Wednesday 4 August 2010

Pasca Akuisisi Carrefour, Masih Adakah Monopoli?

Akuisisi 40% saham Carrefour Indonesia oleh CT Corp (Para Grup) bulan April 2010 senilai US$ 3 berimplikasi besar bagi peta industri ritel nasional. Pertama bisnis ritel yang tahun 2009 memiliki omzet Rp. 85 triliun dan tumbuh rata-rata 15% per tahun tentu menjadi magnet bagi grup bisnis besar lokal untuk ditekuni. Kedua, dua grup besar akan berhadapan yakni Para grup lewat bendera Carrefour dan Matahari lewat hypermart. Ketiga adalah tuduhan KPPU tentang monopoli pasar oleh Carrefour, apakah masih ada dan masih berlaku meski denda sudah dibayar. Ini menarik untuk dikaji bagaimana KPPU mengawasi persaingan dan dominasi pasar oleh para pemain.

Akuisisi Carrefour ini tidak bisa dilepas dari krisis global tahun 2008 dan keputusan strategis KPPU bulan November 2009 yang menyatakan Carrefour terbukti bersalah melanggar UU No. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Karena itu Carrefour harus melepas Alfa Retailindo yang baru setahun diakuisisinya seharga Rp. 674 miliar. Akibat tindakan ini Carrefour membayar denda Rp. 25 miliar.


Krisis finansial global sedikit banyak mempengaruhi kinerja Carrefour di seluruh dunia. Penjualan grup hanya tumbuh 6,5%, di Perancis tumbuh 1,4% dan 5,1% di seluruh Eropa. Tapi merosot 1,4% di Singapura dan 1,9% di Belgia. Akibatnya laba bersih turun 74% (menjadi EU 327 juta). Sedangkan di Indonesia penjualannya malah tumbuh 31,8% tahun 2008 menjadi EU 893 juta (sekitar Rp. 13 triliun). Penjualan tertinggi ke 3 di Asia setelah RRC dan Taiwan atau ke 6 di dunia. Di Indonesia punya 73 gerai menyerap hampir setengah juta tenaga kerja di Indonesia.

Gelombang masuknya retailer raksasa dunia ke Jakarta bermula tiga dekade pada tahun 80-an dan memuncak tahun 90-an. Oktober 1995, Walmart dan JC Penney buka outlet pertama di Karawaci bermitra dengan Lippo grup. Sedangkan Carrefour bermitra dengan Tigaraksa grup dan tahun 1998 juga Promodes dengan bendera Continent masuk bermitra dengan Sinarmas grup. Seiring dengan merger global Carrefour dengan Continent maka semuanya menggunakan bendera Carrefour. Krisis moneter dan gejolak politik tahun 1998 juga membuat banyak peritel jadi korban. JC Penney, Walmart tutup menyusul peritel Jepang Yaohan dan Seibu yang lebih awal angkat kaki dari Jakarta.

Bagi Para grup akuisisi ini kian memperkuat divisi bisnis retail dan perdagangan grup yang telah berkembang pesat 10 tahun terakhir. Karena akan menciptakan sinergi besar skala triliun dengan divisi perbankan, jasa keuangan, divisi life style dan media massa dan hiburan. Sehingga sangat strategis bagi pengembangan bisnis grup ini ke depan. Sebagaimana telah dipraktekan oleh Lippo grup pasca akuisisi Matahari Department Store tahun 1997 dan sekarang berkembang pesat menjadi raksasa retail dan lokomotif grup. Akuisisi ini dibiayai dengan pinjaman konsorsium asing dari Credit Suisse, JP Morgan, Citibank dan Ing Securities sebesar US$ 350 juta. Dan 60% saham lainnya masih dikuasai Carrefour lewat afiliasinya.

Dengan demikian dua akuisisi strategis berselang dua tahun (2008-2010) disertai dampak krisis ekonomi global tahun 2008-2009 telah merubah total eksistensi Carrefour di Indonesia dan posisinya di masa depan. Akuisisi pertama terjadi bulan Januari 2008 ketika Carrefour mengakuisisi 75% saham Alfa Retailindo (Alfamart) seharga Rp. 674 miliar. Dengan akuisisi ini maka Carrefour menguasai 75% pasar retail dan menjadi monopolis yang melanggar UU No. 5 tahun 1999 tentang praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Penguasaan pasar oleh pelaku tunggal maksimal 50% dan 75% untuk gabungan 2 atau 3 perusahaan. Posisi ini yang sulit dibantah oleh Carrefour dibandingkan tuduhan lain seperti trading term yang merugikan pemasok dan konsumen atau berpotensi monopsoni. Secara tak langsung akuisisi Alfa telah berdampak negatif dan menyulitkan Carrefour, dari Alfa menuju Omega?.

Lantas peta ritel nasional akan diramaikan oleh dua pemain utama yakni Lippo grup dengan bendera Matahari-Hypermarket dan Para grup dengan bendera Carrefour. Meski tidak setragis peritel asing lainnya yang sudah lama tutup maka Carrefour tetap bertahan sampai saat ini dan ke depan. Dengan akuisisi ini secara tak langsung terjadi perang ritel head to head antara Lippo grup dengan Para grup sedangkan beberapa peritel besar lainnya memiliki pasar tersendiri dan terus berkembang. Dengan manajemen pemiliki baru serta masuknya mantan kepala BIN dan mantan Kapolri diperkirakan ekspansi dan eksistensi Carrefour akan mantap dan bertahan. Salah satu jalan keluar dari tuduhan monopoli adalah divestasi Alfa Retailindo yang diperkirakan tidak akan sepi peminat apalagi sudah punya brand Carrefour Express. Kemudian memuluskan rencana IPO tahun 2010 dan terus berekspansi yang akan memperbesar potensinya memasarkan aneka produk dari ratusan pemasok lokal (produk UKM) saat ini.

Dengan akuisisi ini maka Para grup akan masuk ke ke sektor ritel dengan perang di tiga kelompok yakni hypermart, minimarket dan supermarket dengan para pemain besar dan sekelas. Di kelompok minimarket berhadapan dengan Indomaret yang sekarang punya hampir 3.975 gerai sebagai pemilik porsi terbesar. Sebaliknya Para grup pasca akuisisi Carrefour juga melalui afiliasinya (memiliki 75% saham Alfamart) punya punya 3.400 gerai di peringkat kedua. Untuk kelompok hypermart Para grup lewat Carrefour punya 80 gerai akan berhadapan dengan Hypermart (Matahari grup) dengan 47 gerai Hypermart yang akan terus ekspansi.

Rencana penghimpunan dana triliunan rupiah (IPO, obligasi atau right issue) untuk buka ratusan gerai selama dua tahun mendatang bahkan ke luar Jawa, jelas bakal membawa implikasi lain yakni akan semakin terdesaknya peritel menengah bawah apalagi peritel kecil. Sinergi luar biasa antara peritel dengan bisnis jasa keuangan dan perbankan telah membuktikan keampuhannya selama ini, sehingga peritel dan bank saling memiliki customer based untuk selanjutnya diolah dan menjadi peta konsumen yang sangat potensial untuk ditawarkan aneka produk dan jasa. Peningkatan daya beli konsumen dan gaya hidup jadi faktor yang menentukan prospek bisnis ini apalagi pemerintah membuka peluang. Ditambah lagi pemda sering menjadikan peritel raksasa dan terpadu (dalam mall) jadi ukuran sukses dan kemajuan ekonomi setempat sebaliknya Gini rasio dan jumlah penerima raskin hanya dilihat 5 tahun sekali.

Terlepas dari tuduhan masih ada atau tidak praktek monopoli di bisnis ritel nasional yang jelas keberadaan peritel raksasa ibarat pisau bermata dua yang telah diperdebatkan 30 tahun lalu menyambut masuknya Sogo Dept. Store. Disatu sisi merugikan toko dan pedagang kecil, disisi lain membantu UKM memasarkan produknya lebih luas. Tinggal bagimana KPPU mengawasi pelaksanaan trading term agar saling menguntungkan peritel dan pemasok.

Oleh : Beni Sindhunata, Direktur Eksekutif INBRA

0 comment:

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP