Saturday 5 January 2008

Amakudari ala Indonesia


Oleh : Beni Sindhunata, Direktur Eksekutif INBRA

Secara umum “amakudari” dapat dikatakan sebagai praktek atau kondisi dimana para mantan pejabat tinggi departemen teknis selalu mendapatkan jabatan sebagai anggota komisaris atau direksi di perusahaan negara yang sebelumnya secara teknis berada dibawah pengawasannya. Istilah ini popular di Jepang yang biasa juga disebut “the old boy network” dituding sebagai salah satu pihak yang ikut memicu skandal keuangan pada decade 80-an yang melibatkan mantan birokrat, pengusaha dan jaringan mafia di negeri sakura ini. Yang lebih parah lagi adalah berlangsungnya scenario atau praktek dimana birokrat yang bakal memasuki usia pensiun membuat aturan yang memberikan (menciptakan) peluang bisnis di sector riil yang dibawah pengawasan departemen terkait.
Apakah praktek seperti ini terjadi di Indonesia ?. Tidak mudah untuk menemukan bukti atau fakta tentang praktek ala amakudari Jepang di Indonesia. Namun sejauh ini yang bisa kita angkat hanyalah sebatas sinyalemen yang memberi peluang atau memperkuat dugaan tersebut. Studi INBRA tahun 2000 menemukan sebuah kondisi yang relevan untuk mendalami lebih jauh bagaimana relevansi birokrasi dan mantan birokrat departemen dalam posisi mereka sebagai komisaris dan direksi di jajaran BUMN yang dulu menjadi binaannya. Dari 129 BUMN yang disurvey ada 1.011 orang terdiri dari 466 orang anggota dewan komisaris (mencakup 129 presiden komisaris dan 337 komisaris) dan 545 orang anggota dewan direksi (terdiri 138 presiden direktur dan 407 direksi). Para pejabat ini terdiri dari petinggi atau mantan petinggi eselon satu dan dua dari departemen teknis dan tentu saja penyebarannya sesuai dengan jumlah BUMN yang dimiliki di sector terkait.
Lima departemen yang memiliki anggota direksi dan komisaris BUMN terbanyak adalah Departemen Perhubungan (total 175 orang anggota direksi dan komisaris), Departemen Keuangan punya 173 orang, Departemen Perindustrian dan Perdagangan sebanyak 172 orang, Departemen Kehutanan dan Perkebunan (160 orang), dan terakhir adalah Departemen Pekerjaan Umum (123 orang). Ini posisi tahun 2000 yang tidak mengalami perobahan drastic selama 3 tahun berikutnya. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kinerja para birokrat dan mantan birokrat ini dalam menjalankan tugas pengawasannya (sebagai anggota dewan komisaris) terhadap BUMN di sector binaan yang pernah dibawahinya. Eksistensi para mantan birokrat yang dalam istilah amakudari atau “jajaran orang bijak dari surga” ini tidak selalu harus dilihat dari aspek negative apalagi dalam konteks transparansi dan peningkatan kinerja bisnis BUMN sendiri.
Dalam UU No. 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang berlaku 19 Juni 2003 ditetapkan bahwa yang bertugas mengawasi dan memberikan nasihat kepada direksi adalah komisaris (untuk persero) dan dewan pengawas (untuk perum). Selanjutnya untukperserpo berlaku UU No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Oleh sebab itu peranan dan kontribusi para komisaris di BUMN khususnya persero sangatlah strategis dan selayaknya memainkan peranan yang kuat karena mewakili pemegang saham, yakni pemerintah. Karena ini memerlukan keahlian, waktu, pemikiran, dan tingkat kehadiran mingguan maka wajar saja jika dilarang adanya jabatan rangkap atau interlocking director (pasal 62). Secara menyeluruh tatanan pelaksanaan BUMN sudah sangat jelas, konkrit dan membumi sehingga tinggal pelaksanaan di lapangan baik oleh direksi maupun komisaris.
Terkait dengan inilah maka jabatan presiden komisaris di Pertamina, BUMN terbesar dari total pendapatan (Rp. 202 trilyun), terbesar kedua dalam laba bersih (Rp. 5,9 trilyun), dan terbesar ketiga dalam asset (Rp. 92 trilyun), sangat menarik perhatian. Besarnya skala bisnis yang dimiliki memang memberikan peluang dan potensi besar untuk disalahgunakan oleh berbagai pihak. Karena itu dalam konteks pengamanan kepentingan pemegang saham maka bisa dipahami jika Meneg BUMN mengambil posisi tersebut, apalagi UU BUMN memang tidak melarang praktek ini. Tapi celakanya pada kondisi sekarang, langsung saja menimbulkan prasangka dan pelbagai komentar apalagi jika dikaitkan dengan pesta politik akbar tahun 2004 (kampanye dan Pemilu).
Bicara soal BUMN maka satu hal yang selalu terkait adalah soal swastanisasi atau privatisasi. Yang menurut UU BUMN maksud dan tujuan privatisasi adalah memperluas kepemilikan masyarakat atas persero, meningkatkan efisiensi dan produktivitas, menciptakan struktur industri yang sehat dan berdaya saing, berorientasi global, menumbuhkan iklim usaha, ekonomi makro dan kapasitas pasar. Namun dari fakta proses privatisasi selama ini menunjukkan persepsi dan kebijakan berbeda. Bayangkan saja setiap tahun program privatisasi harus menyetor pendapatan ke APBN, yang sejak 1998/99 sampai 2002 mencapai Rp. 16 trilyun. Ditambah setoran bagian laba BUMN kepada pemerintah selaku pemegang saham mencapai Rp. 31 trilyun lebih, maka pemasukan dari dua pos ini sudah hampir mencapai Rp. 50 trilyun sejak krisis sampai tahun 2002 lalu.
Sejujurnya perlu dipahami bahwa keputusan untuk menempatkan wakil pemegang saham (karena Meneg BUMN adalah pemegang saham wakil pemerintah) di berbagai BUMN yang berhubungan dengan masing-masing departemen teknis adalah hal wajar. Justru salah besar dan juga tidak mungkin pemegang saham menyerahkan semua kebijakan perusahaan negara kepada dewan direksi dan atau dewan komisaris yang tidak mencerminkan atau mewakili hak serta kepentingan shareholder (apalagi ini pemilik 100% saham). Dengan demikian adalah hal wajar jika 466 anggota dewan komisaris BUMN tahun 2000 adalah mayoritas pejabat dan mantan pejabat dari departemen keuangan dan atau departemen teknis. Yang justru perlu diamati adalah bagaimana kinerjanya dalam mengawasi gerak langkah dewan direksi agar tidak menyimpang yang berakibat buruk pada kinerja BUMN. Dan ini sudah menyangkut masalah moral dan etika kerja yang menjadi bagian penting dari pelaksanaan good corporate governance.
Dengan mengacu pada visi ke depan yang menempatkan BUMN sebagi perusahaan berdaya saing kelas global (pasal 74, UU BUMN) maka disinilah seharusnya peran serta aktif dari dewan komisaris dan dewan direksi BUMN. Karena sejatinya para direksi yang mengelola BUMN saat ini bukanlah profesional kelas dua, justru mereka termasuk professional kelas satu yang memiliki kemampuan handal. Tapi lingkungan, budaya perusahaan dan misi dan kebijakan pemegang saham (pemerintah) menjadi pertimbangan lain yang cukup signifikan dan lebih tragis lagi jika itu berdampak negative bagi BUMN. Keluar masuknya professional dari swasta ke BUMN atau sebaliknya dari BUMN ke swasta termasuk multi nasional menunjukkan bahwa eksistensi mereka cukup dihargai. Dan tentu saja lebih fair jika penilaian itu baru bisa diberikan 2 atau 3 tahun setelah mereka masuk.
Eksistensi BUMN sebagai motor dan mesin penggerak roda ekonomi masih sangat penting pasar BUMN dilintas sector industri pada 72 produk memperlihatkan bahwa ada 41 BUMN yang menguasai pangsa pasar antara 75% sampai 100% pada 31 produk dan 89 BUMN menguasai pangsa pasar antara 19% sampai 25% yang tersebar pada 28 produk atau komoditi. Jumlah keterlibatan BUMN ini dihitung dan mencakup lebih dari satu BUMN di produk atau sector terkait. Artinya ada BUMN yang bersaing sesama BUMN pada produk yang sejenis (misalnya aneka jenis pupuk), sehingga diperhitungkan sebagai gabungan BUMN. Dari tabulasi dan komposisi pangsa pasar tersebut menunjukkan bahwa BUMN lebih dominant di industri hulu, padat modal dan atau industri yang berbasis sumber daya alam, sebaliknya swasta lebih banyak bermain di sector industri hilir dan produk turunannya yang lebih kuat pada proses manufacturing.
Semua ini jadi tantangan berat apalagi 148 BUMN sekarang punya hutang Rp. 718 trilyun dengan modal dasar Rp. 303 trilyun. Oleh sebab itu demi meningkatkan total kinerja maka restrukturisasi menyeluruh BUMN harus mencakup perbaikan pabrik, mesin, teknologi dan sumber daya manusia yang bermutu. Selain itu perlu sinkronisasi dan sikap terpadu dari departemen teknis maupun kantor Meneg BUMN selaku shareholder. Juga salah besar jika kita selalu memandang sinis atas posisi BUMN selama ini, yang justru menjadi kontributor pembangunan via APBN, karena siapapun dan bagaimanapun manajemen BUMN pasti akan mendapat kritik walaupun kerjanya kadang kala benar. Terlalu banyak kepentingan yang menjamah BUMN apalagi jika melihat rutinitas dewan direksi dan komisaris BUMN ke DPR untuk menyampaikan laporan.
Sebagai penutup ingin digarisbawahi bahwa guna memberikan peluang dan tanggungjawab lebih luas kepada public sekaligus memberikan warna lain bagi pengembangan BUMN dimasa depan, maka ada baiknya jumlah anggota dewan komisaris lebih bervariasi. Yakni cukup tiga saja anggota dewan komisaris dan dipilih seimbang mewakili pemegang saham (pemerintah), wakil dari departemen teknis, dan professional dari luar yang berpengalaman baik di swasta maupun di BUMN. Untuk wakil dari luar inilah sebaiknya diberikan jatah presiden komisaris. Komposisi ini tentu akan menimbulkan sikap pro dan kontra karena akan mengurangi jatah jabatan yang selama ini paling sedikit 5 orang. Dan untuk lebih maksimal memang sebaiknya anggota dewan komisaris ditinjau ulang setiap tahun sebagaimana dijalankan dalam RUPS selama ini termasuk juga kontrak dengan para auditornya. Jangan lagi memandang BUMN dengan paradigma lama sebagai ladang subur untuk “dikerjain” tapi justru jadikan BUMN sarana subur untuk menciptakan multinasional kelas regional. Itu saja sudah luar biasa !.
Dimuat Di Warta Ekonomi, 16 Novembre 2003

0 comment:

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP