuk investasi ke sektor konsumsi dan property yang akan memasuki titik klimaks. Dengan menarik KPA/KPR (pada contoh kasus developer dengan bank tertentu minggu lalu) sebesar Rp 1 miliar bunga 0% tahun pertama dan selanjutnya floating maka deposan kelas milyaran rupiah akan tertarik untuk memborong sekaligus property untuk investasi. Disisi lain developer sudah mengambil uang muka yang jumlahnya ratusan miliar bahkan ada yang setara tigaperempat total salesnya.
gebyar pengembangan dan fokus ke UKM tidak semuanya didukung dan terealisir sesuai target. Malahan jumlah KUK menyusut sementara kredit baru bertambah yang justru diserap oleh debitur yang penggunaan kreditnya sangat bervariasi. (*). Warta Ekonomi, 10 November 2004

Read more...

Monday 23 March 2009

Anti-Dumping, Kepentingan Nasional VS Dagang Global

Dari berbagai kasus sengketa dagang antar negara maju dan berkembang menunjukkan globalisasi perdagangna dunia tidak serta merta selalu membuat setiap negara menempatkan kepentingan global diatas kepentingan nasional mereka.
Bahkan demi kepentingan nasional maka negara (baca: pemerintah) sebagai pengawal kepentingan perusahaan nasional tersebut melibatkan diri dalam menyelesaikan sengketa bisnis dengan pihak asing.
Oleh sebab itu adalah salah besar dan menjadi kebablasan jika kita tidak berani bersikap tegas atas dasar kebenaran dlam menghadapi mitra dagang asing hanya karena takut dituduh proteksi, anti perdagangan liberal dengan ancaman akan dikucilkan pasar internasional.
Padahal kita tidak buta melihat bahwa negara maju pun tidak tanggung – tanggung membela kepentingan industri nasionalnya, dengan berbagai argumentasi. Perilaku protektif masih menjadi jurus konvensional yang laris bahkan dilakukan oleh AS dan EU yang justru dianggap kampiun liberalisasi perdagangan dunia.
Menjelang ganti bajunya GATT menjadi WTO di Marrakesh tahun 1994 ramai sindiran bahwa GATT adalah general agreement of talk and talk.
Karena selama setengah abad tidak banyak hasil positif yang ditelurkan guna mengembangkan perdagangan dunia.
Kini belum genap satu dekade WTO juga dimulai mendapatkan kritikan pedas setidaknya bermula dari demo di Seatle.
Negara berkembang dan bahkan sebagian unsur di negara maju sendiri memprotes kebijkan WTO dijuluki sebagai world of talk only.
AS secara tak langsung mengeluh bahwa pasar ekspor mereka mengalami kendala di pasar luar negeri. Laporan dari USTR (April 2001) mengungkapkan hampir 60 negara termasuk 15 negara anggota EU dan 6 negara Teluk masih memiliki dan memberlakukan proteksi dagang terhadap negara luar.
Yang jelas USTR (United State Trade Representative) tidak mengungkapkan berapa banyak kebijakan protektif yang diambil alih AS guna melindungi industri nasional mereka.
Pembatasan akses pasar dengan berbagai argumentasi dan jenis perlakuan tersebut menyulitkan negara berkembang menerobos pasar domestik mereka. Dalam konperensi World Bank (Mei 2001) di Brussel diungkapkan setiap negara tahun negara miskin rugi US$ 2,5 miliar akibat pembatasan pasar ekspor oleh negara – negara maju.
Yang paling ketat adalah AS sehingga menciptakan neraca di mana untuk setiap US$1 bantuan AS yang diterima Afghanistan maka mereka kehilangan US$7 akibat pembatasan ekspor tekstil dan garmen oleh AS. Ini termasuk dampak lanjutannya sehingga terjadi pengurangan order, penutupan pabrik dan pengangguran.
Demikian juga di EU. Bulan Oktober 2001 Pascal Lumy, trade commissioner EU, mempopulerkan program EBA (everything but arm) yang intinya EU membuka akses pasar seluas – luasnya kepada produk negara miskin untuk masuk ke pasar, kecuali yang diharamkan, yakni dagang senjata. Tapi langkah positif dari aspek perdagangan global ini tidak mendapat dukungan bahkan tantangan dari para anggota EU maupun asosiasi pengusaha seperti National Farmer Union dan British Sugar. Mereka menolak karena takut kepentingan bisnisnya mereka kalah bersaing dan hancur akibat serbuan produk impor (ekspor oleh negara berkembang). Mereka hanya setuju dengan catatan jika everything but Arm dirubah menjadi everything but Farm (boleh ekspor apa saja kecuali pertanian – agribisnis).

Kasus di Haiti
Lain lagi contoh kasus di Haiti. Negeri ini sangat agresif membuka pasar lokalnya dengan mencabut berbagai kendala impor sejak awal 90-an khususnya di bidang makanan dan agribisnis.
Akibatnya banjir barang impor dari AS yang pelan tapi pasti menghancurkan industri lokal dan industri rumah tangga mereka. Akibatnya posisi Haiti bergeser dari negara swasembada pangan menjadi negara yang tergantung pada impor dan bahkan produk impor sudah menguasai setengah dari konsumsi nasionalnya.
Ironisnya adalah negara maju di kawasan Utara terus – menerus mendorong liberalisasi sementara mereka sendiri (negara kawasan Utara) malah asyik mensubsidi produsen mereka hampir US$1 miliar per hari.
Kasus lainnya adalah penelitian dumping atas impor baja oleh produsen asing ke pasar AS. Perintah yang diamanatkan langsung oleh George Bush ini sangat baik dilihat dari kacamata kepentingan AS karena dumping akan merusak industri baja mereka. Apalagi eksekutif dan serikat buruh pabrik baja sudah mengeluh dampak negatif baja impor.
Langkah ini mendapat dukungan sangat solid karena Alcoa (produsen almunium kedua terbesar dunia setelah Nippon Steel dan terbesar di AS beromzet US$ 16 miliar menyerap 107.000 karyawan) juga mengalami kondisi serupa.
Sangat kebetulan chairman Alcoa Paul O’Neill adalah menteri keuangan kabinet Bush saat ini. Klop sudah pertemuan “kebetulan” antara politisi dan pengusaha yang bersatu padu mempertahankan industri nasional. Membisniskan poltik dan mempolitikan bisnis.
Akibat kebijakan tersebut EU justru pusing tujuh keliling karena mereka yakin jika AS membatasi impor baja maka produsen baja EU akan terpukul dan bahkan produsen baja lain akan menyerbu pasar EU.
Oleh sebab itu Pascal Lumy sempat sewot dan menyatakan this bad news and the cost of restructuring in the US steel sector should not be shifted onto the rest of the world.
Sementara Jepang hanya bilang apappun keputusan AS diharapkan itu tetap sejalan dengan aturan main WTO.
Gesekan strategis seperti ini tidak heran jika berdampak bagi produsen baja luar negeri termasuk dari Indonesia, sehingga tidak luput dari tuduhan dumping dan terkena BMAD di negara luar.
Berbagai contoh ini menyiratkan bahwa adalah kewajiban negara untuk melindungi kepentingan industri nasionalnya secara benar demi menghadapai persaingan luar negeri, termasuk juga menjaga tercipatanya persaingan bisnis yang sehat di pasar domestik dari serbuan produk impor khususnya yang melakukan perdagangan tidak fair.
Perilaku bisnis curang yang menjadi kendala ini sangat beragam mulai dari kendala tarif, non tarif, sertifikasi, subsidi ekspor sampai ke anti dumping dan lingkungan.
Tapi kita juga tidak bisa menerapkan serta merta tanpa toleransi. Karena negara lain khususnya negara maju justru masih sibuk dan tetap ngotot melindungi industri nasional mereka dengan pelbagai alasan dan kriteria.
Sehingga jika tidak hati – hati kita bisa menjadi Haiti kedua yang berubah status dari swasembada menjadi pengimpor nomor wahid untuk semua produk industri. Populer dan bagus dimata perdagangan internasional (apalagi importir dan produsen asing) tapi industri lokalnya hancur lebur.

Kasus terigu
Salah satu contoh yang menarik untuk kasus di Indonesia adalah usulan pengenaan bea masuk antidumping (BMAD) yang diajukan asosiasi tepung terigu nasional (Aptindo) terhadap impor tepung terigu dari Australia, UE dan Uni Emirat Arab.
Setelah KADI (Komite Anti Dumping Indonesia) melakukan investigasi sampai selesai September 2001 terdapat bukti kuat bahwa impor tepung terigu dari 3 negara terbukti dumping dan perlu dikenakan BMAD antara 5,9% sampai 35,9%.
Sejak impor tepung terigu dikenakan bea masuk 0% (tahun 1998) pangsa pasar terigu impor meningkat dari 2% tahun 1998 menjadi 15% tahun 2000 dari total konsumsi nasional 3 juta ton.
Tahun 1999 impornya mencapai US$ 18 juta dari volume atau hampir satu juta ton. Pengajuan oleh BMAD sudah disertai bukti kuat dumping ini hanya dikenakan kepada importir dari 3 negara tersebut diatas.
Sehingga importir dari 36 negara lainnya tidak melakukan dumping bisa masuk dengan normal dan tidak dikenakan BMAD. Namun usulan ini belum mendapat persetujuan pemerintah untuk dilanjutkan atau tidak karena berbagai alasan.
Jika kepentingan industri nasional adalah kepentingan negara secara menyeluruh maka sudah pada tempatnya pemerintah melakukan BMAD secara selektif tersebut.
Pengenaan BMAD selektif ini sangat tepat karena memberikan pelajaran kepada perusahaan asing untuk tidak main – main. Selain itu BMAD tidak bisa dibaca sebagai tindakan protektif karena pemasok lain yang tidak melakukan dumping tidak dikenakan BMAD, sehingga cukup fair dan adil.
Berangkat dari kondisi ada beberapa hal yang dapat disimpulkan. Bahwa pengenaan BMAD terhadap tepung terigu impor selayaknya disetujui oleh pemerintah dengan alasan untuk melindungi kepentingan industri nasional dan memberi sanksi kepada perusahaan yang tidak mengikuti aturan persaingan bisnis yang sehat.
Konsistensi melindungi kepentingan industri nasional jangan dilihat dari kacamata sempit pada aspek kepemilikan. Jika kita melihat pada aspek pemilikan oleh pihak tertentu maka kita perlu melihat bagaimana sikap pemerintah dalam pengenaan BMAD atas produk lain dengan pemilik berbeda.
Ringkas kata jika Salim Grup sebagai pemain maka dibiarkan saja sebaliknya jika tidak bukan Salim Grup maka harus dibantu all out.
Jika ini pendekatan yang dipergunakan, maka strategi pengembangannya adalah bukan mengembangkan industri nasional secara menyeluruh tapi mengembangkan industri nasional dengan melihat kepentingan siapa pemiliknya.
Jika ingin menciptakan iklim persaingan bisnis yang sehat maka lebih tepat jika KPPU (Komisi Pegawas persaingan Usaha) yang memantau anatomi industri tepung terigu ini, misalnya dari aspek penguasaan pasar.
Ringkas kata membela kepentingan industri nasional jangan mudah terjebak pada aspek subjektif dalam negeri dan juga tidak bisa terlena mengikuti slogan liberalisasi agar dianggap sopan dalam tata krama perdagangan internasional.
Negara majupun tidak malu – malu memproteksi industri nasionalnya sejauh itu memungkinkan (ada saja alasannya), sementara kita merasa hebat dan yakin bisa bersaing habis – habisan di pentas global. (*)Kompas, 24 Maret 2002

Read more...

Saturday 21 March 2009

Raksasa Semen Asing Mulai Unjuk Gigi


Rencana pemerintah Indonesia (1 April 2002) menggugat pemerintah Filipina ke WTO karena memberlakukan safeguard atas produk semen dari Indonesia pada intinya bukanlah permasalahan antara pemerintah dengan pemerintah (G to G). Tapi itu lebih merupakan dampak dari persaingan bisnis antara multi nasional (MNC) di industri semen Indonesia dan Filipina. Apalagi pasarnya tidak lagi didominasi para produsen lokal tapi sudah dikuasai oleh produsen asing dengan pelbagai metode baik pra maupun pasca krisis ekonomi. Sehingga persaingan antar MNC dalam merebut dan menguasai pasar akhirnya memaksa kedua pemerintah untuk menyelesaikannya karena pertimbangan kepentingan nasional. Padahal jika ditilik lebih mendalam kepentingan nasional hanya sebatas papan nama karena isi sebenarnya adalah kepentingan bisnis MNC di industri semen kedua negara. Alangkah dahsyat dan ironisnya nasib negara berkembang di bawah kepungan MNC.
Dalam konteks inilah kita perlu mendalami bagaimana posisi produsen semen raksasa mulai memainkan peranan sesungguhnya sebagai mesin ekonomi yang wajar dan universal. Sehingga akan menjawab kapan para produsen semen asing di Indonesia mulai menunjukkan sifat yang sesungguhnya, mulai kelihatan belangnya dalam menjalankan strategis bisnis.
Munculnya bibit – bibit perang bisnis ini mengingatkan saya akan diskusi pada makan siang dengan salah satu analis dari Cemex di Shangrila Hotel, 24 September 1998, tepat setahun setelah Cemex masuk ke semen Gresik, dan tiga hari setelah Salim Grup menandatangani MSAA (21 September) yang mewajibkan Salim melunasi utang BLBI Rp 52 triliun (termasuk bunga sekitar 68%) dengan menyerahkan 108 unit usahanya di pelbagai sektor. Minggu itu juga Paris Club I ditandatangani. Sementara salah satu topik di masyarakat bisnis ibukota adalah bakal masuknya Heilderberger ke Indocement (yang direalisir resmi setahun kemudian, Oktober 1999). Sehingga pada masa – masa itulah skenario masa depan industri semen Indonesia (dan industri nasional pada umumnya) mulai di setting secara halus, terarah dan rapi dalam sebuah grand design berskala global.
Salah satu inti diskusi adalah bahwa mereka sangat optimis akan prospek bisnis semen di Indonesia yang bisa menjadi basis industri untuk menguasai pasar regional. Oleh sebab itu perlu dijadikan basis investasi (harga tak jadi masalah) guna merebut captive market yang sudah by design. Meski belum diutarakan secara jelas, tampak bahwa mereka sepaham masuknya raksasa semen asing di industri semen nasional bukan merupakan ancaman bagi mereka. Karena sudah merupakan komitmen umum diantara para MNC global sejenis untuk membagi pasar atau marketing zone sesuai komitmen demi keuntungan bersama. Pesaing sekaligus mitra bisnis.
Lalu apa kaitannya dengan kondisi sekarang. Salah satu yang sudah menjadi fakta adalah bahwa pembatasan impor semen dari Indonesia oleh Philipina yang berpotensi memicu perang dagang akhirnya melibatkan negara, padahal salah satu penyebab adalah perang bisnis antar MNC dalam memperebutkan pasar. Sebagaimana diketahui bahwa industri dan pasar semen Asean dan Asia tidak lepas dari peranan the big three yakni Holdersbank, Cemex dan Heilderberger. Dengan mengakuisisi pelbagai perusahaan semen yang terkena krisis di Asia akhirnya mereka mulai menancapkan kuku bisnisnya di wilayah potensial ini (hot growth areal).
Dengan demikian pasca dominasi asing di industri semen nasional maka salah satu trend utama yang bakal muncul adalah meningkatnya ekspor (yang pasti akan didengungkan sebagai prestasi besar dalam menghasilkan devisa). Trend ekspor ini akan meningkat terus karena didukung mulusnya jaringan pemasaran antar afiliasi perusahaan tersebut. Untuk jangka panjang praktek ini bisa berpotensi mnjadi kelangkaan semen di pasar domestik. Jika kondisi ini terjadi maka impor akan menyerbu ke pasar domestik yang pada akhirnya akan dipasok oleh afiliasi produsen luar negeri tersebut yang notabene adalah afiliasi mereka sendiri. Skenario ini tentu akan dengan mudah mengatur harga pasar regional dan nasional secara bersamaan.
Untuk meningkatkan rasio ekspor (agar tampak sukses marketing-nya) maka tidak menutup kemungkinan penjualan ekspor antar afiliasi dari jaringan MNC global tersebut menggunakan harga yang disepakati. Agar tidak terjebak pada definisi apakah itu masuk dalam kartel harga, kartel pemasaran atau kartel – kartel lainnya maka inilah salah satu aspek teknis yang bisa mereka jalankan. Dimana harga ekspor oleh produsen semen di Indonesia akan dijual relatif lebih murah kepada para afiliasi mereka di luar negeri (sebagai importir) dibandingkan dengan yang lainnya. Dengan penjualan lebih murah maka akan mendapatkan keuntungan lebih awal yang dikantongi oleh afiliasi mereka. Sementara afiliasi mereka di Indonesia justru kehilangan “potential gain” yang jika dilakukan dengan transaksi murni akan menguntungkan pemegang saham lainnya (yakni, pemerintah, pengusaha Indonesia dan investor publik pemegang saham).
Artinya jika harga semen biasanya bisa dijual dengan harga US$ 100 maka sekarang tidak menutup kemungkinan untuk dijual dengan harga lebih rendah misalnya US$ 75. Dus, afiliasi sudah dapat untung duluan sementara pemegang saham lain akan dapat untung (rugi) belakangan. Praktek markdown sebagai bagian dari jurus transfer pricing merupakan kisah klasik yang sama usianya dengan berkembangbiaknya MNC di seluruh dunia. Sebuah jurus bisnis yang tidak membutuhkan ilmu khusus tapi cukup dari nalar dan pikiran bisnis yang biasa – biasa saja. Oleh sebab itu praktek – praktek seperti ini tidak menutup kemungkinan diterapkan juga oleh para raksasa semen asing di Indonesia. Misalnya Heilderberger dengan Indocementnya, Holdersbank dengan Semen Cibinongnya, atau Cemex dengan Semen Gresiknya.
Tidak mudah bagi pihak luar untuk membuktikan apakah mereka sudah menjual ke pasar luar negeri dengan harga yang lebih murah dibandingkan pasar domestik atau internasional. Jika itu semua bisa dibuktikan maka bisa menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah bertindak pro-aktif yakni menuntut mereka agar menjalankan praktek bisnis yang baik (fair trade practice). Karena selain bisa dituduh markdown, membentuk kartel harga dan marketing zone mereka juga bisa dituntut ke WTO karena berpotensi melakukan dumping. Lebih jauh lagi bisa menuntut ke pemrintah masing – masing MNC karena melanggar etika bisnis dalam WTO apalagi jika negaranya sudah memiliki aturan yang mengatur praktek bisnis sehat bagi perusahaan mereka yang beroperasi di luar negeri seperti AS. Praktek ini tidak hanya di industri semen tapi bisa berlaku di seluruh sektor industri semen dalam pelbagai bentuk dan pola. Dengan demikian ini akan menjadi PR baru yang lebih menantang bagi KPPU agar lebih proaktif dan jangan sebatas menangani “selingkuh bisnis” antara pemerintah dengan ekskonglomerat saja.
Dengan demikian kita tinggal menunggu waktu untuk melihat secara jelas, faktual dan objektif (bulan asal tuduh) kapan dan bagaimana para MNC ini akan kelihatan belangnya dalam menjalankan praktek bisnis yang miring. Analisis singkat ini hanya melihat dari cakrawala fenomena global yang pasti merembes ke Indonesia. Meski demikian perlu dipahami bahwa ini bukan mengarah pada posisi chauvinisme sempit atau xenophobia (anti asing) karena tidak zamannya lagi kita menggunakan konsep pemikiran demikian, terlepas suka atau tidak suka. Yang menjadi masalah adalah bagaimana mendayagunakan asing bagi kepentingan nasional dan menjaga mereka menjalankan bisnis sesuai aturan di mana mereka berada (bukan dari mana mereka).
Dalam konteks dan posisi kecil apapun maka nasionalisme harus tetap dipertahankan asal jangan disalahtafsirkan dan disalahgunakan. Mulai dan semakin dominannya asing di pentas bisnis nasional adalah sebuah fakta yang harus diterima. Jika dulu konglomerat yang dituduh menguasai dan menyetel industri nasional maka sekarang giliran asing yang menyetel industri nasional. Ringkas kata “hilang konglomerat yang muncul MNC dan ekspartriat” yang anehnya lagi oleh sebagian orang justru disambut positif berlebihan dengan “red carpet” sekalian dengan “red tape” yang tidak mudah dikikis. (*) Prospektif, 14 Januari 2002

Read more...

Friday 20 March 2009

Swastanisasi Terjebak Dikotomi IPO dan Investor Strategis

Berkaca dari “sengketa bisnis” pada Semen Gresik Grup (SGG), yakni pro-kontra pemisahan anak perusahaan (spin-off) dan penjualan lanjutan sesuai hak opsi (putoption) yang belum juga tuntas, bahkan bisa berkepanjangan, merupakan akses lain dari program swastanisasi yang memang sudah banyak menyimpang dari tujuan semula. Terlalu banyak dibebani misi dan kepentingan. Mulai dari pemerintah, DPR, BUMN sendiri dan pelbagai pihak yang merasa relevan dan punya kepentingan. Akibatnya, muncul dengan pendekatan nasionalisme, otonomi daerah, transparansi, globalisasi, antimonopoli, dan sebagainya.
Sengketa bisnis ini hanyalah puncak dari gunung es swastanisasi BUMN yang berpotensi disusul oleh pelbagai kasus lain yang bakal mencuat. Akan tetapi, kali ini kita tidak menfokuskan pada sengketa SGG, tetapi mengkaji bagaimana perkembangan swastanisasi nasional selama tiga dasawarsa secara menyeluruh, dan eksistensi BUMN sendiri yang dinilai dengan standar ganda. Dengan demikian, proses swastanisasi sendiri sering terjebak dikotomi yang sebenarnya tidak perlu.

Perkembangan
Ditinjau dari kuantitasnya, maka misi serta mengurangi dan menjual saham pemerintah kepada masyarakat (publik), menunjukkan sebuah keberhasilan. Survei Bussiness Intelligence Report (BIRO) tahun 2000 berjudul Eksistensi dan Masa Depan BUMN menemukan bahwa selama dekade terakhir (sejak tahun 1990 sampai 2000) jumlah BUMN menyusut 25,8 persen atau berkurang 48 buah. Dari 186 BUMN pada tahun 1990 menjadi 138 tahun 2000, setelah mencapai puncak jumlahnya 222 pada tahun 1983.
Penyusutan BUMN tersebut karena proses restrukturisasi internal BUMN melalui merger, akuisisi dan atau likuidasi antar-BUMN sendiri, di samping berdirinya BUMN baru. Akibatnya, sejak tahun 2000 tidak lagi BUMN berstatus Perusahaan Negara dan PT Lama, sementara pemerintah (termasuk pemda) malah mulai aktif mendirikan perusahaan jawatan.
Akan tetapi, dari sisi kualitasnya, maka tujuan swastanisasi untuk menyehatkan BUMN secara keseluruhan (harus diakui) belum mencapai target. tahun 1990, sebanyak 32 persen BUMN bisa menyandang predikat sangat sehat, namun sejak tahun 1998 tidak adal lagi yang berpredikat sangat sehat (bertepatan dengan kondisi puncak krisis moneter).
Dengan demikian, sebagian besar BUMN tersebut, predikatnya menurun dari sangat sehat menjadi sehat sehingga porsi yang naik dari 21 persen tahun 1990 menjadi 71 persen tahun 1998. Penurunan kinerja perusahaan ini tentu saja tidak terlepas dari kebijakan para nakhoda dan pengawas, yakni 645 anggota dewan direksi dan 466 anggota dewan komisaris BUMN. Jangan hanya menuduh faktor eksternal!.
Meski dengan kuantitas maupun kualitas yang cenderung menurun tersebut, tetapi eksistensi BUMN dalam peta ekonomi nasional, khususnya pada sektor rill masih cukup dominan, apalagi di sektor hulu. Survei BIRO di atas juga menemukan keterlibatan BUMN di sektor rill yang masih cukup dominan pada 72 produk atau sektor melibatkan 173 BUMN (ada BUMN yang memproduksi lebih dari satu produk). Dengan rincian, ada 59 BUMN menguasai pangsa pasar di atas 51 persen pada 38 produk dan 34 komoditas lainnya, dengan pangsa pasar di bawah 50 persen. (tabel 1).
Perlu dipahami, bahwa penguasaan pangsa pasar oleh BUMN ini belum mencakup pelbagai sektor atau produk nasional lain yang dalam kenyataannya, tidak ada yang melibatkan BUMN. Padahal, jumlahnya sedikit. Untuk perspektif ke depan, komposisi diperkirakan tidak mengalami pergeseran yang signifikan karena tidak munculnya kekuatan swasta baru sebagai pesaing yang memperebutkan pasar tersebut.
Meskipun jumlahnya menyusut dan kinerjanya cenderung menurun, kontribusi BUMN bagi keuangan negara (khususnya dalam penerimaan APBN) tetap dibutuhkan, walaupun porsinya menurun. Penurunan ini bukan disengaja, tetapi lebih dikerahkan kondisi krisis ekonomi di pelbagai sisi yang akhirnya menekan proyeksi perolehan laba BUMN dan hasil privatisasi.
Perkembangan APBN sejak lima periode (sejak tahun 1999 sampai RAPBN 2002) menunjukkan bahwa kontribusi BUMN (dari laba dan hasil swastanisasi) terhadap total penerimaan APBN kian menyusut. Dari 13,2 persen (tahun 1999/2000) menjadi 5,4 persen (APBN 2001) dan menyusut lagi jadi 4,2 persen (RAPBN 2002). Secara implisit ini menunjukkan bahwa meski jelek, tetapi BUMN masih menjadi tumpuan harapan di masa kritis. Padahal, BUMN yang akan diswastakan tersebut adalah “barang lama” yang seharusnya sudah dijual tahun 2000. Bahkan, target laba BUMN ini dinaikkan lagi menjadi Rp 10,3 triliun (tabel 2).
Artinya, defisit Rp 43 triliun pada RAPBN 2002, sebagian dibiayai dari hasil swastanisasi BUMN sebesar Rp 3,9 triliun atau 9,1 persen, menyusut dari target APBN tahun 2001 yang diharapkan memasok 12 persen. Pelbagai kondisi ini secara tidak langsung sudah mengubah arah dan misi swastanisasi BUMN, dari tujuan utama untuk menyehatkan BUMN berkembang menjadi salah satu motor pemasok dana untuk APBN. Sangat berisiko besar jika fenomena ini terus berlanjut dari melihat eksistensi BUMN dari kepentingan jangka pendek hanya sebatas APBN per APBN.

IPO versus SI

Perkembangan sepanjang tiga dasawarsa menunjukkan bahwa swastanisasi BUMN baru melibatkan publik, pada dekade tahun 1990-an, dipelopori oleh penjualan perdana untuk publik (IPO atau initial public offering) Semen Gresik (1991). Sebelumnya, yang palng banyak dilakukan adalah melalui kerja sama dengan pihak asing maupun swasta (joint venture). Dengan demikian, saat itu mulai banyak BUMN yang memiliki anak perusahaan dan umumnnya bergerak di bidang yang masih terkait dengan BUMN induk. Atau patungan langsung antara pemerintah dengan pihak investor asing yang pada tahun 1973 tercatat 10 perusahaan patungan.
Sepuluh tahun kemudian, pola ini masing dianggap yang paling umum dan jumlahnya naik pesat jadi 28 buah. Pada dekade tahun 1990-an mulai dipergunakan pola baru, yakni IPO, joint operation (KSO) di luar KSO sektor migas, dan penempatan langsung (private placement-PP) atau investor strategis (strategic investors-SI). Pola ini masih berlanjut sampai sekarang.
Yang paling dipersoalkan adalah plus-minus dan pola mana yang lebih menarik atau positif antara IPO dengan PP kepada SI. Dapat diyakini bahwa kedua pola ini sama – sama punya kelebihan dan kekurangan. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa IPO lebih transparan dibandingkan PP/SI. Sebaliknya, tidak ada yang bisa memastikan bahwa harga lewat PP/SI bisa menguntungkan dibandingkan IPO. Oleh sebab itu, agar tidak larut dalam perbandingan keunggulan maya (virtual’s compentitiveness) tersebut, maka sebaiknya kita jangan terjebak pada dikotomi antara IPO versus PP dan atau SI. Lebih bijak jika kedua pola ini diterapkan sekaligus pada sebuah BUMN, tergantung jurus mana yang diinginkan lebih dahulu. Melakukan IPO dulu kemudian disusul dengan PP/SI atas sisa saham pemerintah, sebaliknya PP/SI dulu baru menyusul IPO.
Dari rencana strategis swastanisasi versi pemerintah, tetap memilih IPO dan PP/SI sebagai pilihan yang sangat diandalkan dengan pelbagai kelebihannya. Sepanjang dasawarsa tahun 1990-an, IPO lebih banyak dipergunakan. Sementara strategi PP/SI akan semakin populer bahkan bisa menjadi alternatif ekspers bagi pemda yang agresif mengembangkan peluang bisnis di daerah masing – masing dalam menumbuhkembangkan local competitiveness.
Namun jika dicermati, ada kecenderungan untuk memberi porsi lebih besar kepada PP/SI, naik melalui pola tunggal atau sekaligus dengan IPO. Berdasarkan rencana pemerintah saat ini, maka diperkirakan sampai akhir 2002 akan tercatat 19 BUMN yang akan diswastaskan tahun 2002, di luar BUMN yang sudah tercatat di bursa sejak tahun 1991 sampai Juli 2001. Dari jumlah itu ternyata 10 diantaranya diperkirakan menggunakan pola PP/SI dan atau IPO. Bahkan, empat di antaranya diperkirakan langsung menggunakan pola PP/SI, yakni BNI, ITP, Sarinah, dan Angkasa Pura II.
Contoh kasus swastanisasi di Inggris menunjukkan bahwa 54 persen transaksi swastanisasi dilakukan melalui private offering (PP/SI), dan sisanya melalui IPO. Selama 16 tahun (1977-1993) sejak dimulainya gelombang swastanisasi Inggris dengan konsep taking eapitalism to the people, Inggris sudah menswastaskan 47 BUMN dengan hasil 55 miliar pounsterling (setara 90 miliar dollar AS). Dua misi dan tujuan swastanisasi adalah meningkatkan kinerja perusahaan secara menyeluruh (capitalism) dan menyebarluaskan kepemilikan saham bagi rakyat (people). Misi penyebaran saham tercapai sehingga rakyat Inggris yang memiliki saham naik dari tiga juta orang tahun 1979 menjadi 10 juta orang tahun 1993. Harga jual produk dan jasa menurun pascaswastanisasi dan BUMN mulai untung. Padahal, sebelumnya defisit besar. Satu aspek yang belum dipenuhi dari program swastanisasi di Indonesia.

Kecenderungan global
Mengingat investasi tidak bisa lepas dari kontelasi dan dinamika keuangan global, maka kita perlu melihat bagaimana pola swastanisasi global, khususnya dilihat dari kecenderungan antara cara IPO dan SI/PP, setidaknya dari trend investasi portofolio.
Swasatanisasi global di negara berkembang antara 1990 sampai 1998, sudah mencatat nilai transaksi 271 miliar dollar AS, khusus untuk tahun 1998 nilainya menurun dari 66, 5 miliar dollar (posisi puncak) menjadi 49 miliar dollar. Ternyata pemasukan devisa dari kantung investor asing dalam swastanisasi tersebut mencapai 127 miliar dollar atau 46,7 persen sehingga sisanya dari sektor domestik yang sedikit lebih besar.
Perubahan penting dari dekade ini bahwa peranan instensi asing langsung (foreign direct investment-FDI) cenderung menyusut, meski kontribusinya masih cukup besar, yakni 71,5 persen dari sisanya melalui investasi portofolio asing (foreign potofolio investment-FPI). Tahun 1990, FDI masih menguasai 98 persen total dana asing yang masuk dalam swastanisasi dan sisanya via FPI. Menjelang era krisis ekonomi tahun 1997, porsi FDI meningkat dan FPI menurun drastis. Sudah menjadi fenomena umum bahwa investasi asing berbentuk portofolio sifatnya easy come easy go berbeda dari FDI yang hadir dengan investasi mendirikan pabrik langsung (disebut juga dengan greenfield investment) sehingga tidak mudah lari jika terjadi krisis. Perubahan porsi ini menunjukkan bahwa keikutsertaan pihak asing dalam swastanisasi masih lebih dominan lewat PP/SI, dibandingkan dengan pola penyertaan portofolio saham (FPI).
Untuk melihat daya tarik dan keunggulan sektoral itu bisa mengacu pada “Index of Marketability” yang disusun Bank Dunia tahun 1994. Indeks in menggolongkan sektor usaha berdasarkan lima kriteria, yakni tingkat persaingan, karakteristik produk dan jasa, potensi pembayaran dari konsumen, kewajiban publik, dan aspek eksternal. Semakin tinggi indeks semakin menarik. Sektor telekomunikasi dan kelistrikan punya indeks tertinggi (3) disusul oleh pengelolaan sampah, PLTU, dan jasa telekomunikasi.
Indeks ini memang tercermin dari perkembangan swastanisai global dimana telekomunikasi adalah sektor terlaris untuk diperjualbelikan. Nilai swastanisasinya mencapai 70,7 miliar dollar, 26,1 persen dari total swastanisasi global antara 1990-1998, (tabel 3).

Kesimpulan
Arah dan tujuan swastanisasi di Indonesia sudah bergeser dari tujuan utama menyehatkan BUMN bergeser menjadikan BUMN sebagai sumber uang APBN. Sementara kinerja BUMN tidak semakin sehat, ditambah dengan aneka kepentingan eksternal dari stakeholder sampai manajeman BUMN sendiri.
Oleh sebab itu, tidak heran jika swastanisasi BUMN belum memberikan manfaat langsung bagi konsumen (rakyat) dengan meningkatkan pelayanan serta menurunkan harga jual produk dan jasa ke konsumen. Malah sebaliknya, harga jual konsumen harus dinaikkan agar swastanisasinnya lebih menarik bagi investor asing. Sungguh ironis.
Tidak ada strategi khusus dalam proses swastanisasi. Jadi, kita jangan terjebak dikotomi antara IPO dan atau PP/SI, karena kedua strategi ini memiliki keunggulan dan kelemahannya. Tidak ada jaminan bahwa IPO seratus persen transparan dan sebaliknya PP/SI bisa menjamin tercapainya harga maksimal yang menguntungkan dan KKN. Sengketa SGG hanyalah puncak gunung es dari efek negatif swastanisasi.
Strategi IPO sebaiknya diterapkan kepada BUMN yang bergerak di sektor pelayanan publik dimana rakyat sebagai konsumen langsung dan captive market, misalnya di bidang air minum, kelistrikan, telekomunikasi, transportasi dan migas. Sementara PP/SI sebaiknya difokuskan pada di luar utilitas publik, misalnya manufaktur, keuangan, dan industri primer lainnya. Apalagi, jika BUMN berstatus patungan lebih baik dijual kepada mitra semula.
Demi meningkatkan kesejahteraan publik, maka perlu ditetapkan kuota saham bagi karyawan dengan harga nominal (dengan pola ESOP), terlepas dari penjualan IPO maupun PP/SI. Justru investor yang harus mengikuti semua perilaku global dengan komitmen penuh.
Perlu segera disusun undang – undang (UU) Privatisasi agar terdapat sebuah pedoman kerja yang mantap dan jelas agar dinamikanya tidak jatuh bangun, seperti kabinet dan para menterinya. Ini salah satu kelemahan kita, karena misi, program dan infrastrukturnya tidak solid dan terpadu. Pemerintah harus bersikap tegas, bersih dan kuat (strong and clean government) karena jika lemah akan terus terombang –ambing.
Dalam konteks itu, DPR juga masuk terlalu jauh mengurusi privatisasi. Cukup berperan sebagai pengawas via UU. Terlalu rajin dan pro-aktif (dengan pro-kontranya) malah membuat target swastanisasi tidak tercapai, dimana anggota DPR sendiri “mungkin” tidak ikut merasa bersalah atas kegagalan pencapaian target yang akhirnya mengganggu struktur APBN secara menyeluruh. (*)
5 November 2001

Read more...

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP