Thursday 2 December 2010

Disparitas Gaji Bankir

Keluhan bahwa gaji bankir terlalu tinggi dan menyebabkan disparitas kian melebar (khususnya antara pimpinan dengan karyawan) sudah menjadi trend global. November 2009, Bank Sentral AS turun tangan memanggil 28 eksekutif bank dan lembaga keuangan AS untuk membahas tentang pengawasan sistim penggajian bankir. Rencananya bank sentral berhak membatalkan sistim penggajian banker yang tidak proporsional. Kebijakan ini diprioritaskan untuk bank yang telah menerima dana bail out selama krisis finansial tahun 2008.

*

Gaji dan bonus bankir AS dianggap terlalu besar dan telah mendapat kritikan pedas dari publik. Para bankir berlomba menjual beraneka macam surat berharga dan mendaur-ulang. Semuanya demi keuntungan yang berbuntut pada bonus atau komisi bagi direksi tanpa melihat mutu dari surat berharga tersebut, yang ikut memicu krisis moneter finansial di Amerika Serikat dua tahun lalu.

*

Terkait dengan fenomena gaji CEO perbankan ini kita lihat hasil survey INBRA (September 2010) tentang profitabilitas dan efisiensi bankir per kapita dengan posisi Desember 2009. Diketahui bahwa gaji karyawan menyerap 57,4% total beban karyawan dan beban karyawan menyerap 20,4% beban operasional dan gaji karyawan menyerap 11,7% beban operasional.

*

Gaji karyawan mencapai Rp. 19,3 triliun untuk membayar 226 ribu karyawan di 37 bank sample, termasuk gaji 405 pimpinan (227 direksi dan 178 komisaris) yang mencapai Rp. 1,2 triliun. Setara dengan 6,2% total gaji seluruh karyawan, yang selama 5 tahun terakhir masih dibawah 5%. Dengan demikian 0,2% karyawan menyerap 6,2% total gaji dan sebaliknya 99,8% karyawan menyerap 93,7% gaji.

*

Diukur per kapita maka penghasilan karyawan perbankan rata-rata Rp. 79,5 juta per kapita, naik dari 5 tahun lalu rata-rata baru Rp. 50 juta. Kenaikan ini diimbangi dengan naiknya laba bersih per kapita naik dari Rp. 86 juta menjadi Rp. 91 juta. Sedangkan penghasilan pimpinan bank per kapita tahun 2009 berkisar Rp. 275 juta per bulan, naik dari Rp. 205 juta per bulan tahun 2007. Ini menunjukan adanya disparitas gaji yang lebar antar pimpinan bank dan karyawan kebanyakan yang membentuk piramida dengan hukum pareto.

*

Gaji per kapita karyawan (diluar direksi dan komisaris) mencapai Rp. 81,4 juta per kapita per tahun naik dari Rp. 48,1 juta tahun 2005. Bandingkan dengan gaji direksi dan komisaris per kapita Rp. 203 juta per bulan. Ini angka gabungan rata-rata yang akan berbeda jika dirinci terpisah antara direksi dan komisaris, karena rata-rata gaji pokok komisaris berkisar sepertiga (35%) gaji direksi. Ini belum termasuk tantiem yang berkisar 1,25% dari laba bersih.

*

Yang menjadi pertanyaan selanjutnya apakah betul bankir yang digaji lebih tinggi menjamin dan memberikan hasil yang lebih baik?. Data kuantitatif nasional dari Bank Indonesia tahun 2008 tidak mendukung sinyalemen tersebut. Karena tahun 2008 total pendapatan perbankan naik 19,3% tapi beban operasional naik lebih tinggi 25,8%, sehingga labanya turun -3,4%. Selama periode survey ini pendapatan operasional per kapita Rp. 894 juta per tahun, dengan beban operasional Rp. 736 juta per kapita dan laba operasional Rp. 199 juta dan gaji karyawan Rp. 87 juta per kapita per tahun.

*

Namun disisi lain ada kecenderungan bahwa semakin besar bank yang dipimpin semakin kecil porsi gaji pimpinan terhadap total gaji karyawan bank bersangkutan, dengan porsi rata-rata dibawah 5%. Artinya total gaji direksi dan komisaris hanya menyerap 5% dari total gaji seluruh karyawan perbankan.

Di bandingkan para bankir di negara maju (OECD), bankir nasional sebenarnya lebih bermutu, khususnya dari perbandingan gaji dan hasil kinerja. Karena porsi gaji bankir nasional terhadap beban operasionalnya lebih kecil (11%) dari bankir luar negeri (45%) tapi meraih rasio ROA 2,6% lebih tinggi dari luar negeri hanya 1%. Jadi meski gaji lebih kecil tapi kinerjanya secara menyeluruh lebih menguntungkan.

*

Jika kondisi disparitas dengan hukum pareto ini dianggap tidak layak maka otoritas moneter pun tidak bisa masuk lebih dalam. Karena ini domainnya pemilik bank sendiri melalui komite remunerasi, komisaris dan direksi (dengan payung hukum UU Perseroan Terbatas). Sehingga kebijakan bank sentral Amerika Serikat yang tahun lalu memanggil pimpinan bank untuk meninjau struktur penggajian agar lebih proporsional tidak belum bisa diterapkan disini. Jadi masalah penggajian karyawan perbankan terpulang kepada internal direksi dan pemilik bank dengan segala konsekwensinya.

*

Sesuai wewenangnya bank sentral hanya ingin memastikan bahwa operasional perbankan berjalan baik sesuai aturan dan rambu yang telah ditetapkan. Sedangkan gaji, bonus, tunjangan dan urusan golf atau kredit ke karyawan bukan wewenangnya lagi, yang penting perbankan berjalan sehat dan jika sakit tidak berdampak sistemik. (*).

(Warta Ekonomi, 28 November2010 )

Read more...

Monday 29 November 2010

AS Memasuki Masa Suram ?

Pernyataan Paul Krugman minggu lalu (12 Nov 2010) bahwa ekonomi AS akan memasuki masa suram menambah panjang daftar ramalan akan suramnya ekonomi AS dan tentu saja berdampak bagi dunia. Ramalan Krugman ini mengingatkan kita akan proyeksi sejenis yang lebih dramatis, 15 tahun lalu.
*
Sebelumnya tahun 1993, Grace Commision meramalkan bahwa AS tahun 1995 akan bangkrut karena menanggung defisit US$ 850 miliar dengan hutang US$ 6,5 triliun dan beban bunga US$ 619 miliar. Jika tidak dihentikan maka tahun 2000 defisitnya akan menjadi US$ 1,9 triliun, hutang US$ 13 triliun dengan bunga US$ 0,5 triliun. Ramalan yang kemudian dibukukan berjudul “American Bankruptcy 1995, coming collapse and how we stop it” cukup menghebohkan. Penulisnya adalah Harry E. Figgie Jr. dan Herald J. Swanson adalah ketua dan pendiri Grace Commision, sebuah komisi yang bertujuan mengurangi defisit AS yang sudah menggunung.
*
Faktanya 15 tahun kemudian AS tetap bertahan namun penyakit utama masih bertahan. Yaitu defisit masih US$ 1,4 triliun tahun 2008 bahkan per September 2010 total hutang riil AS mencapai US$ 200 triliun atau 14 kali dari yang dipublikasi selama ini. Ini diungkapkan Prof. Laurence Kotlikoff (Boston University) dalam Jurnal Finance Development IMF, edisi September.
*
Sampul The Economist edisi 13 November 2010 menggambarkan Mao sedang menebar Yuan, menandai dimulainya gelombang akuisisi global. China setelah kerja keras sehingga tumbuh rata-rata 8% selama dekade terakhir meraih banyak devisa sekarang gilirannya untuk belanja. China sedang kaya raya karena menguasai seperempat cadangan devisa dunia US$ 2,3 triliun (AS hanya US$ 89 miliar) dan 70% devisanya dalam dollar AS. Tahun 2009, China memiliki PDB US$ 4.400 miliar dengan ekspor US$ 1,4 triliun. Pertumbuhan pesat rata 8% dari 1989- 2008 membuat segalanya mungkin bagi negeri panda ini. Mereka sibuk mengakuisisi perusahaan asing atau investasi di negara sumber penghasil bahan baku. Sekarang dua bank raksasanya sedang mengincar General Motor yang akan IPO tahun depan.

Gambaran akan suramnya ekonomi AS ini juga dapat dilihat dari turunnya daya saing industri otomotif AS. Setelah di bail out pemerintah bagian dari bail out raksasa US$ 700 miliar tahun 2008, AS malah menjadi net importer industri otomotif sebesar US$ 7,5 miliar dari ekspor US$ 7,5 miliar dan impor US$ 16,4 miliar. Pemegang saham berubah. Mereka menguasai 67% Chrysler, dan 20% General Motor bersama pemerintah 60%. Pemilik “the big three” sudah berganti tangan. Daimler Benz mengakuisisi Chrysler seharga US$ 38 miliar tahun 1998 dan 80% saham dijual lagi tahun 2007. United States Automotive Worker, UAW) memang dapat gaji dan pensiun yang besar dan mendorong naiknya biaya produksi, selanjutnya menurunkan daya saing

*

Ini merupakan bagian dari perang dagang AS dengan China yang tidak lepas dari masalah klasik AS yakni menurunnya daya saing di pentas dunia. Karena itu menggunakan senjata klasik anti dumping yang sudah dipergunakan setengah abad bukan zamannya lagi. Karena di abad 21 karena peta kekuatan dunia sudah berubah. Dulu AS bisa mengancam Amerika Latin dengan jurus anti dumping, tapi menghadapi China, itu tidak berlaku lagi. Pertemuan G-20 tidak maksimal karena China tidak takluk pada tekanan AS untuk mengapresiasi yuan, sebagaimana 25 tahun lalu ketika Jepang terpaksa mengapresiasi yen dalam Plaza Accord (1985). Tidak ada Plaza Accord edisi kedua.

*

Kegagalan AS menekan China agar mengapresiasi mata uangnya masih berpotensi memicu perang dagang dengan senjata proteksionisme, meski disepakati tidak akan diergunakan para anggota G-20. Dan AS sendiri masih punya HR 2378, undang-undang yang memberi wewenang kepada pemerintah AS untuk mengenakan sanksi dagang ke China, karena telah memanipulasi kurs yuan. Pergeseran politik dengan dominannya Republik bisa berdampak lain.

Jika ini terjadi maka perseteruan AS dan China bukan hanya merugikan kedua negara tersebut ekonomi global umumnya. Karena gerak langkah kedua raksasa ekonomi dunia ini sangat signifikan bagi dunia terlebih antar kedua negara. Ringkasnya, AS butuh China dan China butuh AS. Dengan posisi 70% devisa China dalam dollar AS, maka denyut nadi China sangat mempengaruhi jantung AS. Sehingga Handel Jones mempertanyakan mengapa China adalah masa depan AS dalam bukunya Chinamerica, (Mac Graw Hill, 2010).

*

Dengan demikian dapat dipahami salah satu latar belakang tidak optimalnya pertemuan G-20 di Seoul minggu lalu. Semoga saja komitmen bersama untuk menolak proteksionisme dipenuhi sehingga tidak masuk ke medan perang baru. Tunggu pendapat terbaru dari Paul Krugman tentang apa beda krisis dan suramnya AS kini dengan ramalannya soal kawasan Asia pra krisis moneter 1998. Yuan yang terlalu rendah juga berdampak negatif bagi neraca perdagangan Indonesia-China. Yang jelas suramnya rajawali (AS) dan naga (China) menjadi berita duka bagi perekonomian global. (*)

(Investor Daily, 25 November 2010)

Read more...

Monday 22 November 2010

Perang Kurs AS-China, Musuhnya Ada di Dala

Kecaman keras China kepada AS atas disetujuinya RUU HR 2378 di akhir September 2010, memicu timbulnya perang dagang babak baru antara AS dengan China. Yakitu perang kurs karena AS menuduh China memanipulasi kurs yuan agar produk China lebih kompetitif dan HR 2378 ini memberi wewenang kepada pemerintah AS untuk mengenakan sanksi dagang ke China. Perang dagang terbuka ini tidak lepas dari usaha AS untuk menekan defisit perdagangannya dengan China yang selama 2 dekade terakhir kian melebar. Ekspor China ke AS terus meningkat, sedangkan ekspor AS ke China mendatar. Perang kurs mata uang ini menjadi topik dalam sidang IMF bulan Oktober ini.

*

Ini merupakan bagian dari perang dagang AS dengan China yang tidak lepas dari masalah klasik AS yakni menurunnya daya saing di pentas dunia. Karena itu menggunakan senjata klasik anti dumping yang sudah dipergunakan setengah abad bukan zamannya lagi. Karena di abad 21 karena peta kekuatan dunia sudah berubah. Dulu AS bisa mengancam Amerika Latin dengan jurus anti dumping, tapi menghadapi China, itu tidak berlaku lagi.

*

Kondisi AS yang sedang menurun daya saingnya ini diungkapkan sangat benderang oleh Handel Jones dalam buku terbarunya ChinAmerica, (Mac Graw Hill, 2010). AS ibarat raksasa yang melemah dan China sebagai raksasa yang bangkit. Buku ini ibarat wake up call agar warga dan negara AS bangun dan merebut kembali supremasinya.

*

Anti dumping bukan obat mujarab melawan defisit perdagangan dan neraca pembayaran yang menggunung. Dengan cadangan devisa triliunan dollar tidak ada negara manapun yang bisa menyerapnya jika China melepas dollar AS dan surat berharganya ke pasar. Akibatnya fatal dollar AS akan terjun bebas dan AS terancam resesi baru. Kunjungan Obama ke China November 2009 diibaratkan “visit our money”.

*

AS menghadapi musuh dari luar dan dalam. Dari luar adalah China pesaing tangguh yang menyerbu AS dengan produk ekspor dan merebut banyak pasar AS di berbagai kawasan dunia. Dari dalam adalah warga AS sendiri yang memiliki budaya konsumtif, bervisi jangka pendek, tamak, egois dan tidak peduli dengan hutang luar negeri yang dipakai untuk membiayai roda ekonomi. Tidak ada pengorbanan sekarang untuk kejayaan masa depan. Sementara para birokrat di parlemen masih suka menerapkan politik “gentong babi” (pork barrel) sebagai jalan pintas meraih kursi periode mendatang.

*

Industri otomotif dan industri komputer, dua contoh industri yang mengalami penurunan daya saing. Sekarang buruh otomotif kuasai 67% Chrysler, dan 20% General Motor bersama pemerintah 60%. Perobahan ini berdampak pada daya saing produk AS. Akhir 2009, AS jadi net importer otomotif sebesar US$ 8,9 miliar (dari ekspor US$ 6,4 miliar dengan impor US$ 16,4 miliar). AS semakin terpukul akibat krisis moneter tahun 2008 yang memaksa bail out US$ 700 miliar ditambah paket stimulus Obama US$ 585 miliar. Sehingga defisitnya naik 212% menjadi US$ 1,4 triliun, setara dengan ekspor China. Faktor budaya dan pola hidup masyarakat juga pegang kunci. Warga AS dianggap sangat konsumtif dan tidak peduli dengan hutang publik.

*

China, sebagai pesaing tangguh AS saat ini semakin kuat. Menguasai seperempat cadangan devisa dunia senilai US$ 2,3 triliun (AS hanya US$ 89 miliar), 70% devisanya dalam dollar AS. Tahun 2009, China memiliki PDB US$ 4.404 miliar dengan ekspor US$ 1,4 triliun. Pertumbuhan pesat rata 8% dari 1989- 2008 membuat segalanya mungkin bagi negeri panda ini. Untuk menjamin akses dan pasokan sumber daya alam, mereka sibuk mengakuisisi perusahaan asing atau investasi di negara sumber penghasil bahan baku.

*

Perbedaan kekuatan ini dan keterkaitan dagang ini menjadikan China adalah masa depan AS. Sehingga kecil kemungkinan kedua raksasa ini mau ribut berkepanjangan, karena keduanya saling terkait dan perlu bersahabat meski banyak kerikil tajam. Peranan para jendral tempur masa lalu sudah diganti oleh para CEO beserta laskarnya yang bisa mengalahkan negara.

*

Dimuat di Fortune Indonesia, Vol. 07, 5 Desember 2010

Read more...

Friday 5 November 2010

FIN Dan Pemerataan Penetrasi Perbankan

By Beni Sindhunata, Direktur Eksekutif INBRA (Investor Daily, edisi 2 Nov 2010).

Diukur dari rasio penetrasi perbankan global per sejuta penduduk maka rasio perbankan Indonesia tergolong cukup padat dengan rasio 46,2. Artinya setiap sejuta penduduk Indonesia dilayani oleh 46,2 kantor bank, kedua tertinggi setelah AS dan masih diatas Swiss (42,7) dan Singapura (34,3) dan rata-rata negara OECD sebesar 30,9 pada tahun 2008. Sementara pendapatan per kapita Indonesia sebesar US$ 2.217, Amerika Serikat US$ 46.997 dan rata-rata OECD US$ 44.449 per kapita.

*

Di Amerika Serikat terdapat 7.021 bank komersial yang punya 83 ribu kantor cabang dengan mengelola transaksi US$ 845 miliar. Perkembangan sejak 2004 menunjukan bahwa jumlah bank komersialnya berkurang hampir 500 buah tapi kantor cabangnya bertambah 11 ribu unit termasuk transaksinya naik US$ 90 miliar. Sedangkan Singapura, negeri berpenduduk hampir 5 juta jiwa ini memiliki 113 bank komersial dengan 408 kantor cabang mengelola transaksi Sing $ 347 miliar. Selama periode yang sama jumlah bank di dalam negeri berkurang, tapi jumlah cabang bertambah.

*

Kombinasi rasio penetrasi kantor perbankan per sejuta penduduk (per million people) dengan pendapatan per kapita, melahirkan aneka tafsir. Selintas ini menunjukan bahwa jaringan perbankan di Indonesia sudah padat (banyak kantor) sehingga peluang dan potensi memperluas jaringan kantor baru semakin kecil. Bahwa Indonesia yang tergolong miskin dibanding negara maju (OECD) tapi penetrasinya tinggi, jadi dana siapa dan dari mana diperebutkan.

*

Salah satu faktor penyebab adalah karena penyebaran kantor bank belum merata, dimana kantor bank yang berdomisili di Jakarta menyedot 50% total dana masyarakat. Ini menunjukan bahwa perbankan di Indonesia masih terkonsentrasi mengikuti dinamika dunia usaha (bank follow the trade). Contoh yang lebih massal adalah terkonsentrasinya produk tabungan. Dari Desember 2009 sampai Oktober 2010 nilai tabungan baru yang masuk ke sistim perbankan bertambah Rp. 15,9 triliun tapi 69% berasal dari kantor bank di Jakarta. Selama tiga triwulan tahun 2010 saldo tabungan dibawah Rp. 100 juta naik 100% dibanding tahun 2009. Dari jumlah rekening tabungan dibawah Rp. 100 juta bertambah 7,4 juta rekening. Lebih tinggi dari periode sama tahun 2009 yang bertambah 3,5 juta rekening. Saldo per September rp. 386 triliun, sepertiga dari total tabungannya miliarder Rp. 1.228 triliun (Investor Daily, 28/10/2010).

*

Dalam konteks pengembangan makro perbankan komposisi ini kurang bagus dan kurang mendukung perekonomian nasional. Ketidak merataan lainnya tersirat dari pernyataan Gubernur Bank Indonesia pada seminar Alliance for Finanial Inclusion (AFI) Global Policy Forum, di Bali (27 September 2010). Bahwa saat ini terdapat 60 juta UKM saat ini yang belum tersentuh perbankan. Untuk itu Bank Indonesia sedang memproses kebijakan positif yang bervisi jangka panjang untuk mendukung tercapainya pemerataan tersebut. Diantaranya dengan membuat Financial Identity Number (FIN) atau Identitas Keuangan Nasabah untuk memperluas akses rakyat dalam mengakses bank, baik menyimpan dana maupun pinjaman dana. Sehingga segala transaksi keuangan masyarakat terekam yang selanjutnya menjadi bahan baku penting untuk membuat kebijakan moneter secara nasional.

*

Banyaknya rakyat atau konsumen yang belum tersentuh bank “unbankable” memang bukan monopoli Indonesia. Survey McKinsey& Co. bulan Maret 2010 mencatat tahun 2008 terdapat 2,5 miliar orang belum tersentuh produk dan jasa perbankan, sebanyak 2,2 miliar bermukim di Asia, Afrika Amerika Latin dan Timur Tengah.

*

Dalam konteks ini prakarsa membuat FIN tentu berdampak positif untuk memperluas dan pemerataan akses jasa perbankan. Visi jangka dari FIN selain untuk keperluan moneter dan perbankan juga nantinya akan berdampak positif bagi pengelolaan data moneter secara cepat dan akurat. Sebab dengan teraksesnya data atau riwayat keuangan (financial record) dari seluruh nasabah atau rumah tangga di Indonesia, maka otoritas moneter dengan cepat bisa membaca guna mengantisipasi bagaimana struktur keuangan rumah tangga Indonesia dengan cepat dan akurat.

*

Manfaat lainnya adalah database tersebut dapat dijadikan indikator tambahan untuk prediksi tingkat inflasi dan lebih khusus lagi pola konsumsi masyarakat. Juga bermanfaat dalam pengembangan dan penguatan tugas PPATK.

*

Lebih dari itu juga bisa diprediksi kemungkinan bangkrutnya keuangan rumah tangga dengan berbagai implikasinya. Kalau hanya seribu rumah tangga nasional bangkrut atau pailit tentu belum berdampak besar. Tapi jika mencapai 10% tentu akan berpengaruh ke sistem perbankan, khususnya pada kredit konsumen yang jadi penyumbang terbesar (92%) dari total non performing loan kredit konsumen Rp. 12,6 triliun. Oleh sebab itu langkah pemerataan akses perbankan baik untuk simpan apalagi untuk pinjam uang tentu perlu diperluas dan terjangkau, tanpa mengganggu rambu yang ada.

*

Namun perlu dibentuk payung hukum yang kuat karena tidak menutup kemungkinan adanya pihak yang terganggu dengan alasan klasik dan kuno menjaga kerahasiaan nasabah dan perbankan. Sehingga bisa saja akan muncul tudingan sebagaimana munculnya pro dan kontra atas upaya penguatan tugas dan wewenang PPATK.

*

Terciptanya identitas keuangan nasabah memang akan membuat 237 juta penduduk Indonesia hidup bagai dalam rumah kaca yang membuat semuanya terlihat benderang. Dimana akan terlihat jelas kemana larinya dana miliaran rupiah dari miliarder filantropis. Sampai menelusuri pergerakan dana para donatur pemilu maupun pemilukada. Memang sekarang sebagian bisa dipantau tapi dengan semakin meratanya penyebaran jaringan akses bank, maka daya jangkaunya semakin besar. Oleh sebab itu izin pembukaan kantor bank sebaiknya lebih selektif dengan memberikan syarat lebih ketat jika tetap ingin membuka cabang di kawasan yang padat. *

Read more...

Wednesday 3 November 2010

Laskar Pemimpi Yang Membangun Amerika Serikat


Resensi buku Immigrant Inc. karangan Richard T . Herman dan Robert L. Smith . Diterbitkan John Wiley & Sons Inc. (2010).
*
Buku ini mengungkapkan berbagai fakta dan analisa yang menunjukan kontribusi para jutaan imigran bagi perekonomian AS yang membayar pajak ke negara. Secara langsung para imigran ini juga punya pabrik dari kelas UKM sampai kelas Fortune 500 dan menyerap tenaga kerja. Mereka telah menjadi mesin ekonomi baru AS yang bernapaskan inovasi, kreatifitas, kepintaran dan keuletan.
*
Kontribusi imigran membangun AS ini dimulai sejak awal abad 19 oleh imigran Eropa yang kemudian melahirkan miliarder pertama AS yakni Andrew Carnegie (Hungaria), pendiri American Steel Company tahun 1911. Seabad kemudian di Amerika tercatat ada 38 juta imigran di AS mewakili 12,6% penduduk dan 15,7% tenaga kerja (2008). Tahun 2007-2008, sebanyak 600.000 pelajar internasional membelanjakan US$ 15,5 miliar uangnya untuk biaya pendidikan, biaya hidup dan tempat tinggal di AS. Selama 30 tahun terakhir nilainya naik pesat.
Tiga alasan terbesar imigran masuk Amerika adalah karena alasan pendidikan (52,3%), bekerja (39,8%) dan wiraswasta (4,6%). Tahun 2007 perusahaan milik para imigran ini mencatat nilai kapitalisasi US$ 500 juta. Dalam 15 tahun terakhir, seperempat dari perusahaan publik yang didukung oleh modal ventura juga didirikan oleh imigran yang 40% memproduksi IT.
Antrian panjang imigran untuk masuk AS menjadi masalah tersendiri bagi pemerintah karena setiap tahun hanya 140.000 green card yang diterbitkan sementara ada 1 juta orang yang sudah antri bahkan lebih dari 5 tahun. Terkait dengan itu Herman juga mengusulkan memperluas program EB-5 Foreign Investor. Sebuah program yang memberikan kesempatan 10.000 green card per tahun. Juga membuka kesempatan bagi setiap orang yang mau investasi US$ 1 juta dan perusahaannya mampu menyerap 10 karyawan. Jika program ini berhasil, AS berpotensi meraih investasi US$ 2 miliar yang menyerap 40.000 tenaga kerja baru per tahun.
*
Aktivitas para imigran dalam memulai bisnis naik pesat ditunjukan oleh The Kauffman Index of Entrepreneurial Activity. Sebuah indeks yang meneliti tingkat rata-rata penduduk AS memulai bisnis dari setiap 100.000 orang per bulan. Studi yang dilakukan oleh Universitas California, Santa Cruz ini tahun 2009 menyimpulkan bahwa dari 2007-2008 tingkat aktivitas memulai bisnis para imigran naik pesat. Indek imigran mencapai 530 dari 100.000 orang per bulan dibandingkan 280 untuk warga kelahiran AS. Sehingga perbedaan antara imigran dengan pengusaha kelahiran Amerika kian melebar. Peningkatan terbesar diraih oleh para Latino (Amerika Latin) dari 40 ke 48 dan Amerasia (Asia) dari 29 menjadi 35. AS dikenal sebagai sorganya pengusaha kecil menengah dibawah binaan USA Small Business Administration.
Sementara studi “America’s New Immigrant Entrepreneurs” tahun 2007 menemukan bahwa dari 25% perusahaan bidang teknologi (high-tech) dan engineering baru yang berdiri antara 1995 sampai 2005, satu dari pendirinya adalah imigran (sebagai mitra). Pada tahun 2005 meraih omzet US$ 52 miliar menyerap 450.000 karyawan. Setengah perusahaan di Silicon Valley didirikan oleh imigran yang menguasai dua pertiga calon doktor di universitas AS.
Disisi lain buku ini mengungkapkan kontribusi penting perusahaan modal ventura (venture capital) yang memang telah lama hadir dan memainkan peran sebagai inkubator pengusaha baru kelas global. Data dari National Venture Capital Association tahun 2005 menunjukan dari 20 besar perusahaan milik imigran yang didukung modal ventura menyerap 404.000 karyawan tersebar di seluruh dunia. Sebut saja diantaranya Intel Corp. (didirikan Andy Grove imigran asal Hongaria), Yahoo Inc. (oleh Jerry Yang, Taiwan) atau Google Inc oleh Sergey Brin asal Rusia. Atau Sun Micro System oleh duet Andreas Bechtolsheim (Jerman) dan Vinod Khosla (India). Total ada 144 perusahaan imigran yang awalnya dibantu modal ventura. India, sumber imigran terbesar yang mendirikan 32 perusahaan melebihi EU (27 perusahaan).
*
Berpikir seperti seorang imigran adalah memiliki prototype seorang pemimpi dan pesaing tangguh, pintar dan inovatif, warga dunia, multi budaya. Impian imigran bagi Arnold Szwarzenegger adalah bermimpi bahwa kelak suatu saat seorang anak dari Austria akan menjadi gubernur California dan akan berdiri tegak di Madison Square Garden menyampaikan pidato sebagai presiden AS. Sebagian sudah terbukti.
*
Robert T. Herman dan Richard L, keduanya menikah dengan imigran asal Korea dan Taiwan, menekan bahwa ini bukanlah buku jenis “how to” yang memberi resep sukses bagi calon imigran merantau ke Amerika Serikat. Tapi ingin mengungkapkan fakta bagaimana 38 juta imigran ini laksana laskar pemimpi yang turut serta membangun ekonomi AS.
*
Kunci sukses para imigran ini adalah faktor budaya imigran yang memiliki beberapa ciri. Para imigran cenderung suka berbagi ilmu pengetahuan yang dimilikinya kepada orang lain. Ini berkembang dan saling menguntungkan berkat inovasi terus menerus tiada henti. Kesuksesan mereka tidak hanya ditentukan oleh mereka sendiri tapi karena banyak berhubungan dengan mitra lokal. Selain inovatif para imigran ini rata-rata pintar yang menjadi langganan pendaftar hak paten teknologi tinggi di AS. Para imigran pendiri perusahaan IT sebanyak 26,8% bergelar doktor, 47,2% bergelar master dan sisanya sarjana. Paten yang dimilikinya dua kali lipat dari warga kelahiran AS.
*
Budaya imigran adalah budaya wiraswasta yang penuh mimpi dan seorang pejuang tangguh, inovatif, pintar dan multi budaya. Budaya imigran adalah budaya wiraswasta yang bisa digandakan, ditularkan atau diterapkan oleh semua orang secara universal, global, tanpa perlu minta hak paten. Karena ini lebih pada masalah budaya dan pola pikir. ***
*
Dimuat Warta Ekonomi (no. 21 tahun xxii, 25 Oktober - 4 November 2010)

Read more...

Monday 16 August 2010

Akuisisi Asing Bukan Jaminan

Gelombang akuisisi perbankan yang melanda Indonesia selama dekade terakhir sejak 2000 sampai 2010 selain mengubah peta kepemilikan saham tentu saja mempengaruhi kinerja bank menuju kearah yang lebih baik. Namun dari berbagai kasus akuisisi yang ada tidak semuanya menghasilkan kinerja yang lebih baik dibanding pra akuisisi. Sehingga akuisisi oleh bank asing, investor lembaga keuangan asing atau lewat konsorsium tidak menjamin bisa memberikan kinerja lebih baik, dibanding akuisisi oleh sesama bank dan investor lokal/domestik.

*

Survey terbaru berthema “Why Asia Bank Under Perform at Merger and Aqcuisition” (McKinsey & Co, Mei 2010) menyimpulkan bahwa akuisisi bank oleh principal investor menghasilkan rate of return 22%, lebih tinggi dari rate of return oleh strategik investor sebesar 7%.Tergolong principal investor adalah lembaga keuangan seperti private equity firm atau sovereign wealth funds.

*

Analisa berikut ini hanya mengambil contoh 9 akuisisi bank nasional oleh investor asing dari perbankan maupun lembaga keuangan non bank dalam 10 tahun terakhir, sehingga belum mencakup seluruh akuisisi oleh asing. Ternyata hanya sepertiga 33% atau 3 bank yang berhasil meningkatkan laba bersih per kapita, 6 bank lainya malah mengalami penurunan laba bersih per kapita, dengan catatan ada yang konsisten terus meningkat, menurun atau berfluktuasi. Ini membandingkan posisi tahun terakhir sebelum akuisisi dengan posisi terakini 2009. Atau berselang antara 2 sampai 5 tahun pasca akuisisi. Menggunakan indikator laba bersih dengan asumsi merupakan indikator penting dan final bagi pemegang saham untuk melihat keuntungan dari investasinya. Sedangkan per kapita untuk mengukur profitabilitas karyawan bank secara menyeluruh (dari level terbawah sampai dewan direksi dan komisaris) yang bersatu padu memajukan bank tersebut.

*

Akuisisi dekade ini diawali oleh perbankan Singapura dan Malaysia yang mengakuisissi Bank Danamon dan Bank Internasional Indonesia tahun 2003. Bulan Juni 2003 konsorsium Sorak Financial Holding mengakuisisi 51% saham Bank Internasional Indonesia (BII) dan satu semester kemudian per Desember laba bersih per kapita sebesar Rp. 41 juta (Desember 2003). Dua tahun berikutnya laba naik drastis 2 kali lipat jadi diatas Rp. 100 juta. Namun 5 tahun pasca akuisisi malah menurun jadi Rp. 63,1 juta dan tahun 2009 malah defisit Rp. 5,7 juta. Karena bank ini rugi Rp. 40 miliar lebih. Pada tahun yang sama Asia Finance Indonesia Pte. Ltd. (afiliasinya Temasek) mengakuisisi 68% saham Bank Danamon yang per Desember 2003 laba bersih per kapitanya mencapai Rp. 115,7 juta. Lima tahun pasca akuisisi laba bersih per kapita Bank Danamon secara konsisten menurun dari Rp. 92 juta (2004) menjadi Rp. 36,8 juta (2009). Perbedaannya selama periode tersebut, Bank Internasional Indonesia mengurangi 5,2% karyawan tapi Bank Danamon menambah 44,4%, menjadi bank pemilik karyawan terbanyak di Indonesia sebanyak 41.617 tahun 2009. Memang sepanjang periode tersebut terrjadi juga akuisisi lanjutan sehingga pemegang saham silih berganti yang tentu berdampakpada kinerja secara menyeluruh.

*

Kemudian bulan November 2004 Bank Permata diakuisisi oleh Standard Chartered Bank dan perusahaan domestik (Astra Internasional) sebesar 51% yang diakhir 2004 punya 6.222 karyawan dengan laba bersih per kapita Rp. 100,1 juta. 5 tahun kemudian karyawan berkurang 22% menjadi 5.150 orang. Selama periode tersebut laba bersih per kapita terus menurun menjadi Rp. 93,2 juta tahun 2009 dan sempat naik tahun 2007 menjadi Rp. 107,9 juta. Dengan demikian dalam proses akuisisi oleh Standard Chartered Bank dan Astra Internasional terhadap Bank Permata tidak meningkatkan laba bersih per kapita seiring turunnya laba bersih.

Akuisisi berlanjut ke merger (sesuai kebijakan single presence policy dari bank sentral) terjadi pada Bank CIMB Niaga sebagai bank hasil merger Bank Lippo dengan Bank Niaga bulan Juni 2008 yang kemudian ganti nama Bank CIMB Niaga efektif November 2008. Satu semester pasca merger laba bersih per kapita menjadi Rp. 61 juta (Desember 2008) kemudian naik jadi Rp. 134,5 juta akhir 2009. Dalam kasus merger ini tidak tepat membandingkan dengan posisi setahun pra merger karena dua bank asal memiliki kinerja berbeda. Sebagai perbandingan, lihat laba bersih bank asal pra merger tahun 2007 berkisar antara Rp. 125 juta (Bank Niaga) sampai Rp. 149 juta (Bank Lippo) atau rerata Rp. 136 juta. Sehingga akuisi plus merger afiliasi Khazanah Bhd ini berhasil naikkan laba bersih per kapita.

*

Masih grup perbankan asal Singapura yakni OCBC (Overseas Chinese Banking Corp) telah mengakuisisi 22,4% saham Bank NISP sejak November 2004 melalui afiliasinya OCF Nominees. Dan meningkat menjadi 74,73% atas nama OCBC Investment Overseas Pte. Ltd per Desember 2008. Setelah jadi mayoritas tahun 2008 dengan nama baru Bank OCBC NISP memiliki 5.518 karyawan ini juga berhasil meningkatkan laba bersih per kapita Rp. 57,4 juta dan tahun 2009 naik menjadi Rp. 79 juta.

*

Akuisisi oleh investor strategis atau equity firm di luar perbankan, bisa menciptakan kinerja berbeda sebagaimana terjadi pada contoh berikut. Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN), mayoritas sahamnya di akuisisi oleh Texas Pacific Group (TPG) bulan April 2007. Setahun pasca akuisisi BTPN menambah 7,4% karyawan baru dari 3.153 menjadi 3.387 yang meningkatkan beban karyawan dari Rp. 424,1 miliar jadi Rp. 490,7 miliar. Termasuk naiknya total gaji karyawan dari Rp. 672,7 miliar menjadi Rp. 797,4 miliar. Perobahan manajemen berdampak positif terlihat dengan naiknya laba bersih per kapita dari Rp. 26,5 juta tahun 2006 jadi Rp. 75,1 juta tahun 2008. Ini mengindikasikan bahwa investor baru yang menambah dewan direksi dan komisaris dari 8 menjadi 13 orang sehingga total biaya gaji naik 38.9%, tapi juga bisa meningkatkan laba bersih per kapita.

*

Bank raksasa HSBC lewat afiliasinya HSBC Asia Pacific Holding (UK) Ltd pada bulan Oktober 2008 membeli 88,89% saham Bank Ekonomi. Akhir 2007, bank ini punya karyawan 2.225 dan setahun kemudian bertambah 6% jadi 2.358 orang sehingga mendorong beban karyawan naik 20% menjadi Rp. 153,1 miliar, 65% beban karyawan untuk membayar gaji karyawan termasuk direksi dan komisaris . Tapi naiknya beban karyawan diikuti naiknya laba bersih per kapita dari Rp. 87 juta per orang menjadi Rp. 139 juta per akhir tahun 2009.

*

Dari contoh akuisisi bank nasional oleh asing 10 tahun terakhir berdasarkan indikator laba bersih per kapita terdapat beberapa kesimpulan yang menarik guna memahami sisi lain kiprah asing di pentas perbankan nasional. Bahwa investor asing atau bank asing bukan jaminan berhasil meningkatkan kinerja bank yang diakuisisi karena masing-masing memiliki motivasi tersendiri. Diakuisisi dipoles lalu dijual lagi sehingga hanya menjadi komoditi dan bukan mesin ekonomi bagi perekonomian nasional. Kebijakan bank sentral yang membatasi waktu minimal divestasi perlu diperketat, jangan easy come easy go. Nama besar dan team manajemen asing bukan jaminan mutu tapi kemampuan memilih team manajemen lokal yang tepat justru bisa lebih penting guna menciptakan sinergi lebih bagus. **(Dimuat di Infobank No. 377 Edisi Agustus 2010 )

Read more...

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP