Monday 23 February 2009

Privatisasi, Menuju Negara Tanpa BUMN

Beberapa waktu lalu, penulis sempat tercengang ketika sedang melintas di bundaran Hotel Indonesia melihat sticker Anti Privatisasi tertempel elok di belakang mobil seharga diatas setengah milyar rupiah. Sticker tersebut bahkan menginformasikan bahwa sekarang sudah 33 BUMN (badan usaha milik negara) dari 145 BUMN yang sudah terjual dan mempertanyakan mau diapakan negara ini selanjutnya, ringkas kata quo vadis BUMN. Singkat kata ini merupakan sebuah program sosialisasi anti privatisasi yang rapih, informatif, massal, butuh komitmen dan jelas butuh dana. No free lunch in the world.
Dalam kolom singkat ini tidak pada tempatnya kita membicarakan pendanaan sticker dari gerakan anti privatisasi tersebut namun kita ingin melihatnya dari aspek makro yakni mau dibawa kemana BUMN saat ini, meneruskan privatisasi atau stop privatisasi. Privatisasi sendiri bisa dijalankan di manajemen dengan outside director atau CEO swasta sebagaimana akan diterapkan pada 3 persero niaga (Pantja Niaga, Dharma Niaga) di merger ke Cipta Niaga dengan CEOnya mantan CFO dari Astra Internasional, yang kebetulan satu alumni dengan Menperindag. Disisi lain privatisasi BUMN ini juga menyangkut divestasi saham pemerintah di bank maupun non bank terkait dengan BPPN. Apalagi DPR sedang membahas RUU Privatisasi dan RUU BUMN yang diharapkan bisa menjadi panduan utama atau blue print untuk proses pengelolaan BUMN di masa depan.
Saat ini BUMN ibarat berada di persimpangan jalan. Padahal 145 BUMN tersebut memiliki asset Rp. 720 trilyun dan menyumbang laba Rp. 21 trilyun. Namun harus diperhatikan bahwa 80% dari laba tersebut ternyata berasal dari 8% BUMN (11 buah), sehingga 92% atau 134 BUMN lainnya tergolong sekarat dan perlu program akselerasi penyehatan. Ini tidak termasuk 16 perjan yang oleh Deputi Meneg BUMN Bidang Usaha Logistik dan Pariwisata dikatakan seperti banci.
Judul kolom ini mungkin terkesan ekstrim dan bisa berbenturan dengan pendapat pihak yang kontra maupun pro. Kalangan yang pro pada prinsipnya setuju privatisasi dengan catatan jika itu sudah sesuai aturan, transparan dan sesuai dengan aturan main. Sembari menunggu lahirnya UU Privatisasi maka sebaiknya proses tersebut ditunda. Kalangan ini juga berpendapat bahwa mayoritas BUMN memang relative jelek dan kinerjanya jauh dari yang diharapkan. Sementara kelompok anti privatisasi lebih ekstrim yakni menghentikan sama sekali privatisasi karena menjual asset bangsa dan bahkan sudah masuk pada wilayah nasionalisme.
Diantara kedua sikap tersebutlah pemikiran dan wacana dari kolom berikut ini berada dan mengambil sikap bahwa melalui privatisasi kita menjual BUMN secara baik, benar dan menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara. Sehingga akhirnya negara tidak lagi perlu memiliki BUMN terkecuali pada sector penting dan vital seperti public utilitas yang sangat potensial dan menguntungkan secara ekonomis, jika dikelola oleh manajemen yang benar. Negara tanpa BUMN sendiri bukan sebuah fenomena yang terlalu aneh karena beberapa negara maju sudah menerapkannya secara selektif dan sector tertentu, pada dua decade lampau. Sehingga secara perlahan mengurangi peran serta dan intervensi pemerintah langsung sebagai pemain dalam peta ekonomi nasional. Kawasan Eropa seperti Inggris dan Perancis sudah mulai privatisasi sejak 20 tahun lalu, disaaat mana Indonesia juga sudah mulai meski tanpa gembar-gembor.
Program privatisasi yang menuju kondisi negara tanpa BUMN tentu membutuhkan waktu yang panjang sebagai program strategis nasional yang merubah peta secara totqal. Bayangkan saja jika setiap bulan bisa menjual rata-rata satu BUMN dari 145 BUMN yang ada sekarang maka butuh waktu 12 tahun. Berarti pada tahun 2015 nanti baru tercipta kondisi dimana negara tidak punya BUMN lagi. Atau hanya memiliki porsi saham yang minoritas dengan golden share pada sector tertentu dari 32 sektor atau bidang usaha yang masih melibatkan BUMN saat ini. Ini tentu saja perhitungan yang sangat optimis dan pro rata setiap bulan satu BUMN, padahal selama 11 tahun sejak 1991 sampai tahun 2002 hanya 8 BUMN induk yang diswastakan lewat IPO, diluar private placemenent yang menyusul. Sementara perjalanan 12 tahun dari sekarang bukanlah kondisi yang dijamin mulus dan tidak mengalami perubahan politik atau hukum. Karena sepanjang masa itu puluhan amandemen atas undang-undang yang ada bisa diajukan setiap saat. Sehingga tidak ada yang bisa menjamin kelanggengannya.
Sebagai contoh kita lihat pengalaman privatisasi Inggris dimana selama 12 tahun pertama sejak digelarnya privatisasi Juni 1977 sampai Oktober 1993 ternyata mereka sudah menjual 47 BUMN besar disamping lusinan perusahaan kecil lainnya. Menghasilkan 55 milyar pond sterling, sekitar tiga perempat sector yang dikuasai bertalih ke swasta termasuk hampir satu juta tenaga kerja. Sementara pemilikan saham oleh masyarakat meningkat dimana tahun 1979 baru 5% penduduk memiliki saham lalu naik jadi 24% tahun 1993. Namun disisi lain ada aspek yang perlu dimaknai bahwa program swastanisasi Inggris tidak akan berhasil jika tidak didukung habis-habisan oleh pemerintah khususnya komitmen sang kupu-kupu besi (Margareth Thatcher). Jalur swastanisasi yang dipergunakan selama kurun waktu itu adalah 28 buah melalui private placement dan 19 lainnya lewat initial public offering (IPO).
Bahkan beberapa yang besar sudah memasuki privatisasi sampai gelombang ketiga misalnya British Petroleum dan Cable & Wireless. Privatisasi ini menyangkut BUMN dari pelbagai sector mulai dari public utilitas, penerbangan (British Airways), pelayaran, telekomunikasi (British Telecom), perminyakan (British Petroleum, Britoil) sampai ke produsen mobil mewah (Jaguar dan Roll Royce). Di sector perlistrikan sebanyak 11 perusahaan listrik daerah dijual 100% sepanjang tahun 1989-1990. Demikian juga dengan 9 PAM daerah yang 100% dijual melalui pola penawaran umum.
Swastanisasi BUMN Inggris oleh Maggie “si kupu-kupu besi” banyak dikagumi namun sedikit yang mau memahami bahwa itu dilakukan karena adanya pemerintah yang kuat, kesamaan visi, transparan, dan komitmen penuh. Bahkan jika dianggap perlu menggunakan tangan besi melalui kebijakan yang jelas membela habis-habisan kepentingan BUMN mereka ketika berhadapan dengan swasta sendiri, kalau perlu dengan trik bisnis yang kejam sekalipun. Sebagai contoh klasik adalah pertarungan bisnis antara British Airways melawan Virgin Atlantic sebagaimana diungkapkan oleh Martin Gregory dalam “Dirty Tricks” (Warner Books, 1994).
Disisi lain kekuatan dan vested interest dalam intern BUMN nasional juga perlu diperhatikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak diantara kalangan BUMN sendiri yang tidak menyukai proses swastanisasi dengan pelbagai alasan yang ekplisit namun implicit. Karena privatisasi berarti akan merubah struktur manajemen dan peta kekuatan intern sehingga akan mempengaruhi nasib masing-masing. Ringkas kata ini berpengaruh langsung pada 1.100 anggota dewan direksi dan dewan komisaris, BUMN Indonesia, dimana mayoritas anggota dewan komisaris adalah para mantan pejabat tinggi dari departemen keuangan dan departemen teknis terkait. Posisi ini kalau di birokrasi Jepang dikenal sebagai “amakudari” (the old boy network) sebagai jajaran mantan petinggi pejabat negara yang menduduki jabatan penting di BUMN dan juga perusahaan swasta. Sebuah kondisi yang sebenarnya wajar saja namun di Jepang justru terbukti menjadi pemicu dan sumber skandal bisnis. Semoga perilaku sebagian mantan (oknum) birokrat Jepang berbeda dengan mantan birokrat Indonesia. (disensor potong….oleh Warta Bisnis)
Dengan demikian pemikiran mengenai privatisasi sebagai sarana menuju kondisi negara tanpa BUMN jelas membutuhkan waktu dan perdebatan panjang ditengah pertentangan hebat antar dua kubu yang pro dan kontra privatisasi. Menurut hemat penulis beberapa hal positif dari konsep negara tanpa BUMN diantaranya :
1. menutup atau menghilangkan tudingan atau sengketa untuk menjadikan BUMN sebagai sapi perah bagi pemerintah dan atau parpol sebagai sumber keuangan untuk dijadikan sandera atau tawanan.
2. pemerintah tidak lagi sibuk dan mengurusi ekonomi mikro perusahaan yang lebih baik dikelola dan diserahkan kepada mekanisme pasar, dengan seleksi sektoral yang ketat misalnya dimulai dari industri manufacturing sampai yang terakhir sector pubik utilitas.
3. sebagai sumber pendanaan maka lebih baik dan menguntungkan jika pemerintah memungut pajak dari BUMN atau bekas BUMN tersebut yang berpotensi meningkat, jika dikelola oleh manajemen yang benar dan sehat. Dibandingkan dengan memiliki BUMN yang kinerjanya jelek dan minta injeksi PMP (ekuiti) dan investasi disamping kisruh memilih manajemen yang handal.
4. BUMN sebagai “komoditi” yang layak dijual untuk pendanaan APBN memang memainkan peranan cukup berarti. Untk APBN 2003, setoran dari bagian labanya mencapai Rp. 10,4 trilyun, sementara hasil dari privatisasi diharapkan Rp. 8 trilyun. Sehingga gabungan laba dan swastanisasi BUMN sekitar Rp. 18 trilyun sedikit lebih besar dari target penjualan asset BPPN Rp. 18 trilyun.

Kesimpulan

Membayangkan negara tanpa BUMN jelas akan mendapat tanggapan dari pihak yang kontra karena pelbagai argumentasi yang tentu sah-sah saja. Untuk itu ingin digarisbawahi beberapa hal utama diantaranya :
1. paradigma bahwa negara perlu memiliki BUMN sebagai unit usaha perlu ditinjau ulang karena dari banyak pengalaman dan fakta ternyata kinerja BUMN tidak bisa lebih baik dari periode sebelumnya. Lebih baik pemerintah memposisikan diri sebagai pemegang saham minoritas atau dengan golden share (syarat baku) menyerahkan kepada pemegang saham mayoritas untuk urusan manajemen, ekspansi, atau investasi. Yang penting menguntungkan dan pembayaran pajaknya yang kian besar.
2. Dengan rasio 8% BUMN terbaik menyumbang 80% total laba dari 145 BUMN merupakan fakta yang tak terbantahkan apalagi per Desember 2002 pemerintah masih memiliki piutang sebesar Rp. 70 trilyun lebih dengan debitur atau penghutang terbesar dari BUMN. Jangan bandingkan dengan BLBI dan pasien BPPN yang terpaksa dinasionalisir sementara ibarat anak angkat pemerintah.
3. Dengan konsep ini maka kantor Meneg BUMN perlu dituntut tanggungjawab dan kerja yang lebih keras. Karena mereka seakan menjadi pemegang saham (owner) mewakili pemerintah yang seyogyanya harus menjual harta miliknya dengan harga paling mahal kepada mitra paling tepat dan transparan. Mereka ibarat konglomerasi (BUMN Inc.) berasset Rp. 700 trilyun lebih atau dua periga PDB. Maka siapapun yang berkantor di Meneg BUMN pasti akan mendapat tudingan universal dan klasik tersebut sehingga perlu daya tahan karena itu termasuk beban dan tanggungjawab atas honorarium yang diterimanya dari negara. Sehingga tak perlu sungkan mengungkapkan persentase fee privatisasi karena ini adalah transaksi bisnis murni, professional dan terbuka.
4. Proses swastanisasi yang menggabungkan beberapa pola antara private placement dan IPO merupakan langkah tepat. Namun sebaiknya perlu direalisir klausul untuk memprioritaskan proses ESOP (employee stock ownership plan) demi penyebaran saham ke public agar lebih merata. Meski sangat besar peluang untuk dimanipulir yang akhirnya menjadi subsidi salah sasaran.
5. Selanjutnya yang paling strategis adalah regulator yakni departemen terkait yang berperan dalam mengatur dan mengawasi peta persaingan bisnis melalui serangkaian kebijakan pemerintah. Khususnya pada sector strategis seperti telekomunikasi, public utilitas lain seperti air minum, dan perlistrikan.
6. Tidak ada swastanisasi yang sukses dan gemilang tanpa dukungan serius, terpadu, dan komitmen penuh seluruh elemen bangsa dengan visi yang sama dan tentu saja pemerintah yang kuat dan bersih. Bahkan jika perlu menjalankan dengan tangan besi dan tegas sebagaimana halnya pertarungan bisnis murni, asalkan demi kepentingan negara. -*-

1 comment:

Anonymous,  31 October 2015 at 15:34  

Referee is not player vv hence once referee while acts as player he get conflict of interests as vested corrupt results and ordinary people pay all the costs.

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP