Saturday 22 December 2007

Liku-liku Penyelesaian Sengketa Dagang Global

Oleh Beni Sindhunata
Direktur Eksekutif Investment and Banking Research Agency (INBRA )
KEPUTUSAN Jepang, AS dan Uni Eropa mengajukan secara resmi kasus mobil nasional ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) merupakan hal biasa yang universal dan sudah menjadi hak serta kewajiban setiap anggota WTO untuk menggunakan jalur resmi tersebut. Oleh sebab itu, penyelesaian sengketa dagang via multilateral di mana rencananya Indonesia akan memilih White & Case sebagai lawyer, harus dilihat sebagai bukti bahwa Indonesia mematuhi dan menghormati etika bisnis global.
DALAM konteks ini, kita mencoba melihat bagaimana perkembangan sengketa dagang global yang pada akhirnya memang merupakan pertempuran bisnis murni antarnegara guna mempertahankan kepentingan nasional masing-masing. Untuk itu selayaknya Indonesia menyatakan sikap dan posisinya serta bagaimana mengantisipasi aneka isu perang dagang yang niscaya akan kian membanjir. Pengajuan petisi antidumpingoleh KADI (Komite Anti Dumping Indonesia) ke WTO menyusul notifikasi aturan antidumpingke dalam lembaga internasional tersebut (10 Agustus 1996), merupakan tahap penting dalam mempertahankan dan mengembangkan ekspor nonmigas. Strategis, dalam arti kata memperjuangkan eksistensi eksportir nasional (dari tuduhan dumping) dan sebaliknya mempertahankan industri domestik dari serbuan produk asing (mengajukan antidumping).
Globalisasi "dumping"
Bicara soal dumpingtak terlepas dari praktek subsidi, proteksi dan aneka bentuk tata niaga yang semuanya terbungkus dalam satu jargon umum, yakni perdagangan bebas. Fakta global menunjukkan bahwa praktek dumpingdan antidumping bukan lagi hal baru, hanya saja belakangan ini semakin menghangat seirama trendglobal me-nuju standardisasi dan keterbukaan dalam perdagangan dunia. Bahkan dikaji secara lebih mendalam, langkah pengenaan tuduhan dumpingatas produk negara berkembang tidak terlepas dari perang dagang model baru (tanpa berpretensi me-nyebut neo-kapitalisme). Secara implisit juga mencerminkan bahwa daya saing dan stamina industri atau produk tertentu di negara maju itu sudah diimbangi oleh produsen dengan negara berkembang.
AS yang dikenal sebagai kampiun perdagangan bebas, memang sudah lama meributkan praktek dumpingyang akhirnya melahirkan kebijaksanaan antidumpingdan kebijakan bilateral lain, dari MFN (most favour nation) sampai Super 301. Tapi seiring dengan itu, AS (para produsen domestiknya) juga tidak lepas dari praktek dumpingsehingga akhirnya warga AS (konsumen domestik) harus mensubsidi konsumen asing, sebab harga ekspor lebih murah dibandingkan harga domestik.
Tentang kejujuran AS dalam fair trademengingatkan kita pada buku James Bovard berjudul The Fair Trade Fraud(1991) yang secara gamblang memaparkan praktek dan perilaku perdagangan bebas di AS. Dengan dukungan pelbagai data, buku ini menjadi sebuah kilas balik dan otokritik bagi AS sendiri yang menjadi pelopor dan lokomotif dari perdagangan dunia yang besar, padahal AS sendiri menerapkan pelbagai praktek proteksi tarif maupun nontarif terhadap perusahaan AS dari saingannya.
Misalnya, lebih dari 300 perusahaan asing dikenakan denda oleh Pemerintah AS sejak 1980 sampai 1989 karena menjual barang lebih murah dari harga wajar di AS. Selama periode tersebut juga AS telah menciptakan 170 persetujuan perdagangan bilateral yang membatasi masuknya barang ekspor ke AS. Contoh klasik adalah tekstil yang menjadi industri tertua di AS. Tahun 1791, Alexander Hamilton menyerukan bahwa industri tekstil AS masih industri bayi (infant industry), oleh sebab itu perlu perlindungan dari pemerintah. Tahun 1816 pertama kali ditetapkan bea masuk untuk kapas kasar 83 persen. Kemudian tahun 1930 oleh UU Smoot-Hawley Tariff Act, bea masuk untuk kapas naik 387 persen, dilanjutkan dengan penerapan kuota pertama kali tahun 1936 khusus untuk Jepang.
Di masa lalu golongan proteksionis AS selalu membela sikap-sikap proteksionis itu dengan pendekatan historis. Misalnya sekitar tahun 1820, golongan proteksionis AS menyatakan bahwa perdagangan antara Inggris dan AS tentu tidak bisa berjalan fairkarena Inggris lebih maju, dan AS masih terbelakang. Setengah abad kemudian, sekitar tahun 1870-1880, kembali ditiupkan argumentasi bahwa tidak akan tercipta perdagangan yang fairjika suku bunga di antara kedua negara tersebut selisih di atas 2 persen.
Dalam era modern sikap ini juga ditunjukkan dalam sikap AS, mulai dari perdagangan tekstil dan produk tekstil (TPT), mobil atau elektronik, yang pada intinya tidak lepas dari stamina industri domestik di AS sendiri. Sebagaimana pernah diungkapkan oleh analis berlatar belakang industri tekstil dan garmen (David Birnbaum) di AWSJ(Desember 1995) bahwa awan kelabu yang menutupi industri TPT AS bukan disebabkan oleh serbuan produsen TPT Asia. Sebab industri TPT di Eropa tidak mengalami awan kelabu, meski produsen Asia juga menyerbu pasar mereka. Dus,ini menunjukkan bahwa kekalahan dan kemerosotan yang dialami di AS lebih dikarenakan faktor internal, terlepas dari apa pun jenis penyebabnya.
Musuh bebuyutan AS dalam perang dagang, yaitu Jepang, juga tidak luput dari praktek dumping, antidumping, subsidi dan proteksi, walaupun itu akhirnya membebani konsumen domestik. Survai oleh trio Y Sazanami, S Urata dan H Kawai berjudul Measuring the Costs of Protection in Japan(IIE, 1995) menyimpulkan bahwa konsumen Jepang membayar biaya 110 milyar dollar AS (3,8 persen dari GDP) lebih mahal dibandingkan barang sejenis untuk pasar impor. Misalnya radio dan TV di Tokyo 607 persen lebih mahal dari eks-impor, pakaian hampir 300 persen lebih mahal, kosmetika 661 persen dan beras 737 persen lebih mahal dari eks impor.
Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika WTO dalam usia satu setengah tahun (berdiri Januari 1995) sudah menerima 51 kasus sengketa dagang dari dan untuk 123 anggotanya. Padahal GATT selama setengah abad hanya menangani 196 kasus. Ini tidak terlepas dari semakin banyaknya sektor industri yang diatur dalam WTO, termasuk aspek antidumping(yang belum diatur GATT).
Khusus untuk kasus tuduhan dumpingdan antidumpingmenurut Komite WTO, sampai Juni 1995 mencapai 805 kasus, dilakukan oleh 14 negara yang komoditasnya semakin bervariasi. Praktek atau tindakan antidumpingterbesar dilakukan oleh AS (305 kasus), Uni Eropa (178 kasus), Kanada (91 kasus), Australia (86 kasus), Meksiko (42 kasus), Turki (38 kasus), Selandia Baru (22 kasus) dan Brasil (18 kasus). Tahun 1993 tercatat 251 kasus antidumpingyang dilancarkan oleh 25 negara, dan tahun 1994 turun jadi 226 kasus (masih di bawah payung GATT).
Penyelesaian kasus perselisihan dagang WTO jelas bukan suatu hal yang mudah, murah dan cepat (selengkapnya lihat skema penyelesaian sengketa via DSB di WTO). Apalagi saat ini puluhan petisi masih menunggu untuk diselesaikan. Sejumlah kasus sengketa dagang, dari mulai pembatasan impor, kuota, dumping,masalah paten dan hal cipta sampai ke perpajakan dan jaringan distribusi. Beberapa kasus sengketa dagang yang sedang dalam tahap penelitian di antaranya adalah Uni Eropa mengeluh tentang pajak minuman Jepang. Filipina dan Sri Lanka memprotes pajak untuk kopra. Costa Rica memprotes kuota impor AS untuk pakaian dalam serta India juga memprotes kuota pakaian wol dan blus dari AS.
Sementara itu juga ada beberapa kasus yang dalam tahap konsultasi, misalnya Hongkong, India dan Thailand memprotes perlakuan pajak impor tekstil oleh Turki. Atau subsidi ekspor peternakan oleh Hongaria diprotes oleh NAFTA (Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara), Argentina, Australia sampai Thailand. Bahkan AS baru saja mengenakan antidumpingterhadap ekspor tomat dari Meksiko. Jepang juga mengajukan Brasil ke WTO karena bea masuk impor mobil Jepang ke Brasil lebih tinggi dari produsen AS dan Eropa. Bulan November 1995, Kanada bertengkar dengan Australia gara-gara larangan impor ikan salmon oleh Australia.
Peta "dumping" Indonesia
Indonesia tentu saja tidak luput dari tuduhan praktek dumping, dengan negara pengaju antidumpingterbesar adalah Australia. Negeri Kanguru ini sejak 1988 sampai 1994 telah mengajukan investigasi atas 10 kasus dari total 289 kasus gugatan ke seluruh negara. Dari jumlah investigasi tersebut, hanya empat kasus yang terbukti tahun 1993, yakni sorbitol, kertas fotokopi, lead acid batteriesdan phthalic anhydrate. Anehnya, dari 289 tuduhan dumpingterhadap seluruh eksportir ke Australia tersebut, hanya 30 persen yang positif terbukti, atau 87 kasus (sejak 1988-1994). Ini menunjukkan bahwa bukan mustahil semua tuduhan praktek dumpingyang diajukan tersebut terkesan asal tuduh, dengan harapan syukur jika terbukti dan menang. Antar-sesama negara ASEAN juga ada, misalnya oleh Malaysia (Juni 1995) yang menuduh eksportir RI, Singapura, Thailand dan Korea Selatan melakukan dumpingPVC.
Data terakhir dari KADI (September 1996) menunjukkan bahwa secara resmi ada 37 komoditas ekspor Indonesia yang diproduksi oleh 72 perusahaan nasional pernah terkena tuduhan dumpingdi 10 negara. Dari jumlah tersebut, mayoritas (32,4 persen) yakni 12 komoditas ternyata bebas dari pengenaan antidumpingkarena pelbagai alasan, seperti tidak terbukti atau sudah tidak memproduksi lagi. Kemudian ada 16 komoditas yang terkena bea masuk antidumpingdan 9 komoditas sedang memasuki proses penyelidikan antidumpingatau belum final.
Cuplikan survai Top Eksportir Indonesia(PDBI, 1996) menunjukkan, secara menyeluruh ada 31 jenis komoditas ekspor Indonesia yang pernah dituduh melakukan praktek dumpingoleh 10 negara, mulai dari Uni Eropa, Australia, Selandia Baru, AS, Kanada, Brasil, Filipina, Malaysia sampai Turki. Tuduhan terbanyak dari pihak Badan Anti-Dumping Australia untuk 12 jenis produk, di antaranya kaca dan aki. Sedangkan sebanyak 11 jenis produk dituduh oleh Komisi Uni Eropa seperti sepatu, sepeda dan tekstil. Kemudian empat jenis produk masing-masing oleh Filipina (seperti MSG dan obat nyamuk kering) dan Selandia Baru. Jumlah komoditas ini agak berbeda, sebab ada beberapa komoditas yang sama-sama dituduh oleh negara yang berbeda. Misalnya lead acid batteriesdituduh oleh Australia dan juga Selandia baru. MSG dituduh oleh Filipina dan Uni Eropa, atau sepatu dituduh oleh Uni Eropa dan Selandia Baru. Kaca lembaran merupakan salah-satu produk yang dituduh pihak Australia melakukan praktek dumping. Pihak Australia Custom Services (ACS) memutuskan bahwa kaca lembaran (clear float glass)produksi PT Muliaglass melakukan praktek dumpingsehingga Pemerintah Australia mengenakan dumping dutyterhadap produk PT Muliaglass tersebut. Tuduhan tersebut atas dasar laporan produsen gelas Australia yakni Pilkington Ltd. Atas laporan tersebut badan Anti-Dumping Australia (ADA) melakukan penyelidikan.
Sebelumnya, PT Asahi Glass (clear float glass)dan PT Alam Kaca Prabawa (float glass)juga pernah dituduh dumpingoleh Australia. PT Alam Kaca Prabawa tidak terbukti melakukan dumpingsedangkan PT Asahi Glass positif melakukan dumpingdan dikenakan dumping duty.PT Yuasa Battery Indonesia juga dituduh dumpingoleh pihak Australia atas laporan NB Dunlop Australia pada tahun 1991 atas produk automotive lead acid storage batteries.PT Yuasa resmi dikenakan dumping dutysejak 8 Juli 1991, dan pada Desember 1992 PT Yuasa minta revokasi tuduhan, namun ditolak pihak Australia.
Produk certain exercise book dari PT Locomotive Eka Sakti dan PT Tjiwi Kimia juga pernah dituduh melakukan dumpingoleh pihak Australia. Namun produk ini tidak mengakibatkan material injurymaka tidak dikenakan dumping duty. Selain itu produk sorbitol 70 persen solution (PT Sorini Corporation), tuna dalam kaleng (PT Deho Canned dan PT Union Pasific) dan phthalic anhydride(PT Petrowidada Gresik) juga dituduh dumpingoleh pihak Australia. Perusahaan ini terbukti telah melakukan praktek dumping.Demikian juga dengan mie instantmerek Michiyo yang diproduksi oleh PT Jakarana Tama dituduh dumpingoleh Pemerintah Australia. Tuduhan tersebut atas laporan tiga perusahaan mie instantAustralia, yakni Nestle Ltd, Remus Coy dan The Uncle Toby's Ltd. Namun akhirnya Badan Anti-DumpingAustralia mencabut tuduhan tersebut, karena tidak terbukti melakukan dumping. Bahkan MSG produksi PT Miwon Indonesia juga dikenai antidumping dutyoleh Komisi Anti-Dumping Uni Eropa karena dinilai melakukan praktek dumpingpada tahun 1989. Namun pada tahun 1993, berdasarkan laporan produsen MSG Eropa ke Komisi Eropa, dilakukan penelitian ulang tuduhan price undertaking. Akhirnya Komisi Eropa menjatuhkan hukuman antidumpingtersebut berlaku mulai 21 Juli 1995.
Perkembangan terakhir menyebutkan bahwa Masyarakat Eropa (ME) sudah menetapkan untuk mengenakan bea masuk 31,9 persen atas ekspor sepeda RI ke Eropa. Ini merupakan kelanjutan dari tuduhan dumpingME kepada produsen sepeda Indonesia bulan Oktober 1994. Pada saat ini juga RRC sedang menghadapi tuduhan dumpingsepeda oleh produsen sepeda AS. Sebelumnya Indonesia juga mendapat tuduhan dumpingdari Australia terhadap kaca, gelas dan batere. Juni 1995 Malaysia menuduh eksportir RI melakukan dumpingPVC termasuk juga eksportir dari Singapura, Thailand dan Korea Selatan.
Kasus "antidumping"
Sampai saat ini sudah ada enam komoditas impor dari 12 negara yang dituduh melakukan dumpingoleh produsen Indonesia, sehingga akan diajukan untuk dikenakan antidumping. Keenam produk tersebut adalah serat polyester, wire rod, hot rolled coil,aluminium weldish,kalsium karbit, ferro mangandan silicon mangan. Penutup Perilaku penyimpangan (fraud)dalam norma perdagangan bebas (secara menyeluruh) bersifat universal, klasik dan bukan monopoli negara berkembang, tapi justru dipelopori dan didominasi oleh negara maju. Oleh sebab itu, meski kita akan hidup dalam era perdagangan bebas dengan wasit WTO, jangan sampai membuat kita terlalu cepat membuka diri dan terlena, padahal ada negara lain yang justru masih protektif. Mobnas merupakan salah satu test casebagi RI untuk melihat eksistensinya dalam pentas WTO.

DAFTAR KOMODITAS EKSPOR INDONESIA YANG TERKENA TUDUHAN "DUMPING" No. Komoditas Negara penggugat Keterangan

  1. Aluminium Selandia Baru Negatif
  2. Bicycles Uni Eropa (EU) Positif
  3. Canned tuna Australia Negatif
  4. Clear float glass Australia
  5. Cotton fabric EU
  6. Cotton yarn EU
  7. Denim EU Negatif
  8. Desicated coconut Brazil
  9. Excercise books Australia Negatif
  10. Flat glass/CPG Australia Negatif
  11. Flat glass/futher processed glass Australia Negatif
  12. Footwear EU
  13. Footwear Selandia Baru Positif
  14. Glassware Turki Positif
  15. Glutamid acid EU Positif
  16. Instant noodle Australia Negatif
  17. Lead acid batteries Australia Positif
  18. Lead acid batteries Selandia Baru Negatif
  19. Melamine tableware USA
  20. Monosodium glutamate Filipina
  21. Monosodium glutamate EU Positif
  22. Mosquito coils Filipina Negatif
  23. Photo album Kanada Positif
  24. Photo copy papers Australia Positif
  25. Phthalic anhydride Australia Positif
  26. Phthalic anhydride Australia Negatif
  27. Polyester fabric EU
  28. Polyester yarn EU Negatif
  29. Polyoefin bage Australia berhenti
  30. Rubber tyre Filipina
  31. Sacks & bags poly EU
  32. Safety watches Filipina Positif
  33. Sorbitol 70% Australia Negatif
  34. "3,5"" Microdisk" EU (Sumber: Top Exporter Indonesia/PDBI, 1996. )

Kompas Online,Jumat, 11 Oktober 1996

0 comment:

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP