Thursday 19 February 2009

Money Laundry, Semakin Korup Semakin Sering

Keputusan Financial Action Task Force (FATF) tanggal 22 Juni 2001 memasukkan Indonesia sebagai satu di antara 15 negara yang dianggap tidak kooperatif (non-cooperative countries and territories, NCCT) dalam memberantas praktik pencucian uang (money laundring), diakui atau tidak telah mendorong otoritas moneter dan hukum di dalam negeri untuk segera bereaksi positif. Masuknya di Indonesia dalam blacklist FATF jelas berdampak negatif bagi performa kita dimata lembaga keuangan internasional. Karena 29 negara maju (anggota FATF) diminta untuk memberikan perhatian khusus jika melakukan transaksi keuangan dengan orang, perusahaan atau lembaga keuangan dari 15 negara tersebut.
Keluar masuknya negara dalam daftar NCCT, tergantung pada perkembangan dan komitmen negara tersebut dalam menerapkan 40 buah rekomendasi antipencucian uang oleh FATF (satgasnya OECD untuk antipencucian uang). Empat puluh butir rekomendasi tersebut terbagi dalam empat bagian utama, yakni kerangka umum rekomendasi (tiga butir); peranan sistem dan lembaga keuangan dalam strategi perang melawan pencucian uang haram (22 butir); dan memperkuat kerja sama internasional antarlembaga maupun negara (11 butir).

Standar ganda
Perlu kita pahami bahwa praktik pencucian uang dalam pelbagai skala dan teknis tidak mungkin bisa dilakukan oleh suatu negara tanpa didukung bank dan lembaga keuangan raksasa dengan jaringan global dan canggih. Apakah mungkin cabang swasta atau Bank Pembangunan Daerah (BPD) atau Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di kabupaten bisa dipercayai melakukan transaksi puluhan atau ratusan juta dollar AS dengan jaringan bank lain di pelbagai pusat keuangan dunia dan offshore centre. Semua itu hanya bisa terjadi jika melalui jaringan perbankan internasional yang menyebar dari Uni Eropa, Amerika Serikat, Amerika Latin, Karibia, sampai Asia Timur.
Jelas terdapat hubungan erat antarpara pelaku pencucian uang dengan perbnakan internasional yang bersedia menjadi saluran untuk proses tersebut. Transaksi pencucian uang yang bersumber dari berbagai praktik bisnis ilegal dan “uang panas” (hot money) tersebut jelas merugikan negara yang dilibatkan. Setidaknya, kerugian dari pajak yang normal diterima. Oleh sebab itu, kita harus melihat aspek positif gebrakan FATF in, meski secara implisit terkesan langkah kelompok negara maju tersebut tidak adil, berstandar ganda, bahkan bisa disebut munafik.
Eksistensi offshore centre juga menjadi ujung tombak yang mempermulus praktik ini. Sampai kini tercatat tidak kurang dari 4.000 izin offshore bank yang berlokasi di 60 offshore centre dan menguasai total aset lima triliun dollar AS. Hampir menyamai total perdagangan barang dan jasa versi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Paling banyak berlokasi di Karibia dan Amerika Latin 44 persen, Eropa 28 persen, Asia 18 persen, dan di Timur Tengah serta Afrika 10 persen. Nauru dan Montenegro termasuk yang paling baru mendirikan offshore centre sebagai salah satu sumber pendapatan negara. Montenegro bahkan menjual izin bank swasta lewat internet seharga 10.000 dollar AS. Sehingga tidak heran jika banyak perusahaan “maya”, misalnya 75 dari 570 izin bank di Cayman atau 65 buah dari 400 izin di Bahama adalah bank sebatas papan nama.
Salah satu lahan utama dalam pencucian uang adalah praktik bisnis ilegal (underground business) yang bisa mencakup dari penyelundupan, perdagangan obat, prostitusi, sampai tenaga kerja ilegal. Mengutip hasil riset Dr. Friedrich Schneider (universitas of Linz) yang meneliti tentang bisnis bawah tanah menyatakan bahwa antara tahun 1989 sampai 1999, porsi bisnis bawah tanah (persentase terhadap PDB) di negara – negara OECD justru meningkat pesat. Ini tidak lepas dari meningkatnya pajak, beban sosial, serta semakin rumitnya birokrasi pemerintah. Sehingga rakyat dan dunia usaha cenderung lebih menyukai jalan pintas dan ilegal.
Sebagaimana terlihat pada tabel, 21 negara OECD ternyata tiga besar negara yang porsi bisnis ilegalnya (persentase terhadap PBD) terbesar adalah Yunani, Italia dan Spanyol. Sebaliknya, tiga negara paling rendah porsinya adalah Swiss, Amerika Serikat, dan Australia masih dibawah 10 persen PDB. Jika rasio ini tepat maka bisa dibayangkan, berapa nilai transaksi ilegal bisnis di masing – masing negara maju tersebut. Ini tentu saja mengurangi pendapatan pajak bagi negara masing – masing. Apalagi omzet pencucian uang global diperkirakan bisa mencapai lima persen PDB dunia (versi IMF).
Temuan data Dr. Friedrich tersebut, jika dikaitkan dengan peringkat korupsi global, tentu sangat bertentangan sehingga menimbulkan aneka tafsir yang bisa memperkuat atau malah inkonsistensi. Misalnya tiga negara yang paling bersih (relatif) dari praktik korupsi, menurut versi Transparency International (TI), adalah Finlandia, Denmark, dan Selandia Baru. Tetapi, di tiga negara ini praktik bisnis ilegal (underground business) diperkirakan mencapai antara 10 persen sampai 20 persen dari total PDB.
Sementara ketiganya adalah anggota FATF dan kebetulan juga warga global European Union dan OECD. Padahal, menurut peringkat “opacity index” versi Pricewaterhouse (PWC, Januari 2001) indeksnya Italia dan Yunani relatif bagus sejauh menyangkut keterbukaan serta transparansi pemerintah dan dunia usaha untuk proses good corporate governance. Pelbagai peringkat global ini menunjukkan sebuah kondisi dimana posisi pemeringkatan global masih sangat lentur dan relatif. Di sinilah kita perlu lebih jernih dan obyektif dalam melihat pemeringkatan global, sekaligus untuk mencermati bagaimana persepsi negara maju melihat negara lain dalam perang antimoney laundring.
Kemudian, jika dikaitkan praktik korupsi global menurut versi TI dengan langkah FATF dalam pemberantas pencucian uang. Dari perbandingan global dengan pendekatan multi aspek (lihat tabel money laundring dari aspek transparansi, bisnis ilegal dan korupsi global) terlihat bahwa negara yang tingkat korupsinya tinggi masuk dalam blacklist FATF. Dari 91 negara yang diperingkat oleh TI untuk perilaku korupsi, maka sembilan diantaranya masuk daftar NCCT FATF sehingga perlu berhati – hati melakukan transaksi keuangan dengan negara – negara tersebut. Apalagi sembilan negara tersebut tentu saja belum menjadi anggota FATF sehingga pemberantasan pencucian uang belum dijalankan secara aktif dan berstandar global. Sehingga semakin korup sebuah negara maka semakin sering melakukan money laundring.
Karena di samping bisnis ilegal, praktik pencucian uang ini tidak jauh – jauh amat dari praktik penyaluran hot money atau dirty money eks hasil korupsi tingkat berskala besar. Nigeria, Indonesia, Rusia, Filipina, serta Guatemala adalah lima negara yang masuk blacklist FATF, dan juga lima negara terkorup di dunia. Dari aspek transparansi dengan “opacity index” (versi PWC) memang China, Rusia, dan Indonesia tergolong paling tertutup. Tabel kompilasi versi Business Intelligence Report (BIRO) ini disusun dengan basis negara anggota FATF, daftar NCCT FATF dan China. Sehingga tidak semua negara yang diperingkat dari pelbagai versi masuk dalam tabel ini.

Tabel Langkap Negara Tempat Money Laundry-Hubungi Inbra
PENCUCIAN UANG DARI ASPEK TRANSPARANSI,
BISNIS ILEGAL DAN KORUPSI GLOBAL

Berbagai sumber diolah INBRA dengan catatan:
(xxx), negara yang digolongkan "non cooperative" dalam memberantas pencucian uang oleh FATF (per Juni 2001)
(x), anggota FATF
* Huruf tebal menunjukkan negara tersebut sebagai international Offshore Centre (IOC)
* Rekomendasi adalah jumlah dari 40 rekomendasi FATF yang sudah diterapkan oleh negara anggota (Juni 2001)
* Bisnis ilegal "underground business" berdasarkan data Dr Fredrich Schneider (Universitas Linz), kecuali angka Cina
* Peringkat "opacity" berdasarkan data PricewaterhouseCoopers (Jan 2001), semakin besar semakin bagus
* Peringkat CPI (Corruption Perception Index) dari transparency International (Juni 2001), semakin besar semakin jelek

Jaring Laba – Laba
Praktik bisnis gelap ini memang sudah mewabah ibarat jaringan laba – laba atau belalai cumi raksasa membentang lintas sektor. Sebagaimana diungkapkan Brian Freemantle dalam bukunya “The Octopus, Europe In The Grip of Organizes Crime” (Orion Book, London 1996) eksistensi dan operasionalisasi kriminal di daratan Eropa sudah bagaikan belalai gurita yang membentang demikian jauh dengan cengkeraman yang erat dari elite politik di belakang istana negara sampai ke mafia yang menguasai seluk-beluk kehidupan masyarakat. Denyut nadi kriminalitas ini tidak bisa lepas dari jaringan mafia Italia (Corsia, Sisilia), Kartel Cali (di Amerika Latin), mafia Yardies (gang Jamica yang menguasai London), mafia Chechen dan Rusia yang menguasai Eropa Timur dan bekas Uni Soviet, sampai ke mafia Jepang Jakuza dan Triad RCC-Hongkong.
Lebih rinci lagi, Freemantle yang membebarkan apa, siapa, dan bagaimana kisah di balik pelbagai skandal politik, ekonomi dan militer di Eropa bahkan menembus dinamika bisnis samping ke jantung Vatikan. Mulai dari istana dan hotel internasional yang bertabur bintang, sampai ke lorong – lorong kumuh nan gelap sebagai objek dan subjek kriminalitas global. Praktik bisnis gelap sebagai objek dan subjek kriminalitas global. Praktik bisnis gelap ini melibatkan aktivitas bisnis seperti narkoba, pelacuran, penjualan anak – anak dibawah umur, buruh ilegal, jual beli senjata, dan yang lebih mengerikan adalah transaksi bisnis organ tubuh manusia.
Kecenderungan paling mutakhir (selain pola konvensional) adalah pencucian uang oleh para top birokrat di sejumlah negar yang mengalami krisis dan memasuki era transisi. Mulai dari Rusia, eks Yugoslavia serta negara Eropa Timur, kawasan Afrika, Amerika Latin, dan tentu saja di Asia.
Sebagaimana dilaporkan British Financial Accounting (FSA) bulan Maret lalu, setidaknya ada 15 bank di Inggris yang lemah dalam pengawasan praktik pencucian uang. Diperkirakan bank – bank tersebut sudah menjadi sarana pencucian uang sebanyak 1,3 miliar dollar AS milik penguasa militer Nigeria (Zachary Abacha). Sementara itu, tidak kurang dari dari 2,9 miliar dollar AS dana milik Slobodan Milosevic (yang sekarang jadi terdakwa di pengadilan internasional) dicuci lewat perbankan di Swiss, Yunani, dan Cyprus selama di berkuasa di Yugoslavia. Atau keterlibatan Bank of New York (BONY) dalam transaksi para jutawaan Rusia tahun 1999. ini hanya untuk menyebut beberapa contoh saja.
Skandal korupsi dan praktik money laundring justru menemukan pola baru yang lebih canggih dan besar di Cina yang menggerogoti ekonomi negara dari dalam. Korupsi menyedot hampir 17 persen PDB dan bisnis ilegal menyerap 20 persen (bahkan perkiraan indenpenden menyebutnya hampir 40 persen).
Arus investasi asing langsung (Foreign Direct Investment – FDI) ke Hongkong tahun 2000 yang mencapai 64 miliar dollar AS (melonjak hebat dari 24 miliar dollar AS tahun 1999) justru dicurigai sebagai bagian dari pola pencucian uang oleh birokrat Cina melalui Hongkong dengan pola FDI. Apalagi hampir 70 persen FDI ke Hongkong tersebut berasal dari Cina Daratan dan offshore centre. Lebih fantastis lagi, investasi keluar (outflow FDI) dari Hongkong mencapai 62 miliar dollar. Jurus keluar masuknya dana mengatasnamakan FDI juga bukan hal mustahil untuk diterapkan di Indonesia sehingga akan masuk investor asing dan “aseng” dengan pelbagai saluran.

Indonesia
Keluarnya Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 3 Tanggal 18 Juni 2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (“know your customer principles”) adalah sebuah langkah positif, meski terkesan terlambat dengan dampak memalukan. Jika tidak terlambat, Indonesia tidak perlu masuk dalam daftar FATF, setidaknya untuk tahun ini, karen pengkajian berlangsung setiap tahun. Oleh sebab itu, tidak berguna lagi mempersoalkan PBI keluar 18 Juni atau empat hari lebih cepat dari pengumuman FATF, tanggal 22 Juni. Dari perkembangan historis jelas bahwa langkah kita mengantisipasi imbauan global antipencucian uang ini sangat lambat dengan pelbagai kendala dan alasan. Padahal, benih – benih untuk itu sudah banyak diatur mulai dari UU Antikorupsi, bahkan bisa melebar sampai UU Psikotropika.
Dari aspek transaksi perbankan, proses pemantauan transaksi nasabah perbankan dengan mitra di luar negeri sudah diatur jelas melalui PBI I tanggal 28 Oktober 1999 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank. Peraturan ini memang lebih bersifat intern makro, yakni untuk membantu pemerintah dalam menyusun Statistik Neraca Pembayaran dan Posisi Investasi Internasional Indonesia. Ini sebagai tindak lanjut dari UU Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.
Namun, karena pelbagai alasan dan agenda kerja maka baru 21 bulan kemudian (sejak Oktober 1999 sampai 13 Juni 2001) dikeluarkan Surat Edaran Bank (SEBI) Nomor 3 Tanggal 13 Juni 2001 tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa oleh Bank. Melalui SEBI ini baru ditetapkan bahwa bank wajib melaporkan transaksi keuangan oleh nasabah secara bulanan. Transaksi di atas 10.000 dollar AS (ekuivalen) harus dilaporkan secara individu yang berisi rincian tentang kategori, jenis rekening, pelaku dam hubungan keuangan antarpelaku transaksi, jenis valuta, dan tujuan transaksi.
Sedangkan untuk transaksi dibawah 10.000 dollar AS (ekuivalen) dapat dilaporkan secara gabungan dan tidak perlu dilengkapi dengan keterangan mengenai transaksi, sebagaimana rincian untuk transaksi di atas 10.000 dollar AS. Kemudian ditindaklanjuti dengan PBI, lima hari kemudian. Batasan transaksi 10.000 dollar AS ini setidaknya sama dengan batasan yang diterapkan oleh AS sejak tahun 1970 yang mewajibkan bank harus melaporkan penerimaan di atas 10.000 dollar AS dan pelbagai transaksi mencurigakan (suspicious transaction). Tetapi, masih saja jebol dan kewalahan, apalagi dengan mengkristalnya NAFTA.
Meski kita sudah ketinggalan 21 bulan, antisipasi ini tentu saja tidak cukup untuk mengeluarkan Indonesia dari daftar hitam NCCT FATF karena masih begitu banyak agenda dan rekomendasi yang harus dipenuhi. Jangankan Indonesia yang baru saja bergabung dalam kelompok regional antipencucian uang (Asia Pacific Group on Money Laundring, APGML) tanggal 21 Juni 2001. Dari 29 negara anggora FATF, belum semuanya menerapkan 40 butir rekomendasi global tersebut. Oleh sebab itu, mempercepat lahirnya UU Antipencucian Uang yang sekarang masih digodok di DPR merupakan sebuah langkah strategis dan perlu. Bahkan, Hongkong yang sudah menjadi anggota FATF mengancam akan memasukkan mereka dalam blacklist jika tidak bisa menyelesaikan setumpuk kasus narkoba dan praktek money laundring lainnya.
Pemberantasan pencucian uang bukan lagi isu baru, setidaknya sudah mengemuka tahun 1997. Bagaimana kecepatan DPR dalam memproses lahirnya UU tersebut yang sudah menerapkan tuntunan nasional dan global menuju terciptanya pemerintah yang bersih dan dunia usaha yang sehat. Yang terpenting lagi adalah komitmen, integritas, dan keseriusan petinggi di eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk memberantas masalah ini. Mengingat pejabat yang sudah menyerahkan daftar kepemilikannya ke KPKPN saja tidak lebih dari 15 persen sehingga ada tanda tanya besar di depan mata kita. Praktik pencucian uang tentu saja tidak menggunakan mesin cuci, apalagi papan gilas tradisional. (*)

0 comment:

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP