Saturday 5 January 2008

Mengantisipasi Rebound Suku Bunga Perbankan

Oleh : Beni Sindhunata, Direktur Eksekutif INBRA
(Investment and Banking Research Agency)

Halaman muka Bisnis Indonesia minggu lalu (Senin, 14 Juli) memuat pernyataan Bank Indonesia bahwa sampai Mei 2003 ada Rp. 80 trilyun dari kredit seluruh perbankan yang tidak dipakai (undisbursed loan). Sementara dunia usaha menilai suk suku bunga tersebut belum layak dan masih terlalu tinggi. Seminggu sebelumnya INBRA (Investment and Banking Research Agency) menyiarkan hasil surveynya (8 Juli) bahwa ada Rp. 42,3 trilyun kredit yang tidak terpakai di 10 bank rekap per Desember 2002 naik 72,9% dari tahun 2001 atau dua kali lebih cepat dari pertumbuhan kredit 30,3%. Setara dengan penyaluran kredit baru sepanjang tahun 2002 atau sama dengan komitmen kredit ke UKM oleh 13 bank pada Deklarasi Yogyakarta (Maret 2003).
Pengungkapan fakta yang kurang menggembirakan bagi dunia usaha maupun perbankan ini segera mendapat pelbagai reaksi baik dari kalangan moneter sendiri, perbankan, dan dunia usaha sector riil sebagai konsumen dari kredit tersebut. Sampai akhirnya menarik Bank Indonesia untuk melonggarkan (relaksasi) peraturan yang dianggap sangat ketat dalam menilai kinerja perbankan.
Sebagai lembaga riset independen maka posisi INBRA adalah dalam kerangka menyampaikan peringatan dini (early warning) secara public agar para pihak terkait bisa memahami, menyadari dan menyikapinya demi mencapai keuntungan bersama. Secara implicit besarnya undisbursed loan ini mencerminkan bahwa daya serap dunia usaha terhadap kapasitas produksi kredit milik bank belum maksimal. Oleh sebab itu dalam konteks ini INBRA tidak dalam posisi untuk membahas lebih jauh tentang pelbagai sikap atas fakta ini, namun kita ingin menganalisisnya dari persektif ke depan untuk diantisipasi secara lebih baik.

Siapa Menunggu Siapa ?
Kredit belum terpakai yang mencapai Rp. 42,3 trilyun jelas sangat ironis dengan kondisi dunia usaha yang pada bagian lain sangat membutuhkannya, sehingga terjadi dis-efisiensi di kedua pihak. Bagi bank ini jelas merugikan karena dana tersebut sudah dibeli dari masyarakat meskipun dengan biaya yang sudah lebih murah. Namun akan lebih efektif jika berhasil dijual ke debitur (dunia usaha) dan tidak hanya di parkir di instrument SBI yang bunganya sudah satu digit (habis ditelan inflasi nominal).
Artinya di satu sisi bank masih sangat selektif menurunkan suku bunga sambil tunggu perkembangan lanjutan. Termasuk juga menunggu dan mengintip bank besar mana yang lebih dahulu berani menurunkan suku bunga kredit ke pelbagai sector industri lain, bukan hanya kredit konsumsi saja (seperti KPR, KPM atau KPA). Artinya jika berani pasang 7,5% p.a kepada konsumen untuk cicilan beli Jaguar, BMW atau Mercedes Benz, jelas bukan sebuah track record yang luar biasa.
Sementara di sisi lain calon debitur juga tidak kalah pintarnya yakni lebih baik menunggu sampai suku bunga turun lagi pada level yang menjanjikan. Padahal dibandingkan posisi 2002 posisinya sudah relative bagus dna murah untuk sector tertentu sebagian di kredit konsumsi. Sehingga dunia usaha belum berani masuk mengambil kredit meski proposal bisnisnya sudah disetujui oleh bank setelah melalui proses penelitian yang wajar. Kedua, dunia usaha masih melihat bahwa iklim bisnis di sector riil belum terlalu kondusif meski mereka menyadari bahwa indicator ekonomi makro sudah membaik dan lulus. Dengan demikian kedua pihak saling menunggu dan masih berlaku prinsip bank follow the trade, bukan sebaliknya yang menjadi pionir. Tercatat bahwa minat untuk perluasan usaha juga cukup besar dimana sampai Juni 2003 ada 35 proyek perluasan milik PMDN dengan rencana investasi Rp. 1,6 trilyun disamping 71 proyek baru Rp. 3,9 trilyun. Ini hanya PMDN dan diluar PMA yang tentu saja aspek pembiayaannya relative berbeda dengan PMDN.
Perlu dimaklumi juga bahwa nominal sukubunga SBI sudah turun 3,5% (dari 12,8% awal 2003 jadi 9,2% bulan Juli) dan suku bunga deposito yang bakal menembus satu digit, tidak serta-merta menurunkan suku bunga kredit ke nasabah. Karena tidak ada yang menjamin bahwa suku bunga kredit rendah akan langsung diserap dunia usaha. Karena dunia usaha juga butuh waktu untuk merealisasi proyeknya apalagi jika situasi ekonomi makro dan politik tidak menentu.
Dalam kondisi ini ada baiknya Bank Indonesia menyikapinya secara moderat agar tidak terjebak dalam posisi yang sama-sama sulit. Indikator ekonomi moneter jelas menunjukkan bahwa bank sentral berhasil menjalankan perannya, meskipun banyak yang bilang itu tidak lepas dari pengaruh moneter global. Jika itu betul anggap saja karunia bagi CEO dan top eksekutif bank sentral lainnya. Oleh sebab itu jangan mencoba masuk terlalu dalam karena bagaimanapun kita harus membiasakan agar mekanisme pasar bisa berjalan murni. Dengan demikian bank sentral juga tidak perlu segera melakukan relaksasi peraturan karena nantinya bisa menjadi boomerang. Dan jika aturan serta rasio selalu direvisi guna mengikuti pasar, maka akhirnya jadi tradisi bank sentral untuk selalu toleran dengan aturan yang sudah dibuat.
Meski demikian memang bisa dipertimbangkan untuk relaksasi pada aspek makro misalnya pada pembobotan resiko sektoral dimana perlu pemilahan yang lebih rinci dan khusus. Artinya tidak fair menyamaratakan resiko semua debitur dari industri yang sama, karena masing-masing debitur atau perusahaan memiliki kinerja berbeda yang belum disentuh lebih dalam oleh perbankan. Jangan menganut pendekatan hitam satu hitam semua atau sebaliknya cerah satu cerah semua.

Antisipasi Rebound
Dari pemantauan sebulan terakhir sebenarnya ada banyak pengusaha yang malah cepat masuk dan mengambil kesempatan yang menurut perhitungannya sudah cukup aman dan feasible, setidaknya jika dibandingkan tahun 2002. Memang dengan perhitungan matang dan prospek bisnisnya juga baik serta lulus penelitian oleh bank. Dengan demikian jajaran perusahaan seperti ini yang berani menjadi pionir karena mungkin mereka sudah pernah masuk dan ambil kredit pada suku bunga antara 19% sampai 22%. Ini bisa dijadikan ilustrasi bahwa bukan hanya di perbankan saja dibutuhkan market mover sebagai the price leader tapi disisi pengusaha juga perlu memiliki sikap atau semangat the price leader setidaknya untuk posisi diri sendiri.
Keberanian untuk masuk saat ini adalah penting dan sekarang kesempatan yang terbaik. Mengapa demikian ?. Karena sebagaimana lazimnya dunia usaha maka turun naiknya suku bunga kredit maupun simpapan tidak bisa dikontrol oleh otoritas moneter. Semuanya berjalan karena mekanisme pasar yang memang akhirnya membawa otoritas moneter untuk menyikapinya. Sama halnya dengan indeks dan harga saham di bursa maka turun naiknya juga sangat rentan, fluktuatif dan sensitive terhadap pengaruh eksternal. Ibarat kata saat ini suku bunga kredit sedang memasuki musim semi (murah) dan diharapkan lebih turun lagi karena belum mencapai puncaknya. Namun musim semi juga pasti akan segera berganti sehingga mengarah pada rebound atau siklusnya meningkat lagi. Itu hanya masalah waktu dengan bandul kondisi eksternal, khususnya politik dan keamanan setidaknya sampai pemilu Juli 2004. Justru yang sangat tidak diharapkan dan unpredictable adalah perilaku politisi kita sampai Juli 2004 yang bisa memanaskan pasar uang dan perbankan.
Dengan demikian jika pada Q4 2003 sampai Q1 2004, situasi politik dan keamanan tidak lagi kondusif maka jangan banyak berharap bahwa suku bunga akan terus murah (relative) seperti saat ini. Karena pelbagai komponennya juga sudah terpengaruh misalnya SBI akan kembali naik sehingga akan mendorong suku bunga kredit ikut naik. Pada posisi demikian maka jangan harap bisa minta bank untuk jual kredit dengan murah, walaupun selama Q2 dan Q3 2003 membeli dana masyarakat dengan harga murah. Dengan demikian bisa muncul sikap negative bahwa ketika SBI turun dan bunga simpanan murah bank belum bisa turunkan bunga kredit. Tapi ketika bunga simpanan dan SBI naik maka bank langsung menaikkan bunga kredit. Sebuah kondisi dilematis karena bank sendiri adalah salah satu eko-sistim dalam pentas besar ekonomi dan moneter nasional.
Sebagai antisipasi maka sekarang saat yang tepat untuk masuk dan memanfaatkan kredit perbankan dengan catatan jangan menjadi atau seperti para debitur yang sudah dapat credit line tapi batal memanfaatkannya. Jangan menunggu sampai bunga kredit mencapai bottom line apalagi jika membandingkannya dengan posisi di kawasan Asean. Karena begitu bunga kredit merambat naik lagi (rebound) maka pertanda musim semi akan berganti sehingga kesempatan juga berbeda.
Namun perbankan juga harus mengakui bahwa selektifitas, prudential dan bahkan ekstra hati-hati dalam membaca potensi bisnis sanga debitur jangan sampai terlalu kaku. Apalagi jika sudah menyangkut jaminan. Tidak akan ada pengusaha yang bisa berkembang jika untuk mendapatkan kredit harus sediakan jaminan 100% sampai 150% dari pinjaman atau bahkan sediakan LC dan BG yang setara. Jika decision kredit mau gampang dan aman memang itulah cara terbaik. Tapi jika ingin menjual kredit dengan aman dan menguntungkan maka perbankan perlu memiliki skema credit risk sektoral yang direview berkala sehingga dan juga analisis pelaku utama sebagai benchmark untuk membaca peta secara menyeluruh dan terpadu.
Perlakuan beda antara perusahaan skala besar dan menengah dengan perusahaan kecil (KUK) memang tidak bisa dihindari meskipun sebenarnya perbankan mengakui bahwa track record para nasabah UKM lebih baik dari nasabah non UKM. Dengan catatan harus diperdalam lagi apa dan siapa jenis UKM tersebut. Inilah yang bisa menjawab bagaimana perbankan merealisir komitmen 13 bank nasional pada Deklarasi Yogyakarta (Maret 2003).
Bisnis Indonesia, 24 Juli 2003


0 comment:

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP