Monday 16 August 2010

Akuisisi Asing Bukan Jaminan

Gelombang akuisisi perbankan yang melanda Indonesia selama dekade terakhir sejak 2000 sampai 2010 selain mengubah peta kepemilikan saham tentu saja mempengaruhi kinerja bank menuju kearah yang lebih baik. Namun dari berbagai kasus akuisisi yang ada tidak semuanya menghasilkan kinerja yang lebih baik dibanding pra akuisisi. Sehingga akuisisi oleh bank asing, investor lembaga keuangan asing atau lewat konsorsium tidak menjamin bisa memberikan kinerja lebih baik, dibanding akuisisi oleh sesama bank dan investor lokal/domestik.

*

Survey terbaru berthema “Why Asia Bank Under Perform at Merger and Aqcuisition” (McKinsey & Co, Mei 2010) menyimpulkan bahwa akuisisi bank oleh principal investor menghasilkan rate of return 22%, lebih tinggi dari rate of return oleh strategik investor sebesar 7%.Tergolong principal investor adalah lembaga keuangan seperti private equity firm atau sovereign wealth funds.

*

Analisa berikut ini hanya mengambil contoh 9 akuisisi bank nasional oleh investor asing dari perbankan maupun lembaga keuangan non bank dalam 10 tahun terakhir, sehingga belum mencakup seluruh akuisisi oleh asing. Ternyata hanya sepertiga 33% atau 3 bank yang berhasil meningkatkan laba bersih per kapita, 6 bank lainya malah mengalami penurunan laba bersih per kapita, dengan catatan ada yang konsisten terus meningkat, menurun atau berfluktuasi. Ini membandingkan posisi tahun terakhir sebelum akuisisi dengan posisi terakini 2009. Atau berselang antara 2 sampai 5 tahun pasca akuisisi. Menggunakan indikator laba bersih dengan asumsi merupakan indikator penting dan final bagi pemegang saham untuk melihat keuntungan dari investasinya. Sedangkan per kapita untuk mengukur profitabilitas karyawan bank secara menyeluruh (dari level terbawah sampai dewan direksi dan komisaris) yang bersatu padu memajukan bank tersebut.

*

Akuisisi dekade ini diawali oleh perbankan Singapura dan Malaysia yang mengakuisissi Bank Danamon dan Bank Internasional Indonesia tahun 2003. Bulan Juni 2003 konsorsium Sorak Financial Holding mengakuisisi 51% saham Bank Internasional Indonesia (BII) dan satu semester kemudian per Desember laba bersih per kapita sebesar Rp. 41 juta (Desember 2003). Dua tahun berikutnya laba naik drastis 2 kali lipat jadi diatas Rp. 100 juta. Namun 5 tahun pasca akuisisi malah menurun jadi Rp. 63,1 juta dan tahun 2009 malah defisit Rp. 5,7 juta. Karena bank ini rugi Rp. 40 miliar lebih. Pada tahun yang sama Asia Finance Indonesia Pte. Ltd. (afiliasinya Temasek) mengakuisisi 68% saham Bank Danamon yang per Desember 2003 laba bersih per kapitanya mencapai Rp. 115,7 juta. Lima tahun pasca akuisisi laba bersih per kapita Bank Danamon secara konsisten menurun dari Rp. 92 juta (2004) menjadi Rp. 36,8 juta (2009). Perbedaannya selama periode tersebut, Bank Internasional Indonesia mengurangi 5,2% karyawan tapi Bank Danamon menambah 44,4%, menjadi bank pemilik karyawan terbanyak di Indonesia sebanyak 41.617 tahun 2009. Memang sepanjang periode tersebut terrjadi juga akuisisi lanjutan sehingga pemegang saham silih berganti yang tentu berdampakpada kinerja secara menyeluruh.

*

Kemudian bulan November 2004 Bank Permata diakuisisi oleh Standard Chartered Bank dan perusahaan domestik (Astra Internasional) sebesar 51% yang diakhir 2004 punya 6.222 karyawan dengan laba bersih per kapita Rp. 100,1 juta. 5 tahun kemudian karyawan berkurang 22% menjadi 5.150 orang. Selama periode tersebut laba bersih per kapita terus menurun menjadi Rp. 93,2 juta tahun 2009 dan sempat naik tahun 2007 menjadi Rp. 107,9 juta. Dengan demikian dalam proses akuisisi oleh Standard Chartered Bank dan Astra Internasional terhadap Bank Permata tidak meningkatkan laba bersih per kapita seiring turunnya laba bersih.

Akuisisi berlanjut ke merger (sesuai kebijakan single presence policy dari bank sentral) terjadi pada Bank CIMB Niaga sebagai bank hasil merger Bank Lippo dengan Bank Niaga bulan Juni 2008 yang kemudian ganti nama Bank CIMB Niaga efektif November 2008. Satu semester pasca merger laba bersih per kapita menjadi Rp. 61 juta (Desember 2008) kemudian naik jadi Rp. 134,5 juta akhir 2009. Dalam kasus merger ini tidak tepat membandingkan dengan posisi setahun pra merger karena dua bank asal memiliki kinerja berbeda. Sebagai perbandingan, lihat laba bersih bank asal pra merger tahun 2007 berkisar antara Rp. 125 juta (Bank Niaga) sampai Rp. 149 juta (Bank Lippo) atau rerata Rp. 136 juta. Sehingga akuisi plus merger afiliasi Khazanah Bhd ini berhasil naikkan laba bersih per kapita.

*

Masih grup perbankan asal Singapura yakni OCBC (Overseas Chinese Banking Corp) telah mengakuisisi 22,4% saham Bank NISP sejak November 2004 melalui afiliasinya OCF Nominees. Dan meningkat menjadi 74,73% atas nama OCBC Investment Overseas Pte. Ltd per Desember 2008. Setelah jadi mayoritas tahun 2008 dengan nama baru Bank OCBC NISP memiliki 5.518 karyawan ini juga berhasil meningkatkan laba bersih per kapita Rp. 57,4 juta dan tahun 2009 naik menjadi Rp. 79 juta.

*

Akuisisi oleh investor strategis atau equity firm di luar perbankan, bisa menciptakan kinerja berbeda sebagaimana terjadi pada contoh berikut. Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN), mayoritas sahamnya di akuisisi oleh Texas Pacific Group (TPG) bulan April 2007. Setahun pasca akuisisi BTPN menambah 7,4% karyawan baru dari 3.153 menjadi 3.387 yang meningkatkan beban karyawan dari Rp. 424,1 miliar jadi Rp. 490,7 miliar. Termasuk naiknya total gaji karyawan dari Rp. 672,7 miliar menjadi Rp. 797,4 miliar. Perobahan manajemen berdampak positif terlihat dengan naiknya laba bersih per kapita dari Rp. 26,5 juta tahun 2006 jadi Rp. 75,1 juta tahun 2008. Ini mengindikasikan bahwa investor baru yang menambah dewan direksi dan komisaris dari 8 menjadi 13 orang sehingga total biaya gaji naik 38.9%, tapi juga bisa meningkatkan laba bersih per kapita.

*

Bank raksasa HSBC lewat afiliasinya HSBC Asia Pacific Holding (UK) Ltd pada bulan Oktober 2008 membeli 88,89% saham Bank Ekonomi. Akhir 2007, bank ini punya karyawan 2.225 dan setahun kemudian bertambah 6% jadi 2.358 orang sehingga mendorong beban karyawan naik 20% menjadi Rp. 153,1 miliar, 65% beban karyawan untuk membayar gaji karyawan termasuk direksi dan komisaris . Tapi naiknya beban karyawan diikuti naiknya laba bersih per kapita dari Rp. 87 juta per orang menjadi Rp. 139 juta per akhir tahun 2009.

*

Dari contoh akuisisi bank nasional oleh asing 10 tahun terakhir berdasarkan indikator laba bersih per kapita terdapat beberapa kesimpulan yang menarik guna memahami sisi lain kiprah asing di pentas perbankan nasional. Bahwa investor asing atau bank asing bukan jaminan berhasil meningkatkan kinerja bank yang diakuisisi karena masing-masing memiliki motivasi tersendiri. Diakuisisi dipoles lalu dijual lagi sehingga hanya menjadi komoditi dan bukan mesin ekonomi bagi perekonomian nasional. Kebijakan bank sentral yang membatasi waktu minimal divestasi perlu diperketat, jangan easy come easy go. Nama besar dan team manajemen asing bukan jaminan mutu tapi kemampuan memilih team manajemen lokal yang tepat justru bisa lebih penting guna menciptakan sinergi lebih bagus. **(Dimuat di Infobank No. 377 Edisi Agustus 2010 )

Read more...

Friday 6 August 2010

Emiten, Miniatur Ekonomi Nasional ?

Oleh : Beni Sindhunata, Direktur Eksekutif INBRA

*
Tidak berlebihan jika para analis menilai bahwa tahun 2009 adalah tahun miliknya perusahaan yang mengandalkan penjualannya pada pasar domestic. Karena mereka telah menikmati pertumbuhan yang signifikan. Dari kinerja emiten yang dianalisis tajuk utama Bisnis Indonesia (9 Maret 2010) mengungkapkan bahwa sepanjang tahun 2009 penjualan domestik emiten meningkat signifikan, sehingga terhindar dari dampak krisis financial global yang melemahkan pasar ekspor. Kondisi mutakhir ini memperkuat trend selama sejak 2003 sampai 2008 dimana pasar domestik masih jadi tumpuan pasar korporasi nasional dan kontribusinya bagi total penjualan sangat dominan.
*
Trend ini terlihat dari penelitian INBRA (Investment and Banking Research Agency) tahun 2009 terhadap aktivitas pemasaran 132 emiten manufakturing yang juga berorientasi ekspor dari tahun 2003 sampai 2008. Diketahui bahwa kontribusi pasar lokal terhadap total penjualannya masih lebih besar dibandingkan kontribusi pasar ekspor, namun porsinya mulai menurun dari 72,1% (2003) menjadi 67,2% (2008). Dengan demikian kontribusi pasar lokal bagi total penjualan mmeski tetap dominan tapi porinya mulai menurun. Sebaliknya ini menunjukan bahwa kontribusi ekspor terhadap penjualan (rasio rekspor) justru meningkat dengan perolehan devisa sebesar US$ 13,9 miliar tahun 2008. Secara makro kontribusi para emiten ini bagi perolehan devisa non migas nasional juga naik dari 9,3% menjadi 10,2%. Tabel.
*
Dinamika ini seakan-akan menempatkan korporasi nasional dan pemerintah pada dilema dengan pilihan yang sama strategisnya antara mendorong ekspor atau fokus ke pasar domestik. Sekaligus melindungi pasar domestik dari serbuan asing (dampak liberalisasi perdagangan). Dengan mengembangkan dan meningkatkan daya saing industri dan korporasi domestik sehingga penetrasi ekspornya lebih kuat gabungan sinergis keduanya ekspor dan domestik.
Dari sisi pengembangan ekspor untuk pemasukan devisa negara maka trend ini (meningkatnya porsi ekspor para emiten) justru positif. Artinya eksportir nasional semakin mampu bersaing merebut pasar global, yang tidak lepas dari daya saing produk dan fluktuasi nilai tukar. Karena para emiten eksportir ini menyumbang 10,2% ekspor non migas nasional tahun 2008 dan terus meningkat. Setidaknya ini menunjukan bahwa korporasi nasional bukan hanya jago kandang, tapi mampu bersaing di pasar global. Ini tentu saja perlu didorong dan dikembangkan meskipun mayoritas komoditi masih berbasis sumber daya alam (natural resources) diantaranya minyak sawit, kertas dan pertambangan batubara.
*
Tapi atas nama liberalisasi perdagangan untuk jangka panjang maka selayaknya penguatan daya saing ekspor diberi perhatian yang besar. Dalam pengembangan ekspor nasional kata kuncinya adalah peningkatan daya saing dengan berbagai kebijakan insentif dan dis-insentif agar sektor riil benar-benar bisa berkembang. Pasar terbuka lebar dengan aneka komoditi. Kondusifnya sektor riil dan akan meningkatkan kinerja ekspor nasional termasuk emiten eksportir. Strategi focus ke export oriented atau local oriented merupakan tantangan strategis bagi menteri bidang ekuin.
*
Dalam konteks inilah pernyataan presiden Susilo Bambang Yoedhono dalam pidato kenegaraan tanggal 15 Agustus 2009 bahwa Indonesia tidak lagi mengandalkan ekspor sebagai kekuatan ekonomi dan akan mengandalkan potensi pasar domestik, perlu disikapi dengan hati-hati. Karena bisa dimaknai agar kita focus saja kepasar local dan jangan lagi selalu mengandalkan pasar ekspor yang sangat fluktuatif seirama ekonomi global.
*
Fokus ke pasar lokal tentu saja bukan hal negatif. Justru ditengah arus liberalisasi perdagangan dunia maka pasar domestic perlu diperkuat untuk keuntungan domestic. Bahwa pasar domestic dengan potensi konsumen 230 juta jiwa merupakan asset yang berharga bagi korporasi local untuk digarap lebih maksimal. Tidak hanya dimanfaatkan oleh korporasi asing yang malah disambut lebih hangat dengan hamparan karpet merah. Kita sependapat bahwa adalah salah besar jika berkah Tuhan ini hanya disantap oleh korporasi asing dan tidak perlu lagi berkutat atau memperdebatkan dua pendapat yang terus bertentangan antara aspek kepemilikan dan aspek manfaat bagi ekonomi negara. Lepas dari pandangan sinis bahwa proteksi pasar domestic ibarat tindakan haram di zaman kini, maka kita perlu menempatkan kepentingan nasional diatas segalanya.
*
Liberalisasi perdagangan dunia sejatinya tidak lepas dari proteksi-proteksi terselubung negara maju yang harus disikapi dengan perlakuan sama dan seimbang tanpa perlu malu-malu kucing. Ambil contoh berbagai kasus sengketa dagang klasik tuduhan dumping oleh negara asing (bahwa korporasi nasional menjual produk dengan harga lebih murah di pasar luar negeri di banding pasar doestik) tidak selalu benar. Yang kebanyakan muncul ke permukaan adalah sisi negative bahwa korporasi nasional dianggap tidak jujur berbisnis dan curang. Padahal tidak selamanya tuduhan dumping itu benar dan ini juga membuktikan bahwa korporasi nasional bisa menjual dengan harga kompetitif. Padahal ini tidak lepas dari kebijakan melindungi kepentingan industri dan korporasi mereka melalui berbagai mekanisme. Dalam konteks ini Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) harus lebih proaktif memburu dan melacak eksportir asing yang menyerbu pasar domestic. Apakah biaya produksi (di negara asal) sudah menerima subsidi pemerintahnya sehingga bisa memproduksi dan menjual lebih murah di pasar global ketimbang pasar localnya. Coba telusuri bagaimana dan berapa banyak produk China yang berpotensi dituduh dumping. Kemudian dikenakan sanksi kenaikan tariff bea masuk atau sanksi lainnya. Tapi langkah ini butuh kerja keras, serius, survey dan dana.
*
Menyusutnya kontribusi pasar local bisa juga dilihat sebagai ketidakmampuan produsen local secara maksimal padahal potensinya besar. Ambil contoh pasar industri elektronik nasional yang rata-rata tumbuh 2 digit yang tahun lalu pasarnya mencapai Rp. 20 triliun. Sebagian di nikmati oleh raksasa elektronik Jepang seperti Sharp yang berhasil meraih omzet sekitar Rp. 4 triliun dan tahun 2010 targetnya Rp. 5 triliun. Panasonic tahun 2009 meraih total penjualan sekitar US$ 1,6 miliar dan targetnya tahun tahun 2012 penjualan domestic mencapai Rp. 6 triliun. Sedangkan Sanyo hampir Rp. 1 triliun. Pasar ini jika tidak dinikmati oleh korporasi local berarti kalah bersaing dengan asing di negeri sendiri. Praktis pasar elektronik diserap oleh produsen asing yang juga jadi eksportir elektronik dalam skala AS$ miliaran.
*
Sikap pro dan kontra untuk menunda pelaksanaan komitmen CAFTA dan kawasan lainnya kembali menunjukan bahwa belum adanya kesatuan sikap yang terpadu dalam menghadapi negara lain. Ada sesuatu yang keliru jika berteriak minta tunda pelaksanaan CAFTA (China-AFTA) padahal CAFTA sudah didengungkan satu dekade yang lalu. Ini baru dengan China dan bagaimana dengan FTA-FTA lain yang menunggu dikembangkan dengan pendekatan tersendiri. Tergantung bagaimana presiden dan otoritas industri perdagangan menyikapinya lebih kuat, menyeluruh dan terpadu.
*
Disisi lain tak dapat dipungkiri lagi bahwa emiten memainkan peranan penting sebagai salah satu mesin ekonomi nasional dengan segala kontribusinya. Ringkas kata emiten bisa dijadikan miniatur untuk melihat ekonomi nasional yang terus berrubah. Emiten yang saat ini menyumbang 10,2% ekspor non migas jelas positif tanpa melupakan bahwa 80% ekspor non migas lainnya di sumbang oleh ribuan perusahaan kecil dan perusahaan menengah besar yang bukan emiten.
*
Eksistensi emiten juga signifikan bagi perbankan karena mereka menyerap Rp 115 triliun atau sekitar 30% dari total kredit perbankan nasional yang disalurkan ke dunia usaha, diluar perusahaan jasa keuangan. Dari total hutang tersebut sebesar Rp 55,4 triliun merupakan hutang jangka panjang, Rp 46,3 triliun adalah hutang jangka pendek dan Rp 13,8 triliun adalah hutang yang masuk jatuh tempo (September 2007). Khusus untuk kelompok top 40 grup korporasi besar swasta nasional pada tahun 2008 meraih ekspor Rp. 136 triliun dan menyumbang 23,6% total pendapatannya. Kelompok top 40 ini punya asset sebesar Rp. 1.034 triliun dengan kewajiban Rp. 853 triliun termasuk hutang perbankan Rp. 171 triliun, yang jelas mengalami dinamika.
*
Mengembangkan ekspor perlu dikembangkan tanpa melupakan potensi pasar domestik Mampu ke pasar ekspor tentu terbuka lebar ke pasar domestic dan kuat domestic belum tentu bisa menembus pasar ekspor. Naik turunnya negara dalam pentas perdagangan global menunjukan bahwa daya saing negara dan korporasi sangat dinamis. Enam puluh tahun (1948) yang lalu AS jadi eksportir raksasa menguasai 21,7% ekspor dunia tapi di tahun 2007 turun peringkat 3 (menguasai porsi 8,5%) dibawah Jerman dan China.
*
Kinerja emiten ini bisa menjadi “miniatur” ekonomi Indonesia sebagai salah satu masukan riil bagi pengambil kebijakan didang ekuin dan moneter. Sebagai indikator ekonomi nasional maka diperlukan kerja keras dan komitmen dari Bapepam-LK untuk terus memantau dan mengawasi agar pelaporan neraca sesuai dengan prosedur dan tata kelola perusahan yang telah disepakati.
-*-
Bisnis Indonesia- 23 maret 2010

Read more...

Wednesday 4 August 2010

Pasca Akuisisi Carrefour, Masih Adakah Monopoli?

Akuisisi 40% saham Carrefour Indonesia oleh CT Corp (Para Grup) bulan April 2010 senilai US$ 3 berimplikasi besar bagi peta industri ritel nasional. Pertama bisnis ritel yang tahun 2009 memiliki omzet Rp. 85 triliun dan tumbuh rata-rata 15% per tahun tentu menjadi magnet bagi grup bisnis besar lokal untuk ditekuni. Kedua, dua grup besar akan berhadapan yakni Para grup lewat bendera Carrefour dan Matahari lewat hypermart. Ketiga adalah tuduhan KPPU tentang monopoli pasar oleh Carrefour, apakah masih ada dan masih berlaku meski denda sudah dibayar. Ini menarik untuk dikaji bagaimana KPPU mengawasi persaingan dan dominasi pasar oleh para pemain.

Akuisisi Carrefour ini tidak bisa dilepas dari krisis global tahun 2008 dan keputusan strategis KPPU bulan November 2009 yang menyatakan Carrefour terbukti bersalah melanggar UU No. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Karena itu Carrefour harus melepas Alfa Retailindo yang baru setahun diakuisisinya seharga Rp. 674 miliar. Akibat tindakan ini Carrefour membayar denda Rp. 25 miliar.


Krisis finansial global sedikit banyak mempengaruhi kinerja Carrefour di seluruh dunia. Penjualan grup hanya tumbuh 6,5%, di Perancis tumbuh 1,4% dan 5,1% di seluruh Eropa. Tapi merosot 1,4% di Singapura dan 1,9% di Belgia. Akibatnya laba bersih turun 74% (menjadi EU 327 juta). Sedangkan di Indonesia penjualannya malah tumbuh 31,8% tahun 2008 menjadi EU 893 juta (sekitar Rp. 13 triliun). Penjualan tertinggi ke 3 di Asia setelah RRC dan Taiwan atau ke 6 di dunia. Di Indonesia punya 73 gerai menyerap hampir setengah juta tenaga kerja di Indonesia.

Gelombang masuknya retailer raksasa dunia ke Jakarta bermula tiga dekade pada tahun 80-an dan memuncak tahun 90-an. Oktober 1995, Walmart dan JC Penney buka outlet pertama di Karawaci bermitra dengan Lippo grup. Sedangkan Carrefour bermitra dengan Tigaraksa grup dan tahun 1998 juga Promodes dengan bendera Continent masuk bermitra dengan Sinarmas grup. Seiring dengan merger global Carrefour dengan Continent maka semuanya menggunakan bendera Carrefour. Krisis moneter dan gejolak politik tahun 1998 juga membuat banyak peritel jadi korban. JC Penney, Walmart tutup menyusul peritel Jepang Yaohan dan Seibu yang lebih awal angkat kaki dari Jakarta.

Bagi Para grup akuisisi ini kian memperkuat divisi bisnis retail dan perdagangan grup yang telah berkembang pesat 10 tahun terakhir. Karena akan menciptakan sinergi besar skala triliun dengan divisi perbankan, jasa keuangan, divisi life style dan media massa dan hiburan. Sehingga sangat strategis bagi pengembangan bisnis grup ini ke depan. Sebagaimana telah dipraktekan oleh Lippo grup pasca akuisisi Matahari Department Store tahun 1997 dan sekarang berkembang pesat menjadi raksasa retail dan lokomotif grup. Akuisisi ini dibiayai dengan pinjaman konsorsium asing dari Credit Suisse, JP Morgan, Citibank dan Ing Securities sebesar US$ 350 juta. Dan 60% saham lainnya masih dikuasai Carrefour lewat afiliasinya.

Dengan demikian dua akuisisi strategis berselang dua tahun (2008-2010) disertai dampak krisis ekonomi global tahun 2008-2009 telah merubah total eksistensi Carrefour di Indonesia dan posisinya di masa depan. Akuisisi pertama terjadi bulan Januari 2008 ketika Carrefour mengakuisisi 75% saham Alfa Retailindo (Alfamart) seharga Rp. 674 miliar. Dengan akuisisi ini maka Carrefour menguasai 75% pasar retail dan menjadi monopolis yang melanggar UU No. 5 tahun 1999 tentang praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Penguasaan pasar oleh pelaku tunggal maksimal 50% dan 75% untuk gabungan 2 atau 3 perusahaan. Posisi ini yang sulit dibantah oleh Carrefour dibandingkan tuduhan lain seperti trading term yang merugikan pemasok dan konsumen atau berpotensi monopsoni. Secara tak langsung akuisisi Alfa telah berdampak negatif dan menyulitkan Carrefour, dari Alfa menuju Omega?.

Lantas peta ritel nasional akan diramaikan oleh dua pemain utama yakni Lippo grup dengan bendera Matahari-Hypermarket dan Para grup dengan bendera Carrefour. Meski tidak setragis peritel asing lainnya yang sudah lama tutup maka Carrefour tetap bertahan sampai saat ini dan ke depan. Dengan akuisisi ini secara tak langsung terjadi perang ritel head to head antara Lippo grup dengan Para grup sedangkan beberapa peritel besar lainnya memiliki pasar tersendiri dan terus berkembang. Dengan manajemen pemiliki baru serta masuknya mantan kepala BIN dan mantan Kapolri diperkirakan ekspansi dan eksistensi Carrefour akan mantap dan bertahan. Salah satu jalan keluar dari tuduhan monopoli adalah divestasi Alfa Retailindo yang diperkirakan tidak akan sepi peminat apalagi sudah punya brand Carrefour Express. Kemudian memuluskan rencana IPO tahun 2010 dan terus berekspansi yang akan memperbesar potensinya memasarkan aneka produk dari ratusan pemasok lokal (produk UKM) saat ini.

Dengan akuisisi ini maka Para grup akan masuk ke ke sektor ritel dengan perang di tiga kelompok yakni hypermart, minimarket dan supermarket dengan para pemain besar dan sekelas. Di kelompok minimarket berhadapan dengan Indomaret yang sekarang punya hampir 3.975 gerai sebagai pemilik porsi terbesar. Sebaliknya Para grup pasca akuisisi Carrefour juga melalui afiliasinya (memiliki 75% saham Alfamart) punya punya 3.400 gerai di peringkat kedua. Untuk kelompok hypermart Para grup lewat Carrefour punya 80 gerai akan berhadapan dengan Hypermart (Matahari grup) dengan 47 gerai Hypermart yang akan terus ekspansi.

Rencana penghimpunan dana triliunan rupiah (IPO, obligasi atau right issue) untuk buka ratusan gerai selama dua tahun mendatang bahkan ke luar Jawa, jelas bakal membawa implikasi lain yakni akan semakin terdesaknya peritel menengah bawah apalagi peritel kecil. Sinergi luar biasa antara peritel dengan bisnis jasa keuangan dan perbankan telah membuktikan keampuhannya selama ini, sehingga peritel dan bank saling memiliki customer based untuk selanjutnya diolah dan menjadi peta konsumen yang sangat potensial untuk ditawarkan aneka produk dan jasa. Peningkatan daya beli konsumen dan gaya hidup jadi faktor yang menentukan prospek bisnis ini apalagi pemerintah membuka peluang. Ditambah lagi pemda sering menjadikan peritel raksasa dan terpadu (dalam mall) jadi ukuran sukses dan kemajuan ekonomi setempat sebaliknya Gini rasio dan jumlah penerima raskin hanya dilihat 5 tahun sekali.

Terlepas dari tuduhan masih ada atau tidak praktek monopoli di bisnis ritel nasional yang jelas keberadaan peritel raksasa ibarat pisau bermata dua yang telah diperdebatkan 30 tahun lalu menyambut masuknya Sogo Dept. Store. Disatu sisi merugikan toko dan pedagang kecil, disisi lain membantu UKM memasarkan produknya lebih luas. Tinggal bagimana KPPU mengawasi pelaksanaan trading term agar saling menguntungkan peritel dan pemasok.

Oleh : Beni Sindhunata, Direktur Eksekutif INBRA

Read more...

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP