Saturday 28 February 2009

Konsorsium SPV Bank Persero, Sebuah Solusi Mengatasi NPL 34 Triliun

Rencana dari Bank Mandiri mendirikan SPV (special purpose vehicle) sebagai kendaraan khusus untuk menyelesaikan kredit bermasalahnya menarik untuk dikaji lebih mendalam. Apalagi rencana ini kabarnya sudah mendapat persetujuan dari Bank Indonesia namun keputusan final ada di Departemen keuangan selaku wakil pemegang saham. Disamping itu pembentukan SPV masih terkendala pada aspek legalnya. Dengan nilai kredit bermasalah NPL (non performing loans) yang mencakup kolektibilitas kredit 3,4,5 sebesar Rp 24 triliun per September 2005 maka memerlukan suatu usaha yang luar biasa untuk menyehatkannya. Dimana Bank Mandiri menargetkan NPL dibawah 5% pada tahun 2007
Kredit bermasalah merupakan maslah besar bagi bank-bank pemerintah dimana sampai per November 2005 telah menyerahkan 109.000 berkas piutang tak tertagih senilai Rp 20,6 triliun kepada Ditjen Piutang dan Lelang Negara (DJPLN) dengan recovery rate sekitar 15%. Dengan demikian adalah logis jika Bank Indonesia menganjurkannya untuk mengikuti aturan di DJPLN. Sementara itu serangkaian fakta menunjukkan bahwa konsentrasi manajemen dalam mengatasi kredit bermasalah ini baik langsung maupun langsung telah mempengaruhi kemampuan bank pemerintah untuk menyalurkan kredit baru.

Migrasi debitur
Dari perkembangan selama satu tahun sejak September 2004 sampai 2005 menunjukkan kecenderungan tersebut. Selama periode tersebut kredit perbankan nasional tumbuh rata-rata 31% dan bank negara justru tumbuh lebih rendah dari angka nasional dan sebaliknya bank swasta hasil rekap malah tumbuh pesat. Dari tiga bank negara tersebut adalah Bank Mandiri tumbuh 20,2%, BNI tumbuh 19,3% dan BRI tumbuh 25,6%. Sementara bank swasta lain seperti BCA tumbuh 41% sama dengan Danamon, Panin tumbuh 45% bahkan BII tumbuh 78%. Kondisi ini menunjukkan bahwa penyaluran kredit oleh bank pemerintah relatif menurun dibandingkan bank swasta.
Secara nominal memang pertumbuhan kredit bersih di bank pemerintah lebih besar dimana Bank Mandiri berhasil menyalurkan atau menjual kredit ke dunia usaha sebesar Rp 15,9 triliun, BRI sebesar Rp 13,5 triliun dan BNI sebesar Rp 9,4 triliun. Sedangkan bank swasta hasil rekapitalisasi diantaranya BCA bertambah Rp 15 triliun, Danamon sebesar Rp 10,8 triliun atau BII sebesar Rp 8,8 triliun.
Melambatnya pertumbuhan kredit ini (kredit bersih setelah dikurangi dengan penyisihan) selain karena berkurangnya penyaluran kredit baru juga tidak menutup kemungkinan akibat adanya perpindahan debitur ke bank lain (migrasi debitur). Trend migrasi debitur ini tentu saja akan berdampak negatif bagi bank-bank negara yang justru menjadi kreditur pionir dalam pengembangan usaha debitur. Lebih menyedihkan lagi jika debitur tersebut merupakan debitur baik (K1) yang memutuskan mencari kreditur baru karena takut terkena dampak dari pemeriksaan kredit bermasalah yang gencar dilaksanakan. Sehingga ada yang bersedia pindah meskipun harus membayar bunga yang mungkin lebih mahal. Proses migrasi debitur ini harus segera diatasi secara bersama agar tidak berkepanjangan yang akhirnya akan merugikan bank pemerintah sendiri.

Pola Konsorsium
Sehubungan dengan besarnya kredit bermasalah bank pemerintah yang telah berdampak negatif bagi bank maka penyelesaian kredit bermasalah oleh tim ristrukturisasi sangatlah penting serta harus berhasil memperbaiki kolektibilitas kredit. Mengingat bahwa dikalangan bank pemerintah sebenarnya ada yang memiliki debitur yang sama dengan porsi kredit yang beragam misalnya antara Bank Mandiri dengan BNI yang tentu saja diantara kedua bank ini kolektibilitas kreditnya belum tentu seragam.
Terkait dengan kondisi ini ada salah satu solusi yang bisa dijalankan untuk menyelesaikan kredit bermasalah yakni melalui kerja sama atau konsorsium yang dibentuk oleh bank persero terkait. Pelaksanaannya bisa dilakukan dengan cara mendirikan unit usaha baru atau bisa juga membentuk satuan tugas tersendiri atau task force yang juga merupakan tim gabungan. Pembentukan satuan tugas ini tentu harus didukung oleh jajaran direksi dan manajemen dari bank terkait agar tercapai suatu mekanisme kerja yang terpadu, transparan, kesamaan visi dan independen.
Pendekatan konsorsium ini sejatinya bukan fenomena baru, dimana dengan pola ini bank sebagai kreditur sudah terbiasa menyalurkan kredit sindikasi kepada debitur yang sama. Dengan demikian bukan hal yang sulit atau mustahil bagi bank untuk mengatasi kredit bermasalahnya secara bersama-sama atau melalui konsorsium. Namun hal ini relatif susah direalisir pada debitur-debitur dimana bank terkait menjadi kreditur tunggalnya. Karena ini menyangkut rahasia dapur dari debitur yang tidak semua bank bersedia membukanya terkait dengan situasi persaingan antar bank sendiri.
Sebagai contoh gabungan kredit bermasalah milik tiga bank persero mencapai Rp. 37,8 triliun ini (Bank Mandiri, BNI, dan BRI) naik pesat dari Rp 12,7 triliun per September 2004. Sedangkan rincian penyebaran tidak termasuk BRI mencapai Rp 34,1 triliun milik Bank Mandiri dan BNI sebagaimana terlihat pada tabel berikut. Tabel ini menunjukkan bahwa dari penelusuran sektoral kredit dari 2 bank tersebut menunjukkan bahwa kredit bermasalah terbesar terdapat di bidang industri atau manufakturing sebesar Rp. 20,5 triliun atau 60,1%. Kemudian disusul oleh sektor lain-lain sebesar Rp. 4 triliun atau 11,9%.
Penyebaran kredit bermasalah per sektoral , September 2005
Catatan : mencakup Bank Mandiri dan BNI, Angka dalam Rp miliar
Sumber : laporan keuangan diolah INBRA Februari 2006
Berdasarkan database dan pengalaman survey INBRA terhadap sejumlah debitur-debitur nasional yang ada saat ini maka diketahui bahwa sebagian besar perusahaan (debitur) di Indonesia memiliki lebih dari satu kreditur atau bank. Terkait dengan PBI no.8 Januari 2006 yang merevisi bobot resiko kualitas aktifa produktif perbankan maka penggolongan dan penyeragaman bobot resiko debitur menjadi penting.
Dengan banyaknya debitur yang memiliki kreditur lebih dari satu maka dituntut kerja sama yang harmonis antar bank persero dalam menyelesaikan masalah bersama terlebih lagi jika kolektibilitas kreditnya berbeda. Sebagai konsekuensinya dalam konteks ini adalah bagaimana kesediaan BNI dan Bank Mandiri berbagi data dan informasi yang rinci mengenai profil masing-masing debitur. Sebagai langkah awal cukup membatasi jangkauan kredit pada 30 debitur terbesar yang diperkirakan menyerap hampir 70% dari kredit bermasalah. Dengan demikian akan memudahkan mapping debitur utama yang signifikan dan tentu saja akan lebih lengkap dan akurat jika digabung dengan data dari kreditur lainnya untuk debitur yang sama. Banyak contoh debitur-debitur besar dan utama yang mendapatkan pinjaman dari beberapa bank.
Sebagai contoh di sektor industri atau manufakturing terdapat kredit bermasalah sebesar Rp.20,5 triliun. Dari jumlah ini kemudian difokuskan pada 30 debitur terbesar pada masing-masing bank kemudian digabung sehingga akan terdapat kesamaan yang nantinya akan menjadi basis utama untuk di rinci dan diselesaikan bersama. Dari jumlah kredit bermasalah di sektor manufakturing ini maka sebesar Rp.14,8 triliun adalah milik Bank Mandiri dimana Rp.7,2 triliun tergolong macet (K5). Sementara sisanya milik BNI. Pola ini merupakan bagian tak terpisahkan dari sistim informasi debitur yang sudah berjalan saat ini.
Setelah mendapat basis utama katakanlah sebanyak 30 debitur utama maka sesama kreditur terkait (bank) duduk bersama dengan debitur untuk menyelesaikan dan menyeragamkan kolektibilitas kredit tersebut. Dari pertemuan ini maka akan terjawab mengapa kolektibilitas kredit dari perusahaan yang sama justru berbeda antar bank. Sehingga akan terjawab bagaimana perilaku atau kinerja debitur dalam memenuhi kewajibannya kepada para kreditur. Setelah pemetaan debitur ini diselesaikan maka adalah hak kreditur untuk memastikan debitur agar berlaku seragam dalam memenuhi semua kewajibannya.
Selanjutnya pola ini bisa diterapkan pada sektor usaha lainnya seperti perdagangan, restoran, dan hotel yang memiliki kredit bermasalah Rp. 3 triliun. Atau sektor konstruksi dan properti yang kredit bermasalahnya mencapai Rp. 2,3 triliun. Terciptanya kerja sama yang terpadu dan erat diantara bank-bank yang menjadi kreditur merupakan salah satu kunci kesuksesan untuk mengatasi debitur yang bermasalah apalagi yang bandel. Karena ada juga debitur baik yang bisnisnya bermasalah dan bukan tergolong debitur bandel atau yang berbau kolusi. Sehingga lambat laun akan tercipta kelompok bad debtor dan good debtor di dalam masing-masing bank.
Dalam proses pemilahan ini maka besar-kecilnya porsi bank dalam penyaluran kredit ke debitur tidak harus menjadi kendala atau topik penting. Karena seberapapun besarnya kredit maka kreditur harus mengusahakan agar terdapat recovery rate yang baik sebagai tujuan utama. Kinerja dari satuan khusus ini sangatlah penting dalam rangka meningkatkan recovery rate yang selanjutnya akan menurunkan NPL masing-masing bank. Apalagi Pakjan Bank Indonesia 2006 yang merevisi Pakjan 2005 tidak melonggarkan kualitas aktifa produktif untuk kredit diatas Rp. 25 miliar, atau 50 debitur besar, atau pinjaman sindikasi. Sehingga penyeragaman bobot resiko tetap berlaku. Mengingat tidak sedikit debitur skala kecil menengah yang kreditnya di atas Rp. 5 miliar dan mulai diseragamkan tahun 2007 maka kredit bermasalah pada kelompok ini juga penting untuk dipetakan dan diselesaikan dengan pola konsorsium yang sama.
Dengan melihat kondisi ini maka sekarang sudah saatnya bagi bank persero untuk kembali memainkan peranan pentingnya selaku development banker yang harus aktif memasok kredit baru ke dunia usaha (aspek intermediasi). Artinya bank pemerintah harus mulai melakukan ekspansi kredit dan bukan hanya rajin menjaring dana masyarakat untuk disimpan ke dana SBI. Karena pesaing lainnya sudah melaju pesat apalagi kredit bermasalahnya relatif kecil rata-rata dibawah Rp. 1 triliun. Disisi lain kelompok bank persero juga harus giat mengatasi kredit bermasalahnya yang sebagian merupakan “PR” dari manajemen lama. Oleh sebab itu dalam merealiasasi konsorsium SPV untuk menyelesaikan kredit bermasalah ini perlu kerjasama yang harmonis, terbuka, dan terpadu dari bank pemerintah terkait karena pada hakekatnya mereka menghadapi debitur yang sama. *

Read more...

Friday 27 February 2009

Krisis Global Dan Bisnis Otomotif Indonesia

Silang pendapat antara BPPN, Bapepam, investor asing, investor domestik dan manajemen Astra Internasional sejak November 1999 akan mencapai klimak 8 Februari mendatang, berpotensi menjadi bibit perpecahan sekaligus bom waktu bagi salah satu MNC terbesar dari Indonesia ini. Lebih gawat lagi jika perpecahan merembes ke manajemen sehingga berpotensi menimbulkan resistensi dari 100 ribu lebih karyawan yang menguasai dana pensiun Rp. 300 milyar lebih. Jika tidak tercipta sebuah win-win solution maka tidak tertutup kemungkinan inilah awal petaka atau tragedi kedua bagi Astra dalam dasawarsa terakhir.
Tragedi pertama Astra adalah ketika Om William (sang pendiri) menjual saham mayoritasnya kepada “para juru selamat” guna membayar hutang di Bank Summa antara tahun 1993/94. Akuisisi oleh konglomerat nasional yang didanai kredit bank tersebut oleh Om William dianggap sebagai rekayasa. Tercatat misalnya Nusamba pinjam Rp. 800 milyar lebih dari BCA dan Barito grup pinjam US$ 100 juta dari Bank Danamon untuk mengakuisisi sebagian saham Astra. Di samping Sampoerna, Gajah Tunggal dan Salim grup. Pengertian tragedi bukan dalam arti negatif tapi lebih pada positioning Astra sebagai institusi bisnis kelas MNC. Beruntung akuisisi tersebut tidak “mengobok-obok” total manajemen Astra, sehingga sedikit banyak tidak mengganggu kinerja usaha. Akibatnya tragedi pertama tidak menghancur lebur perusahaan. Dalam lima tahun (1994-1998) asset naik dari Rp. 10 trilyun menjadi Rp. 22 trilyun dan rugi dua tahun (97-98) tentu saja tidak lepas dari krisis nasional, apalagi domestic oriented.
Enam tahun kemudian kembali muncul bibit konflik tapi dengan konstelasi lebih luas dan kepentingan multi aspek mencakup mantan pendiri, investor asing termasuk prinsipal, BPPN, Bapepam dan manajemen Astra. Apalagi isyu dan rumor tentang masuknya angin politik dan kepentingan lain semakin meluas. Sedemikian pentingnya Astra maka sehari setelah pelantikan Cacuk Sudarijanto sebagai kepala BPPN baru, langsung mengusulkan adanya klausul perombakan direksi pada RUPS mendatang. Astra bagi BPPN menjadi taruhan besar demi tercapainya target “perolehan omzet” sebesar Rp. 17 trilyun (per Maret 2000). Di lain pihak bagi BPPN juga menghadapi tantangan tentang proses jual beli ke investor asing yang paling prospektif dan menguntungkan. Kebetulan direksi dan Bapepam berada dipihak yang sama yakni menjunjung tinggi azas tranparansi dan aturan bursa. Sehingga beredarlah pelbagai langkah dan informasi “arus bawah” sedemikian cepat yang membenarkan posisi masing-masing dan tidak satu pihak pun mengakui bahwa mereka membawa sebuah kepentingan. Apakah itu kepentingan politik, kepentingan bisnis atau kedua-duanya.
Dalam konteks ini kita mencoba melihat bagaimana Astra memposisikan dirinya sebagai sebuah institusi bisnis kelas global guna menciptakan kinerja terbaik bagi pemegang saham terlepas bagaimana warna kulit dan warna politiknya. Analisis ini tidak mau dilihat dari kacamata pro dan kontra karena kasus Astra sendiri sudah ibarat benang kusut penuh tarikan. Oleh sebab itu selayaknyalah tim direksi bersatupadu menyatakan komitmen untuk tidak ikut dalam proses perang tanding pihak luar dalam memperebutkan saham Astra. Sangat disayangkan jika manajemen Astra yang rela bayar Rp. 1,5 milyar untuk ganti logo baru karya konsultan Landors, ternyata manajemen ikut bermain. Atau terpaksa dan dipaksa bermain karena memiliki target besar tersendiri dan menomorduakan kinerja, visi dan strategi Astra Internasional di abad 21. Semoga saja tidak demikian adanya.
Sektor otomotif sebagai bisnis inti Astra yang menyumbang 70% penghasilan jelas masih menjadi tumpuan harapan. Meski dua tahun terakhir menunjukkan penurunan tapi itu tidak bisa dijadikan indikator makro jangka panjang. Sebab itu terkait dengan siklus bisnis nasional. Kontributor kedua yakni natural resources (sumber daya alam) yakni perkebunan sawit dan perkayuan menyumbang 15% dan ketiga adalah sektor teknologi serta barang konsumsi menyumbang sekitar 12% omzet. Ini diluar komposisi sektor jasa keuangan.
Keputusan Toyota dan Honda untuk memasarkan produknya (khusus pasar AS) via internet merupakan salah satu perkembangan menarik karena semuanya sibuk mencari sinergi. Sebuah sinergi strategis yang sudah dilakukan oleh tiga besar raksasa otomotif AS. Bahkan langkah ini juga sudah dilakukan oleh afiliasi Astra untuk produk suku cadang kendaraan bermotor. Dalam perspektif sinergi tersebut, tidak berlebihan jika Astra memutuskan untuk mulai menspesialisasi dan memfokuskan diri pada jasa perdagangan atau pemasaran produk otomotif dari mobil, motor sampai ke suku cadang. Tentu saja bukan bermaksud untuk merebut pasar perusahaan afiliasi tapi sebaliknya memperkuat dan memfokuskan diri ke sektor ini. Sehingga tidak perlu malu atau merasa turun pangkat jika nantinya disebut bahwa Astra banting setir dari perakit menjadi pedagang mobil.
Dalam pertarungan bisnis otomotif sebaiknya bersikap realistis saja. Jatuh bangunnya program mobnas, direvisinya peraturan insentif kandungan lokal 60%, persaingan dengan dan antar prinsipal otomotif global, trend regionalisasi produksi, liberalisasi investasi serta fluktuatifnya daya beli konsumen jelas memaksa perakit mobil nasional untuk instrospeksi diri. Tidak bergeraknya Toyota Motor Corp. dengan saham tidak lebih dari 9% sejak 1993 menunjukkan bahwa prinsipal asing lebih memfokuskan pada investasi pabrik dan suku cadang sehingga ramai-ramai mengakuisisi saham mitra lokal di sektor produksi dan suku cadang. Padahal sektor perdagangan juga sudah terbuka bagi asing. Di lain pihak program mobnas Timor yang gagal dan gencar dihidupkan kembali juga tidak kurang kendalanya. Kunci utama sukses menghadirkan sebuah mobnas adalah bantuan habis-habisan dari pemerintah dan akhirnya tentu saja ditunjang oleh pasar bebas. Seandainya kita sudah sangat merindukan proyek mobnas maka anggap saja proses “debt quity swap” 40% saham produsen truk Perkasa sebagai imbalan kredit trilyunan rupiah milik lender club bank negara, sebagai cikal bakal proyek mobnas. Tinggal bagaimana strategi merubah, menciptakan dan memasarkan Perkasa untuk kelas sedan atau kendaraan niaga multi fungsi (multi purpose vehicle).
Dengan demikian bisnis inti sektor otomotif Astra harus mulai mempersiapkan diri untuk tidak lagi mimpi terus-menerus menjadi salah satu perakit mobil raksasa di Indonesia, tapi juga mulai mempersiapkan diri menjadi pedagang otomotif terbesar dari Indonesia. Kekuatan sinergi bisa diciptakan berdasarkan tiga divisi sekarang yakni otomotif, suku cadang, keuangan dan teknologi informasi. Dengan jaringan distribusi hampir 300 outlet (mencakup 6 merk mobil), di luar outlet sepeda motor dan suku cadangnya maka ini merupakan asset yang luar biasa. Ditambah dengan 29 outlet jaringan pembiayaan konsumen dan kepiawaian di bidang teknologi informasi maka akan tercipta sinergi besar bagi Astra untuk memasarkan segala macam produk otomotif, sepeda motor dan suku cadang lewat internet. Sementara dua bisnis inti lainnya tetap dipertahankan. Ini sekaligus mengantisipasi jika setiap saat prinsipal ingin mundur dari Astra Int’l dan membangun pabrik atau jaringan baru 100% di Indonesia, maka Astra sudah siap. Fakta di Pecenongan menunjukkan bahwa salah satu spesialis penjual mobil-mobil dari Astra bisa meraih omzet Rp. 1 trilyun pada era booming tahun 1997.
Selanjutnya bagaimana manajemen Astra akan bermain dan menempatkan dirinya dalam konstelasi pertarungan antar pemegang saham menjadi salah kunci penting yang menentukan apakah Astra bisa lolos menghadapi kemelut bahkan tragedi episode kedua di abad 21 ini. Belajar dari tragedi pertama enam tahun lalu maka semua pihak terkait seharusnya konsisten pada komitmen dan kepentingan utama masing-masing. BPPN cukup menjual saham Astra kepada investor terbaik dan penawar tertinggi guna mendukung target omzet BPPN sendiri. Bapepam cukup mempertahankan agar proses jual beli berlangsung transparan dan sesuai prosedur bursa. Sang investor (asing maupun domestik) hanya berkepentingan bagaimana investasinya bisa menghasilkan return tertinggi dan tercepat. Manajemen berkepentingan terhadap kelanggengan dan kinerja bisnis agar tidak lagi terjadi PHK atas 20 ribu lebih karyawan dan program ESOP berjalan mulus.
Semua perspektif, visi dan skenario diatas tidak artinya jika manajemen sendiri tertarik untuk ikut bermain dan para pemilik saham semakin “genit”. Jika tidak tercapai sebuah win-win solution minggu depan maka ini bisa menjadi awal perpecahan dan bom waktu dari tragedi kedua. Sehingga tidak perlu heran jika muncul demo karyawan Astra menentang hasil RUPS atau kebijakan lain di masa depan. Akibatnya harga saham merosot terkena sentimen negatif dan ketika mencapai titik terendah langsung diserbu investor besar yang justru sekarang diam-diam serius mengintip Astra. (*).Jakarta, 31 Januari 2000

Read more...

Thursday 26 February 2009

35% Deposito Nasional Dimiliki Perusahaan Publik

Berikut ini adalah ringkasan hasil survey INBRA (Investment and Banking Research Agency) berjudul “Potensi dan Peluang Deposito di Indonesia” yang menganalisis tentang potensi, peluang, dan kepemilikan simpanan di bank khususnya deposito milik perusahaan publik. Beberapa intisari dari hasil survey ini adalah :
1. Ada 188 perusahaan publik yang punya simpanan Rp. 52,3 trilyun pada 3.319 rekening di 79 bank (bank negara, swasta domestik, asing-patungan) per Juni 2005. Dari jumlah ini terbagi dalam deposito sebesar Rp 33,5 trilyun dan giro sebesar Rp 18,8 trilyun, sehingga deposito perusahaan publik mewakili 35% total deposito perusahaan swasta nasional (diluar sektor asuransi, jasa keuangan, yayasan dan dana pensiun).
2. Dengan asumsi saldonya tidak mengalami perubahan drastis per 22 Maret 2006, maka ada 95,7% atau sebesar Rp 50,1 trilyun simpanan dengan saldo rata-rata diatas Rp 5 milyar tidak lagi dijamin oleh LPS. Ini disebabkan karena saldo rata-rata simpanan milik perusahaan memang lebih besar dari saldo rata-rata simpanan milik perorangan atau individu. Lihat tabel.
Komposisi Dana Perusahaan Publik

Sumber : “Potensi dan Peluang Deposito di Indonesia” (INBRA, 2006)

3. ditinjau dari skala depositonya, ada 8 deposan yang memiliki deposito diatas Rp. 1 trilyun dengan kisaran dari Rp 431 miliar sampai Rp 6,6 triliun yang adalah kelompok bluechip dan memainkan peranan penting di bursa saham. Lima belas deposan terbesar memiliki saldo deposito Rp. 26,1 trilyun yang mengalami fluktuasi. Lihat tabel.
15 Deposan Terbesar, Juni 2005

Sumber :”Potensi dan Peluang Deposito di Indonesia” (INBRA, 2006)

4. ditinjau per bank menunjukan bahwa tidak terdapat konsentrasi simpanan yang
signifikan dari perusahaan publik terhadap masing-masing bank, sehingga ketergantungan terhadap deposan raksasa tidak terlalu signifikan. Sebagai contoh deposan terbesar Indosat yang punya Rp. 6,6 trilyun hanya menempatkan Rp 2,5 triliun atau sepertiga dari total depositonya di Bank Mandiri, yang sebaliknya setara 2,8% total deposito milik Bank Mandiri.

Kesimpulan
Dari analisis tentang komposisi dan potensi simpanan perusahaan publik dapat disimpulkan beberapa kondisi berikut :
a. potensi simpanaan dana ini merupakan “potret” dari kondisi Juni 2005, sehingga berpotensi untuk berubah sesuai perkembangan pasar. Namun potret ini menggambarkan potensi deposito korporat swasta atau institusi masih bisa digali diantara sesama pesaing kelompok bank lima besar.
b. biaya dana perbankan diperkirakan akan menurun. Dengan adanya plafon penjaminan simpanan maka akan mendorong biaya dana semakin murah yang selanjutnya akan menurunkan suku bunga kredit atau pinjaman. Secara tidak langsung keberadaan LPS sangat positif dalam menciptakan suku bunga pinjaman yang semakin rendah.
c. kebijakan pembatasan penjaminan simpanan akan lebih mempengaruhi pola investasi deposan perorangan dibandingkan deposan institusi seperti perusahaan publik. Dimana deposan perorangan justru memiliki simpanan lebih besar yang menguasai 59,4% deposito, 97,8% tabungan dan 23% dari giro nasional. Komposisi kepemilikan dana oleh perorangan menganut pareto law yang sangat kontras dimana satu persen deposan terkecil memiliki 99% nilai simpanan.
d. oleh sebab itu berpotensi terjadi perpindahan atau migrasi deposan dari bank kecil atau kurang dikenal masyarakat akan pindah ke bank besar atau yang lebih dikenal masyarakat. Bagi nasabah perusahaan maka faktor ini tidak terlalu dominan karena umumnya penempatan ke deposito ada juga yang terkait dengan fasilitas penjaminan kredit yang diterima dari bank bersangkutan (back to back loan).
e. untuk meningkatkan daya saing dan mempertahankan nasabah maka salah satu alternatif adalah memperbanyak produk investasi keuangan diantaranya produk asuransi, reksadana, atau unit linked yang terpadu (bundling) disamping meningkatkan pelayanan. Aneka jenis investasi ini berpotensi menimbulkan konflik nasabah dengan bank jika banknya bermasalah dan simpanannya melebihi batas maksimun penjaminan. Oleh sebab itu harus ada transparansi kepada nasabah tentang produk perbankan yang dijual.-*- Investor Daily, 1 Mei 2006

Read more...

Wednesday 25 February 2009

Kuota Pemilikan Saham Bank


Pada rapat kerja BI dengan DPR (Selasa, 19 November) lalu terungkap rencana Bank Indonesia untuk membatasi kepemilikan saham maksimum di perbankan, sebagai bagian dari aspek pengaturan dalam enam pilar utama arsitektur perbankan masa depan. Bahkan menurut Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia para pemilik saham mayoritas di perbankan sudah dikontak agar segera membagi sahamnya ke public dan mereka menyambut baik kebijakan ini. Kebijakan ini jelas sebuah langkah positif yang perlu ditindaklanjuti dan direalisir ditengah ramainya kebijakan bank sentral yang berbau “pembatasan” atau “kuota”. Seakan menyusul PBI No. 4 yang membatasi pembelian asset kredit oleh bank maksimum 50% dari modal inti.
Kebijakan ini tidak terlepas dari mekanisme perbankan global yang terangkum dalam 25 prinsip dasar pengawasan perbankan (Core Principles for Effective Banking Supervision). Core Principles ini dicetuskan pada KTT G 7 di Lyon Juni 1996 yang intinya adalah membangun sistim pengawasan perbankan dan keuangan yang kuat dan sehat. Indonesia termasuk salah satu negara (yang dilibatkan dalam pengembangan 25 prinsip-prinsip pengawasan perbankan ini. Secara menyeluruh 25 prinsip tersebut dibagi dalam 7 aspek utama yakni :
1. pra kondisi untuk pengawasan perbankan yang efektif
2. masalah perizinan dan struktur kepemilikan saham mencakup 4 prinsip
3. kewajiban dan kebijakan yang hati-hati mencakup 10 prinsip
4. metode dan pola pengawasan perbankan mencakup 5 prinsip
5. penyediaan informasi dalam rangka transparansi mencakup 1 prinsip
6. lembaga formal untuk melakukan pengawasan mencakup 1 prinsip
7. mekanisme operasionalisasi dan penetrasi bank global mencakup 3 prinsip.
Dalam konteks ini maka rencana kebijakan Bank Indonesia tersebut merupakan
implementasi prinsip ke 3 Basle Accord yang salah satu intinya adalah bank sentral atau pengawas (supervisor) harus meneliti tentang kepemilikan saham bank baik langsung maupun tidak langsung khususnya untuk “major shareholder”. Klasifikasi major shareholder jika sahamnya melebihi atau diatas 10% dari ekuiti. Sehingga dengan basis demikian maka bank sentral sudah memiliki batasan baru berlaku standard dan global. Kebijakan kuota saham ini sebenarnya bukan hal baru karena pemerintah sendiri sudah melakukan pelbagai pembatasan khususnya terhadap pemilikan asing di bank patungan. Namun kondisi ini ternyata tidak bisa diandalkan sebagai salah satu mekanisme untuk mendukung pengawasan operasionalisasi perbankan yang prudent.
Tidak tegasnya kuota pemilikan saham harus diakui sebagai salah satu unsure yang ikut mendorong krisis perbankan domestic yang diimplikasi melalui konsentrasi penyaluran kredit kepada pihak terkait (BMPK atau yang dulu popular dengan legal lending limit), sehingga krisis yang menimpa debitur afiliasi langsung berpengaruh terhadap bank dari grup terkait. Aspek ini juga diatur dalam prinsip ketiga ini dimana bank dilarang menjadi captive market bagi pembiayaan usaha pemilik.
Sehubungan dengan itu INBRA (Investment and Banking Research Agency) tertarik untuk mengkaitkannya dengan hasil riset bertajuk “Indonesian Banking Market Share” (INBRA, November 2002). Riset yang dimulai bulan Oktober 2002 tersebut salah satu bagiannya adalah menganalisis trend perobahan pemilikan saham perbankan Indonesia sejak 1997 sampai 2002. Berikut ini kita memaparkan apa dan bagaimana trend tersebut dan relevansinya dengan kebijakan yang akan diambil oleh bank sentral secara menyeluruh. Dari perkembangan tersebut terdapat beberapa fakta yakni :
sampai Maret 2002 tercatat ada 580 pihak sebagai pemegang saham 145 bank di Indonesia dengan catatan ada lebih dari satu pihak atau pemegang saham di satu bank yang dalam analisis ini dianggap sebagai pihak tersendiri.
ternyata ada 52% (terdiri dari 303 pihak pemegang saham) yang porsi sahamnya lebih dari 10%, dengan rincian 36% (211 pihak) sahamnya lebih dari 20% dan 92 pihak (16%) yang tercatat sebagai pemegang saham dengan porsi saham antara 10% sampai 20%. Dan sisanya sejumlah 277 pemegang saham (48%) yang porsi sahamnya tidak lebih dari 10%.

Posisi saham antara Desember 2001 dan Maret 2002 mencakup 145 bank
(*) Termasuk 15 pemegang saham (100%) di bank negara dan asing
Diringkas dari "Indonesian Banking Market Share" (INBRA )

data lebih rinci menunjukkan bahwa ada 61 orang (20,1%) yang punya saham lebih dari 10% (major shareholder) pada masing-masing bank. Sementara itu ada 204 perusahaan (67,3%) yang memiliki saham lebih dari 10%. Lihat table.

Daftar Perusahaan dan Perorangan Sebagai Pemegang Saham
(khusus untuk pemilik saham diatas 10%)

Komposisi ini menunjukkan bahwa pemilik saham dengan porsi lebih dari 10% masih dikuasai atau tercatat atas nama perorangan dan perusahaan afiliasinya dengan konsentrasi 97,4%. Dengan lain kata seperlima major shareholder tercatat atas nama pribadi. Sehingga tidak mengherankan jika bank sentral melihat sisi ini perlu ditata kembali dengan pendekatan kuota atau pembatasan pada tahap tertentu. Posisi yang sangat terkonsentrasi ini tentu saja memiliki sisi negative khususnya dilihat dari kacamata praktek prudential banking secara global.
Dapat dibayangkan bagaimana proses pengambilan keputusan di sebuah bank jika pemegang saham mayoritasnya adalah pribadi (umumnya terdiri dari 2 atau 3 orang). Sementara saham lainnya tercatat atas nama perusahaan afiliasi yang notabene pemiliknya adalah para pemegang saham terkait dengan alokasi bahkan sampai 90%. Pola ini masih banyak ditemui umumnya pada bank swasta nasional papan menengah eks bank milik keluarga atau konglomerasi. Bahkan atas nama beberapa perusahaan yang sebenarnya masih terkait juga banyak ditemukan sehingga juga bisa memberi peluang untuk dikendalikan oleh pemegang saham utama sebagai the godfather.
Kondisi demikian tidak boleh langsung diasumsikan sebagai sebuah praktek yang tidak baik atau terlarang karena memang selama ini tidak ada pembatasan yang jelas dan khusus. Sebaliknya bank atas nama perusahaan yang kepemilikannya tidak dominant juga banyak dan tidak menjamin bermutu baik.
Khusus untuk perbankan swasta nasional terdapat trend menarik dimana saham atas nama pribadi dijual atau beralih kepada perusahaan sebagian atau seluruhnya. Dimana dari tahun 1997 sampai Maret 2002 ada 19 bank yang saham mayoritasnya dikuasai perorangan beralih kepada perusahaan, yayasan, public maupun pemerintah (pada kasus bank rekap di BPPN). Ini merupakan sebagian dari 36 bank yang struktur sahamnya berubah. Sementara itu 44 bank tidak mengalami perubahan pemilikan saham yang struktur sahamnya tidak berubah dimana masih terdapat 17 bank yang mayoritas saham dimiliki oleh perorangan, 24 bank mayoritasnya dimiliki oleh perusahaan dan atau yayasan.
Di jajaran bank patungan terjadi perubahan drastic dimana ada 21 bank patungan mengalami perobahan karena beberapa hal. Dimana ada 14 bank patungan yang saham asingnya meningkat karena mengakuisisi sebagian atau seluruh saham mitra local yang rata-rata berkisar antara 15% sampai 20%. Ini termasuk 3 bank diantaranya menjadi 100% milik bank asing asal Jepang terkait merger global perusahaan induk luar negeri sepanjang tahun 2001. Disisi lain juga terjadi divestasi saham asing di 3 bank patungan termasuk satu bank yang sudah menutup usahanya. Perkembangan terakhir adalah divestasi seluruh saham Royal Scotland Bank di Bank Multicor yang dijual kepada 3 orang (rata-rata diatas 10%) dengan mitra lokal BCA, bulan November lalu. Juga rencananya dua bank patungan dengan mitra dari Eropa akan menutup usahanya di Indonesia karena memang kinerjanya menurun selama ini.
Trend ini menunjukkan bahwa pasca krisis banyak bank swasta nasional dan pemerintah yang sahamnya diakuisisi oleh bank atau investor asing, sebuah trend umum di pelbagai negara berkembang. Di jajaran bank swasta nasional tercatat tidak kurang 8 bank yang sebagian sahamnya dikuasai bank asing, investor atau lembaga keuangan internasional dengan saham bervariasi antara 6% sampai 66%. Inilah dampak lain krisis moneter, liberalisasi dan globalisasi perbankan.
Sebagai penutup ingin digarisbawahi beberapa intisari berikut :
kuota pemilikan saham di bank merupakan hal penting sebagai bagian dari etika dan norma perbankan global dengan catatan perlu disadari bahwa itu bukan jaminan terciptanya sebuah prudent banking sebagaimana diharapkan. Akan lebih baik jika ini dimotivasi oleh pertimbangan global demi kepentingan nasional. Bukan sekedar reaksi atas kasus-kasus tertentu yang sudah mengemuka sehingga perlu ditanggapi.
langkah bank sentral untuk mengimplementasikan prinsip ke 3 dari Core Principles tersebut perlu didukung oleh lembaga terkait lainnya dan tentu saja harus dipatuhi oleh bank sebagai pemain. Dan tentu saja realisasinya membutuhkan waktu karena ini menyangkut aspek permodalan bukan hanya sekedar ganti jaket.
hal lain yang perlu dijelaskan oleh bank sentral adalah bagaimana kebijakan ini dijalankan agar tidak bertentangan dengan kebijakan dari bank sentral sendiri sebelumnya dan atau kebijakan pasar modal untuk bank publik. Misalnya bagaimana mengatur bank asing yang sahamnya dominant (diatas 10%) di bank patungan maupun bank swasta nasional padahal mereka diundang dalam program liberalisasi perbankan. Apalagi jika ikut membeli saham bank dalam program divestasi perbankan milik BPPN mulai dari divestasi BCA, Bank Niaga, Danamon, BII, Lippo termasuk raksasa kita Bank Mandiri.
kuota saham juga sangat bisa diakali oleh pihak lain jika memang berniat jelek dengan cara divestasi ke puluhan paper company dadakan (sebagai investor asing) yang tercatat di berbagai offshore centre dengan saham misalnya dibawah 9%. Tapi pemilik akhirnya orang yang sama dan berdomisili di Jakarta. Sebuah pola investasi keuangan yang berusia lebih dari setengah abad dan bukan hal baru bagi Indonesia. Jika memang ingin dikendalikan maka pada areal inilah bank sentral harus mengambil sikap tegas dengan pengawasan lebih terpadu.

Read more...

Tuesday 24 February 2009

Quo Vadis BUMN ?

Setelah perdebatan panjang akhirnya pengelolaan dan pembinaan BUMN dikembalikan ke Departemen Keuangan sejak 10 Oktober melalui PP 89/2000. Sehingga BUMN kembali ke asalnya dibawah Dirjen Pembinaan BUMN, setelah tiga tahun pisah rumah di bawah kantor Meneg PBUMN. Permasalahan sekarang adalah bagaimana manajemen dan pengelolaan BUMN sekarang dan masa depan sehingga bisa menentukan perspektif jangka panjang yakni mau ke mana BUMN.

BUMN, Juru Selamat
Dengan target harus mendapat Rp. 13 trilyun dari hasil swastanisasi (Rp. 5 trilyun) dan transfer laba dari BUMN (Rp. 8 trilyun) menunjukkan bahwa pemerintah masih menaruh harapan besar terhadap sumbangsih BUMN bagi pembanguan ekonomi nasional, meski lebih rendah dari target APBN 2000. Di mana gabungan dua pos tersebut pada APBN 2000 mencapai Rp. 11,5 trilyun untuk 9 bulan sehingga rata-rata Rp. 1,3 trilyun per bulan dibandingkan target rata-rata per bulan tahun 2001 sebesar Rp. 1,08 trilyun. Dengan kontribusi Rp. 13 trilyun berarti sumbangsih BUMN mencapai 1% terhadap PDB 2001, 5,3% total pendapatan dan 4,4% total pengeluaran.
Dari komposisi angka makro ini terlihat jelas bagaimana BUMN itu secara tidak langsung menjadi salah satu tumpuan harapan bagi pemerintah untuk mendanai pembangunan. Kondisi seperti ini bukan hanya fenomena sekarang tapi sudah berlangsung sebelumnya dalam pelbagai bentuk. Mulai dari kontribusi untuk pengembangan UKM, pelbagai bentuk setoran sampai kepada bagaimana menjadikan deposito trilyun milik BUMN raksasa sebagai dinamisator dan katalisator untuk menetralisir pasar uang dan moneter nasional.
Secara menyeluruh kontribusi ini memang relatif sangat kecil jika kita bandingkan skala BUMN sendiri yang ibarat dinosaurus. Dari laporan riset BIRO tentang BUMN menemukan bahwa total assetnya (diluar bank dan jasa keuangan) setara dengan 54% PDB tahun 1999 namun hanya menyumbang 5,4% ekspor non migas, 8,8% toal ekspor dan menyerap 16% dari total 4,2 juta tenaga kerja nasional (di luar industri kecil dan rumah tangga). Lihat table.

Kontribusi BUMN Terhadap Ekonomi Nasional
1
Menyerap 4,6% total kredit perbankan (Juni 2000)
2
Memiliki 8,8% total deposito perbankan nasional (Juni 2000)
3
Menyumbang 5,4% ekspor non migas
4
Menyumbang 8,5% total ekspor
5
Menyumbang 5,3% total pendapatan (RAPBN 2001)
6
Hasil swastanisasi dan setoran laba setara 1% PDB 2001
7
Total asset setara dengan 54% PDB
8
Menyerap 3,5% total hutang luar negeri (Maret 2000)
9
Menyerap 16% tenaga kerja industri
10
Menerbitkan 28% dari total obligasi nasional
11
Menyerap 4,2% total emisi saham (IPO) di bursa
Sumber : BIRO (Business Intelligence Report)/2000
Kolom 1,2, 7, 8 dan 10 tidak termasuk bank dan jasa keuangan
Angka per Desember 1999, kecuali ada catatan khusus

Optimisme pemerintah untuk dapat transfer laba dari BUMN rata-rata Rp. 667 milyar per bulan yang lebih besar dari rata-rata tahun 2000 (Rp. 586 milyar) juga meragukan untuk bisa terealisir. Karena perolehan transfer laba tersebut hanya bisa tercapai jika BUMN sendiri meningkat pendapatan dan keuntungannya dibandingkan tahun sebelum. Meski dari survey BIRO (Business Intelligence Report) diperoleh data yang cukup menghibur. Bahwa ada 20 BUMN (sektor industri, diluar bank dan jasa keuangan) yakin penjualan atau omzetnya bakal naik berkisar antara 2% sampai 71% pada tahun 2000 dan tahun ini sebagai tahun pemulihan ekonomi Indonesia.
Eksistensi BUMN sebagai juru selamat justru sangat ironis dibandingkan dengan jajaran konglomerat yang malah perlu diselamatkan, terlepas apapun itu istilahnya. Akibatnya suka atau tidak suka terjadi proses nasionalisasi terpaksa dan pemerintah dipaksa untuk membentuk BUMN baru setidaknya untuk jangka menengah. Dengan saham tidak kurang dari rata-rata 70% yang jauh lebih tinggi dari saham pemerintah di beberapa BUMN ”blue chip” seperti Indosat, Telkom atau Semen Gresik tinggal rata-rata 65%. Padahal dari seluruh IPO BUMN hampir 10 tahun sejak 1991, pemerintah hanya mendapat Rp. 9 trilyun dimana 58% disedot dari pasar domestik.
Sehingga trend swastanisasi satu dekade terakhir yang telah mengurangi jumlah BUMN sampai 23% menjadi 144 buah, justru kini mendapat arus balik dengan lahirnya BUMN-BUMN baru hasil restrukturisasi BPPN yang memakan biaya jauh lebih besar. Di sisi lain BUMN industri dengan beban hutang luar negeri tidak kurang US$ 5 milyar nasibnya kian semrawut. Program restrukturisasi khusus untuk BUMN yang masuk BPPN juga penyelesaian tidak semudah yang diperkirakan. Disisi lain BUMN industri dengan beban hutang luar negeri tidak kurang US$ 5 milyar nasibnya kian semrawut. Ringkas kata, arah swastanisasi BUMN sudah menyimpang dari tujuan mulia untuk menyehatkan dan membesarkan BUMN menjadi sarana cara dana untuk membantu anggaran pemerintah. Bahaya besar jika fenomena ini terus berlanjut dan melihat eksistensi BUMN dari kepentingan jangka pendek apalagi dipakai untuk kepentingan non ekonomi.
Dibandingkan dengan sejumlah perusahaan publik raksasa yang mendominasi perekonomian nasional jelas bahwa BUMN ikut memainkan peranan penting. Sebanyak 14 dari 25 perusahaan peraih laba bersih terbesar di Indonesia (1999) adalah perusahaan negara termasuk 5 yang sudah masuk pasar modal. Total laba bersih milik 25 perusahaan ini mencapai Rp. 22,9 trilyun, dimana 11 diantaranya meraih laba diatas Rp. 1 trilyun. Memang pemerintah punya sebagian saham di PT Freeport Indonesia dan PT Indocement Tunggal Prakarsa namun dalam hal ini kita tidak melihat sebagai sebuah BUMN karena saham pemerintah masih dibawah 51%. Lihat table.
25 PERUSAHAAN PERAIH LABA TERBESAR INDONESIA, 1999
No.
Nama Perusahaan
Nilai (Rp. Juta)
1 PT. Gudang Garam Tbk 2,276,632
2PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk 2,185,667
3PT. Freeport Indonesia - 2,098,680
4PT. Indosat Tbk 2,052,188
5PT. Astra International Tbk 1,487,296
6PT. HM Sampoerna Tbk 1,412,659
7PT. Indofood Sukses Makmur 1,395,399
8PT. Pelindo III 1,387,203
9PT. Pupuk Sriwijaya * 1,172,797
10PT. Pelindo II 1,154,145
11PT. Pertamina (98/99) 1,054,548
12PT. Pabrik Kertas Tjiwi Kimia 779,916
13PT. Unilever Indonesia Tbk 533,005
14PT. Indocement Tunggal Prakarsa 523,423
15PT. United Tractor Tbk 456,686
16PT. Perusahaan Gas Negara 433,182
17PT. Bahana Pakarya Industri Strategis * 360,230
18PT. Tambang Timah Tbk 318,039
19PT. Tambang Batubara Bukit Asam 289,357
20PT. Garuda Indonesia 283,561
21PT. Prasidha Aneka Niaga Tbk 278,698
22PT. CP Prima 268,765
23PT. Angkasa Pura II 244,611
24PT. Semen Gresik * 240,586
25PT. Aneka Tambang Tbk 225,188
Sumber : Meneg PBUMN, laporan keuangan dan survey BIRO (September 2000)
* menunjukan angka konsolidasi

Sistim dan Manajemen

Dari komposisi angka makro dan mikro ini dapat disimpulkan bahwa besarnya skala BUMN dengan pelbagai pengalaman dan dukungan ternyata belum bisa memberikan manfaat maksimal, khususnya bagi pengembangan intern BUMN itu sendiri. Kontribusinya dalam anggaran pemerintah (APBN) jelas sangat membantu bahkan bisa menjadi salah satu juru selamat namun belum sebanding dengan harapan.
Setidaknya ada tiga hal yang berpotensi mengakibatkan belum maksimalnya kontribusi BUMN sebagai institusi bisnis. Pertama kesalahan lingkungan dan sistim yang melingkupi BUMN itu sendiri (yakni departemen dan kepentingan pemerintah). Kedua, penyimpangan intern di BUMN sendiri yang sudah menjadi cerita klasik paling tidak dari hasil audit BPKP maupun auditor asing selama ini. Ketiga yakni masalah manajemen dan professional di jajaran BUMN yang juga menjadi lini penting untuk diperbaiki demi kebaikan.
Adalah sebuah mimpi besar jika kita mengharapkan problematika BUMN bisa diselesaikan oleh satu periode kabinet, apalagi jika kabinetnya setiap tahun di reshuffle tanpa visi dan misi yang jelas dan konsisten. Inilah pekerjaan rumah bagi kita yang berkepentingan atas eksistensi BUMN agar bisa menjadi BUMN yang kuat, sehat dan mengglobal. Khususnya kepada 1.011 anggota direksi dan komisaris BUMN sebagai bahan introspeksi untuk perbaikan selanjutnya.
Perubahan paradigma menuju back to basic (mengembalikan pengelolaan BUMN ke departemen keuangan) memang memiliki basis, pengalaman dan infrastruktur yang lebih kuat dibandingkan mendirikan lembaga baru (apapun statusnya). Tapi perlu diwaspadai bahwa kebijakan back to basic bukan jaminan sukses dan bersih karena praktek “perusakan intern”, sistim serta lingkungan BUMN sendiri yang sangat signifikan.
Laporan riset World Bank yang dituang dalam buku berjudul “Bureaucrats in Business” (September 1995) menyimpulkan bahwa kunci sukses dalam proses swastanisasi dan manajemen BUMN bukan pada manajer atau birokrat per seorangan tapi lebih kepada sistim yang mapan dan lingkungan yang sangat mendukung. Meski dimaklumi bahwa kinerja birokrat dalam mengelola bisnis masih jauh dibawah professional atau kalangan swasta pada umumnya. Oleh sebab itu disarankan ada tiga pola pengelolaan BUMN antara pemerintah (sebagai pemeilik BUMN) dengan birokrat sebagai pengelola (disebut performance contract). Dua lainnya adalah management contract (pemerintah dengan perusahaan swasta) dan regulatory contract (pemerintah dengan lembaga swasta). Masing-masing pola memiliki kelebihan dan kekurangan. Intinya adalah semakin besar partisipasi swasta dalam kepemilikan dan manajemen maka semakin naik kinerja perusahaan negara tersebut.
Oleh sebab itu perlu dipertimbangkan untuk melakukan fit and proper test bagi seluruh anggota dewan komisaris dan direksi. Ini semua dilakukan dalam konteks makro menuju terciptanya good corporate governance bagi seluruh BUMN. Selanjutnya anggota komisaris perlu dirampingkan cukup menjadi dua saja, terdiri dari satu orang mewakili pemerintah sebagai pemegang saham dan satu lagi dari kalangan profesional (baik dari BUMN maupun swasta). Wakil pemerintah bisa dari departemen keuangan atau departemen teknis sementara swasta bisa dari eks BUMN atau profesional swasta dengan pengalaman dan visi yang berbeda dengan iklim BUMN. Sehingga tercipta sinergi antara BUMN dan swasta secara lebih mantap dan terpadu.

Kesimpulan
Kebijakan back to basic dalam pengelolaan dan pembinaan BUMN sangat positif dan relatif lebih baik tapi itu bukan jaminan bahwa kinerja BUMN akan membaik. Dengan asset setengah dari PDB tapi kontribusi secara makro masih kecil jelas ada sesuatu yang kurang dalam pembinaan BUMN. Sehingga perlu sikap tegas, konsisten, terpadu dan non politis untuk membenahinya. Belum cemerlangnya kinerja BUMN di Indonesia bukan karena kesalahan manajemen semata karena lebih dikarenakan lingkungan dan sistim di mana BUMN itu berada.
Ini merupakan introspeksi kepada seribu lebih anggota direksi dan komisaris BUMN dan para menteri terkait. Apalagi di jajaran komisaris ada mantan direktur jenderal, sekretaris jenderal sampai para jenderal purnawirawan dari pelbagai angkatan. Jangan mentargetkan “pemasukan resmi ke APBN” bisa lebih besar, jika atensi untuk membenahi BUMN secara “bisnis murni” tidak dilakukan serius. Eksistensi dan kontribusi BUMN bukan hanya seusia APBN tapi harus jangka panjang. (*).

Read more...

Monday 23 February 2009

Privatisasi, Menuju Negara Tanpa BUMN

Beberapa waktu lalu, penulis sempat tercengang ketika sedang melintas di bundaran Hotel Indonesia melihat sticker Anti Privatisasi tertempel elok di belakang mobil seharga diatas setengah milyar rupiah. Sticker tersebut bahkan menginformasikan bahwa sekarang sudah 33 BUMN (badan usaha milik negara) dari 145 BUMN yang sudah terjual dan mempertanyakan mau diapakan negara ini selanjutnya, ringkas kata quo vadis BUMN. Singkat kata ini merupakan sebuah program sosialisasi anti privatisasi yang rapih, informatif, massal, butuh komitmen dan jelas butuh dana. No free lunch in the world.
Dalam kolom singkat ini tidak pada tempatnya kita membicarakan pendanaan sticker dari gerakan anti privatisasi tersebut namun kita ingin melihatnya dari aspek makro yakni mau dibawa kemana BUMN saat ini, meneruskan privatisasi atau stop privatisasi. Privatisasi sendiri bisa dijalankan di manajemen dengan outside director atau CEO swasta sebagaimana akan diterapkan pada 3 persero niaga (Pantja Niaga, Dharma Niaga) di merger ke Cipta Niaga dengan CEOnya mantan CFO dari Astra Internasional, yang kebetulan satu alumni dengan Menperindag. Disisi lain privatisasi BUMN ini juga menyangkut divestasi saham pemerintah di bank maupun non bank terkait dengan BPPN. Apalagi DPR sedang membahas RUU Privatisasi dan RUU BUMN yang diharapkan bisa menjadi panduan utama atau blue print untuk proses pengelolaan BUMN di masa depan.
Saat ini BUMN ibarat berada di persimpangan jalan. Padahal 145 BUMN tersebut memiliki asset Rp. 720 trilyun dan menyumbang laba Rp. 21 trilyun. Namun harus diperhatikan bahwa 80% dari laba tersebut ternyata berasal dari 8% BUMN (11 buah), sehingga 92% atau 134 BUMN lainnya tergolong sekarat dan perlu program akselerasi penyehatan. Ini tidak termasuk 16 perjan yang oleh Deputi Meneg BUMN Bidang Usaha Logistik dan Pariwisata dikatakan seperti banci.
Judul kolom ini mungkin terkesan ekstrim dan bisa berbenturan dengan pendapat pihak yang kontra maupun pro. Kalangan yang pro pada prinsipnya setuju privatisasi dengan catatan jika itu sudah sesuai aturan, transparan dan sesuai dengan aturan main. Sembari menunggu lahirnya UU Privatisasi maka sebaiknya proses tersebut ditunda. Kalangan ini juga berpendapat bahwa mayoritas BUMN memang relative jelek dan kinerjanya jauh dari yang diharapkan. Sementara kelompok anti privatisasi lebih ekstrim yakni menghentikan sama sekali privatisasi karena menjual asset bangsa dan bahkan sudah masuk pada wilayah nasionalisme.
Diantara kedua sikap tersebutlah pemikiran dan wacana dari kolom berikut ini berada dan mengambil sikap bahwa melalui privatisasi kita menjual BUMN secara baik, benar dan menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara. Sehingga akhirnya negara tidak lagi perlu memiliki BUMN terkecuali pada sector penting dan vital seperti public utilitas yang sangat potensial dan menguntungkan secara ekonomis, jika dikelola oleh manajemen yang benar. Negara tanpa BUMN sendiri bukan sebuah fenomena yang terlalu aneh karena beberapa negara maju sudah menerapkannya secara selektif dan sector tertentu, pada dua decade lampau. Sehingga secara perlahan mengurangi peran serta dan intervensi pemerintah langsung sebagai pemain dalam peta ekonomi nasional. Kawasan Eropa seperti Inggris dan Perancis sudah mulai privatisasi sejak 20 tahun lalu, disaaat mana Indonesia juga sudah mulai meski tanpa gembar-gembor.
Program privatisasi yang menuju kondisi negara tanpa BUMN tentu membutuhkan waktu yang panjang sebagai program strategis nasional yang merubah peta secara totqal. Bayangkan saja jika setiap bulan bisa menjual rata-rata satu BUMN dari 145 BUMN yang ada sekarang maka butuh waktu 12 tahun. Berarti pada tahun 2015 nanti baru tercipta kondisi dimana negara tidak punya BUMN lagi. Atau hanya memiliki porsi saham yang minoritas dengan golden share pada sector tertentu dari 32 sektor atau bidang usaha yang masih melibatkan BUMN saat ini. Ini tentu saja perhitungan yang sangat optimis dan pro rata setiap bulan satu BUMN, padahal selama 11 tahun sejak 1991 sampai tahun 2002 hanya 8 BUMN induk yang diswastakan lewat IPO, diluar private placemenent yang menyusul. Sementara perjalanan 12 tahun dari sekarang bukanlah kondisi yang dijamin mulus dan tidak mengalami perubahan politik atau hukum. Karena sepanjang masa itu puluhan amandemen atas undang-undang yang ada bisa diajukan setiap saat. Sehingga tidak ada yang bisa menjamin kelanggengannya.
Sebagai contoh kita lihat pengalaman privatisasi Inggris dimana selama 12 tahun pertama sejak digelarnya privatisasi Juni 1977 sampai Oktober 1993 ternyata mereka sudah menjual 47 BUMN besar disamping lusinan perusahaan kecil lainnya. Menghasilkan 55 milyar pond sterling, sekitar tiga perempat sector yang dikuasai bertalih ke swasta termasuk hampir satu juta tenaga kerja. Sementara pemilikan saham oleh masyarakat meningkat dimana tahun 1979 baru 5% penduduk memiliki saham lalu naik jadi 24% tahun 1993. Namun disisi lain ada aspek yang perlu dimaknai bahwa program swastanisasi Inggris tidak akan berhasil jika tidak didukung habis-habisan oleh pemerintah khususnya komitmen sang kupu-kupu besi (Margareth Thatcher). Jalur swastanisasi yang dipergunakan selama kurun waktu itu adalah 28 buah melalui private placement dan 19 lainnya lewat initial public offering (IPO).
Bahkan beberapa yang besar sudah memasuki privatisasi sampai gelombang ketiga misalnya British Petroleum dan Cable & Wireless. Privatisasi ini menyangkut BUMN dari pelbagai sector mulai dari public utilitas, penerbangan (British Airways), pelayaran, telekomunikasi (British Telecom), perminyakan (British Petroleum, Britoil) sampai ke produsen mobil mewah (Jaguar dan Roll Royce). Di sector perlistrikan sebanyak 11 perusahaan listrik daerah dijual 100% sepanjang tahun 1989-1990. Demikian juga dengan 9 PAM daerah yang 100% dijual melalui pola penawaran umum.
Swastanisasi BUMN Inggris oleh Maggie “si kupu-kupu besi” banyak dikagumi namun sedikit yang mau memahami bahwa itu dilakukan karena adanya pemerintah yang kuat, kesamaan visi, transparan, dan komitmen penuh. Bahkan jika dianggap perlu menggunakan tangan besi melalui kebijakan yang jelas membela habis-habisan kepentingan BUMN mereka ketika berhadapan dengan swasta sendiri, kalau perlu dengan trik bisnis yang kejam sekalipun. Sebagai contoh klasik adalah pertarungan bisnis antara British Airways melawan Virgin Atlantic sebagaimana diungkapkan oleh Martin Gregory dalam “Dirty Tricks” (Warner Books, 1994).
Disisi lain kekuatan dan vested interest dalam intern BUMN nasional juga perlu diperhatikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak diantara kalangan BUMN sendiri yang tidak menyukai proses swastanisasi dengan pelbagai alasan yang ekplisit namun implicit. Karena privatisasi berarti akan merubah struktur manajemen dan peta kekuatan intern sehingga akan mempengaruhi nasib masing-masing. Ringkas kata ini berpengaruh langsung pada 1.100 anggota dewan direksi dan dewan komisaris, BUMN Indonesia, dimana mayoritas anggota dewan komisaris adalah para mantan pejabat tinggi dari departemen keuangan dan departemen teknis terkait. Posisi ini kalau di birokrasi Jepang dikenal sebagai “amakudari” (the old boy network) sebagai jajaran mantan petinggi pejabat negara yang menduduki jabatan penting di BUMN dan juga perusahaan swasta. Sebuah kondisi yang sebenarnya wajar saja namun di Jepang justru terbukti menjadi pemicu dan sumber skandal bisnis. Semoga perilaku sebagian mantan (oknum) birokrat Jepang berbeda dengan mantan birokrat Indonesia. (disensor potong….oleh Warta Bisnis)
Dengan demikian pemikiran mengenai privatisasi sebagai sarana menuju kondisi negara tanpa BUMN jelas membutuhkan waktu dan perdebatan panjang ditengah pertentangan hebat antar dua kubu yang pro dan kontra privatisasi. Menurut hemat penulis beberapa hal positif dari konsep negara tanpa BUMN diantaranya :
1. menutup atau menghilangkan tudingan atau sengketa untuk menjadikan BUMN sebagai sapi perah bagi pemerintah dan atau parpol sebagai sumber keuangan untuk dijadikan sandera atau tawanan.
2. pemerintah tidak lagi sibuk dan mengurusi ekonomi mikro perusahaan yang lebih baik dikelola dan diserahkan kepada mekanisme pasar, dengan seleksi sektoral yang ketat misalnya dimulai dari industri manufacturing sampai yang terakhir sector pubik utilitas.
3. sebagai sumber pendanaan maka lebih baik dan menguntungkan jika pemerintah memungut pajak dari BUMN atau bekas BUMN tersebut yang berpotensi meningkat, jika dikelola oleh manajemen yang benar dan sehat. Dibandingkan dengan memiliki BUMN yang kinerjanya jelek dan minta injeksi PMP (ekuiti) dan investasi disamping kisruh memilih manajemen yang handal.
4. BUMN sebagai “komoditi” yang layak dijual untuk pendanaan APBN memang memainkan peranan cukup berarti. Untk APBN 2003, setoran dari bagian labanya mencapai Rp. 10,4 trilyun, sementara hasil dari privatisasi diharapkan Rp. 8 trilyun. Sehingga gabungan laba dan swastanisasi BUMN sekitar Rp. 18 trilyun sedikit lebih besar dari target penjualan asset BPPN Rp. 18 trilyun.

Kesimpulan

Membayangkan negara tanpa BUMN jelas akan mendapat tanggapan dari pihak yang kontra karena pelbagai argumentasi yang tentu sah-sah saja. Untuk itu ingin digarisbawahi beberapa hal utama diantaranya :
1. paradigma bahwa negara perlu memiliki BUMN sebagai unit usaha perlu ditinjau ulang karena dari banyak pengalaman dan fakta ternyata kinerja BUMN tidak bisa lebih baik dari periode sebelumnya. Lebih baik pemerintah memposisikan diri sebagai pemegang saham minoritas atau dengan golden share (syarat baku) menyerahkan kepada pemegang saham mayoritas untuk urusan manajemen, ekspansi, atau investasi. Yang penting menguntungkan dan pembayaran pajaknya yang kian besar.
2. Dengan rasio 8% BUMN terbaik menyumbang 80% total laba dari 145 BUMN merupakan fakta yang tak terbantahkan apalagi per Desember 2002 pemerintah masih memiliki piutang sebesar Rp. 70 trilyun lebih dengan debitur atau penghutang terbesar dari BUMN. Jangan bandingkan dengan BLBI dan pasien BPPN yang terpaksa dinasionalisir sementara ibarat anak angkat pemerintah.
3. Dengan konsep ini maka kantor Meneg BUMN perlu dituntut tanggungjawab dan kerja yang lebih keras. Karena mereka seakan menjadi pemegang saham (owner) mewakili pemerintah yang seyogyanya harus menjual harta miliknya dengan harga paling mahal kepada mitra paling tepat dan transparan. Mereka ibarat konglomerasi (BUMN Inc.) berasset Rp. 700 trilyun lebih atau dua periga PDB. Maka siapapun yang berkantor di Meneg BUMN pasti akan mendapat tudingan universal dan klasik tersebut sehingga perlu daya tahan karena itu termasuk beban dan tanggungjawab atas honorarium yang diterimanya dari negara. Sehingga tak perlu sungkan mengungkapkan persentase fee privatisasi karena ini adalah transaksi bisnis murni, professional dan terbuka.
4. Proses swastanisasi yang menggabungkan beberapa pola antara private placement dan IPO merupakan langkah tepat. Namun sebaiknya perlu direalisir klausul untuk memprioritaskan proses ESOP (employee stock ownership plan) demi penyebaran saham ke public agar lebih merata. Meski sangat besar peluang untuk dimanipulir yang akhirnya menjadi subsidi salah sasaran.
5. Selanjutnya yang paling strategis adalah regulator yakni departemen terkait yang berperan dalam mengatur dan mengawasi peta persaingan bisnis melalui serangkaian kebijakan pemerintah. Khususnya pada sector strategis seperti telekomunikasi, public utilitas lain seperti air minum, dan perlistrikan.
6. Tidak ada swastanisasi yang sukses dan gemilang tanpa dukungan serius, terpadu, dan komitmen penuh seluruh elemen bangsa dengan visi yang sama dan tentu saja pemerintah yang kuat dan bersih. Bahkan jika perlu menjalankan dengan tangan besi dan tegas sebagaimana halnya pertarungan bisnis murni, asalkan demi kepentingan negara. -*-

Read more...

Saturday 21 February 2009

Potensi Kredit Lonsumsi Berbasis Payroll Rp. 32.9 Trillius


Perkembangan kredit konsumsi yang pesat selama lima tahun terakhir yang tumbuh rata – rata 36,6% melebihi total kredit 23,1% dan menyerap 29,2% total kredit perbankan nasional telah melahirkan persaingan yang ketat antar perbankan maupun dengan multifinance untuk memperbutkan potensi pasar yang sama. Terkait dengan kompetisi memperebutkan potensi pasar tersebut INBRA (Investment and Banking Research Agency) melakukan survey untuk menelusuri bagaimana potensi pasar kredit konsumen dengan mengincar konsumen berpenghasilan tetap berbasis pay roll.
Survey dan pemetaan INBRA ini mencakup 329 perusahaan (tidak termasuk holding company) dengan basis pendapatan gaji setahun penuh pada posisi Desember 2006. Jajaran perusahaan ini sepanjang tahun 2006 membayar gaji / honorarium sebesar Rp 32,9 triliun yang diterima oleh 861 ribu karyawan di seluruh Indonesia, dibandingkan tahun 2005 ternyata jumlah karyawannya bertambah 30 ribu atau 3,6% dan total gaji pun naik rata–rata 10,4% dan karyawan di perbankan menjadi calon konsumen potensial. Dari total gaji tersebut sebesar 42% diterima oleh 186 ribu karyawan perbankan, disusul oleh 369 ribu karyawan di industri/ manufacturing yang menyerap Rp 5,9 triliun. Lihat tabel.

POTENSI PASAR KREDIT KONSUMSI
BERBASIS PAY ROLL PER SEKTOR 2006-2005 -Table Lengkap -Hubungi INBRA
Sumber: Diolah dari laporan keuangan. % menunjukkan perubahan 2005-2006
Diringkas dari "Potensi dan Peluang Consumer Financing" INBRA, September 2007

Perkembangan makro perbankan ini tidak lepas dari persaingan yang ketat dan konsentrasi dari perbankan nasional khususnya bank – bank utama dimana penyalur kredit konsumsi (mencakup KKB, KPR, KPA, real estate, konstruksi termasuk pinjaman karyawan dan kredit lainnya di luar investasi dan modal kerja). 5 bank penyalur kredit konsumsi terbesar menguasai 31,6% senilai Rp 71,3 triliun sedangkan 10 besar menguasai sebesar Rp 111 triliun atau 49,2% dari total kredit konsumsi per Desember 2006. Porsi 10 terbesar masih satu digit terdiri Bank Rakyat Indonesia (8,3%), Bank Danamon (6,6%), Bank Niaga (5,9%), Bank Mandiri (5,9%), Bank Negara Indonesia (4,8%), Bank Jabar (4,5%), Bank Central Asia (4,3%), Bank Permata (4,1%), Bank Mega (2,7%) dan Bank International Indonesia (2,0%).
Salah satu pasar yang potensial untuk dikembangkan adalah karyawan perusahaan publik yang memiliki penghasilan tetap sebagai captive market yang dapat dikembangkan melalui payroll based financing (pemberian kredit ke karyawan melalui pemotongan gaji langsung dari bank terhadap perusahaan atau nasabahnya).
Kesimpulan:
1. Potensi pasar kredit konsumsi ini dapat dikembangkan oleh perbankan maupun perusahaan pembiayaan berkerja sama dengan developer, perusahaan otomotif, elektronik dan berbagai produsen barang konsumsi lainnya. Dimana pembayaran kredit bulannya dapat dipotong langsung oleh bank kepada perusahaan tempat debitur bekerja sehingga prosesnya lebih mudah dan terjamin. Bagi bank pengembangan program ini akan berdampak ganda yakni memperluas jaringan nasabahnya untuk pemasaran produk dan jasa perbankan lainnya.
2. Potensi pasar ini memiliki aspek berbeda bagi perbankan karena perbankan sudah memiliki potensi tersendiri melalui kredit karyawan yang sebagian besar ditujukan untuk kredit konsumsi seperti KPR/KPA, Kredit Kendaraan Bermotor atau kredit – kredit lainnya. Bahkan dari 6 bank penyalur kredit konsumsi skala triliunan, 3 diantaranya punya rasio kredit karyawan diatas 10% dari total kredit konsumen yaitu BNI (14,5%), BCA (11,7%) dan Mandiri (10,8%).
3. Karyawan dari perusahaan – perusahaan yang menjadi debitur atau nasabah dari bank menjadi konsumen potensial utuk didayagunakan sehingga bermanfaat bagi kedua pihak. -*- Investor Daily

Read more...

Friday 20 February 2009

Ayo Bankir Kita Ke Kebun !

Hampir setahun sejak Gubernur Bank Sentral Burhanudin Abdullah pada sidang pleno ke 12, ISEI di Balikpapan (20 Juli 2007) menghimbau agar perbankan memfokuskan penyaluran kredit ke sektor pertanian ternyata kredit perbankan ke sector pertanian termasuk perkebunan hanya naik sedikit. Sehingga porsinya terhadap total kredit ke sector pertanian masih kecil.
Per April 2007 sektor pertanian menyerap 13,8 % dari total kredit yang disalurkan perbankan. Perkembangan selama 5 tahun terakhir dari 2002- April 2007 menunjukkan terjadinya penurunan pangsa pasar kredit ke sektor pertanian dari 6,1 % Desember 2002 menjadi 5,3 % April 2007 dan kontribusi bank pemerintah menurun dari 61 % menjadi 56 %. Peta kredit makro ini dipertegas lagi pada peta mikro menyangkut masing – masing bank pelaksana sebagaimana terlihat dari survey INBRA berjudul Pangsa Pasar Perbankan dan Kolektibilitas Kredit, Juni 2007.
Survey ini menunjukkan bahwa kondisi yang sama dimana sektor pertanian bukanlah sektor utama bagi kalangan perbankan. Per Desember 2006 sektor ini hanya menyerap kredit Rp 31,6 triliun dari yang disalurkan oleh bank publik sebagai basis survey ini atau menyumbang 70% terhadap total kredit di sektor pertanian (Rp 45,2 triliun). Ternyata 5 bank terbesar penyalur kredit sektor pertanian adalah Bank Mandiri, BRI, BNI, BII, dan BCA dengan kisaran pangsa pasar antara 4 % –23 % secara nasional dengan nominal berkisar dari Rp 1,8 triliun (BCA) sampai Rp 10,4 triliun (Bank Mandiri). Porsi selengkapnya lihat tabel.
Daftar dan Table Lengkap Pangsa Pasar Perkebunan, 2006-2007 (Rp. Miliar ) Hubungi Inbra)

Sumber: Laporan Keuangan diolah INBR, Juni 2008
Program revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan yang dicanangkan pemerintah Juni 2005 belum memberikan perbaikan yang signifikan. Terkait dengan kondisi sektor pertanian saat ini maka,
Sementara itu dilihat dari kolektibilitas kreditnya maka total kredit lancar di sektor pertanian mencapai Rp 12 triliun atau 38%, dan hanya sebesar Rp 1,6 triliun (5%) tergolong bermasalah dan hanya Rp 1 triliun yang tergolong macet. Dengan demikian komposisi kredit bermasalah di sektor pertanian yang dimiliki oleh kelompok bank publik relatif sama dengan komposisi kredit bermasalah pertanian secara nasional dimana kelompok bank publik menyumbang 51% dari kredit bermasalah sektor pertanian nasional. Lihat tabel kolektibilitas kredit sektor pertanian.
Kolektibilitas Kredit Sektor Pertanian ( Table Lengkap )

Sumber:“Pangsa Pasar Perbankan dan Kolektibilitas Kredit”, INBRA April 2007

Secara nasional kredit di sektor pertanian yang berstatus bermasalah/NPL sebesar Rp 3,16 triliun atau ketiga terbesar di antara sektor lain – lainnya setelah perindustrian, perdagangan, hotel dan restoran. Perkembangan selama lima tahun terakhir menunjukkan bahwa kredit bermasalah sektor pertanian cenderung menurun dari Rp 3,9 triliun (tahun 2001) menjadi Rp 3,16 triliun (tahun 2006), dan peringkatnya tidak mengalami perubahan.
Selengkapnya lihat tabel.
Sumber: Bank Indonesia, 2007

Dari komposisi nasional ini menunjukkan bahwa kredit perbankan ke sektor pertanian baik off-farm maupun on-farm belum menjadi pilihan investasi yang menarik bagi perbankan meskipun kelayakan kreditnya relatif baik dibandingkan sektor–sektor lainnya. Untuk itu diperlukan insentif dan penyamaan persepsi dalam program revitalisasi pertanian agar dapat mencapai tujuan. Penyamaaan persepsi adalah penting mengingat keterkaitan dari sektor – sektor lain yang tinggi secara tidak langsung. Salah satu perkembangan yang menarik kita bisa melihat pada rencana makro dari salah satu konglomerasi yang justru sedang aktif dan terpadu mengembangkan bisnisnya di sektor yang terkait dengan sektor pertanian. Dengan cara mereka memberikan kredit langsung kepada petani untuk pengadaan seluruh kebutuhan yang terkait dengan kegiatan pertanian, mulai dari pembibitan, pupuk, alsintani, sampai ke pemasaran - perdagangan produk akhir pertanian. Oleh sebab itu jika dilihat dari jenisnya maka sebagian kredit ini bisa digolongkan pada sektor perdagangan yang kenyataannya terkait sektor pertanian.
Ekspansi yang dilakukan oleh konglomerasi tersebut dapat dikatakan berskala nasional dengan pola pemasaran produk pertanian mengarah pada konsep outlet dengan jaringan pemasaran ala mutilevel. Dengan konsep ini diharapkan memberikan multiplier effect yang akhirnya akan menaikkan pendapatan petani dan tentu saja mengamankan pengembalian kewajibannya kepada kreditur yang telah menyalurkan kredit.
Secara teknis dapat diungkapkan pola yang dilakukan oleh konglomerasi tersebut adalah petani yang mendapatkan kredit dari bank akan dibina dengan pola manajemen dari bank kreditur. Pada saat bersamaan juga disalurkan kredit kepada perorangan maupun petani untuk terlibat dalam aktivitas perdagangan alsintani (alat mesin pertanian, seperti traktor mini atau cangkul) yang akan didirikan pada setiap kecamatan yang akan menjangkau di wilayah setempat. Unit usaha ini yang nantinya akan membentuk outlet – outlet yang akan menjual produk alsintani, bibit dan pupuk dengan konsumen utama para petani di wilayah setempat. Dengan demikian aktivitas bisnisnya akan terkait langsung dengan dinamika sektor pertanian yang tentu saja tidak lagi hanya sebatas menghasilkan padi. Keberadaan outlet – outlet ini diperkirakan akan menjadi persaing utama bagi koperasi – koperasi yang selama ini terkait dengan aktivitas pertanian.
Dengan mobilisasi dana dan dukungan jaringan distribusi yang sudah dimiliki saat ini maka realisasi dari konsep ini diperkirakan akan berjalan dengan baik, dengan catatan sejauh didukung oleh pelaku utama sektor pertanian yaitu petani. Konsep konglomerasi pertanian ini jika ingin dikembangkan secara nasional sebagai prototype dalam menumbuh kembangkan taraf hidup petani maka dapat diterapkan oleh bank sebagai kreditur yang akan terlibat total dalam pengembangan pertanian ini. Sehingga tidak lagi hanya membatasi diri pada penyaluran kredit semata. Jika konsep ini diterapkan oleh bank – bank utama yang selama ini cukup mendominasi kredit di sektor pertanian maka diharapkan akan berdampak positif dalam peningkatan kredit ke sektor pertanian yang berkualitas baik.
Saat ini memang belum ada bank spesifik atau fokus membiayai sektor pertanian karena bank pemerintah (Bank Mandiri porsi ke pertanian hanya 8,9%, BRI 10,5% dan BNI 5%). Sedangkan Bank Agro yang pemegang sahamnya pihak – pihak yang terkait dengan pertanian dan perkebunan porsinya hanya 43% dari total kreditnya atau sebesar Rp 865,9 miliar cenderung meningkat. Dengan demikian konsep “konglomerasi pertanian” diperkirakan dapat meningkatkan aktivitas kredit ke sektor pertanian yang selama ini khususnya pasca krisis telah menjadi penyelamat aktivitas ekonomi makro dan memiliki daya tahan dan keunggulan dibandingkan beberapa sub sektor perindustrian lainnya.
Dengan kenyataan masih minimnya alokasi kredit perbankan ke sektor pertanian seharusnya menjadi pendorong bagi perbankan untuk memanfaatkan dan mendayagunakan potensi riil yang ada di sektor ini.

Kesimpulan:
Minimnya alokasi kredit perbankan ke sektor pertanian dan sektor terkait tidak bisa disalahkan kepada pihak perbankan saja karena untuk pengembangan dan suksesnya bisnis pertanian memerlukan dukungan infrastruktur terkait lainnya yang saling menunjang. Mulai dari alokasi tanah, alsintani sampai ke pemasaran hasil produksi baik lokal maupun ekspor tanpa tersedianya infrastruktur tersebut maka sektor pertanian sulit untuk berkembang dan memberikan hasil yang maksimal. Apalagi untuk menjadi sektor penyerap kredit yang lebih besar.
Tiga bank pemerintah masih menjadi motor utama penyaluran kredit ke pertanian sehingga tiga bank terbesar ini menguasai 51,2% dari total kredit pertanian nasional per Desember 2006. Sedangkan tiga besar dari kelompok bank swasta nasional adalah Bank International Indonesia (4,5%), Bank Central Asia (4,1%) dan Bank Niaga (3,4%). Meskipun NPL sektor pertanian relatif rendah dibandingkan NPL sektor konsumsi tapi kelompok bank – bank utama ini justru pada saat bersamaan semakin aktif menyalurkan kredit ke sektor konsumsi khususnya sektor property. *

Read more...

Thursday 19 February 2009

Money Laundry, Semakin Korup Semakin Sering

Keputusan Financial Action Task Force (FATF) tanggal 22 Juni 2001 memasukkan Indonesia sebagai satu di antara 15 negara yang dianggap tidak kooperatif (non-cooperative countries and territories, NCCT) dalam memberantas praktik pencucian uang (money laundring), diakui atau tidak telah mendorong otoritas moneter dan hukum di dalam negeri untuk segera bereaksi positif. Masuknya di Indonesia dalam blacklist FATF jelas berdampak negatif bagi performa kita dimata lembaga keuangan internasional. Karena 29 negara maju (anggota FATF) diminta untuk memberikan perhatian khusus jika melakukan transaksi keuangan dengan orang, perusahaan atau lembaga keuangan dari 15 negara tersebut.
Keluar masuknya negara dalam daftar NCCT, tergantung pada perkembangan dan komitmen negara tersebut dalam menerapkan 40 buah rekomendasi antipencucian uang oleh FATF (satgasnya OECD untuk antipencucian uang). Empat puluh butir rekomendasi tersebut terbagi dalam empat bagian utama, yakni kerangka umum rekomendasi (tiga butir); peranan sistem dan lembaga keuangan dalam strategi perang melawan pencucian uang haram (22 butir); dan memperkuat kerja sama internasional antarlembaga maupun negara (11 butir).

Standar ganda
Perlu kita pahami bahwa praktik pencucian uang dalam pelbagai skala dan teknis tidak mungkin bisa dilakukan oleh suatu negara tanpa didukung bank dan lembaga keuangan raksasa dengan jaringan global dan canggih. Apakah mungkin cabang swasta atau Bank Pembangunan Daerah (BPD) atau Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di kabupaten bisa dipercayai melakukan transaksi puluhan atau ratusan juta dollar AS dengan jaringan bank lain di pelbagai pusat keuangan dunia dan offshore centre. Semua itu hanya bisa terjadi jika melalui jaringan perbankan internasional yang menyebar dari Uni Eropa, Amerika Serikat, Amerika Latin, Karibia, sampai Asia Timur.
Jelas terdapat hubungan erat antarpara pelaku pencucian uang dengan perbnakan internasional yang bersedia menjadi saluran untuk proses tersebut. Transaksi pencucian uang yang bersumber dari berbagai praktik bisnis ilegal dan “uang panas” (hot money) tersebut jelas merugikan negara yang dilibatkan. Setidaknya, kerugian dari pajak yang normal diterima. Oleh sebab itu, kita harus melihat aspek positif gebrakan FATF in, meski secara implisit terkesan langkah kelompok negara maju tersebut tidak adil, berstandar ganda, bahkan bisa disebut munafik.
Eksistensi offshore centre juga menjadi ujung tombak yang mempermulus praktik ini. Sampai kini tercatat tidak kurang dari 4.000 izin offshore bank yang berlokasi di 60 offshore centre dan menguasai total aset lima triliun dollar AS. Hampir menyamai total perdagangan barang dan jasa versi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Paling banyak berlokasi di Karibia dan Amerika Latin 44 persen, Eropa 28 persen, Asia 18 persen, dan di Timur Tengah serta Afrika 10 persen. Nauru dan Montenegro termasuk yang paling baru mendirikan offshore centre sebagai salah satu sumber pendapatan negara. Montenegro bahkan menjual izin bank swasta lewat internet seharga 10.000 dollar AS. Sehingga tidak heran jika banyak perusahaan “maya”, misalnya 75 dari 570 izin bank di Cayman atau 65 buah dari 400 izin di Bahama adalah bank sebatas papan nama.
Salah satu lahan utama dalam pencucian uang adalah praktik bisnis ilegal (underground business) yang bisa mencakup dari penyelundupan, perdagangan obat, prostitusi, sampai tenaga kerja ilegal. Mengutip hasil riset Dr. Friedrich Schneider (universitas of Linz) yang meneliti tentang bisnis bawah tanah menyatakan bahwa antara tahun 1989 sampai 1999, porsi bisnis bawah tanah (persentase terhadap PDB) di negara – negara OECD justru meningkat pesat. Ini tidak lepas dari meningkatnya pajak, beban sosial, serta semakin rumitnya birokrasi pemerintah. Sehingga rakyat dan dunia usaha cenderung lebih menyukai jalan pintas dan ilegal.
Sebagaimana terlihat pada tabel, 21 negara OECD ternyata tiga besar negara yang porsi bisnis ilegalnya (persentase terhadap PBD) terbesar adalah Yunani, Italia dan Spanyol. Sebaliknya, tiga negara paling rendah porsinya adalah Swiss, Amerika Serikat, dan Australia masih dibawah 10 persen PDB. Jika rasio ini tepat maka bisa dibayangkan, berapa nilai transaksi ilegal bisnis di masing – masing negara maju tersebut. Ini tentu saja mengurangi pendapatan pajak bagi negara masing – masing. Apalagi omzet pencucian uang global diperkirakan bisa mencapai lima persen PDB dunia (versi IMF).
Temuan data Dr. Friedrich tersebut, jika dikaitkan dengan peringkat korupsi global, tentu sangat bertentangan sehingga menimbulkan aneka tafsir yang bisa memperkuat atau malah inkonsistensi. Misalnya tiga negara yang paling bersih (relatif) dari praktik korupsi, menurut versi Transparency International (TI), adalah Finlandia, Denmark, dan Selandia Baru. Tetapi, di tiga negara ini praktik bisnis ilegal (underground business) diperkirakan mencapai antara 10 persen sampai 20 persen dari total PDB.
Sementara ketiganya adalah anggota FATF dan kebetulan juga warga global European Union dan OECD. Padahal, menurut peringkat “opacity index” versi Pricewaterhouse (PWC, Januari 2001) indeksnya Italia dan Yunani relatif bagus sejauh menyangkut keterbukaan serta transparansi pemerintah dan dunia usaha untuk proses good corporate governance. Pelbagai peringkat global ini menunjukkan sebuah kondisi dimana posisi pemeringkatan global masih sangat lentur dan relatif. Di sinilah kita perlu lebih jernih dan obyektif dalam melihat pemeringkatan global, sekaligus untuk mencermati bagaimana persepsi negara maju melihat negara lain dalam perang antimoney laundring.
Kemudian, jika dikaitkan praktik korupsi global menurut versi TI dengan langkah FATF dalam pemberantas pencucian uang. Dari perbandingan global dengan pendekatan multi aspek (lihat tabel money laundring dari aspek transparansi, bisnis ilegal dan korupsi global) terlihat bahwa negara yang tingkat korupsinya tinggi masuk dalam blacklist FATF. Dari 91 negara yang diperingkat oleh TI untuk perilaku korupsi, maka sembilan diantaranya masuk daftar NCCT FATF sehingga perlu berhati – hati melakukan transaksi keuangan dengan negara – negara tersebut. Apalagi sembilan negara tersebut tentu saja belum menjadi anggota FATF sehingga pemberantasan pencucian uang belum dijalankan secara aktif dan berstandar global. Sehingga semakin korup sebuah negara maka semakin sering melakukan money laundring.
Karena di samping bisnis ilegal, praktik pencucian uang ini tidak jauh – jauh amat dari praktik penyaluran hot money atau dirty money eks hasil korupsi tingkat berskala besar. Nigeria, Indonesia, Rusia, Filipina, serta Guatemala adalah lima negara yang masuk blacklist FATF, dan juga lima negara terkorup di dunia. Dari aspek transparansi dengan “opacity index” (versi PWC) memang China, Rusia, dan Indonesia tergolong paling tertutup. Tabel kompilasi versi Business Intelligence Report (BIRO) ini disusun dengan basis negara anggota FATF, daftar NCCT FATF dan China. Sehingga tidak semua negara yang diperingkat dari pelbagai versi masuk dalam tabel ini.

Tabel Langkap Negara Tempat Money Laundry-Hubungi Inbra
PENCUCIAN UANG DARI ASPEK TRANSPARANSI,
BISNIS ILEGAL DAN KORUPSI GLOBAL

Berbagai sumber diolah INBRA dengan catatan:
(xxx), negara yang digolongkan "non cooperative" dalam memberantas pencucian uang oleh FATF (per Juni 2001)
(x), anggota FATF
* Huruf tebal menunjukkan negara tersebut sebagai international Offshore Centre (IOC)
* Rekomendasi adalah jumlah dari 40 rekomendasi FATF yang sudah diterapkan oleh negara anggota (Juni 2001)
* Bisnis ilegal "underground business" berdasarkan data Dr Fredrich Schneider (Universitas Linz), kecuali angka Cina
* Peringkat "opacity" berdasarkan data PricewaterhouseCoopers (Jan 2001), semakin besar semakin bagus
* Peringkat CPI (Corruption Perception Index) dari transparency International (Juni 2001), semakin besar semakin jelek

Jaring Laba – Laba
Praktik bisnis gelap ini memang sudah mewabah ibarat jaringan laba – laba atau belalai cumi raksasa membentang lintas sektor. Sebagaimana diungkapkan Brian Freemantle dalam bukunya “The Octopus, Europe In The Grip of Organizes Crime” (Orion Book, London 1996) eksistensi dan operasionalisasi kriminal di daratan Eropa sudah bagaikan belalai gurita yang membentang demikian jauh dengan cengkeraman yang erat dari elite politik di belakang istana negara sampai ke mafia yang menguasai seluk-beluk kehidupan masyarakat. Denyut nadi kriminalitas ini tidak bisa lepas dari jaringan mafia Italia (Corsia, Sisilia), Kartel Cali (di Amerika Latin), mafia Yardies (gang Jamica yang menguasai London), mafia Chechen dan Rusia yang menguasai Eropa Timur dan bekas Uni Soviet, sampai ke mafia Jepang Jakuza dan Triad RCC-Hongkong.
Lebih rinci lagi, Freemantle yang membebarkan apa, siapa, dan bagaimana kisah di balik pelbagai skandal politik, ekonomi dan militer di Eropa bahkan menembus dinamika bisnis samping ke jantung Vatikan. Mulai dari istana dan hotel internasional yang bertabur bintang, sampai ke lorong – lorong kumuh nan gelap sebagai objek dan subjek kriminalitas global. Praktik bisnis gelap sebagai objek dan subjek kriminalitas global. Praktik bisnis gelap ini melibatkan aktivitas bisnis seperti narkoba, pelacuran, penjualan anak – anak dibawah umur, buruh ilegal, jual beli senjata, dan yang lebih mengerikan adalah transaksi bisnis organ tubuh manusia.
Kecenderungan paling mutakhir (selain pola konvensional) adalah pencucian uang oleh para top birokrat di sejumlah negar yang mengalami krisis dan memasuki era transisi. Mulai dari Rusia, eks Yugoslavia serta negara Eropa Timur, kawasan Afrika, Amerika Latin, dan tentu saja di Asia.
Sebagaimana dilaporkan British Financial Accounting (FSA) bulan Maret lalu, setidaknya ada 15 bank di Inggris yang lemah dalam pengawasan praktik pencucian uang. Diperkirakan bank – bank tersebut sudah menjadi sarana pencucian uang sebanyak 1,3 miliar dollar AS milik penguasa militer Nigeria (Zachary Abacha). Sementara itu, tidak kurang dari dari 2,9 miliar dollar AS dana milik Slobodan Milosevic (yang sekarang jadi terdakwa di pengadilan internasional) dicuci lewat perbankan di Swiss, Yunani, dan Cyprus selama di berkuasa di Yugoslavia. Atau keterlibatan Bank of New York (BONY) dalam transaksi para jutawaan Rusia tahun 1999. ini hanya untuk menyebut beberapa contoh saja.
Skandal korupsi dan praktik money laundring justru menemukan pola baru yang lebih canggih dan besar di Cina yang menggerogoti ekonomi negara dari dalam. Korupsi menyedot hampir 17 persen PDB dan bisnis ilegal menyerap 20 persen (bahkan perkiraan indenpenden menyebutnya hampir 40 persen).
Arus investasi asing langsung (Foreign Direct Investment – FDI) ke Hongkong tahun 2000 yang mencapai 64 miliar dollar AS (melonjak hebat dari 24 miliar dollar AS tahun 1999) justru dicurigai sebagai bagian dari pola pencucian uang oleh birokrat Cina melalui Hongkong dengan pola FDI. Apalagi hampir 70 persen FDI ke Hongkong tersebut berasal dari Cina Daratan dan offshore centre. Lebih fantastis lagi, investasi keluar (outflow FDI) dari Hongkong mencapai 62 miliar dollar. Jurus keluar masuknya dana mengatasnamakan FDI juga bukan hal mustahil untuk diterapkan di Indonesia sehingga akan masuk investor asing dan “aseng” dengan pelbagai saluran.

Indonesia
Keluarnya Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 3 Tanggal 18 Juni 2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (“know your customer principles”) adalah sebuah langkah positif, meski terkesan terlambat dengan dampak memalukan. Jika tidak terlambat, Indonesia tidak perlu masuk dalam daftar FATF, setidaknya untuk tahun ini, karen pengkajian berlangsung setiap tahun. Oleh sebab itu, tidak berguna lagi mempersoalkan PBI keluar 18 Juni atau empat hari lebih cepat dari pengumuman FATF, tanggal 22 Juni. Dari perkembangan historis jelas bahwa langkah kita mengantisipasi imbauan global antipencucian uang ini sangat lambat dengan pelbagai kendala dan alasan. Padahal, benih – benih untuk itu sudah banyak diatur mulai dari UU Antikorupsi, bahkan bisa melebar sampai UU Psikotropika.
Dari aspek transaksi perbankan, proses pemantauan transaksi nasabah perbankan dengan mitra di luar negeri sudah diatur jelas melalui PBI I tanggal 28 Oktober 1999 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank. Peraturan ini memang lebih bersifat intern makro, yakni untuk membantu pemerintah dalam menyusun Statistik Neraca Pembayaran dan Posisi Investasi Internasional Indonesia. Ini sebagai tindak lanjut dari UU Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.
Namun, karena pelbagai alasan dan agenda kerja maka baru 21 bulan kemudian (sejak Oktober 1999 sampai 13 Juni 2001) dikeluarkan Surat Edaran Bank (SEBI) Nomor 3 Tanggal 13 Juni 2001 tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa oleh Bank. Melalui SEBI ini baru ditetapkan bahwa bank wajib melaporkan transaksi keuangan oleh nasabah secara bulanan. Transaksi di atas 10.000 dollar AS (ekuivalen) harus dilaporkan secara individu yang berisi rincian tentang kategori, jenis rekening, pelaku dam hubungan keuangan antarpelaku transaksi, jenis valuta, dan tujuan transaksi.
Sedangkan untuk transaksi dibawah 10.000 dollar AS (ekuivalen) dapat dilaporkan secara gabungan dan tidak perlu dilengkapi dengan keterangan mengenai transaksi, sebagaimana rincian untuk transaksi di atas 10.000 dollar AS. Kemudian ditindaklanjuti dengan PBI, lima hari kemudian. Batasan transaksi 10.000 dollar AS ini setidaknya sama dengan batasan yang diterapkan oleh AS sejak tahun 1970 yang mewajibkan bank harus melaporkan penerimaan di atas 10.000 dollar AS dan pelbagai transaksi mencurigakan (suspicious transaction). Tetapi, masih saja jebol dan kewalahan, apalagi dengan mengkristalnya NAFTA.
Meski kita sudah ketinggalan 21 bulan, antisipasi ini tentu saja tidak cukup untuk mengeluarkan Indonesia dari daftar hitam NCCT FATF karena masih begitu banyak agenda dan rekomendasi yang harus dipenuhi. Jangankan Indonesia yang baru saja bergabung dalam kelompok regional antipencucian uang (Asia Pacific Group on Money Laundring, APGML) tanggal 21 Juni 2001. Dari 29 negara anggora FATF, belum semuanya menerapkan 40 butir rekomendasi global tersebut. Oleh sebab itu, mempercepat lahirnya UU Antipencucian Uang yang sekarang masih digodok di DPR merupakan sebuah langkah strategis dan perlu. Bahkan, Hongkong yang sudah menjadi anggota FATF mengancam akan memasukkan mereka dalam blacklist jika tidak bisa menyelesaikan setumpuk kasus narkoba dan praktek money laundring lainnya.
Pemberantasan pencucian uang bukan lagi isu baru, setidaknya sudah mengemuka tahun 1997. Bagaimana kecepatan DPR dalam memproses lahirnya UU tersebut yang sudah menerapkan tuntunan nasional dan global menuju terciptanya pemerintah yang bersih dan dunia usaha yang sehat. Yang terpenting lagi adalah komitmen, integritas, dan keseriusan petinggi di eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk memberantas masalah ini. Mengingat pejabat yang sudah menyerahkan daftar kepemilikannya ke KPKPN saja tidak lebih dari 15 persen sehingga ada tanda tanya besar di depan mata kita. Praktik pencucian uang tentu saja tidak menggunakan mesin cuci, apalagi papan gilas tradisional. (*)

Read more...

Wednesday 18 February 2009

Beban Bunga Perbankan Faktor Utama Biaya Produksi ?


Naiknya BBM rata – rata 125% yang selanjutnya diperkirakan akan mendorong inflasi menembus dua digit (jadi 12%) ditambah naiknya BI rate menjadi 11% tentu akan mempengaruhi dunia usaha yang segera mengantisipasinya dengan kebijakan masing – masing sesuai spesifikasi sektoral. Sementara itu apapun antisipasinya maka perbankan sebagai pemasok kredit pasti akan terpengaruh dan merasakan dampaknya volatilitasnya dengan berbagai skala. Karena dinamika di dunia usaha akan selalu terkait dan saling mempengaruhi kinerja perbankan nasional sebagai sumber dana dan sumber kredit.
Terkait dengan perkembangan ini maka INBRA (Investment and Banking Research Agency), lembaga riset yang fokus pada sektor perbankan dan investasi, menganalisis tentang dampak kenaikan BBM dan suku bunga perbankan terhadap eksistensi dunia usaha. Sehingga dapat memberikan masukan dari sisi lain kepada pelbagai pihak terkait untuk tidak saling menyalahkan. Analasis ini menggunakan basis data perusahaan publik di bank, asuransi dan jasa keuangan yang penghasilannya di atas Rp 0,5 triliun selama semester pertama 2005, atau rata – rata berkisar Rp 1 triliun per tahun. Dengan pendekatan ini terdapat 68 perusahaan yang memenuhi kriteria tersebut, yang menghasilkan benang merah diantaranya :
- total biaya produksi dan operasional yang dikeluarkan per Juni 2005 mencapai Rp 188,7 triliun dimana 44 perusahaan mengeluarkan beban produksi rata – rata di atas Rp 1 triliun.
- 79,7% atau Rp 150,2 triliun dikeluarkan untuk beban pokok (cost of good sales) dimana ada 37 perusahaan yang membelanjakan dana (capital expenditure, capex) diatas Rp 1 triliun. Dengan demikian porsi terbesar adalah biaya produksi langsung yang selanjutnya terkait dengan konsumsi kepada sektor industri hulu dan hilir terkait. Dalam arti kata biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 150,2 triliun ini menjadi “kue bisnis” bagi perusahaan lainnya mulai dari bahan baku dan bahan penolong baik lokal maupun impor serta komponen lain dari para pemasok. Kenaikan BBM yang akan disusul oleh kenaikan tarif listrik (Januari 2006) praktis akan mendorong kenaikan biaya di pos ini karena semuanya saling terkait lintas industri. Lima perusahaan terbesar dengan beban pokok di atas Rp 5 triliun adalah PT Astra Internasional (Rp 22,9 triliun), PT Telkom (Rp 19,3 triliun), PT Gudang Garam (Rp 9,6 triliun), PT HM Sampoerna (Rp 7,8 triliun), dan PT Indofood (Rp 6,4 triliun).
- 17,1% atau Rp 32,1 triliun dikeluarkan untuk beban usaha dan beban umum dimana ada 6 perusahaan yang nilainya diatas Rp 1 triliun. Pengeluaran beban usaha relatif lebih tinggi pada industri padat modal dan juga industri consumer good yang pemasaran produknya lebih gencar di samping jaringan distribusi. Lima perusahaan terbesar adalah PT Telkom Indonesia (Rp 11,4 triliun), PT Astra Internasional (Rp 3,3 triliun), PT Indofood Sukses Makmur (Rp 1,254 triliun), PT Unilever (Rp 1,252 triliun) dan PT HM Sampoerna (Rp 1,2 triliun).
- 3,2% atau Rp 5,9 triliun dikeluarkan untuk beban bunga dan jasa keuangan lain, dimana tidak ada perusahaan yang beban bunga perbankannya diatas Rp 1 triliun. Mayoritas (40 perusahaan) membayar beban bunga perbankan dibawah Rp 100 juta dan 3 perusahaan yang membayar diatas Rp 500 juta. Dinamika pos ini terkait dengan jumlah hutang ke perbankan sehingga semakin besar saldo pinjaman semakin besar beban bunga perbankan. Dimana 5 perusahaan yang membayar beban bunga terbesar adalah PT Indah Kiat Pulp & Paper (Rp 862 miliar), PT Telkom Indonesia (Rp 647 miliar), PT Indosat (Rp 568 miliar), PT Indofood Sukses Makmur (Rp 452 miliar), dan PT Bumi Resources (Rp 312 miliar). Ini memang kelompok perusahaan yang tergolong “big debtor”.

Selanjutnya dari analisis lintas sektor ditemukan beberapa kondisi berikut sebagaimana terlihat pada tabel berikut, bahwa :
1. pengeluaran terbesar untuk beban produksi langsung yang terkait dengan kegiatan produksi adalah industri makanan dan minuman disusul oleh industri otomotif. Kedua sektor ini terkait erat dengan pembelian bahan baku dan bahan penolong impor. Disusul kemudian oleh industri telekomunikasi, industri kertas dan pertambangan. Sebaliknya dari rasio komposisi beban produksi terhadap total biaya, justru yang terbesar ada di industri tekstil dan garmen dimana pos ini menyerap 90,8% total biaya disusul oleh jasa pelayaran dan transportasi.
2. pengeluaran terbesar untuk beban usaha dan umum adalah telekomunikasi dan disusul oleh industri makanan dan minuman serta industri otomotif. Sebaliknya diukur dari rasio komposisi beban usaha terhadap total biaya, maka yang terbesar dimiliki oleh industri telekomunikasi (32%) dan media telekomunikasi.
3. sementara itu pengeluaran untuk beban bunga perbankan dan jasa keuangan yang terbesar dikeluarkan oleh industri telekomunikasi disusul oleh industri makanan dan minuman dan industri kertas. Dari aspek rasionya maka yang terbesar justru dari industri keramik dan kaca (12,4%). Kondisi ini terkait dengan kinerja keuangan perusahaan di sektor ini yang punya saldo hutang triliunan pasca restrukturisasi sehingga sangat mempengaruhi aktivitas bisnis secara menyeluruh.

Komposisi Biaya Produksi Perusahaan Besar Indonesia, Juni 2005 (Rp Miliar)-Data Table lengkap hubungi Inbra

Data ini berbasis perusahaan publik yang berpenghasilan diatas Rp 0,5 triliun (per semester), di luar bank dan jasa keuangan.
Sumber : laporan keuangan, diolah Investment and Banking Research Agency (INBRA), Oktober 2005

Kesimpulan
Dari serangkaian data keuangan dunia usaha sektor rill ini maka dapat disimpulkan beberapa hal berikut:
1. sesama industri terkait di sektor rill menjadi kontributor terbesar bagi meningkatnya biaya pokok produksi yang menyumbang 79,7% dari total beban produksi di dunia usaha. Sementara beban bunga perbankan hanya menyumbang 3,2% dimana beban usaha dan umum menyumbang 17,1%. Kebutuhan bahan baku, kebutuhan listrik dan bahan bakar minyak untuk menjalankan produksi di pabrik menjadi faktor yang dominan dengan dampak berantai (multiplier effect) baik langsung maupun tak langsung.
2. kecilnya beban bunga perbankan dari analisis ini (3,2%) secara implisit dapat menunjukkan bahwa faktor bunga perbankan bagi kinerja industri tidak besar dan tidak dominan. Sehingga tingkat volatilitasnya relatif lebih kecil dibandingkan komponen biaya lainnya. Sebagai perbandingan dari survey statistik industri nasional (BPS, 2004) disimpulkan bahwa bahan baku menyerap 81,7% dari total biaya produksi di tahun 2002. Kemudian bahan bakar, listrik dan gas menyerap 6,6% (naik dari 4,1% tahun 1998) dan biaya jasa non industri (termasuk beban bunga) menyerap 10,2% (justru menurun dari 11,9% tahun 1998).
3. perbandingan besar kecilnya kontribusi biaya produksi, beban usaha dan beban bunga perbankan seharusnya dilihat dalam konteks makro dan terpadu. Sehingga tidak tepat dan tidak ada waktu untuk menempatkan salah satu pihak sebagai kontributor negatif dan yang lain sebaliknya. Yang diperlukan adalah kebijakan terpadu untuk akhirnya bersama – sama menurunkan semua komponen beban produksi agar lebih efisien, murah dan berdaya saing. Kebijakan mengantasipasi kondisi ini jangan sampai membawa departemen keuangan dan bank sentral saling berhadapan justru harus dalam satu langkah menghadapi musuh bersama.
4. perbankan sebagai pihak terkait akan terkena dampak dari kenaikan biaya produksi karena akan menurunkan perusahaan (debitur) sehingga kemampuan perusahaan melunasi kewajiban bunganya berkurang. Kemudian muncul tunggakan cicilan sampai kredit macet dan mempengaruhi kinerja dan rasio umum perbankan sesuai standar bank sentral apalagi bobot dan kriteria kolateral semakin ketat melalui paket Januari 2005.
5. naiknya harga BBM tidak bisa disangkal telah memicu pelaku industri lintas sektor untuk menaikkan harga produk dan jasanya. Efek berantai inilah yang seharusnya diminimalisir oleh pemerintah agar bisa membantu meningkatkan produktivitas dan efisiensi atau setidaknya mempertahankan kondisi yang ada saat ini. Paket stimulus berupa insentif sektoral tidak menjamin berdampak positif karena “premi”nya sudah dimakan oleh kenaikan BBM, yang tidak tertutup peluang akan naik lagi tahun 2006. -*-

Read more...

Tuesday 17 February 2009

Quo Vadis Bisnis Retail Indonesia ?

Bisnis Ritel Nasional, Diantara Dikotomi dan Inkonsistensi
Selama 15 tahun terakhir sejak masuknya jaringan ritel asing melalui franchise ke Indonesia ternyata dinamika dan peta persaingan bisnis ritel masih belum lepas dari sindroma umum sebagai kisah klasik. Yakni memandang persaingan dengan dikotomi antara riteler besar dan riteler kecil atau asing versus nasional disamping inkonsistensi dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah pusat dan sekarang ditambah lagi dengan inkonsistensi pemerintah pusat dengan pemerintah daerah (dengan payung otonomi daerah). Termasuk juga pelaksanaan aspek perpajakan yang jika dicermati lebih mendalam lintas sektor bisa menjadi dis-insentif dan unsur negative bagi pengusaha ritel dibandingkan usaha perdagangan lainnya.
Perkembangan mutakhir sepanjang semester pertama tahun 2003 ini juga menarik untuk dicermati karena disaat para riteler mengalami penurunan omzet dan laba ternyata mereka terus membuka gerai baru dan cenderung melebar ke luar Jawa. Penurunan kinerja tersebut terjadi pada 3 riteler utama per Maret 2003 dibandingkan Maret 2002. Dimana omzet Matahari turun 10,5%, sehingga laba usaha menurun 98,7% dan akibatnya laba bersih juga turun 88,5%. Hero Supermarket meski omzetnya naik 1,2% namun laba usaha turun 30% dan laba bersih turun 13,5%. Ramayana masih menikmati kenaikan omzet 14,8% namun laba usaha dan laba bersihnya merosot 68% dan 70%. Rimo juga omzetnya turun 13% dan masih rugi. Bahkan Alfa Ritelindo mengalami penurunan laba bersih sehingga jadi Rp. 2,2 milyar.
Merosotnya kinerja ini tidak lepas dari naiknya biaya operasional mencakup kenaikan listrik, telepon, gaji, dan beban lainnya yang meningkat antara 35% sampai 40%. Memang daya beli masyarakat cenderung menurun. Namun perlu dicermati dan dipahami bahwa ini bukan kejadian luar biasa yang bisa bikin kiamat, karena kondisi ini adalah mengikuti siklus bisnis konsumsi masyarakat. Masa pesta pora dan gebyarnya konsumsi paling tinggi terjadi kuartal keempat, apalagi pada siklus kalender 4 tahun terakhir di mana hari raya Lebaran dan Imlek bertemu dan “ngumpul” di bulan Januari dan Februari dengan Natal dan Tahun Baru. Berdasarkan siklus ini kondisi bakal meningkat pada kwartal 3 dan 4. Yang jelas hari raya lebaran relative bergeser terus sementara Imlek bergeser antara Januari dan Februari.
Dengan demikian potret sementara ini tidak layak dijadikan indicator melemahnya bisnis ritel dan atau melihatnya dari kacamata persaingan bisnis riteler asing dan local atau besar versus kecil. Sebab para riteler raksasa local juga sibuk mengantisipasi dengan buka gerai sehingga menerbitkan obligasi di pasar domestic tidak kurang dari setengah trilyun (sejak September 2002 sampai Juni 2003). Malahan raksasa Hero bulan ini mengeluarkan Rp. 111 milyar untuk akuisisi 22 gerai Top Supermarket (milik Royal Ahold yang bermitra dengan PSP). Secara eksplisit merupakan akuisisi Dairy Farm (Hongkong) terhadap gerai Royal Ahold (Belanda) di pasar Indonesia. Sebuah pertarungan bisnis murni yang bisa terjadi antara riteler asing terhadap mitra local dan juga sesama riteler local.
Memahami persaingan bisnis ritel dengan dikotomi asing versus local, jelas tidak kontekstual lagi untuk diperdebatkan. Mengapa?. Karena membedah dan memilah predikat asing tidak lagi hanya sebatas nama tapi juga sudah harus melihat unsure permodalan mulai dari investasi portofolio sampai investasi langsung (foreign direct investment). Tentu kita tidak bisa bilang Makro dan Carrefour asing sementara Matahari atau Hero berbaju local. Asing bisa masuk langsung tanpa rebut-ribut melalui lantai bursa dan bahkan bisa menyedot habis jatah saham ritel ke asing. Justru yang lebih penting dan berdampak besar ke konsumen, dunia usaha dan pemerintah adalah bagaimana memberdayakan kekuatan jaringan dan posisi riteler dari berbagai kelas bagi kemajuan ekonomi dalam arti kecil sekalipun.
Banyak aspek yang bisa didorong misalnya mengusahakan agar para riteler besar khususnya riteler asing yang punya jaringan global agar membantu eksportir nasional khususnya untuk produk dari pengusaha kecil menengah yang memang sering terkendala oleh jaringan pemasaran. Semakin tinggi rasio atau nominal ekspornya maka semakin dan menjadi unsur positif dalam menilai kinerja secara umum. Sementara untuk pasar local tentu saja perlu terus ditumbuhkembangkan penerapan kuota local khususnya usaha kecil menengah.

Inkonsistensi Kebijakan
Inkonsistensi yang dimaksud disini adalah belum terpadunya pemerintah dalam menata kebijakan riil di bisnis ritel ini yang justru seringkali membingungkan dunia usaha. Ini menyangkut banyak aspek mulai dari masalah lokasi pasar, zoning law, jam buka, limbah, sampai ke masalah pajak yang penyelesaiannya butuh pendekatan lintas sector. Dari perangkat hukum sangat jelas bahwa semua aspek utama sudah diatur bahkan sedemikian banyaknya malah tumpang tindih, berlawanan, dan bikin bingung di lapangan. Misalnya tentang alokasi 20% lahan untuk usaha kecil sementara disisi lain sudah diatur jarak (zoning law) antara pasar tradisional dengan pasar ritel modern. Memang diberi alternative lain bahwa jika alokasi 20% tidak memungkinkan maka diganti kompensasi sebesar 20% dari luas efektif dikalikan nilai bangunan. Bagi pengelola pasar modern (riteler maupun developer) tinggal mengkalkulasi ulang mana yang lebih menguntungkan antara membayar kompensasi ke pemda atau menyewakan lahan 20% ke pasar bebas yang nilainya terus meningkat.
Peraturan daerah yang lebih banyak mengatur mekanisme kerja dan operasional pasar modern dan tradisional juga dapat diperkirakan tidak bisa berfungsi seragam di seluruh wilayah. Karena masing-masing tergantung kebijakan pemda setempat. Misalnya jarak pasar modern dengan luas lebih dari 200 m2 harus berjarak minimal 500 m dari pasar lingkungan dan 1 kilometer dari pasar lingkungan. Ini untuk wilayah Jakarta melalui SK Gubernur DKI No. 50 tahun 1999. Namun aturan ini belum tentu berlaku seragam di wilayah lain Indonesia apakah itu di Bandung, Semarang, Medan, Surabaya, Makassar, Manado, Pontianak atau Banjarmasin. Karena masing-masing pemda merasa berhak dan punya wewenang dengan aturan sendiri. Pada tahap inilah pelaksanaan kebijakan di lapangan bisa berbenturan. Ringkas kata jangan yakin bahwa Kepmen diakui dan dihormati oleh pemda setempat bahkan bisa jadi Kepres sekalipun. Birokrasi kita sedang asyik menikmati buah otonomi daerah berbalut reformasi bahkan demokratisasi.
Potensi ancaman atau kendala bagi peritel modern juga bisa berasal dari aspek lintas sector yakni perpajakan, karena adanya penyimpangan pemungutan pajak terhadap para produsen, distributor sampai pedagang atau toko di pusat perdagangan. Penyimpangan ini menyebabkan tidak meratanya penerapan dan pemungutan pajak oleh aparat kepada wajib pajak. Kita memahami bahwa riteler modern memiliki peluang penyimpangan pajak yang relative kecil dibandingkan pedagang besar atau toko di pusat-pusat perdagangan. Sehingga mereka berpeluang untuk tidak melakukan transaksi pajak secara benar dan transparan, dimana pemungutan pajak pertambahan nilai 10% tidak direalisir. Akibatnya harga memang relative lebih rendah dibandingkan harga di ritel modern yang mengenakan PPn 10% sehingga harganya lebih murah.
Fenomena ini seharusnya bisa ditelusuri dan diatasi oleh aparat pajak (jika mau) dengan koordinasi terpadu melibatkan produsen sampai ke pedagang. Sebagai contoh kita bisa memilih produk elektronik dengan alasan paling terpukul karena serbuan produk impor yang ilegal, sementara principal raksasa asing sudah investasi milyar US$. Ini baru menyangkut potensi penyimpangan pajak. Di wilayah seperti inilah dituntut peran serta positif dari para anggota asosiasi industri terkait menuju terciptanya panggung bisnis yang saling menguntungkan, sebagaimana diungkapkan oleh Stefanus Indrayana, Ketua EMC (Electronic Marketer Club) di Bisnis Indonesia (6 Juni 2003). Demikian juga penerapan pajak berganda pada produk-produk makanan dan minuman yang umum dijual di jaringan ritel modern, yang sewajarnya ditinjau ulang. Bagi produsen ini high cost industry dan bagi konsumen ini berita buruk karena harga beli semakin mahal. Tapi bagi aparat pajak ini potensi yang harus dikejar untuk mendukung omzet negara.

Kesimpulan
Tulisan singkat ini ingin menggarisbawahi bahwa eksistensi dan peta persaingan bisnis ritel nasional berada di persimpangan jalan. Disatu sisi didesak oleh aturan pemerintah pusat dan daerah yang belum tentu konsisten dan mampu menciptakan iklim bisnis yang sangat mendukung. Sementara kebijakan yang digariskan belum tentu bisa dan sudah dijalankan sesuai aturan dan berlaku umum mulai dari perizinan sampai perpajakan.
Pemerintah pusat maupun daerah adalah pemegang kendali utama dalam pengaturan persaingan bisnis ritel ini agar berjalan baik dan seimbang. Pendekatan kebijakan pemerintah yang cenderung populis adalah baik tapi bukan satu-satunya aspek utama. Untuk mengendalikan dan mendayagunakan kehadiran riteler modern sebagai salah satu unsure dari mesin pertumbuhan ekonomi, maka sebaiknya melibatkan para riteler secara efektif dan positif dalam membuat pelbagai kebijakan terkait di industri atau kolam dimana mereka akan hidup dan bermain. Selanjutnya para riteler juga dituntut untuk menghilangkan egoisme sektoral masing-masing khususnya antara perusahaan ritel, pemasok (principal) dengan pengelola pusat perbelanjaan atau perdagangan. Perbedaan kepentingan diantara pihak terkait harus dihilangkan dan menciptakan harmonisasi demi kelangsungan hidup masing-masing, apalagi diantara mereka ada yang merangkap riteler, pemasok sekaligus pengusaha property atau developer. Para asosiasi industri terkait, bersatulah untuk menciptakan harmonisasi dan mengembangkan eksistensi bisnis di masa depan !.

Read more...

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP