Saturday 5 January 2008

Ini Dia Orang Kaya Daerah

Oleh Beni Sindhunata
Dari laporan Warta Ekonomi tentang 50 kota terkaya pada edisi lalu mengin dikasikan secara jelas bahwa kota-kota besar di daerah akan menjadi roda penggerak ekonomi local dan selanjutnya akan berskala nasional. Disinilah akan berlangsung lagi fenomena klasik yakni apa dan siapa menjadi pionir atau sebaliknya follower, disamping pemerintah sebagai penyedia infrastruktur. Dengan kondisi demikian maka “potensi” yang diciptakan oleh pemerintah melalui APBD bisa menjadi pelopor sekaligus pemanis untuk menarik arus masuk dunia usaha riil dan menggerakan mesin ekonomi sesuai mekanisme bisnis. Pembedahan dari kaca mata makro tersebut sangat bermanfaat dan strategis sebagai pedoman mendalami aspek mikro yang lebih rinci lainnya agar lebih membumi dan mudah dimaknai oleh sesama dunia usaha.
Dalam konteks ini kita mencoba mendalami salah satu sisi mikro yakni bagaimana potensi daerah kaya ini bagi perbankan. Sehingga dana atau kekayaan yang dimiliki oleh orang kaya daerah (disingkat OKD) bisa didayagunakan semaksimal mungkin sebagai debitur maupun kreditur. Dan bagaimana bank pembangunan daerah (BPD) yang menjadi ekosistim inti dari perbankan daerah mengantisipasi perkembangan dan mendayagunakannya.
Neraca dana dan kredit perbankan masih menunjukkan komposisi klasik yang tidak banyak berubah. Dimana potensi pasar dana selalu lebih besar dibandingkan kredit yang diserap oleh wilayah tersebut, sehingga neraca dana dibanding kredit selalu surplus. Beberapa contoh seperti di Medan (Sumatera Utara) per akhir 2002 terdapat pasar dana (market size) sebesar Rp. 34 trilyun yang tentu saja dikelola oleh 216 kantor cabang bank umum, termasuk 15 cabang BPD dan 5 cabang bank asing dan campuran. Namun kredit yang diserap oleh wilayah ini hanya Rp. 15 trilyun atau 44% dari potensi dana. Ini juga terjadi di Kalimantan Timur dimana surplus dana mencapai Rp. 10 trilyun, Sulawesi Selatan sekitar Rp. 4,5 trilyun, Bali sebesar Rp. 6 trilyun, Riau surplus Rp. 8 trilyun dan Sumatera Selatan Rp. 6,5 trilyun. Demikian juga di wilayah Jawa.
Komposisi singkat ini (bisa menimbulkan aneka tafsir) mencerminkan bahwa daerah memiliki kekayaan dan sangat potensial terbukti dari market size yang ada dan tentu saja lahirnya para OKD (jangan disamaartikan dengan OKB, orang kaya baru atau parvenue). Jajaran OKD inilah yang menjadi daya tarik perbankan termasuk jasa keuangan dan dunia usaha sebagai pasar potensial. Bagi dunia usaha potensi ini harus dimanfaatkan tanpa perduli apakah OKDnya dari pengusaha atau birokrat generasi baru (gen y) yang merasa bulan madu reformasi belum berakhir. Dinamika dan peta kekuatan OKD kelompok ini terutama tergantung pada denyut atau kembang kempisnya kantong kantong APBD beserta produk turunannya.
Munculnya daerah kaya bersamaan dengan lahirnya OKD tentu tidak lepas dari perkembangan industri dan dunia usaha setempat yang secara garis besarnya terbagi dalam dalam dua kelompok. Yakni daerah yang pasar industrinya lebih didominasi output berorientasi ekspor (export oriented) dan disisi lain daerah yang lebih kuat berorientasi local (local oriented). Kondisi ini bisa digeneralisir di wilayah non Jawa dimana kegiatan ekonomi masih bertumpu pada industri pertambangan, perkebunan dan pertanian. Sementara industri sekunder dan jasa masih terfokus di Jawa.
Bagi yang berorientasi ekspor maka hampir semuanya merindukan masa keemasan di era krisis lima tahun lalu (1998) dimana nilai rupiah melemah sehingga satu dollar dihargai Rp. 15 sampai Rp. 20 ribu. Artinya produk agribisnis dari minyak sawit sampai ke rempah-rempah (spices) memberikan nilai tambah luar biasa. Mereka malah merasakan arti kerja dan menikmati hidup dan merasa kaya. Daerah produsen aneka spices dari ujung Medan (sawit), Bangka-Belitung (lada) sampai ke ujung Sangir Talaud (cengkeh, kayu manis, pala dsbnya) malah merasakan “dengan presiden baru hidup lebih nikmat”. Sehingga tidak heran jika pada wilayah dengan export oriented besar, dana masyarakat masuk bank naik pesat. Di Medan simpanan masyarakat naik dari Rp. 10 trilyun (1997) menjadi Rp. 21 trilyun (1998) atau di Makasar naik dari Rp. 3,7 trilyun jadi Rp. 7,2 trilyun. Demikian pula di wilayah lainnya yang naik rata-rata berkisar 80%. Disisi lain rata-rata saldo per tabungan (dari 69 juta rekening per Desember 2002) juga naik. Bayangkan sebelum krisis tahun 1997 rata-rata saldo per tabungan sebesar Rp. 1,4 juta menjadi Rp. 2,7 juta (2002). Atau rata-rata setengah dari pendapatan per kapita sepanjang periode tersebut.
Jajaran OKD yang lahir pasca krisis ini tentu merupakan sebagian dari pemilik dana di daerah yang ramai diperebutkan oleh perbankan, sehingga bank asing campuran malah terus memantau untuk buka cabang. Meski demikian “perburuan” pengusaha atau nasabah kaya dan potensial di daerah ini tidak selamanya harus ditangani cara membuka kantor cabang. Karena tim pemburu yakni para relationship manager dari perbankan bisa jemput bola apalagi para OKD sendiri sudah rutin pulang pergi dari Jakarta ke daerah. Justru strategi berburu para “the high net worth individual” (HNWI) asal daerah inilah yang sangat menarik dan hanya beredar di lingkaran tertentu.
Dari riset INBRA (Investment and Banking Research Agency) tahun 2002 menunjukkan bahwa bank nasional berbasis di Jakarta berhasil menggaet deposito yang cukup besar di beberapa wilayah. Di Sumatera Utara misalnya tercatat Citibank bisa menarik deposito Rp. 900 milyar dan HSBC sebesar Rp. 200 milyar lebih, dimana lima besarnya tentu saja masih selalu dikuasai oleh Bank Mandiri, BNI, BCA, Bank Danamon, atau BII di seluruh daerah. Sementara di Kalimantan Timur tercatat Bank Bali (pra merger) menggaet deposito Rp. 250 milyar termasuk juga Bank Buana, Bukpoin. Di Jawa Timur, Citibank mendapat Rp. 1,5 trilyun, Deutsche Bank dapat Rp. 1, 2 triulyun dan HSBC sebesar Rp. 500 milyar lebih.
Paparan data singkat ini untuk menunjukkan bahwa dari market size yang ada ternyata sebagian besar disedot oleh bank skala nasional termasuk asing dan patungan. Sementara BPD sendiri belum maksimal menjaring dan mengelola potensi dana tersebut. Tapi perlu juga dicermati bahwa OKD birokrat tentu merasa lebih aman dan bersih jika membuka deposito milyaran rupiah di bank asing maupun bank nasional di Jakarta, dibandingkan buka deposito di BPD atau bank local setempat. Karena terdapat rasa sungkan sebab sudah dikenal di wilayah setempat apalagi bagi birokrat yang kaya mendadak terimbas KKN. Sehingga mereka menjadi santapan lezat para bankir luar. Ini salah satu factor yang bisa mengurangi kemampuan menggalang dana masyarakat.
Oleh sebab itu jajaran OKD ini bisa menjadi nasabah potensial BPD termasuk juga sebagai konsumen untuk dunia usaha lain khusus yang akan mengknsumsi pelbagai produk dan jasa. Mulai dari jasa telekomunikasi, ponsel, riteler, makanan dan minuman sampai ke produk dan jasa horeca (hotel, restoran dan café) dalam kemasan lebih modern. Masa depan bisnis horeca tentu tidak hanya dilihat dari kacamata dampak SAR, tragedy 911, berita kerugian dan PHK di pelbagai maskapai penerbangan dan turunnya occupancy rate hotel-hotel pasar tradisional selama ini. Tapi perlu juga dilihat pasar di pelbagai daerah lainnya.
Padahal potensi atau perilaku konsumen untuk pasar “horeca” di wilayah non Jawa seperti di Sulawesi, Maluku, atau Irian malah sudah menjadi kegiatan sehari-hari atau sebagai lifestyle dengan pendekatan entertainment. Sehingga produk dan jasa seperti ini menjadi lahan bisnis yang akan berkembang pesat dan tidak lepas dari gaya hidup OKD birokrat yang bergantung pada dinamika APBD dengan menjadi konsumen utama bisnis horeca. Demikian pula bisnis ritel yang kian gencar membuka outlet di non Jawa sehingga nantinya kontribusi omzet dari wilayah non Jawa akan membesar.
Dari analisis ini ingin digaris bawahi berkembangnya dan tumbuhnya daerah kaya mulai dari kota-kota minyak dan tambang sampai ke kota agribisnis jelas melahirkan jajaran OKD. Potensi ini pasti akan diperebutkan oleh perbankan dan dunia usaha terkait, sehingga menjadi tantangan serius bagi pengusaha local dan BPD untuk menikmatinya dan bukan hanya oleh bank nasional, bank asing atau bank campuran.
Ini tentu tidak bermaksud meremehkan manajemen BPD karena bagaimanapun harus diakui bahwa sebagian dari manajemen BPD sekarang sudah memiliki wawasan berbeda disamping kapabilitas yang bukan sekedar kelas dua. Keberanian untuk menerbitkan obligasi secara implicit menunjukkan bahwa mereka berani dan mampu mengelola dan bertanggungjawa atas kinerja bank, sekaligus mengurangi ketergantungannya pada dana pemda sebagai pemegang saham. Dengan varian gaji rata-rata direksi antara Rp. 250 sampai Rp. 500 juta per tahun (riset “Indonesian Bankers Lifestyle”, INBRA 2002), maka sangat diharapkan kinerja BPD semakin baik dan kontribusinya meningkat.
Kebijakan BPD yang masuk dan mengembangkan e-banking dan e-payment dalam bentuk paling dasar (ATM, online banking, kartu debet atau kartu kredit) merupakan langkah positif guna peningkatan kinerja. Produk yang masuk dalam kelompok consumer banking ini jelas merupakan produk dan jasa alternative yang prospektif dan harus dikembangkan. Ini semua tentu saja perlu kerjasama dengan pelbagai pihak (sekaligus berbagi biaya) terkait mulai dari infrastruktur sampai ke penyiapan sumber daya manusia. (*).

0 comment:

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP