Tuesday 17 February 2009

Quo Vadis Bisnis Retail Indonesia ?

Bisnis Ritel Nasional, Diantara Dikotomi dan Inkonsistensi
Selama 15 tahun terakhir sejak masuknya jaringan ritel asing melalui franchise ke Indonesia ternyata dinamika dan peta persaingan bisnis ritel masih belum lepas dari sindroma umum sebagai kisah klasik. Yakni memandang persaingan dengan dikotomi antara riteler besar dan riteler kecil atau asing versus nasional disamping inkonsistensi dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah pusat dan sekarang ditambah lagi dengan inkonsistensi pemerintah pusat dengan pemerintah daerah (dengan payung otonomi daerah). Termasuk juga pelaksanaan aspek perpajakan yang jika dicermati lebih mendalam lintas sektor bisa menjadi dis-insentif dan unsur negative bagi pengusaha ritel dibandingkan usaha perdagangan lainnya.
Perkembangan mutakhir sepanjang semester pertama tahun 2003 ini juga menarik untuk dicermati karena disaat para riteler mengalami penurunan omzet dan laba ternyata mereka terus membuka gerai baru dan cenderung melebar ke luar Jawa. Penurunan kinerja tersebut terjadi pada 3 riteler utama per Maret 2003 dibandingkan Maret 2002. Dimana omzet Matahari turun 10,5%, sehingga laba usaha menurun 98,7% dan akibatnya laba bersih juga turun 88,5%. Hero Supermarket meski omzetnya naik 1,2% namun laba usaha turun 30% dan laba bersih turun 13,5%. Ramayana masih menikmati kenaikan omzet 14,8% namun laba usaha dan laba bersihnya merosot 68% dan 70%. Rimo juga omzetnya turun 13% dan masih rugi. Bahkan Alfa Ritelindo mengalami penurunan laba bersih sehingga jadi Rp. 2,2 milyar.
Merosotnya kinerja ini tidak lepas dari naiknya biaya operasional mencakup kenaikan listrik, telepon, gaji, dan beban lainnya yang meningkat antara 35% sampai 40%. Memang daya beli masyarakat cenderung menurun. Namun perlu dicermati dan dipahami bahwa ini bukan kejadian luar biasa yang bisa bikin kiamat, karena kondisi ini adalah mengikuti siklus bisnis konsumsi masyarakat. Masa pesta pora dan gebyarnya konsumsi paling tinggi terjadi kuartal keempat, apalagi pada siklus kalender 4 tahun terakhir di mana hari raya Lebaran dan Imlek bertemu dan “ngumpul” di bulan Januari dan Februari dengan Natal dan Tahun Baru. Berdasarkan siklus ini kondisi bakal meningkat pada kwartal 3 dan 4. Yang jelas hari raya lebaran relative bergeser terus sementara Imlek bergeser antara Januari dan Februari.
Dengan demikian potret sementara ini tidak layak dijadikan indicator melemahnya bisnis ritel dan atau melihatnya dari kacamata persaingan bisnis riteler asing dan local atau besar versus kecil. Sebab para riteler raksasa local juga sibuk mengantisipasi dengan buka gerai sehingga menerbitkan obligasi di pasar domestic tidak kurang dari setengah trilyun (sejak September 2002 sampai Juni 2003). Malahan raksasa Hero bulan ini mengeluarkan Rp. 111 milyar untuk akuisisi 22 gerai Top Supermarket (milik Royal Ahold yang bermitra dengan PSP). Secara eksplisit merupakan akuisisi Dairy Farm (Hongkong) terhadap gerai Royal Ahold (Belanda) di pasar Indonesia. Sebuah pertarungan bisnis murni yang bisa terjadi antara riteler asing terhadap mitra local dan juga sesama riteler local.
Memahami persaingan bisnis ritel dengan dikotomi asing versus local, jelas tidak kontekstual lagi untuk diperdebatkan. Mengapa?. Karena membedah dan memilah predikat asing tidak lagi hanya sebatas nama tapi juga sudah harus melihat unsure permodalan mulai dari investasi portofolio sampai investasi langsung (foreign direct investment). Tentu kita tidak bisa bilang Makro dan Carrefour asing sementara Matahari atau Hero berbaju local. Asing bisa masuk langsung tanpa rebut-ribut melalui lantai bursa dan bahkan bisa menyedot habis jatah saham ritel ke asing. Justru yang lebih penting dan berdampak besar ke konsumen, dunia usaha dan pemerintah adalah bagaimana memberdayakan kekuatan jaringan dan posisi riteler dari berbagai kelas bagi kemajuan ekonomi dalam arti kecil sekalipun.
Banyak aspek yang bisa didorong misalnya mengusahakan agar para riteler besar khususnya riteler asing yang punya jaringan global agar membantu eksportir nasional khususnya untuk produk dari pengusaha kecil menengah yang memang sering terkendala oleh jaringan pemasaran. Semakin tinggi rasio atau nominal ekspornya maka semakin dan menjadi unsur positif dalam menilai kinerja secara umum. Sementara untuk pasar local tentu saja perlu terus ditumbuhkembangkan penerapan kuota local khususnya usaha kecil menengah.

Inkonsistensi Kebijakan
Inkonsistensi yang dimaksud disini adalah belum terpadunya pemerintah dalam menata kebijakan riil di bisnis ritel ini yang justru seringkali membingungkan dunia usaha. Ini menyangkut banyak aspek mulai dari masalah lokasi pasar, zoning law, jam buka, limbah, sampai ke masalah pajak yang penyelesaiannya butuh pendekatan lintas sector. Dari perangkat hukum sangat jelas bahwa semua aspek utama sudah diatur bahkan sedemikian banyaknya malah tumpang tindih, berlawanan, dan bikin bingung di lapangan. Misalnya tentang alokasi 20% lahan untuk usaha kecil sementara disisi lain sudah diatur jarak (zoning law) antara pasar tradisional dengan pasar ritel modern. Memang diberi alternative lain bahwa jika alokasi 20% tidak memungkinkan maka diganti kompensasi sebesar 20% dari luas efektif dikalikan nilai bangunan. Bagi pengelola pasar modern (riteler maupun developer) tinggal mengkalkulasi ulang mana yang lebih menguntungkan antara membayar kompensasi ke pemda atau menyewakan lahan 20% ke pasar bebas yang nilainya terus meningkat.
Peraturan daerah yang lebih banyak mengatur mekanisme kerja dan operasional pasar modern dan tradisional juga dapat diperkirakan tidak bisa berfungsi seragam di seluruh wilayah. Karena masing-masing tergantung kebijakan pemda setempat. Misalnya jarak pasar modern dengan luas lebih dari 200 m2 harus berjarak minimal 500 m dari pasar lingkungan dan 1 kilometer dari pasar lingkungan. Ini untuk wilayah Jakarta melalui SK Gubernur DKI No. 50 tahun 1999. Namun aturan ini belum tentu berlaku seragam di wilayah lain Indonesia apakah itu di Bandung, Semarang, Medan, Surabaya, Makassar, Manado, Pontianak atau Banjarmasin. Karena masing-masing pemda merasa berhak dan punya wewenang dengan aturan sendiri. Pada tahap inilah pelaksanaan kebijakan di lapangan bisa berbenturan. Ringkas kata jangan yakin bahwa Kepmen diakui dan dihormati oleh pemda setempat bahkan bisa jadi Kepres sekalipun. Birokrasi kita sedang asyik menikmati buah otonomi daerah berbalut reformasi bahkan demokratisasi.
Potensi ancaman atau kendala bagi peritel modern juga bisa berasal dari aspek lintas sector yakni perpajakan, karena adanya penyimpangan pemungutan pajak terhadap para produsen, distributor sampai pedagang atau toko di pusat perdagangan. Penyimpangan ini menyebabkan tidak meratanya penerapan dan pemungutan pajak oleh aparat kepada wajib pajak. Kita memahami bahwa riteler modern memiliki peluang penyimpangan pajak yang relative kecil dibandingkan pedagang besar atau toko di pusat-pusat perdagangan. Sehingga mereka berpeluang untuk tidak melakukan transaksi pajak secara benar dan transparan, dimana pemungutan pajak pertambahan nilai 10% tidak direalisir. Akibatnya harga memang relative lebih rendah dibandingkan harga di ritel modern yang mengenakan PPn 10% sehingga harganya lebih murah.
Fenomena ini seharusnya bisa ditelusuri dan diatasi oleh aparat pajak (jika mau) dengan koordinasi terpadu melibatkan produsen sampai ke pedagang. Sebagai contoh kita bisa memilih produk elektronik dengan alasan paling terpukul karena serbuan produk impor yang ilegal, sementara principal raksasa asing sudah investasi milyar US$. Ini baru menyangkut potensi penyimpangan pajak. Di wilayah seperti inilah dituntut peran serta positif dari para anggota asosiasi industri terkait menuju terciptanya panggung bisnis yang saling menguntungkan, sebagaimana diungkapkan oleh Stefanus Indrayana, Ketua EMC (Electronic Marketer Club) di Bisnis Indonesia (6 Juni 2003). Demikian juga penerapan pajak berganda pada produk-produk makanan dan minuman yang umum dijual di jaringan ritel modern, yang sewajarnya ditinjau ulang. Bagi produsen ini high cost industry dan bagi konsumen ini berita buruk karena harga beli semakin mahal. Tapi bagi aparat pajak ini potensi yang harus dikejar untuk mendukung omzet negara.

Kesimpulan
Tulisan singkat ini ingin menggarisbawahi bahwa eksistensi dan peta persaingan bisnis ritel nasional berada di persimpangan jalan. Disatu sisi didesak oleh aturan pemerintah pusat dan daerah yang belum tentu konsisten dan mampu menciptakan iklim bisnis yang sangat mendukung. Sementara kebijakan yang digariskan belum tentu bisa dan sudah dijalankan sesuai aturan dan berlaku umum mulai dari perizinan sampai perpajakan.
Pemerintah pusat maupun daerah adalah pemegang kendali utama dalam pengaturan persaingan bisnis ritel ini agar berjalan baik dan seimbang. Pendekatan kebijakan pemerintah yang cenderung populis adalah baik tapi bukan satu-satunya aspek utama. Untuk mengendalikan dan mendayagunakan kehadiran riteler modern sebagai salah satu unsure dari mesin pertumbuhan ekonomi, maka sebaiknya melibatkan para riteler secara efektif dan positif dalam membuat pelbagai kebijakan terkait di industri atau kolam dimana mereka akan hidup dan bermain. Selanjutnya para riteler juga dituntut untuk menghilangkan egoisme sektoral masing-masing khususnya antara perusahaan ritel, pemasok (principal) dengan pengelola pusat perbelanjaan atau perdagangan. Perbedaan kepentingan diantara pihak terkait harus dihilangkan dan menciptakan harmonisasi demi kelangsungan hidup masing-masing, apalagi diantara mereka ada yang merangkap riteler, pemasok sekaligus pengusaha property atau developer. Para asosiasi industri terkait, bersatulah untuk menciptakan harmonisasi dan mengembangkan eksistensi bisnis di masa depan !.

0 comment:

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP