Tuesday 17 February 2009

Apa dan Di mana Investasi Paling Prospektif ?

Jika ada yang klien yang bertanya seperti diatas maka sebelum menjawab ada baiknya kita malah bertanya dahulu yakni berapa besar dana yang anda miliki dan bersedia di tanamkan dalam bsinsi tersebut. Figur tentang besaran dana investasi adalah hal penting karena ini merupakan tonggak awal dari bergeraknya bisnis. Tidak jadi masalah apakah itu investasi melalui akuisisi perusahaan yang sudah berjalan dan sedang bermasalah maupun mendanai investasi baru sama sekali. Skala investasi bisa bergerak dari kelas milyaran rupiah sampai trilyunan rupiah dan sektornya bisa menyebar dari bisnis maya dan jasa sampai ke pabrik. Bahkan bisa masuk ke bisnis tertua di dunia yang sudah bergaya milenium yakni casino on-line seperti dilakukan Kerry Packer, sang raja kasino Australia pemilik Crown Casino yang akan buka Crowngames.com bulan Maret mendatang.
Pada prinsipnya semua sector usaha memiliki sifat universal yakni rasio keuangan yang baik dan menguntungkan tidak peduli jenis dan bidang usahanya. Karena semua jenis bidang usaha memiliki tingkat keuntungan dan prospek yang berbeda. Bahkan antara pemain dis ektor yang sama juga nasibnya bisa berbeda. Sebelum menganalisis tentang sektor mana yang paling prospektif dan atau menarik untuk investasi ada baiknya kita lihat dahulu bagaimana peta dan indikasi (historis) dari perusahaan di Indonesia.
Dinamika perusahaan publik selama 3 tahun terakhir bisa dijadikan salah satu tolak ukur makro untuk melihat prospek tersebut karena kinerja 300 lebih perusahaan ini setidaknya sudah mewakili mayoritas sector usaha di Indonesia dan terbuka peluang untuk diminati. Dinamika tahun 2000 misalnya menunjukkan bahwa hanya ada 4 sektor usaha dimana perusahaannya (emiten) tidak menderita rugi yakni dari sektor telekomunikasi, pabrik rokok dan produsen barang konsumsi.
Sektor lainnya terbukti ada yang rugi bahkan sampai ratusan milyar tapi sebaliknya juga ada yang untung dengan angka relatif. Sehingga total kerugian emiten (di luar yang untung) di bursa tahun 2000 mencapai Rp. 54,1 trilyun naik dari Rp. 44,8 trilyun tahun 1999 dan Rp. 49 trilyun tahun 1998. Dus, selama 3 tahun pasca krisis total kerugian kumulatif dari ratusan emiten mencapai Rp. 147 trilyun (ekuivalen dengan US$ 18 milyar berdasarkan kurs rata-rata tahun bersangkutan). Atau setara dengan 22% nilai buku asset di BPPN (Rp. 644 trilyun) dan 88% nilai pasarnya (Rp. 167 trilyun). So, apa artinya nilai asset BPPN tersebut antara 4 sampai 10 tahun mendatang ?.
Sector usaha di mana kerugiannya relatif kecil juga perlu dicermati ecara positif seperti sektor farmasi, ritel, jasa perdagangan, fotografi, elektronik, barang mesin sampai asuransi. Yang paling tragis ternyata ada 13 sektor di mana total keurgian perusahan-perusahaan dibidang tersebut berkisar dari Rp. 1 trilyun sampai sampai Rp. 10 trilyun. Lebih lanjut perlu dipahami bahwa kerugian inipun bukan semata karena pasar yang hancur sehingga ozmet turun, tapi juga ada yang dikarenakan beban bunga dan hutang yang menggunung sehingga masih defisit berkepanjangan, setidaknya ampai tahun 2000. Ringkas kata tidak ada jaminan sector industri tertentu sangat prospektif dan menjanjikan keuntungan. Karena factor lain seperti modal dan manajemen secara total juga sangat krusial. Apalagi jika kita bandingkan dengan kinerja perusahaan asing di pelbagai sektor di bumi nusantara ini.
Kita perhatikan figure berikut. Sejak krisis tahun 1997 sampai 2000 tercatat total nilai transfer laba yang dikirim oleh ribuan afiliasi MNC di Indonesia mencapai US$ 5,3 milyar atau setara dengan Rp. 39 trilyun (ekuivalen berdasarkan kurs tahun masing-amsing). Ini tentu saja unsure defisit bagi neraca sektor jasa. Dengan rincian tahun 1997 transfer laba sebesar US$ 1,3 milyar lalu turun jadi US$ 1,1 milyar tahun 1998 kemudian naik jadi US$ 1,4 milyar tahun 1999 dan tetap US$ 1,4 milyar tahun 2000. Transfer laba ini jelas menunjukkan bahwa perusahaan afiliasi berhasil meraup laba atas operasionalnya di Indonesia. Ini berlaku mulai dari sektor perbankan, perminyakan, manufakturing sampa jasa-jasa lainnya. Dengan demikian selama krisis memuncak afilasi MCN via PMA tetap mencetak laba dan bahkan sempat kirim “wesel ke kampung halamannya”, sementara pemain lokal mencatat rugi besar-besaran senilai US$ 18 milyar. Meskipun rugi tidak menutup kemungkinan mereka juga sempat mengirim “wesel” keluar negeri untuk disimpan sementara di pelbagai negara pulau mini dari Pasifik sampai Atlantik. Artinya kemampuan manajemen secara menyeluruh juga menjadi faktor penting dan untuk itulah masih diperlukan jasa konsultan dan manajemen.
Berangkat dari kondisi ini dikaitkan dengan perkembangan sekarang dan trend jangka pendek setidaknya kita perlu mencari dan menelaah sektor industri mana yang relatif prospektif untuk dijadikan lahan investasi. Dari aspek pengembangan daerah maka kita perlu memberikan perhatian khusus ke sektor jasa logistik, jasa transportasi, pergudangan dan sejenisnya. Karena jasa di sektor ini akan sangat dibutuhkan guna mengantisipasi berkembangnya ekonomi daerah yang pasti akan bergerak (terlepas daris sejauhmana kecepatan dan konsistensi realisasi otonomi daerah yang berjalan lamban karena diganduli aspek politis dan para poli-tikusnya).
Selain jasa logistik yang menjadi infrastruktur perekonomian maka perlu merubah paradigma menjadi “go local” terlepas dari “go west or go east”. Dalam arti kata jangan hanya terpaku pada pasar ekspor yang ranjaunya semakin banyak dan ganas, tapi harus melihat potensi pasar domestik khususnya ke daerah-daerah yang potensial dan mulai menggeliat. Untuk itu tetap menekuni sektor konvensional yang terkait dengan sandang, pangan dan rumah.
Kian parah dan lambatnya pemulihan krisis ekonomi nasional diantaranya karena tidak ada struktur ekonomi yang berbasis pengembangan potensi daerah. Sehinggga akhirnya tercatat ada daerah surplus dan daerah minus atasa komoditi tertentu sepanjang 3 dasawarsa. Bahkan lebih tragis lagi jika kita amati neraca perdagangan antar daerah dengan lintas sektor. Di mana daerah 1 surplus produk a sementara defisit produk b. Sebaliknya daerah 2 surplus produk b tapi defisit produk a. Surplus dan defisit ini mencerminkan impor dan ekspor atau perdagangan antar pulau. Ketimpangan neraca perdagangan dan komoditi nasional inilah yang seharusnya diantisipasi oleh pengusaha untuk menggeluti sektor jasa perdagangan tersebut dari pelbagai sisi terkait. Dilain pihak juga pemerintah perlu membangun infrastruktur dan kebijakan yang kondusif. Termasuk kepala daerah jangan sampai kebablasan menerapkan otda apalagi dengan standar ganda.
Jika kita hanya terfokus pada BPPN dengan segala prestasi baik dan buruknya berikut debitur bermasalah, maka negeri ini tidak akan bisa bangkit dan menyelesaikan krisisnya. Sementara orang yang lebih jauh dan menjaga jarak dengan Jakarta justru panenannya relatif tidak terganggu. (*).

0 comment:

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP