Monday 29 November 2010

AS Memasuki Masa Suram ?

Pernyataan Paul Krugman minggu lalu (12 Nov 2010) bahwa ekonomi AS akan memasuki masa suram menambah panjang daftar ramalan akan suramnya ekonomi AS dan tentu saja berdampak bagi dunia. Ramalan Krugman ini mengingatkan kita akan proyeksi sejenis yang lebih dramatis, 15 tahun lalu.
*
Sebelumnya tahun 1993, Grace Commision meramalkan bahwa AS tahun 1995 akan bangkrut karena menanggung defisit US$ 850 miliar dengan hutang US$ 6,5 triliun dan beban bunga US$ 619 miliar. Jika tidak dihentikan maka tahun 2000 defisitnya akan menjadi US$ 1,9 triliun, hutang US$ 13 triliun dengan bunga US$ 0,5 triliun. Ramalan yang kemudian dibukukan berjudul “American Bankruptcy 1995, coming collapse and how we stop it” cukup menghebohkan. Penulisnya adalah Harry E. Figgie Jr. dan Herald J. Swanson adalah ketua dan pendiri Grace Commision, sebuah komisi yang bertujuan mengurangi defisit AS yang sudah menggunung.
*
Faktanya 15 tahun kemudian AS tetap bertahan namun penyakit utama masih bertahan. Yaitu defisit masih US$ 1,4 triliun tahun 2008 bahkan per September 2010 total hutang riil AS mencapai US$ 200 triliun atau 14 kali dari yang dipublikasi selama ini. Ini diungkapkan Prof. Laurence Kotlikoff (Boston University) dalam Jurnal Finance Development IMF, edisi September.
*
Sampul The Economist edisi 13 November 2010 menggambarkan Mao sedang menebar Yuan, menandai dimulainya gelombang akuisisi global. China setelah kerja keras sehingga tumbuh rata-rata 8% selama dekade terakhir meraih banyak devisa sekarang gilirannya untuk belanja. China sedang kaya raya karena menguasai seperempat cadangan devisa dunia US$ 2,3 triliun (AS hanya US$ 89 miliar) dan 70% devisanya dalam dollar AS. Tahun 2009, China memiliki PDB US$ 4.400 miliar dengan ekspor US$ 1,4 triliun. Pertumbuhan pesat rata 8% dari 1989- 2008 membuat segalanya mungkin bagi negeri panda ini. Mereka sibuk mengakuisisi perusahaan asing atau investasi di negara sumber penghasil bahan baku. Sekarang dua bank raksasanya sedang mengincar General Motor yang akan IPO tahun depan.

Gambaran akan suramnya ekonomi AS ini juga dapat dilihat dari turunnya daya saing industri otomotif AS. Setelah di bail out pemerintah bagian dari bail out raksasa US$ 700 miliar tahun 2008, AS malah menjadi net importer industri otomotif sebesar US$ 7,5 miliar dari ekspor US$ 7,5 miliar dan impor US$ 16,4 miliar. Pemegang saham berubah. Mereka menguasai 67% Chrysler, dan 20% General Motor bersama pemerintah 60%. Pemilik “the big three” sudah berganti tangan. Daimler Benz mengakuisisi Chrysler seharga US$ 38 miliar tahun 1998 dan 80% saham dijual lagi tahun 2007. United States Automotive Worker, UAW) memang dapat gaji dan pensiun yang besar dan mendorong naiknya biaya produksi, selanjutnya menurunkan daya saing

*

Ini merupakan bagian dari perang dagang AS dengan China yang tidak lepas dari masalah klasik AS yakni menurunnya daya saing di pentas dunia. Karena itu menggunakan senjata klasik anti dumping yang sudah dipergunakan setengah abad bukan zamannya lagi. Karena di abad 21 karena peta kekuatan dunia sudah berubah. Dulu AS bisa mengancam Amerika Latin dengan jurus anti dumping, tapi menghadapi China, itu tidak berlaku lagi. Pertemuan G-20 tidak maksimal karena China tidak takluk pada tekanan AS untuk mengapresiasi yuan, sebagaimana 25 tahun lalu ketika Jepang terpaksa mengapresiasi yen dalam Plaza Accord (1985). Tidak ada Plaza Accord edisi kedua.

*

Kegagalan AS menekan China agar mengapresiasi mata uangnya masih berpotensi memicu perang dagang dengan senjata proteksionisme, meski disepakati tidak akan diergunakan para anggota G-20. Dan AS sendiri masih punya HR 2378, undang-undang yang memberi wewenang kepada pemerintah AS untuk mengenakan sanksi dagang ke China, karena telah memanipulasi kurs yuan. Pergeseran politik dengan dominannya Republik bisa berdampak lain.

Jika ini terjadi maka perseteruan AS dan China bukan hanya merugikan kedua negara tersebut ekonomi global umumnya. Karena gerak langkah kedua raksasa ekonomi dunia ini sangat signifikan bagi dunia terlebih antar kedua negara. Ringkasnya, AS butuh China dan China butuh AS. Dengan posisi 70% devisa China dalam dollar AS, maka denyut nadi China sangat mempengaruhi jantung AS. Sehingga Handel Jones mempertanyakan mengapa China adalah masa depan AS dalam bukunya Chinamerica, (Mac Graw Hill, 2010).

*

Dengan demikian dapat dipahami salah satu latar belakang tidak optimalnya pertemuan G-20 di Seoul minggu lalu. Semoga saja komitmen bersama untuk menolak proteksionisme dipenuhi sehingga tidak masuk ke medan perang baru. Tunggu pendapat terbaru dari Paul Krugman tentang apa beda krisis dan suramnya AS kini dengan ramalannya soal kawasan Asia pra krisis moneter 1998. Yuan yang terlalu rendah juga berdampak negatif bagi neraca perdagangan Indonesia-China. Yang jelas suramnya rajawali (AS) dan naga (China) menjadi berita duka bagi perekonomian global. (*)

(Investor Daily, 25 November 2010)

0 comment:

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP