Saturday 5 January 2008

Melacak Investasi Asing

Oleh : Beni Sindhunata
Dua minggu lalu ketika BPPN mengumumkan obligor ke enam terbesar Tirtamas grup terungkap betapa susahnya mencari siapa investor-investor di balik perusahaan patungan mereka, yang non publik. Sehingga terdapat “missing link” dalam rantai afiliasi guna menelusuri arus dana yang dipinjam dari bank. Sementara di lantai bursa orang sibuk mencari emiten mana saja yang akan dilamar Soros sampai transaksi detik terakhir abad 20, padahal jauh sebelum Yahudi kelahiran Hongaria itu masuk puluhan fund manager dan lembaga keuangan sudah rutin berbelanja di BEJ sembari menerima titipan dana investor. Kemudian niat Newbrigde Capital dan Gilbert Global Equity Partner (asal AS) memborong 40% saham Astra yang ditentang oleh manajemen, bisa menjadi bibit perpecahan bagi Astra di tahun 2000.
Semua ini bermuara dari ketertutupan dan keterbatasan informasi di samping (memang) tidak semua informasi bisa diobral (meski alasan transparansi). Akibatnya banyak informasi dan data penting strategis yang tidak bisa diketahui publik, kecuali pihak tertentu. Misalnya tentang apa dan siapa dibelakang investor asing, sehingga selalu muncul isyu dan rumor yang banyak disalahgunakan. Lebih tragis lagi jika ketidakberhasilan melacak data tersebut melanda lembaga sekelas BPPN yang harus mencari asset negara yang gentayangan. Jika gagal bisa mengurangi target “perolehan omzet” Rp. 17 trilyun dari jualan asset sitaan BPPN, yang hanya cukup untuk bayar biaya bunga obligasi pemerintah dengan nilai sama.
Salah satu contoh kasus BPPN adalah kehilangan jejak tentang apa dan siapa pemilik Pacific Resources Investment Ltd., padahal sudah berkali-kali diminta. Meskipun kita tidak atau belum bisa masuk sampai ke jantung struktur kepemilikannya tapi setidaknya dari data afiliasi dan pihak terkait antar pemegang saham bisa terus dilacak tentang “the men behind the corporation”.
Penelusuran BIRO (Business Intelligence Report) menemukan bahwa sedikitnya ada 6 perusahaan patungan di industri petrokimia milik Tirtamas grup. Menggandeng dua mitra tetap dari Jepang yakni Nissho Iwai dan Itochu dengan saham gabungan rata-rata dibawah 10%. Bersama dengan dua investor tersebut ada 7 investor asing lain beralamat sama di tiga lokasi berbeda. Pertama ada 2 investor berlokasi hukum di pulau Tortola (British Virgin Island) yakni Southern Pacific Petroleum dan Trans Pacific Petrochemical. Dua perusahaan ini menguasai saham 3 perusahaan petrokimia patungan tersebut yakni TP Petrochemical, TP Polyethylene dan Petro Oxo Nusantara. Sedangkan lima investor asing lainnya berdomisili di Singapura di dua alamat. Yakni Cementhai Chemical, Tuban HDPE, Tuban LDPE dan Tuban Petrochemical yang berkantor di Cecil Street. Satunya lagi adalah Trans Pacific Chemical berlokasi di Shenton Way (juga di Singapura) sebagai pemilik saham TP Polyethylindo dan TP Styrene Indonesia.
Adalah tugas dan tanggungjawab staf BPPN (yang sudah digaji mahal) untuk menuntaskan alur keterkaitan ini dan jangan hanya menunggu jawaban dari debitur. Karena debitur sendiri sedang sibuk dan bukan tidak mungkin kantornya di BVI sudah tutup atau likuidasi. Karena dengan membayar US$ 350, orang bisa mendirikan perusahaan baru tanpa modal. Sehingga di negara mini berpenduduk 20 ribu lebih ini ada 220 ribu perusahaan non resident. Jika tidak berhasil ditelusuri maka nasib pinjaman setengah trilyun rupiah oleh Tirtamas kepada Pacific Resources Investment Ltd (pemilik Trans Pacific Petrochemical), hanya BPPN yang bisa menjawab. Penelusuran seperti ini bukan hanya terfokus ke Tirtamas grup tapi berlaku umum karena mekanisme investasi ini sudah universal, klasik dan mengglobal bagian kapitalisme yang tidak bisa dibendung.
Lalu kecurigaan bahwa the founder Astra Int’l. berada di belakang Newbridge Capital (NC) dan Gilbert Global Equity Partner (GGEP) juga tidak tepat. Kebetulan saja pada saat om William membantah isyu tersebut, maka di Seoul justru Newbridge Capital resmi mengakuisisi 51% saham Korea First Bank seharga US$ 440 juta (sekitar Rp. 3 trilyun), setelah berunding setahun lebih. Bank ke 8 terbesar Korea Selatan yang sudah dinasionalisir ini masih rugi US$ 2,2 milyar akibat kreditnya terpusat di Daewoo yang sekarang bangkrut.
Selain itu NC yang bermarkas di AS sendiri hobinya memang jual beli perusahaan-bank sejauh menguntungkan. Oleh sebab itu tidak heran jika dia bisa saja melakukan hal serupa di Indonesia. Uang Rp. 3 trilyun bukan hal kecil bagi om William, apalagi kalau untuk dipertaruhkan di luar negeri. Meski mendapat banyak kendala teknis jelas sekali om William tetap bernafsu menguasai kembali Astra Internasional, perusahaan kebanggaannya yang sudah ganti logo dari bola dunia menjadi garis lancip bagai pesawat supersonik. Dengan demikian masuknya om William terbuka lewat dua alternatif yakni menitipkan dananya di NC dan GGEP atau masuk langsung sebagai pembeli resmi karena memang tidak perlu ditutupi, apalagi jika menguasai lebih dari 5%. Banyak afiliasi yang bisa dipakai om William dan keluarga untuk investasi. Mulai dari L & M Investment (yang menyulap Kemayoran jadi Cybercity), Compasvalle (mengakuisisi 19% saham AGIS Tbk) atau lainnya.
Dapat disimpulkan bahwa melacak investor asing memang perlu (bahkan menarik) apalagi jika terkait dengan penyalahgunaan uang yang bisa merugikan negara. Termasuk juga apa dan siapa sebenarnya di belakang investor asing pemborong asset BPPN dan para pemenang lelang lokal dari mesin ketik, mebel sampai mobil bekas. Bukan tugas yang mudah tapi prinsipnya bisa tinggal kemauan dan mekanisme kerja dan jangan terbiasa mengambil jalan pintas dengan menyewa Kroll. Inilah salah satu tugas BPPN agar jangan sampai “di-kadalin” oleh pengusaha atau malah sebaliknya “buaya mau di-kadalin”. Semoga tidak begitu adanya. (*).
Warta, Edisi Akhir Tahun 1999/2000

0 comment:

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP