Friday 27 February 2009

Krisis Global Dan Bisnis Otomotif Indonesia

Silang pendapat antara BPPN, Bapepam, investor asing, investor domestik dan manajemen Astra Internasional sejak November 1999 akan mencapai klimak 8 Februari mendatang, berpotensi menjadi bibit perpecahan sekaligus bom waktu bagi salah satu MNC terbesar dari Indonesia ini. Lebih gawat lagi jika perpecahan merembes ke manajemen sehingga berpotensi menimbulkan resistensi dari 100 ribu lebih karyawan yang menguasai dana pensiun Rp. 300 milyar lebih. Jika tidak tercipta sebuah win-win solution maka tidak tertutup kemungkinan inilah awal petaka atau tragedi kedua bagi Astra dalam dasawarsa terakhir.
Tragedi pertama Astra adalah ketika Om William (sang pendiri) menjual saham mayoritasnya kepada “para juru selamat” guna membayar hutang di Bank Summa antara tahun 1993/94. Akuisisi oleh konglomerat nasional yang didanai kredit bank tersebut oleh Om William dianggap sebagai rekayasa. Tercatat misalnya Nusamba pinjam Rp. 800 milyar lebih dari BCA dan Barito grup pinjam US$ 100 juta dari Bank Danamon untuk mengakuisisi sebagian saham Astra. Di samping Sampoerna, Gajah Tunggal dan Salim grup. Pengertian tragedi bukan dalam arti negatif tapi lebih pada positioning Astra sebagai institusi bisnis kelas MNC. Beruntung akuisisi tersebut tidak “mengobok-obok” total manajemen Astra, sehingga sedikit banyak tidak mengganggu kinerja usaha. Akibatnya tragedi pertama tidak menghancur lebur perusahaan. Dalam lima tahun (1994-1998) asset naik dari Rp. 10 trilyun menjadi Rp. 22 trilyun dan rugi dua tahun (97-98) tentu saja tidak lepas dari krisis nasional, apalagi domestic oriented.
Enam tahun kemudian kembali muncul bibit konflik tapi dengan konstelasi lebih luas dan kepentingan multi aspek mencakup mantan pendiri, investor asing termasuk prinsipal, BPPN, Bapepam dan manajemen Astra. Apalagi isyu dan rumor tentang masuknya angin politik dan kepentingan lain semakin meluas. Sedemikian pentingnya Astra maka sehari setelah pelantikan Cacuk Sudarijanto sebagai kepala BPPN baru, langsung mengusulkan adanya klausul perombakan direksi pada RUPS mendatang. Astra bagi BPPN menjadi taruhan besar demi tercapainya target “perolehan omzet” sebesar Rp. 17 trilyun (per Maret 2000). Di lain pihak bagi BPPN juga menghadapi tantangan tentang proses jual beli ke investor asing yang paling prospektif dan menguntungkan. Kebetulan direksi dan Bapepam berada dipihak yang sama yakni menjunjung tinggi azas tranparansi dan aturan bursa. Sehingga beredarlah pelbagai langkah dan informasi “arus bawah” sedemikian cepat yang membenarkan posisi masing-masing dan tidak satu pihak pun mengakui bahwa mereka membawa sebuah kepentingan. Apakah itu kepentingan politik, kepentingan bisnis atau kedua-duanya.
Dalam konteks ini kita mencoba melihat bagaimana Astra memposisikan dirinya sebagai sebuah institusi bisnis kelas global guna menciptakan kinerja terbaik bagi pemegang saham terlepas bagaimana warna kulit dan warna politiknya. Analisis ini tidak mau dilihat dari kacamata pro dan kontra karena kasus Astra sendiri sudah ibarat benang kusut penuh tarikan. Oleh sebab itu selayaknyalah tim direksi bersatupadu menyatakan komitmen untuk tidak ikut dalam proses perang tanding pihak luar dalam memperebutkan saham Astra. Sangat disayangkan jika manajemen Astra yang rela bayar Rp. 1,5 milyar untuk ganti logo baru karya konsultan Landors, ternyata manajemen ikut bermain. Atau terpaksa dan dipaksa bermain karena memiliki target besar tersendiri dan menomorduakan kinerja, visi dan strategi Astra Internasional di abad 21. Semoga saja tidak demikian adanya.
Sektor otomotif sebagai bisnis inti Astra yang menyumbang 70% penghasilan jelas masih menjadi tumpuan harapan. Meski dua tahun terakhir menunjukkan penurunan tapi itu tidak bisa dijadikan indikator makro jangka panjang. Sebab itu terkait dengan siklus bisnis nasional. Kontributor kedua yakni natural resources (sumber daya alam) yakni perkebunan sawit dan perkayuan menyumbang 15% dan ketiga adalah sektor teknologi serta barang konsumsi menyumbang sekitar 12% omzet. Ini diluar komposisi sektor jasa keuangan.
Keputusan Toyota dan Honda untuk memasarkan produknya (khusus pasar AS) via internet merupakan salah satu perkembangan menarik karena semuanya sibuk mencari sinergi. Sebuah sinergi strategis yang sudah dilakukan oleh tiga besar raksasa otomotif AS. Bahkan langkah ini juga sudah dilakukan oleh afiliasi Astra untuk produk suku cadang kendaraan bermotor. Dalam perspektif sinergi tersebut, tidak berlebihan jika Astra memutuskan untuk mulai menspesialisasi dan memfokuskan diri pada jasa perdagangan atau pemasaran produk otomotif dari mobil, motor sampai ke suku cadang. Tentu saja bukan bermaksud untuk merebut pasar perusahaan afiliasi tapi sebaliknya memperkuat dan memfokuskan diri ke sektor ini. Sehingga tidak perlu malu atau merasa turun pangkat jika nantinya disebut bahwa Astra banting setir dari perakit menjadi pedagang mobil.
Dalam pertarungan bisnis otomotif sebaiknya bersikap realistis saja. Jatuh bangunnya program mobnas, direvisinya peraturan insentif kandungan lokal 60%, persaingan dengan dan antar prinsipal otomotif global, trend regionalisasi produksi, liberalisasi investasi serta fluktuatifnya daya beli konsumen jelas memaksa perakit mobil nasional untuk instrospeksi diri. Tidak bergeraknya Toyota Motor Corp. dengan saham tidak lebih dari 9% sejak 1993 menunjukkan bahwa prinsipal asing lebih memfokuskan pada investasi pabrik dan suku cadang sehingga ramai-ramai mengakuisisi saham mitra lokal di sektor produksi dan suku cadang. Padahal sektor perdagangan juga sudah terbuka bagi asing. Di lain pihak program mobnas Timor yang gagal dan gencar dihidupkan kembali juga tidak kurang kendalanya. Kunci utama sukses menghadirkan sebuah mobnas adalah bantuan habis-habisan dari pemerintah dan akhirnya tentu saja ditunjang oleh pasar bebas. Seandainya kita sudah sangat merindukan proyek mobnas maka anggap saja proses “debt quity swap” 40% saham produsen truk Perkasa sebagai imbalan kredit trilyunan rupiah milik lender club bank negara, sebagai cikal bakal proyek mobnas. Tinggal bagaimana strategi merubah, menciptakan dan memasarkan Perkasa untuk kelas sedan atau kendaraan niaga multi fungsi (multi purpose vehicle).
Dengan demikian bisnis inti sektor otomotif Astra harus mulai mempersiapkan diri untuk tidak lagi mimpi terus-menerus menjadi salah satu perakit mobil raksasa di Indonesia, tapi juga mulai mempersiapkan diri menjadi pedagang otomotif terbesar dari Indonesia. Kekuatan sinergi bisa diciptakan berdasarkan tiga divisi sekarang yakni otomotif, suku cadang, keuangan dan teknologi informasi. Dengan jaringan distribusi hampir 300 outlet (mencakup 6 merk mobil), di luar outlet sepeda motor dan suku cadangnya maka ini merupakan asset yang luar biasa. Ditambah dengan 29 outlet jaringan pembiayaan konsumen dan kepiawaian di bidang teknologi informasi maka akan tercipta sinergi besar bagi Astra untuk memasarkan segala macam produk otomotif, sepeda motor dan suku cadang lewat internet. Sementara dua bisnis inti lainnya tetap dipertahankan. Ini sekaligus mengantisipasi jika setiap saat prinsipal ingin mundur dari Astra Int’l dan membangun pabrik atau jaringan baru 100% di Indonesia, maka Astra sudah siap. Fakta di Pecenongan menunjukkan bahwa salah satu spesialis penjual mobil-mobil dari Astra bisa meraih omzet Rp. 1 trilyun pada era booming tahun 1997.
Selanjutnya bagaimana manajemen Astra akan bermain dan menempatkan dirinya dalam konstelasi pertarungan antar pemegang saham menjadi salah kunci penting yang menentukan apakah Astra bisa lolos menghadapi kemelut bahkan tragedi episode kedua di abad 21 ini. Belajar dari tragedi pertama enam tahun lalu maka semua pihak terkait seharusnya konsisten pada komitmen dan kepentingan utama masing-masing. BPPN cukup menjual saham Astra kepada investor terbaik dan penawar tertinggi guna mendukung target omzet BPPN sendiri. Bapepam cukup mempertahankan agar proses jual beli berlangsung transparan dan sesuai prosedur bursa. Sang investor (asing maupun domestik) hanya berkepentingan bagaimana investasinya bisa menghasilkan return tertinggi dan tercepat. Manajemen berkepentingan terhadap kelanggengan dan kinerja bisnis agar tidak lagi terjadi PHK atas 20 ribu lebih karyawan dan program ESOP berjalan mulus.
Semua perspektif, visi dan skenario diatas tidak artinya jika manajemen sendiri tertarik untuk ikut bermain dan para pemilik saham semakin “genit”. Jika tidak tercapai sebuah win-win solution minggu depan maka ini bisa menjadi awal perpecahan dan bom waktu dari tragedi kedua. Sehingga tidak perlu heran jika muncul demo karyawan Astra menentang hasil RUPS atau kebijakan lain di masa depan. Akibatnya harga saham merosot terkena sentimen negatif dan ketika mencapai titik terendah langsung diserbu investor besar yang justru sekarang diam-diam serius mengintip Astra. (*).Jakarta, 31 Januari 2000

0 comment:

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP