Wednesday 26 December 2007

Akuisisi Guthrie Menuju Dominasi Produk Derivatif

Oleh : Beni Sindhunata, Direktur Eksekutif INBRA
Eksistensi Indonesia dan Malaysia dalam perspektif industri minyak sawit global bisa menjadi musuh atau pesaing utama (archrival) sekaligus bisa menjadi mitra bersama dalam menggalang kekuatan. Gabungan dua negara tetangga serumpun Melayu ini menguasai 82% produksi, 89% ekspor dan 27% konsumsi CPO dunia. Dengan demikian nasib dan gonjang ganjingnya komoditi agro-industri ini tergantung pada kebijakan kedua negara. Jika bisa bersatu padu dalam pemasaran global tentu akan berdampak positif ke dalam dengan catatan perlu melihat rambu-rambu perdagangan internasional ala WTO misalnya kartel harga dan kartel produksi. Sebaliknya jika berseberangan jalan maka yang terjadi adalah perang terbuka dalam pasar bebas yang sedikit banyak jelas akan berdampak negatif bagi kedua pihak.
Dalam konteks ini kita hanya menganalisis bagaimana perspektif persaingan industri minyak sawit global antara Indonesia dan Malaysia yang selama tiga bulan terakhir justru seakan-akan hanya terfokus pada akuisisi Guthrie terhadap asset divisi perkebunan dan pabrik minyak sawit Salim Grup (milik Holdiko Perkasa). Jika dilihat dari aspek kepentingan dan keuntungan jangka panjang maka harga pembelian oleh Guthrie memang sangat debatable.
Karena penilaian tersebut tentu saja memiliki visi dan misi yang sangat tergantung pada dimensi ruang dan waktu serta kepentingan. Apalagi jika sudah melibatkan pelbagai pihak terkait mulai dari Menko Ekuin, BPPN, Menkeu, Menhut, Menperindag sampai ke DPR. Jangankan antar sesama lembaga tersebut bahkan antar sesama konsultan dan akuntan asing pasti akan berbeda, padahal mereka melahap ilmu dan rumus standar dari sekolah yang sama. Bayangkan saja untuk menilai sebuah tambak udang hasilnya bisa berbeda bagai bumi dan langit.
Sebaliknya dari sisi lain jika kita melihat dari kacamata perspektif global maka akuisisi ini kemungkinan baru titik awal dari langkah strategis Malaysia dalam perang global di industri minyak sawit. Namun perang tersebut bukan lagi pada dominasi industri CPO semata, tapi bagian dari strategi untuk mendukung, memperkuat dan menguasai industri hilir dengan aneka produk derivatif CPO yakni oleochemical (konsumsi dunia sekarang 4 juta ton per tahun). Mulai dari fatty acid, glycerine, alcohol atau fatty ester yang menjadi konsumsi utama industri farmasi, makanan, minuman, sabun, tekstil, kertas, pelumas, cat sampai lilin. Sebuah pohon industri yang menjanjikan peluang konsumsi global luar biasa. Inilah sebuah langkah yang justru tampaknya kurang mendapat perhatian padahal sangat strategis.

Persaingan untuk Masa Depan
Masuknya Kumpulan Guthrie Berhad ke sektor perkebunan Indonesia hanyalah salah satu milestone yang cukup fenomenal sebagai bagian dari ekspansi global yang sudah dilakukan sejak 4 tahun lampau. Sehingga tidak perlu heran jika saat ini terdapat tidak kurang dari 44 perusahaan atau grup investor Malaysia dengan izin lahan tidak kurang dari 1,3 juta hektar. Membentang dari Padang, Bengkulu, Riau, Palembang, Bangka Belitung sampai ke Sanggau. Ini belum termasuk areal akuisisi oleh Guthrie sehingga total areal mencapai tidak kurang dari 1,6 juta hektar.
Survey dari BIRO (Business Intelligence Report) berjudul “Prospect of The Plantation & CPO Industry in Indonesia 2000-2010” mencatat bahwa antara tahun 1995 sampai 1999 saja, investor asing yang membuka proyek perkebunan sawit baru ada 18 buah dengan investasi US$ 1,4 milyar (areal seluas 377 ribu hektar). Perlu dipahami bahwa 70% diantaranya oleh investor Malaysia. Sementara itu pada periode yang sama ada 57 perkebunan sawit yang diakuisisi oleh investor asing dengan nilai investasi US$ 1,5 milyar. Lebih hebat lagi ternyata 90% akuisisi ini juga dilakukan oleh investor Malaysia (dengan areal hampir 800 ribu hektar). Dengan demikian selama 5 tahun terakhir setidaknya ada US$ 2,2 milyar lebih investasi Malaysia yang masuk ke perkebunan sawit Indonesia. Oleh sebab itu jika kita masih melihat adanya penguasaan asing atas peta investasi nasional, tentu sudah terlambat bahkan bukan zamannya lagi. Jangan membaca semuanya dari kacamata chauvinisme sempit.
Dari jajaran investor tersebut tentu saja termasuk kelas papan atas dan menengah diantaranya adalah EPA yang paling aktif, Guthrie, Golden Hope, KL-Kepong, Tenaga Lestari, Tradewind sampai ke perusahaan milik negara bagian Johor (JSEDC). Lihat tabel.

Beberapa Investor Perkebunan Sawit Malaysia di Indonesia
Sumber : Prospect of the Plantation and CPO Industry in Indonesia, 2000-2010

* Sebelum akuisisi asset Holdiko oleh Kumpulan Guthrie Bhd. (Maret 2001)

Dengan penguasaan ini sebenarnya tidak ada yang hilang dari bumi Indonesia. Justru yang tercipta adalah jalannya pengembangan perkebunan dan jalannya pabrik minyak sawit yang akhirnya menyerap tenaga kerja dan menghasilkan produk untuk ekspor. Berapapun besarnya nilai ekspor yang akan dikuasai atas nama perusahaan asing yang jelas itu tercatat dari Indonesia. Soal berapa besar devisa yang betul-betul masuk dan tercatat di bank sentral, itu masalah lain yang tidak kalah kompleksnya. Jika kita terjebak untuk melihat berapa besar Malaysia via perusahaannya menguasai ekspor CPO nasional, maka kita juga harus melihat (atau bahkan mewaspadai) bagaimana jajaran MNC dari Jepang, EU, AS dan NIC menjadi pelaku utama dan mendominasi ekspor tekstil, garmen, elektronik, permesinan dan kimia nasional.
Justru yang harus diantisipasi dan ditelusuri lebih jauh adalah apa dan bagaimana langkah strategis ke depan oleh Malaysia dalam mengembangkan industri minyak sawit mereka. Apakah mereka hanya ingin menjadi pemain utama untuk terus menerus mendapat sebutan raksasa CPO atau memposisikan diri menjadi raksasa di industri hilir berbasis minyak sawit. Pengalihan konsentrasi dari industri penghasil minyak sawit ke industri hilir dengan aneka produk yang didukung oleh teknologi untuk menguasai produk derivatif atau turunan lainnya ini sudah merupakan fenomena alam dari sebuah pohon industri. Tidak beda dengan langkah Indonesia pada dekade 80-an yang mulai memfokuskan diri pada industri plywood dan aneka produk kehutanan setelah dekade 70-an hanya terfokus pada menjual log saja.

Pengembangan Produk derivatif
Data Oil World menunjukan bahwa dari produksi minyak dan lemak dunia tahun 1999 sebesar 109,1 juta ton, 80% (87,2 juta ton) berasal dari minyak nabati (vegetable oil) dan 20% (21,8 juta ton) oleh lemak hewani (animal oils/fats). Dari kelompok minyak nabati maka kontributor terbesar adalah minyak kedele 22,7% (24,7 juta ton) disusul oleh minyak sawit 18.8% (20,4 juta ton). Jika dilihat dari produksi minyak nabati, kontribusi minyak kedele mencapai 28,4% dan minyak sawit 23,5% (yang tumbuh jauh lebih pesat dibandingkan minyak kedele).
Mengingat CPO memiliki aneka produk derivatif yang juga memiliki prospek dan konsumen potensial maka sudah saatnyalah kita memperkuat langkah demi menguasai lebih jauh potensi pasar di produk hilir tersebut. Dari minyak sawit dan palm kernel bisa diproduksi produk oleochemical seperti fattcy acid, glycerine, fatty alcohol dan sebagainya. Justru sekarang industri hilir ini masih relatif kecil dengan jumlah perusahaan yang tidak lebih dari 10 perusahaan yang diantaranya masih terkait dengan industri CPO. Tragisnya lagi adalah perusahaan-perusahaan tersebut semuanya sudah menjadi pasien BPPN dengan penyakit sama, terbelit aktivitas pinjaman kredit perbankan.
Dikaitkan dengan perspektif global maka kinerja ekspor dari produk-produk oleochemical ini masih relatif kecil tidak lebih dari US$ 100 juta atau kurang lebih sepersepuluh total ekspor CPO dan PKO. Ini terdiri dari ekspor glycerol US$ 27 juta, stearic acid US$ 22 juta, fatty alcohol US$ 48 juta. Mengingat potensi konsumennya dari kelompok industri yang sangat beragam dan tumbuh pesat maka tidak berlebihan jika mengambil langkah memperkuat basis industri hilir dari turunan CPO dan PKO tersebut.
Strategi pengembangan industri hilir ini tentu saja harus melihat aspek jangka panjang karena nantinya harus mampu bersaing di pasar global dalam platform liberalisasi, pasca 2003 atau 2010. Jika kita tidak memperkuat basis ini sekarang (yang relatif terganggu pasca krisis dan demam hutang) maka kita akan kembali menjadi penonton dari produsen asing (paling potensial Malaysia) untuk menguasai dan menyerap konsumsi produk oleochemical Indonesia. Didukung oleh teknologi, permodalan dan pengalaman apalagi jika di back up pemerintah maka Malaysia tidak lagi berpikir untuk jadi raksasa eksportir CPO, tapi menjadi raksasa oleochemical yang berbasis teknologi dengan dukungan produk derivatif industri petrochemical dengan pabrik di negara masing-masing.
Mereka juga tak perlu lagi takut akan kehilangan pasokan bahan baku CPO karena afiliasi mereka bisa menjamin pasokan CPO dengan harga bersaing, sebagai transaksi ekspor-impor RI dan Malaysia. Sehingga tidak perlu heran jika nantinya Malaysia menjadi pengimpor terbesar CPO Indonesia yang sekarang hampir mencapai seperlima total volume ekspor CPO dan PKO.
Jika ini berlangsung maka untuk kedua kalinya kita kalah bersaing dengan Malaysia di tempat yang sama, padahal kita bisa mengantisipasinya sekarang. Salah satu cara mengantisipasi dalam konteks positif adalah mengusahakan sedemikian rupa agar investor tersebut mendirikan pabrik industri hilirnya di Indonesia, sehingga kita juga mendapat nilai tambah baik itu mulai dari tenaga kerja, teknologi dan juga ekspor secara menyeluruh. Akuisisi oleh Guthrie dan serbuan investor Malaysia di perkebunan sawit Indonesia merupakan titik awal dari strategi menguasai industri hilir global berbasis CPO diantaranya oleochemical yang memiliki nilai tambah lebih besar dengan basis konsumen lebih menyebar dan tumbuh pesat. (*).
Dimuat di Bisnis Indonesia , 22 Maret 2001

0 comment:

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP