Thursday 27 December 2007

Dicari Gubernur BI: Dewa Yang Independen


Oleh : Beni Sindhunata, Pengamat investasi dan perbankan dari INBRA

Diserahkannya 3 calon gubernur dari presiden Megawati kepada DPR (Jumat lalu) yang kebetulan semuanya dari kalangan intern Bank Indonesia menjadi titik awal dari perdebatan publik dengan aneka sudut pandang. Bersamaan dengan itu minggu lalu Pengadilan Negeri Jakarta memvonis penjara antara 3 sampai 5 tahun untuk 3 mantan direktur Bank Indonesia, sehingga sangat fenomenal sebagai peringatan halus bagi calon gubernur dan deputi gubernur masa depan. Terkait dengan ini maka artikel yang cenderung independen dari Faturachman (di Kompas 15 Februari) lalu menarik untuk ditanggapi lebih mendalam dalam konteks makro sehubungan dengan proses pemilihan gubernur Bank Indonesia menggantikan Syahril Syabirin, yang masa tugasnya berakhir 17 Mei 2003.

Secara menyeluruh artikel tersebut menggambarkan betapa beratnya menjadi gubernur bank sentral karena harus memenuhi syarat dan kriteria baik yang terukur maupun tak terukur. Yang terukur secara kuantitatif misalnya pengendalian tingkat inflasi, uang beredar, suku bunga, dan pengawasan perbankan nasional. Sementara yang kualitatif dan sangat lentur menyangkut masalah moral, akhlak, visi, serta falsafah hidup jangka panjang. Disisi lain juga ada aspek normatif seperti terlibat kejahatan pidana maupun perdata yang bisa hitam bisa putih bahkan bisa abu-abu, apalagi jika sudah bicara aspirasi politik.

Berikut ini kita mencoba menganalisis bagaimana independensi dan kinerja Bank Indonesia bisa diukur guna menilai apakah kinerjanya sukses atau gagal dan sejauhmana independensi figur bisa memastikan independensinya lembaga. Ringkas kata dengan segudang entry barrier tersebut maka mencari calon gubernur bank sentral ibarat mencari dewa (baik) yang profesional (pintar) dan independen (non partisan). Mungkinkah presiden Megawati bisa mencari figur ideal seperti yang diidam-idamkan tersebut. Dapat diperkirakan, siapapun yang terpilih menjadi gubernur bank sentral periode 2003-2008 pasti bakal mendapat suara sumbang timbul pro dan kontra sehingga jangan harap gubernur baru bisa langsung bekerja mantap tancap gas untuk 100 hari pertama.

Sikap menolak atau kontra tersebut bisa muncul di kemudian hari mulai dari Senayan sampai ke 5.600 karyawan Bank Indonesia (setengahnya berada di kantor pusat) sendiri disamping para pengamat dan intelektual yang juga menginginkan bank sentral berkinerja baik yang sesuai dengan hukum dan aturan main. Tidak tertutup kemungkinan penolakan ini akhirnya mengkristal dan berwujud pada demo atau mogok kerja, sebuah pola yang sudah mewabah dan jadi trend umum di negara kita dan muncul tak terduga pada saat kritis. Sehingga tidak heran jika salah satu klausul yang diminta oleh para bidder saat ini dalam proses divestasi dan privatisasi BUMN adalah jaminan tidak adanya demo atau mogok dari karyawan, seperti para bidder privatisasi Indofarma. Karena mereka sudah belajar banyak dari privatisasi Indosat yang geger habis-habisan justru setelah diumumkan siapa pemenangnya dengan isyu yang terus-menerus berubah dari masa depan karyawan, monopoli, data intelijen, masuknya special purpose vehicles dan akhirnya tuduhan KKN dengan tuntutan lengser. Sangat kreatif, berani dan luar biasa.

Meskipun penulis tidak sependapat dan seyakin Faturachman bahwa demo atau mogok bukan cara populer di Bank Indonesia, kita berharap sinyalemen itu benar adanya. Jika berprinsip bahwa gubernur bank sentral adalah figur yang harus bisa diterima oleh seluruh publik intern Bank Indonesia maka prinsip itu relatif sudah melebar. Memang idealnya harus bisa bersinergi dan harmonis dengan seluruh jajaran karyawan Bank Indonesia karena dalam menjalankan tugasnya gubernur tidak seorang diri tapi terkait dengan pejabat di pelbagai eselon. Namun juga perlu dipahami karyawan bank sentral digaji oleh negara dari pajak rakyat serta dunia usaha dan bukannya dari honorarium sang gubernur atau anggota dewan gubernur. Apalagi beban umum dan administrasi di Bank Indonesia hampir mencapai Rp. 2 trilyun per tahun, yang tentu saja diantaranya termasuk beban gaji karyawan.

Di luar faktor formal sesuai UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia (ironisnya sekarang sedang direvisi) juga terdapat banyak faktor lain yang tidak kalah pentingnya. Bahwa figur sang gubernur haruslah figur yang bisa diterima pasar (market acceptable) yang ringkas kata bisa memahami kondisi riil industri karena Bank Indonesia sebagai regulator tidak hidup sendiri tapi harus mengerti kondisi lapangan. Karena dalam memainkan instrumen moneter tentu saja harus memperhatikan dampak ekonominya secara riil bagi dunia usaha, sehingga instrumen moneter bisa menjadi gas, rem dan kopling bagi bank sentral dalam menjalankan fungsi moneter nasional secara menyeluruh dan terpadu.

Tentang perlunya harmonisasi dengan lembaga pemerintah terkait lain khususnya Departemen Keuangan, adalah sebuah keharusan jika pengelolaan keuangan dan moneter negara ini mau berjalan baik dan benar. Sudah lumrah, mengglobal dan universal bahwa antara bank sentral dengan departemen keuangan jarang terdapat hubungan yang harmonis karena kedua pihak memiliki kepentingan dan agenda tersendiri sehingga saling berseberangan jalan. Apalagi tidak sedikit kebijakan departemen lain yang secara tak langsung berdampak pada dinamika mesin moneter yang justru sudah diatur oleh bank sentral. Sebagaimana dicontohkan oleh Faturachman tentang kebijakan pengurangan subsidi BBM tanpa mengaitkannya dengan pengendalian inflasi. Sehingga jika dijalankan akan berdampak negatif pada target besaran moneter seperti inflasi, suku bunga, uang beredar dan struktur perbankan secara menyeluruh. Pelbagai dampak negatif ini tentu harus diatasi dan dikendalikan oleh bank sentral yang akhirnya menjadikan bank sentral sebagai pemadam kebakaran di pelbagai musim.

Tapi proses harmonisasi dengan pihak luar bisa tercipta jika di jajaran internal Bank Indonesia sendiri sudah harmonis dan kompak. Karena pada lembaga sebesar dan se-strategis Bank Indonesia tidak mudah untuk menciptakan harmonisasi total di tubuh mereka sendiri. Setidaknya ini tercermin dari tulisan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (Kompas, 23 Desember 2000) pada catatan pribadinya sewaktu mengundurkan diri. Diungkapkan bahwa dewan gubernur bank sentral bukan merupakan dewan yang kompak, masing-masing bekerja sendiri sendiri tanpa koordinasi, tanpa inisiatif dan tanpa kekuasaan untuk menilai kinerja dan mendisiplinkan bawahannya. Dus, bagaimana bisa harmonis dengan pihak luar jika diri sendiri juga tidak harmonis. Harmonis dalam konteks kebijakan dan kelembagaan bukan hanya harmonis secara personal. Potensi konflik intern juga bisa meningkat apalagi jika yang bertarung adalah calon dari kalangan Bank Indonesia sendiri.

Kriteria independensi juga salah satu aspek yang sangat abu-abu dengan kain pembatas yang sangat tipis. Jika sekarang non partisan tidak terkait parpol tertentu maka siapa bisa menjamin bahwa dua tahun setelah menjadi gubernur atau deputi gubernur mereka tetap non partisan dan tidak mempraktekkan jurus konvensioal KKN yang sudah menjadi hukum besi. Padahal setelah menjadi gubernur maka hampir tidak ada celah bagi pemerintah untuk menggantikannya apalagi hanya sekedar demo oleh publik dan mahasiswa. Yang bisa menggantikan gubernur bank sentral dari jabatannya hanya kematiannya dan berhalangan tetap yang bukan lagi urusan duniawi. Sementara pintu lainnya seperti mengundurkan diri atau sebagai ditetapkan terpidana dan sudah memiliki kekuatan hukum tetap, sangat tipis bisa dijalankan. Atau jika gagal menjalankan tugas dan tanggungjawabnya di bidang moneter dan perbankan, juga ukurannya sangat lentur. Sudah 4 presiden, 5 menteri keuangan dan 7 kepala BPPN datang silih berganti tapi gubernur bank sentralnya tetap bertahan (melewati dua abad). Bahkan presiden yang ingin menurunkan gubernurnya malah lengser duluan. Pelbagai kondisi ini menunjukkan sedemikian independen gubernur bank sentral sehingga dia menjadi orang kedua paling berkuasa setelah presiden dan paling awet dan teraman.

Seperti diungkapkan oleh kanselir Jerman Konrad Adenauer (1956) bahwa Bundesbank (salah satu bank sentral paling independen) tidak bertanggungjawab kepada siapapun, tidak kepada parlemen maupun pemerintah. Sedemikian berkuasanya Bundesbank maka lembaga ini memainkan peranan dalam proses jatuh bangunnya tiga kanselir Jerman pengganti Konrad (Ludwig Erhard, Kurt George Kiesinger dan Helmut Schmidt). Bank sentral dengan independensinya menjadi sebuah institusi yang tak tersentuh bahkan punya kekuatan luar biasa. Di AS, presiden Bill Clinton masih memilih Alan Greenspan sebagai gubernur The Fed, padahal Alan adalah republiken tulen dan Bill adalah demokrat sejati. Ini menjadikan Alan sebagai gubernur The Fed yang bermitra dengan 4 presiden (Reagan, Bush, Clinton dan Bush Jr) sejak Agustus 1987. Kedua terlama setelah William M. Chesney Martin (1951-1970) yang bersanding dengan 5 presiden (dari Harry Truman sampai Nixon). Jimmy Carter bahkan yakin bahwa dua orang penyebab utama kegagalannya di pemilu tahun 1980 adalah Khomeini dan Paul Volker. Demikian pula George Bush menuduh kekalahannya tahun 1992 salah satunya karena Alan Greenspan tidak mau melonggarkan likuiditas moneter saat itu karena ekonomi sedang lesu, sekaligus mengakhiri kebijakan uang ketat AS.

Yang justru sedikit dan kurang laris untuk diperdebatkan adalah kinerja Bank Indonesia dengan barometer yang terukur, kuantitatif dan jelas. Padahal ini faktor yang relatif mudah dibandingkan faktor-faktor lainnya. Misalnya jika Bank Indonesia mentargetkan angka inflasi tahunan, suku bunga SBI, uang beredar dan besaran moneter lainnya maka angka inilah yang harus dipegang untuk menilai rapor mereka di akhir tahun. Jika angka realisasinya berbeda dengan target yang mereka tetapkan sendiri maka DPR perlu meminta penjelasan secara menyeluruh. Dari aspek seperti inilah baru kita bisa menilai kesuksesan seorang gubernur bank sentral dan jajaran anggota dewan gubernur dalam menjalankan tugas. Seyogyanya inilah yang menjadi rapor mereka. Untuk team sekarang kita bisa llihat bahwa inflasi masih dua digit sementara suku bunga SBI cenderung turun tapi tidak menjamin kucuran kredit mengalir cepat.

Sementara program penjaminan simpanan yang secara tradisional menjadi tanggungjawab bank sentral dengan falsafah too big too fail sehingga melahirkan skema blanket guarantee, bakal dialihkan ke Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) tahun ini. Demikian pula dengan tugas pengawasan perbankan karena tugas ini nantinya akan diserahkan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Secara eksplisit menunjukkan bahwa tugas dan tanggungjawab bank sentral relatif akan berkurang. Dalam menangani dua hal yang sangat strategis ini maka masa transisi operasionalisasi LPS serta OJK bekerjasama dengan baik, harmonis dan terpadu guna menghasilkan sesuatu yang terbaik bagi bangsa dan negara sebagaimana yang sedang digodok dalam RUU bersangkutan.

Sebagai penutup ingin digarisbawahi beberap hal berikut :
jika kita ingin mencari figur gubernur bank sentral yang suci bersih, bermoral, pintar, profesional, bertanggungjawab, diterima publik intern maupun ekstern, independen, non partisan parpol, bisa bekerjasama secara harmonis dengan para mitra lembaga pemerintah terkait lainnya maka setahunpun tidak bakal dapat apalagi hanya 3 bulan. Itu sama dengan mencari dewa atau setengah dewa yang juga independen. Sterilisasi Bank Indonesia dari partai politik tidak menjamin independensi dari 5 ribu lebih karyawannya dan sebaliknya partisan parpol tidak praktis selalu membuka pintu untuk berKKN ria untuk kiblat partai.

bahwa independensi Bank Indonesia adalah suatu keharusan namun posisi demikian tidak bisa hanya diukur dari keikutsertaannya sebagai orang parpol atau non parpol. Karena moral, falsafah, kepentingan dan visi orang parpol tidak selalu lebih jelek dari non parpol dan sebaliknya orang non parpol tidak lebih suci bersih dibandingkan partisan parpol. Prinsip ini menggiring kita untuk memilih calon setengah dewa tapi non partisan daripada dewa tapi anggota parpol.

Ringkas kata menempatkan Alan Greenspan sekalipun tidak menjamin independensi BI dan berhasil menjalankan tugasnya secara benar dan baik, jika kondisi lingkungan luar dan intern tidak aman dan bersih. Bank sentral juga harus dinilai kinerjanya (dari target yang terukur dan kuantitatif) karena mereka sudah bekerja keras, dibayar dengan profesional.
proses pemilihan ini sangatlah krusial sehingga dituntut ketajaman laksana mata elang bagi presiden Megawati dan anggota DPR agar bisa memilih figur terbaik diantara yang ada. Karena sekali terpilih maka sangat kecil pintu untuk meninjau ulang atau bahkan melengserkan gubernur dan juga harus siap bermitra dengan gubernur sekarang sampai 2008, siapapun presiden Indonesia mendatang. (*).
Dimuat 20 Februari 2003

0 comment:

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP