Saturday 22 December 2007

Peta dan Peluang Ekspor Indonesia


PASAR ekspor Indonesia terbuka luas dan lebar. Akan tetapi, diperlukan kejelasan arah kebijakan dan peta pengembangan komoditas serta paradigma pengembangan industri dalam negeri yang terkait erat dengan pengembangan ekspor tersebut.

BERIKUT ini hasil kajian tahunan (serial Investment Review) yang dilakukan terbaru oleh INBRA (Investment and Banking Research Agency) sejak tahun 2002, yang kali ini memfokuskan pada analisis pasar ekspor intra-ASEAN dan ASEAN+.Total impor ASEAN yang mencapai 328 miliar dollar AS merupakan pasar yang sangat potensial dan besar, sekaligus menempatkan ASEAN sebagai kawasan importir ketujuh terbesar di dunia. Dari jumlah tersebut, sebesar 26,2 persen senilai 85,7 miliar adalah impor intra-ASEAN dan sisanya dengan negara lain, khususnya dari triad power (Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang). Dari total impor intra-Asean tersebut, 48,9 persen atau 41,9 miliar mencakup komoditas dari sektor prioritas untuk pelaksanaan liberalisasi tahun 2007.Dari potensi pasar ASEAN ini, Indonesia belum meraih pangsa yang besar. Bahkan Indonesia cenderung menjadi pasar untuk negara ASEAN lain, dibandingkan dengan yang seharusnya. Antara tahun 1997 sampai 2003, rasio ekspor Indonesia ke pasar ASEAN stagnan berkisar 17 persen, sedangkan penetrasi atau rasio impor ASEAN ke Indonesia naik pesat dari 13 persen menjadi 23,7 persen. Dari impor ASEAN yang masuk sektor prioritas itu Indonesia baru menyerap 10,8 persen, yakni 4,5 miliar dollar AS. Secara implisit, ini pertanda negatif, padahal liberalisasi ASEAN belum berjalan, walaupun saat ini masih surplus untuk RI.

Perusahaan publikKajian ini juga menganalisis perkembangan eksportir nasional, khususnya jajaran perusahaan publik sejak tahun 2001. Tahun 2003, ekspor perusahaan publik tumbuh 11,3 persen, lebih tinggi daripada pertumbuhan ekspor nonmigas nasional 5,2 persen. Total ekspor perusahaan publik mencapai Rp 63,4 triliun, menyumbang 27,2 persen total penjualan perusahaan yang mencapai Rp 233,1 triliun.

Meskipun nominal ekspornya naik, namun kontribusinya terhadap total penjualan menurun menjadi 27,2 persen dari 31,8 persen (2001) dan 28,8 persen (2002). Pergeseran tren ini disebabkan karena penjualan di pasar domestik berkembang lebih pesat dibandingkan dengan penjualan ekspor yang akhirnya mendorong total penjualan tumbuh lebih tinggi (17,7 persen). Ekspor ini setara 7,4 miliar atau naik 6,1 miliar dollar AS dari tahun 2002 sehingga kontribusinya terhadap total eks- por nonmigas juga meningkat dari 13,6 persen tahun 2002 menjadi 15,7 persen tahun 2003. (Tabel 1)

Dari besaran nilai ekspor, maka dari 114 eksportir ini ada 15 perusahaan yang meraih ekspor di atas Rp 1 triliun (setara 118 juta dollar AS) dengan gabungan ekspor mencapai Rp 38,2 triliun. Sepuluh di antaranya punya rasio ekspor lebih dari 50 persen (berorientasi ekspor) dan lima lainnya punya rasio ekspor di bawah 50 persen (lebih fokus ke pasar domestik). (Tabel 2)Mayoritas, yakni tiga-perempat (76,3 persen) dari eksportir ini mempunyai nilai ekspor di bawah Rp 500 miliar dengan gabungan ekspor mencapai Rp 15,4 triliun. Di antaranya ada 35 perusahaan yang mengekspor rata-rata di bawah Rp 100 miliar (sekitar 11 juta dol- lar AS). (Tabel 3)

Beberapa kebijakanDari analisis perkembangan dan perubahan geografis perdagangan global ini, ada beberapa kebijakan, di antaranya, yang perlu dipertimbangkan.Kristalisasi perdagangan global tidak lepas dari kristalisasi perdagangan regional yang bisa dikembangkan melalui kerja sama bilateral maupun multilateral. Oleh sebab itu, pemetaan prospek ke depan tidak lagi hanya mengandalkan pasar konvensional selama empat dekade terakhir. Justru diversifikasi pasar harus terus-menerus dikembangkan sehingga memperbarui dan memperluas potensi pasar.

Perdagangan bebas (free trade agreement/FTA) akan lebih efektif dan cepat jika dilakukan melalui FTA bilateral, karena agenda dan permasalahannya lebih sedikit dibandingkan dengan multilateral yang melibatkan banyak negara. Indonesia harus jalan sendiri dengan lobi dan diplomasi bisnis yang kuat, dan harus didukung oleh peta industri domestik agar mengetahui persis bagaimana eksistensi Indonesia saat ini, sementara pasar sangat besar dan terbuka lebar.Liberalisasi perdagangan berpotensi mematikan industri dalam negeri dan menghilangkan potensi ekspor jika kalah bersaing dengan produk impor. Sebab, jika kalah bersaing maka produsen lokal terpaksa berhenti berproduksi dan seterusnya tidak bisa mengekspor lagi. Oleh sebab itu, pemetaan industri (road map) perlu dikaitkan dengan pemetaan potensi ekspor sehingga saling mengisi dan terkait untuk jangka panjang. Dengan demikian kinerja ekspor sangat terkait erat dengan kinerja industri tersebut di dalam negeri.

Pemerintah juga perlu secara transparan memperjelas dan mengumumkan paradigma bagaimana posisi dan kebijakan dalam mengembangkan ekspor hasil industri hilir (manufactured goods) yang bahan bakunya sektor hulu (raw material) juga menguntungkan jika diekspor langsung (mengalami proses industrialisasi). Paradigma ini penting agar tidak terjadi benturan kepentingan bisnis dari pelaku usaha yang keduanya benar, legal, dan sama-sama penghasil devisa ekspor.

Dimuat di Kompas, Senin, 31 Januari 2005

0 comment:

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP