Tuesday 3 August 2010

Indonesia, Barometer CPO Dunia ?

Oleh : Beni Sindhunata, Direktur Eksekutif INBRA
*
Industri minyak sawit Indonesia dapat dikatakan mengalami nasib yang ironis, karena pemilik produksi terbesar dunia 47% ini belum sanggup memainkan peranan penting dan strategis dalam menentukan fluktuasi harga minyak sawit internasional. Ini menjadi tantangan besar bagi pemerintah dan dunia usaha untuk bersatu padu guna melawan dominasi pembeli global yang tidak lepas dari tangan-tangannya perusahaan multi nasional (MNC) yang tersebar di muka bumi. Contoh mutakhir adalah sengketa Unilever dengan Sinarmas grup soal kontrak jual beli minyak sawit karena laporan soal lingkungan hidup. Tak perlu heran jika kasus sejenis akan kembali muncul jika ada konsumen dari negara EU yang meninggal karena stroke akibat cholesterol tinggi, karena hoby makan pisang goreng.
*
Diisisi lain. dari 2,8 juta hektar izin perkebunan sawit yang dikeluarkan oleh Kementrian Kehutanan ternyata baru 1,1 juta hektar yang sudah ditanami dan lainnya 1,7 juta hektar belum ditanami. Sehingga perlu intensifikasi lahan guna meningkatkan ekspor yang tahun 2010 diperkirakan sebanyak 17 juta ton dengan target devisa US$ 15 miliar. Dalam konteks ini moratorium perkebunan sawit 2 tahun sejak 2011 cukup positif dan jangan hanya terpaku pada plus minus imbalan US$ 2 miliar dari Oslo.
*
Dengan kekuatan dan bekal ini maka selayaknya Indonesia melihat prospek masa depan secara global. Yakni memainkan peran strategis menjadi barometer industri minyak sawit dunia. Mulai dari fluktuasi harga ekspor pasar internasional, indikator produksi minyak sawit dan aneka produk turunannya (derivative) kelompok oleochemical. Visi dan target ini bukan suatu hal yang mustahil karena Indonesia memiliki basisnya. Yang jadi tantangan adalah bagaimana pemerintah dan seluruh pihak terkait bersatu padu meraih target ini. Dengan posisi tersebut maka RI produsen minyak sawit nasional akan mengurangi ketergantungannya kepada pasar global yang tergantung pada para bandar di bursa komoditi Rotterdam. Dimana EU menjadi konsumen ketiga terbesar menyerap 12,4% konsumsi dunia, setelah China dan India. Yang terjadi adalah buyers market bukannya seller market.
*
Banyak langkah strategis yang perlu diambil guna meraih target tersebut. Pertama, perlunya mempertahankan dominasi Indonesia sebagai produsen terbesar minyak sawit yang tahun 2010 diperkirakan menguasai 47% produksi dunia. Karena jika posisi ini merosot maka daya tawar juga akan menurun. Peningkatan produksi melalui intensifikasi dan produktivitas per hektar sehingga produksi nasional naik.
*
Perhatikan produsen kedua terbesar yakni Malaysia yang menguasai 38,3% dan ini justru perlu dirangkul demi melawan dominasi pembeli, EU, China dan India. Posisi Malaysia ini tidak lepas dari eksistensi perusahaan mereka yang sudah menguasai areal perkebunan sawit di Indonesia sejak satu dasawarsa lampau. Survey Business Intelligence Report (BIRO), cikal bakal INBRA (Investment and Banking Research Agency) tahun 1999 berjudul “Prospek Perkebunan Sawit dan Industri CPO Indonesia 2000-2010” mencatat antara tahun 1995 sampai 1999 saja, investor asing yang membuka proyek perkebunan sawit baru ada 18 buah dengan investasi US$ 1,4 milyar (areal seluas 377 ribu hektar). 70% diantaranya dari Malaysia. Selama itu ada 57 perkebunan sawit yang diakuisisi investor asing dengan investasi US$ 1,5 milyar, 90% oleh investor Malaysia. Setidaknya ada US$ 2,2 milyar lebih investator Malaysia yang masuk perkebunan sawit Indonesia, diantaranya EPA yang paling aktif, Guthrie, Golden Hope, KL-Kepong, Tenaga Lestari, Selasih Tradewind sampai ke perusahaan negara bagian Johor (JSEDC). Tercatat ada 69 proyek dengan luas lahan 1,2 juta hektar.
*
Dalam konstelasi perdagangan global maka kurang tepat mempersoalkan penguasaan asing atas lahan perkebunan sawit nasional, karena bukan zamannya lagi. Nasi sudah jadi bubur, hutan sudah gundul pabrik kayu jadi kilang minyak sawit. Justru harus memainkan peranan strategis di pentas perdagangan minyak sawit global. Karena tahun 2009, gabungan Malaysia (38,3%) dan Indonesia (47%) menguasai 85,3% produksi dunia 47 juta ton. Merangkul musuh menjadi teman melawan musuh bersama, disamping tiga negara produsen besar lainnya Thailand, Nigeria dan Kolombia. Ini aspek ketiga yang memerlukan kerjasama bilateral dan tentu saja peran pemerintah lebih dominan.
*
Selanjutnya jika Malaysia punya MPOB maka Indonesia juga punya lembaga sejenis dengan spesifikasinya masing-masing (dari asosiasi industri, para pakar dan bursa komoditi) bisa bergabung dan sinergis membentuk lembaga yang lebih berkiprah nasional dan global. Sehingga bisa mengeluarkan indikator harga dan trend produksi sawit dunia versi Jakarta. Lebih kuat lagi jika langsung maupun tak langsung bisa meredam atau menyetir harga ekspor dunia dari pengaruh negara pembeli. Sehingga tidak terlalu heboh jika pembeli utama melepas stok atau mengurangi pembelian sementara. Ini menjadi aspek keempat.
*
Aspek terakhir yang tak kalah penting adalah perlunya segera menerapkan standarisasi sertifikasi produksi minyak sawit mentah lewat ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) sebagai langkah positif dan langkah awal menuju misi diatas. Sehingga akan menjadi pengimbang dari RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) dan tidak bisa lagi semena-mena mendikte pasar minyak sawit global. Kebijakan ini mungkin tidak popular di mata WTO, yang melihatnya sebagai unfair trade practice. Tapi setelah setengah abad lebih gaung perdagangan bebas disuarakan semakin kabur batas antara fair trade dengan free trade. Dan solusi bilateral tampaknya lebih menjanjikan dibanding solusi multilateral. Indonesia yang akan mendominasi dan berpengaruh atas fluktuasi harga CPO dunia, tentu harus disetarakan dengan posisi AS dalam perdagangan jagung dunia.
***
( Investor edisi 15 Juni 2010)

0 comment:

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP