Saturday 28 February 2009

Konsorsium SPV Bank Persero, Sebuah Solusi Mengatasi NPL 34 Triliun

Rencana dari Bank Mandiri mendirikan SPV (special purpose vehicle) sebagai kendaraan khusus untuk menyelesaikan kredit bermasalahnya menarik untuk dikaji lebih mendalam. Apalagi rencana ini kabarnya sudah mendapat persetujuan dari Bank Indonesia namun keputusan final ada di Departemen keuangan selaku wakil pemegang saham. Disamping itu pembentukan SPV masih terkendala pada aspek legalnya. Dengan nilai kredit bermasalah NPL (non performing loans) yang mencakup kolektibilitas kredit 3,4,5 sebesar Rp 24 triliun per September 2005 maka memerlukan suatu usaha yang luar biasa untuk menyehatkannya. Dimana Bank Mandiri menargetkan NPL dibawah 5% pada tahun 2007
Kredit bermasalah merupakan maslah besar bagi bank-bank pemerintah dimana sampai per November 2005 telah menyerahkan 109.000 berkas piutang tak tertagih senilai Rp 20,6 triliun kepada Ditjen Piutang dan Lelang Negara (DJPLN) dengan recovery rate sekitar 15%. Dengan demikian adalah logis jika Bank Indonesia menganjurkannya untuk mengikuti aturan di DJPLN. Sementara itu serangkaian fakta menunjukkan bahwa konsentrasi manajemen dalam mengatasi kredit bermasalah ini baik langsung maupun langsung telah mempengaruhi kemampuan bank pemerintah untuk menyalurkan kredit baru.

Migrasi debitur
Dari perkembangan selama satu tahun sejak September 2004 sampai 2005 menunjukkan kecenderungan tersebut. Selama periode tersebut kredit perbankan nasional tumbuh rata-rata 31% dan bank negara justru tumbuh lebih rendah dari angka nasional dan sebaliknya bank swasta hasil rekap malah tumbuh pesat. Dari tiga bank negara tersebut adalah Bank Mandiri tumbuh 20,2%, BNI tumbuh 19,3% dan BRI tumbuh 25,6%. Sementara bank swasta lain seperti BCA tumbuh 41% sama dengan Danamon, Panin tumbuh 45% bahkan BII tumbuh 78%. Kondisi ini menunjukkan bahwa penyaluran kredit oleh bank pemerintah relatif menurun dibandingkan bank swasta.
Secara nominal memang pertumbuhan kredit bersih di bank pemerintah lebih besar dimana Bank Mandiri berhasil menyalurkan atau menjual kredit ke dunia usaha sebesar Rp 15,9 triliun, BRI sebesar Rp 13,5 triliun dan BNI sebesar Rp 9,4 triliun. Sedangkan bank swasta hasil rekapitalisasi diantaranya BCA bertambah Rp 15 triliun, Danamon sebesar Rp 10,8 triliun atau BII sebesar Rp 8,8 triliun.
Melambatnya pertumbuhan kredit ini (kredit bersih setelah dikurangi dengan penyisihan) selain karena berkurangnya penyaluran kredit baru juga tidak menutup kemungkinan akibat adanya perpindahan debitur ke bank lain (migrasi debitur). Trend migrasi debitur ini tentu saja akan berdampak negatif bagi bank-bank negara yang justru menjadi kreditur pionir dalam pengembangan usaha debitur. Lebih menyedihkan lagi jika debitur tersebut merupakan debitur baik (K1) yang memutuskan mencari kreditur baru karena takut terkena dampak dari pemeriksaan kredit bermasalah yang gencar dilaksanakan. Sehingga ada yang bersedia pindah meskipun harus membayar bunga yang mungkin lebih mahal. Proses migrasi debitur ini harus segera diatasi secara bersama agar tidak berkepanjangan yang akhirnya akan merugikan bank pemerintah sendiri.

Pola Konsorsium
Sehubungan dengan besarnya kredit bermasalah bank pemerintah yang telah berdampak negatif bagi bank maka penyelesaian kredit bermasalah oleh tim ristrukturisasi sangatlah penting serta harus berhasil memperbaiki kolektibilitas kredit. Mengingat bahwa dikalangan bank pemerintah sebenarnya ada yang memiliki debitur yang sama dengan porsi kredit yang beragam misalnya antara Bank Mandiri dengan BNI yang tentu saja diantara kedua bank ini kolektibilitas kreditnya belum tentu seragam.
Terkait dengan kondisi ini ada salah satu solusi yang bisa dijalankan untuk menyelesaikan kredit bermasalah yakni melalui kerja sama atau konsorsium yang dibentuk oleh bank persero terkait. Pelaksanaannya bisa dilakukan dengan cara mendirikan unit usaha baru atau bisa juga membentuk satuan tugas tersendiri atau task force yang juga merupakan tim gabungan. Pembentukan satuan tugas ini tentu harus didukung oleh jajaran direksi dan manajemen dari bank terkait agar tercapai suatu mekanisme kerja yang terpadu, transparan, kesamaan visi dan independen.
Pendekatan konsorsium ini sejatinya bukan fenomena baru, dimana dengan pola ini bank sebagai kreditur sudah terbiasa menyalurkan kredit sindikasi kepada debitur yang sama. Dengan demikian bukan hal yang sulit atau mustahil bagi bank untuk mengatasi kredit bermasalahnya secara bersama-sama atau melalui konsorsium. Namun hal ini relatif susah direalisir pada debitur-debitur dimana bank terkait menjadi kreditur tunggalnya. Karena ini menyangkut rahasia dapur dari debitur yang tidak semua bank bersedia membukanya terkait dengan situasi persaingan antar bank sendiri.
Sebagai contoh gabungan kredit bermasalah milik tiga bank persero mencapai Rp. 37,8 triliun ini (Bank Mandiri, BNI, dan BRI) naik pesat dari Rp 12,7 triliun per September 2004. Sedangkan rincian penyebaran tidak termasuk BRI mencapai Rp 34,1 triliun milik Bank Mandiri dan BNI sebagaimana terlihat pada tabel berikut. Tabel ini menunjukkan bahwa dari penelusuran sektoral kredit dari 2 bank tersebut menunjukkan bahwa kredit bermasalah terbesar terdapat di bidang industri atau manufakturing sebesar Rp. 20,5 triliun atau 60,1%. Kemudian disusul oleh sektor lain-lain sebesar Rp. 4 triliun atau 11,9%.
Penyebaran kredit bermasalah per sektoral , September 2005
Catatan : mencakup Bank Mandiri dan BNI, Angka dalam Rp miliar
Sumber : laporan keuangan diolah INBRA Februari 2006
Berdasarkan database dan pengalaman survey INBRA terhadap sejumlah debitur-debitur nasional yang ada saat ini maka diketahui bahwa sebagian besar perusahaan (debitur) di Indonesia memiliki lebih dari satu kreditur atau bank. Terkait dengan PBI no.8 Januari 2006 yang merevisi bobot resiko kualitas aktifa produktif perbankan maka penggolongan dan penyeragaman bobot resiko debitur menjadi penting.
Dengan banyaknya debitur yang memiliki kreditur lebih dari satu maka dituntut kerja sama yang harmonis antar bank persero dalam menyelesaikan masalah bersama terlebih lagi jika kolektibilitas kreditnya berbeda. Sebagai konsekuensinya dalam konteks ini adalah bagaimana kesediaan BNI dan Bank Mandiri berbagi data dan informasi yang rinci mengenai profil masing-masing debitur. Sebagai langkah awal cukup membatasi jangkauan kredit pada 30 debitur terbesar yang diperkirakan menyerap hampir 70% dari kredit bermasalah. Dengan demikian akan memudahkan mapping debitur utama yang signifikan dan tentu saja akan lebih lengkap dan akurat jika digabung dengan data dari kreditur lainnya untuk debitur yang sama. Banyak contoh debitur-debitur besar dan utama yang mendapatkan pinjaman dari beberapa bank.
Sebagai contoh di sektor industri atau manufakturing terdapat kredit bermasalah sebesar Rp.20,5 triliun. Dari jumlah ini kemudian difokuskan pada 30 debitur terbesar pada masing-masing bank kemudian digabung sehingga akan terdapat kesamaan yang nantinya akan menjadi basis utama untuk di rinci dan diselesaikan bersama. Dari jumlah kredit bermasalah di sektor manufakturing ini maka sebesar Rp.14,8 triliun adalah milik Bank Mandiri dimana Rp.7,2 triliun tergolong macet (K5). Sementara sisanya milik BNI. Pola ini merupakan bagian tak terpisahkan dari sistim informasi debitur yang sudah berjalan saat ini.
Setelah mendapat basis utama katakanlah sebanyak 30 debitur utama maka sesama kreditur terkait (bank) duduk bersama dengan debitur untuk menyelesaikan dan menyeragamkan kolektibilitas kredit tersebut. Dari pertemuan ini maka akan terjawab mengapa kolektibilitas kredit dari perusahaan yang sama justru berbeda antar bank. Sehingga akan terjawab bagaimana perilaku atau kinerja debitur dalam memenuhi kewajibannya kepada para kreditur. Setelah pemetaan debitur ini diselesaikan maka adalah hak kreditur untuk memastikan debitur agar berlaku seragam dalam memenuhi semua kewajibannya.
Selanjutnya pola ini bisa diterapkan pada sektor usaha lainnya seperti perdagangan, restoran, dan hotel yang memiliki kredit bermasalah Rp. 3 triliun. Atau sektor konstruksi dan properti yang kredit bermasalahnya mencapai Rp. 2,3 triliun. Terciptanya kerja sama yang terpadu dan erat diantara bank-bank yang menjadi kreditur merupakan salah satu kunci kesuksesan untuk mengatasi debitur yang bermasalah apalagi yang bandel. Karena ada juga debitur baik yang bisnisnya bermasalah dan bukan tergolong debitur bandel atau yang berbau kolusi. Sehingga lambat laun akan tercipta kelompok bad debtor dan good debtor di dalam masing-masing bank.
Dalam proses pemilahan ini maka besar-kecilnya porsi bank dalam penyaluran kredit ke debitur tidak harus menjadi kendala atau topik penting. Karena seberapapun besarnya kredit maka kreditur harus mengusahakan agar terdapat recovery rate yang baik sebagai tujuan utama. Kinerja dari satuan khusus ini sangatlah penting dalam rangka meningkatkan recovery rate yang selanjutnya akan menurunkan NPL masing-masing bank. Apalagi Pakjan Bank Indonesia 2006 yang merevisi Pakjan 2005 tidak melonggarkan kualitas aktifa produktif untuk kredit diatas Rp. 25 miliar, atau 50 debitur besar, atau pinjaman sindikasi. Sehingga penyeragaman bobot resiko tetap berlaku. Mengingat tidak sedikit debitur skala kecil menengah yang kreditnya di atas Rp. 5 miliar dan mulai diseragamkan tahun 2007 maka kredit bermasalah pada kelompok ini juga penting untuk dipetakan dan diselesaikan dengan pola konsorsium yang sama.
Dengan melihat kondisi ini maka sekarang sudah saatnya bagi bank persero untuk kembali memainkan peranan pentingnya selaku development banker yang harus aktif memasok kredit baru ke dunia usaha (aspek intermediasi). Artinya bank pemerintah harus mulai melakukan ekspansi kredit dan bukan hanya rajin menjaring dana masyarakat untuk disimpan ke dana SBI. Karena pesaing lainnya sudah melaju pesat apalagi kredit bermasalahnya relatif kecil rata-rata dibawah Rp. 1 triliun. Disisi lain kelompok bank persero juga harus giat mengatasi kredit bermasalahnya yang sebagian merupakan “PR” dari manajemen lama. Oleh sebab itu dalam merealiasasi konsorsium SPV untuk menyelesaikan kredit bermasalah ini perlu kerjasama yang harmonis, terbuka, dan terpadu dari bank pemerintah terkait karena pada hakekatnya mereka menghadapi debitur yang sama. *

0 comment:

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP