Tuesday 8 January 2008

CASHLESS PAYMENT DI INDONESIA MENINGKAT PESAT

Dalam rangka memantau perkembangan trend dan penetrasi “cashless payment” di Indonesia maka INBRA (Investment and Banking Research Agency) melakukan survey dan menemukan pelbagai kondisi yang relevan diantaranya sebagai berikut.
1. Trend cashless payment atau pembayaran non tunai khususnya mencakup pembayaran lewat kartu (kredit, debet dan ATM) meningkat pesat, apalagi pasca krisis. Dimana transaksi pembayaran non tunai lewat tiga media tersebut mencapai Rp. 247 trilyun, 30% dari uang beredar nasional atau 3 kali lipat uang kartal pada tahun 2001.
2. Dari transaksi cashless payment tersebut maka sebanyak Rp. 15 trilyun lebih berasal dari transaksinya 3,5 juta pemegang kartu kredit, sementara transaksi terbesar disumbangkan oleh 21 juta kartu ATM dan 13 juta kartu debet (yang diterbitkan oleh bank, jasa keuangan, dan retailer.
3. Ada kencederungan (meski belum signifikan) bahwa naiknya pertumbuhan transaksi pembayaran non tunai diikuti dengan menurunnya pertumbuhan uang kartal, paling tidak pasca krisis.
4. Dari pasar kartu kredit yang tergolong “hot growth industries” ini maka tiga raksasa terbesar menguasai 67% dengan 2,3 juta kartu dari total 3,5 juta kartu kredit Indonesia saat ini. Tiga raksasa adalah Citibank dengan 1,3 juta (37%), BCA 533 ribu (15,2%) dan BNI 532 ribu kartu (15,1%). Namun mengingat strategi dan program besar-besaran yang dilakukan oleh 20 bank papan atas maka persaingan dalam merebut pasar kartu kredit semakin ketat. Sehingga dalam waktu dua tahun mendatang peta persaingan akan bergeser meski tidak terlalu signifikan. Berdasarkan perkembangan ini diperkirakan awal tahun 2003 jumlah kartu kredit akan mencapai 4,7 juta unit dengan nilai transaksi menembus Rp. 20 trilyun.
5. Kemajuan teknologi menjadi ujung tombak suksesnya para pihak yang ingin berpacu dalam pentas “cashless payment” dan juga kematangan pasar serta gaya hidup konsumen. Sehingga wajar saja jika Indonesia masih termasuk awam dan kecil dalam penetrasi cashless payment. Di mana untuk setiap 1.000 penduduk Indonesia baru memiliki 104 kartu ATM, 67 kartu debet dan 17 kartu kredit. Bandingkan dengan AS yang punya 2.756 kartu ATM, 852 kartu debet dan 4.539 kartu kredit atau negara maju lainnya, sebagaimana terlihat pada tabel.

Penetrasi "Cashless Payment" di Negara Maju dan Indonesia

Rasio menunjukkan jumlah kartu per 1.000 penduduk (posisi tahun 2000)
Semua data tahun 2000, kecuali data kartu Indonesia menggunakan tahun 2001
Sumber : Investment and Banking Research Agency (INBRA), Sept 2002

6. Perusahaan jasa keuangan juga telah masuk dalam bisnis kartu kredit melalui kemitraan dengan perusahaan lain baik asing maupun local, meski porsinya masih relative kecil. Eksposur perusahaan pembiayaan ke kartu kredit baru Rp. 1,2 trilyun atau kurang dari 10% total transaksi kartu kredit nasional dan diperkirakan bisa meningkat pesat. Kemitraan ini akan semakin luas sehingga akan semakin banyak kerjasama antara bank penerbit kartu, perusahaan jasa keuangan, asuransi, produsen barang apalagi jika memiliki captive market.
7. Disisi lain keamanan dan kenyaman konsumen pemegang kartu menjadi hal penting yang tidak bisa diabaikan, apalagi dalam banyak hal konsumen selalu dalam posisi kalah. Ditengah persaingan yang semakin ketat maka dituntut peran aktif dari konsumen agar lebih bijaksana dan hati-hati.

Kesimpulan
Perkembangan saat ini menunjukkan bahwa transaksi pembayaran non tunai (cashless payment) semakin luas dan meningkat pesat, meski penetrasinya di Indonesia masih relative rendah dibandingkan negara maju.
Pertarungan duopoli antara Visa dan Mastercard dalam pasar kartu kredit global akan semakin seru dengan aneka strategi guna merangkul pasar. Visa kabarnya berambisi menguasai pembayaran electronic bahkan meningkatkan nilai per transaksi sampai US$ 10 juta. Sementara MasterCard dikabarkan akan lebih memperat kemitraannya dengan bank penerbit.
Seiring dengan prinsip atau kebijakan “known your customer” (mengenali nasabah) dari otoritas moneter ke pihak perbankan, maka perkembangan transaksi pembayaran non tunai ini juga perlu diantisipasi oleh semua pihak terkait. Apalagi dalam perkembangannya nilai transaksi pasti akan meningkat baik kuantitas maupun kualitas.
Pembayaran non tunai memang mengurangi pelbagai resiko fisik dalam transaksi pembayaran namun di sisi lain juga berpotensi terkena resiko dari white collar crime dengan menyalahgunakan technology.
Meningkatnya kesadaran, gaya hidup serta taraf penghasilan masyarakat menjadi salah satu ladang subur bagi pertumbuhan bisnis kartu kredit, kartu debet dan ATM sebagai alat pembayaran yang kian popular dan menggeser peranan uang kartal dalam masyarakat dan dunia usaha. -*- September 2002, Press Releasse

Read more...

HARMONISASI DEPKEU DAN BANK INDONESIA,KUNCI SUKSES ARSITEKTUR INDUSTRI KEUANGAN

Oleh Beni Sindhunata
Sektor industri keuangan memang sudah saatnya membutuhkan sebuah anatomi atau arsitektur yang terpadu dan menyeluruh sehingga bisa memberikan gambaran yang jelas dan positif bagi pelbagai pihak eksternal maupun internal. Sekaligus untuk mempermudah pemerintah dalam menentukan arah kebijakan nasional sektor keuangan apalagi sektor ini masuk dalam paket liberalisasi Asian Free Agreement Services tahun 2003. Meski terlambat tapi harus dijalankan mengingat struktur dan posisi sekarang yang membuat miris. Sumbangsih jasa keuangan dan perbankan terhadap PDB masih di bawah 5% dengan asset menyamai tigaperempat PDB. Selanjutnya sumbangsihnya bagi mesin ekonomi daerah berkisar antara sektor industri keuangan
Dalam konteks ini kita mengkaji peta perbankan dan jasa keuangan dengan dari perspektif mikro yang merupakan landasan penting untuk membuat sebuah skema besar (grand design) yang menyeluruh dan terpadu baik pelaku maupun para regulator.
Jasa keuangan nasional setidaknya melibatkan 5 lembaga yakni bank, asuransi, dana pensiun, sekuritas dan perusahaan pembiayaan. Ini bisa juga diperlebar lagi jika memasukan perusahaan reksadana yang besarannya kian bermakna strategis. Besaran asset dari 5 jasa keuangan ini mencapai Rp. 1.145 trilyun (versi Infobank, Oktober 2002) atau setara 76% PDB tahun 2001 Rp. 1.490 trilyun, dimana 91% dikelola oleh 145 bank dengan pelbagai status kesehatan.
Dari perspektif besaran aset tersebut timbul pertanyaan selanjutnya yakni apa arti dan kontribusi lembaga bank dan jasa keuangan ini bagi roda perekonomian nasional. Dalam arti kata bagaimana mereka mendayagunakan asset tersebut yang sebagian di investasikan ke sektor riil sebagai ujung tombak penggerak mesin ekonomi, dimana bank dan jasa keuangan adalah sebagai bahan bakarnya.
Melalui pendalaman data per sektor dan per lembaga keuangan tersebut terlihat bahwa dari total investasi mereka sebenarnya tidak semuanya disalurkan ke sektor riil atau dunia usaha. Namun sebagian diantaranya disalurkan kembali ke sektor jasa keuangan atau hanya berputar-putar diantara sesama pelaku antara bank dan jasa keuangan. Berdasarkan analisis data yang dilakukan oleh INBRA (Investment and Banking Research Agency) tercatat bahwa 4 lembaga keuangan dan jasa (bank, asuransi, dana pensiun, dan perusahaan pembiayaan) tahun 2001 total investasinya mencapai tidak kurang dari Rp. 726 trilyun. Ini belum mencakup reksadana dan perusahaan sekuritas yang memiliki kapasitas Rp. 30 trilyun lebih.
Tapi jelas tidak semuanya dari investasi tersebut ditanam ke sektor riil karena pelbagai pertimbangan bisnis yang multi kompleks. Sehingga hanya Rp. 395 trilyun yang diserap dan diinvestasikan ke sektor riil atau dunia usaha dalam pelbagai bentuk. Dari bank jelas berbentuk kredit atau pinjaman sebesar Rp. 358 trilyun, perusahaan asuransi dalam bentuk ekuiti dan penyertaan Rp. 3,7 trilyun, perusahaan pembiayaan Rp. 31,5 trilyun dan dana pensiun hampir Rp. 2 trilyun. Dengan demikian sekitar 54% total investasi lembaga keuangan tersebut yang diserap oleh dunia usaha baik konsumen maupun perusahaan. Lihat tabel alur investasi industri keuangan.
Alur Investasi di Industri Keuangan Nasional, 2001


Pilihan investasi
Lembaga Keuangan
Total
Bank
Perbankan
Pasar
Sektor
Lain-lain

Investasi
sentral

Modal
Riil

Asuransi
26,229
1,338
12,191
6,246
3,787
2,665
Dana Pensiun
27,785
na
18,882
5,620
1,965
2,293
Multi Finance
38,200
-
3,000
3,700
31,500
-
Perbankan
634,500
74,300
149,400
49,200
358,600
3,000
Diolah INBRA (Investment and Banking Research Agency) dari pelbagai sumber. Angka tahun 2001 (Rp. Milyar)

Bank sentral mencakup SBI
Perbankan mencakup dana pihak ketiga dan penempatan antar bank
Pasar modal mencakup saham, obligasi dan surat berharga lain di pasar modal
Sektor riil mencakup kredit dan pembiayaan ke dunia usaha, saham dan penyertaan
Lain-lain mencakup properti dan aktiva tetap lainnya

Lalu sisa dana lainnya diinvestasikan kemana ?. Pertama dan terbesar disimpan dalam bentuk deposito (instrumen fixed income) sebagai sarana investasi paling aman bagi lembaga keuangan apalagi publik dan individu. Dimana untuk periode yang sama 4 lembaga keuangan tersebut saling memutar dananya dideposito senilai Rp. 182 trilyun atau 40% dari total deposito yang dihimpun oleh bank. Dengan pendistribusian dimana Rp. 150 trilyun diantaranya adalah deposito penempatan antar bank dan sisanya deposito milik asuransi, dana pensiun dan perusahaan pembiayaan. Sarana investasi lainnya yang ampuh dan aman adalah membeli SBI yang besarannya sangat fluktuatif dimana per akhir 2001 mencapai Rp. 102 trilyun, Rp. 74, 3 trilyun atau 93% dibeli oleh perbankan dan sisanya 7% dibeli individu. Kemudian sebesar Rp. 64,7 trilyun lebih diinvestasikan di pasar modal dengan membeli pelbagai saham atau obligasi. Dalam hal ini tentu kita tidak bisa masuk dan membedah intervensi atau investasi lembaga keuangan khususnya bank di pasar uang yang perputarannya rata-rata US$ 167 juta per hari di tahun 2001.
Gambaran makro ini menunjukkan betapa tingginya tingkat ketergantungan dan korelasi antara bank dan perusahaan jasa keuangan sebagai institusi bisnis yang masing-masing memiliki struktur dan teknik tersendiri untuk mendayagunakan dana bagi keuntungan masing-masing. Dalam hal inilah peran pemerintah sebagai regulator harus bermain dan menunjukkan kepiawaian agar tidak banyak loophole dalam arti sempit sekaligus membentuk sebuah grand design yang terpadu dan ampuh untuk perspektif jangka panjang. Bukan sekedar untuk political milestone tahun 2004 atau 2009.
Komposisi ini juga menunjukkan betapa pentingnya bank sebagai lahan investasi bagi jasa keuangan lainnya dimana mereka mendapatkan fixed income atas penempatan deposito di bank. Dimana asuransi punya Rp. 12 trilyun deposito, dana pensiun punya Rp. 18,8 trilyun dan perusahaan pembiayaan memiliki Rp. 3 trilyun lebih. Selanjutnya bank sendiri menikmati manisnya deposito melalui penempatan antar bank dan pembelian SBI sehingga meningkatkan pendapatan bunga lain dalam portofolio pendapatan mereka. Demikian juga publik atau perorangan yang menguasai deposito terbesar senilai Rp. 250 trilyun atau 56% total. Dan tentu saja ujungnya bermuara pada bank sentral yang bertindak sebagai regulator sekaligus aktor (dalam hal SBI) dengan beban bunga SBI yang harus dibayar.
Dari sisi perbankan juga menyalurkan pinjaman ke jasa keuangan sebagai sumber dana untuk membantu pembiayaan dan kegiatan investasi mereka. Misalnya perusahaan multi finance meminjam uang hampir Rp. 20 trilyun ke bank guna mendukung investasi mereka dalam bisnis pembiayaan. Pola kerjasama antara bank dengan perusahaan pembiayaan memang penuh lika-liku apalagi pada era pra krisis (1997) dengan booming investasi dan kredit konsumsi. Sedangkan perusahaan asuransi meminjam Rp. 600 milyar lebih ke perbankan yang tentu saja relatif masih aman karena didukung oleh Rp. 12 trilyun deposito mereka di bank. Semua pola kerjasama ini merupakan jejaring bisnis yang sangat bagus dan kuat jika didukung oleh kebijakanyang fokus, terpadu dan saling menciptakan sinergi.
Mengingat bank sebagai titak sentral tentunya terkait dengan struktur perbankan yang secara umum dapat digolongkan masih rapuh meskipun sebagian bank rekap sudah banyak dilamar dan sebagian sudah masuk pelaminan. Namun mayoritas lainnya masih berjalan ditempat. Struktur bank memang penting sehingga tidak heran jika penggolongan bank oleh otoritas moneter (Bank Indonesia maupun Departemen Keuangan) masih terfokus pada besaran (kuantitas) seperti asset, jaringan, aneka produk dan jasa. Sehingga timbullah bank inti dan non inti, bank lokal, regional maupun global. Namun diluar itu kiranya perlu diperhatikan korelasi dan interaksi yang akhirnya menempatkan pelbagai lembaga keuangan sebagai sebuah supermarket yang menyediakan dan mendayagunakan pelbagai produk dan jasa di sektor keuangan menuju kearah lebih efisien, efektif dan menguntungkan bagi para pihak yang terkait.
Melalui pendekatan multi aspek ini maka dalam penyusunan skema atau peta jasa keuangan perlu memperhatikan beberapa aspek terkait.
faktor terpenting dan paling dini adalah menyelaraskan dan menyamakan persepsi makro antar regulator yakni Bank Indonesia (induknya perbankan) dan Departemen Keuangan (induknya lembaga jasa keuangan). Tanpa adanya sinergi dan kerjasama riil terpadu diantara mereka maka jangan mengharapkan munculnya sebuah peta jasa keuangan yang berjalan baik. Memang sudah penyakit universal dan berlaku global bahwa Departemen Keuangan dan bank sentral itu selalu berbeda pendapat karena memang demikianlah adanya. Bagaimana mungkin memadukan pelbagai lembaga keuangan dari induk berbeda yang masih tetap mempertahankan asal-usul induknya. Ini terkait dengan pengawasan jasa keuangan pasca terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan dan operasionalisasi Lembaga Penjamin Simpanan.
disisi lain juga ada institusi dadakan yakni BPPN yang lahir karena tragedi nasional sebagai pemegang saham puluhan bank rekap. Dalam konteks penyusunan peta industri keuangan ini, BPPN merupakan institusi yang harus dilibatkan karena sebagian besar pelaku di jasa keuangan justru berada dalam perawatannya. Namun perlu diperhatikan sebaiknya lembaga ini tidak lagi permanen atau hadir dalam struktur grand design industri keuangan, sebab akan semakin memperbanyak pos pengendalian padahal yang diawasi dan diatur tidak bertambah, malah cenderung akan berkurang.
filosofi dasar yang harus dijadikan pegangan adalah kesiapan industri jasa keuangan nasional menghadapi persaingan bebas di kawasan Asia dan tentu saja pasar global selanjutnya. Semakin besarnya penetrasi perusahaan asing (jangan dibaca sebagai dominasi) di sektor perbankan dan jasa keuangan seharusnya menjadikan point positif bagi industri keuangan untuk harus siap bersaing karena mereka juga menjadi bagian dari tubuh industri keuangan. Survey INBRA (November 2002) mencatat bahwa pangsa bank asing dan patungan dalam penyaluran kredit naik dari 9,5% tahun 1997 menjadi 19,6% per Mei 2002, penghimpunan dana naik dari 9,2% menjadi 10,2% dan meraih laba Rp. 2 trilyun lebih tahun 2001. Padahal sejak krisis sampai 2001, mereka hanya menambah modal Rp. 3,8 trilyun.
guna menciptakan medan persaingan bisnis yang setara maka perlu menata ulang insentif atau dis-insentif yang selama ini berlaku di pasar jasa keuangan demi mengurangi kecemburuan dan ketimpangan antar perusahaan misalnya dari instrumen pajak. Disamping itu juga perlu mengevaluasi kembali apakah mekanisme atau aturan tentang kuota portofolio investasi selama ini masih cocok dan relevan.
Kesimpulan
Peta dan pangsa pasar perbankan Indonesia masih terkonsentrasi pada kekuatan lima besar (the big five) yang secara riil semuanya milik pemerintah (bank persero dan bank swasta nasional program rekapitalisasi). Jajaran the big five menguasai antara 35% sampai 40% produk dan jasa perbankan dan untuk kelompok 20 besar menguasai 75% sampai 85%. Ini menunjukkan bahwa anatomi pasar perbankan bersifat fragmented market dimana pangsa bank terbesar tidak lebih dari seperlima, meski secara riil dari aspek kepemilikan bisa diasumsikan bersifat monopoli.
Dengan terpusatnya pengawasan di industri keuangan maka mempermudah pemerintah mengendalikan mesin moneter mulai dari siklus uang beredar, transaksi pembayaran tunai maupun cashless payment, karena sudah didukung oleh dana yang mutakhir, terpadu, komplit dan signifikan. Dengan demikian memperkecil loophole dan kebocoran keuangan secara nasional yang akhirnya merugikan aspek perpajakan.
Dalam membuat peta industri keuangan perlu dipikirkan untuk mengurangi tingkat ketergantungan antar lembaga keuangan tersebut kepada bank dengan mekanisme mendorong jasa keuangan semakin berani investasi di sektor riil dengan pelbagai insentif yang wajar. Apalagi terkait dengan rencana pendirian Otoritas Jasa Keuangan (OJK) serta Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) yang akan menjadi regulator dan wasit baru dalam arena perbankan dan jasa keuangan nasional sejak 2003.
Penggolongan perbankan nasional sebaiknya jangan hanya menggunakan indikator skala keuangan konvensional seperti asset, kredit atau modal dasar karena itu dasar-dasarnya tidak kokoh. Tapi juga pelu melihat aspek kredit, rasio sektoral dan struktur pendanaan. Sehingga akan terlihat bank yang spesialis dan fokus di sektor industri tertentu.
Aspek jaringan cabang, ketersediaan dan mutu SDM dan aneka produk dan jasa menjadi pertimbangan untuk menentukan sebagai bank skala global, bank skala nasional, bank regional-propinsi atau bank sektoral. Sehingga akan memperkuat basis masing-masing bank agar tidak terjebak pada paradigma klasik yang bermain di mana saja dan apa saja. Sekarang saatnya menentukan untuk menjadi bank spesialis, bank umum, atau mundur dari pentas perbankan dengan menjual bank atau merger.
Untuk perspektif ekonomi daerah maka bank pembangunan daerah perlu merubah paradigma karena ekspansi bank swasta secara nasional menjadi tantangan baik lintas sektor maupun lintas wilayah. Untuk eksistensi masa depan sebaiknya alokasi kredit BPD lebig terfokus menurut “keunggulan komparatif” masing-masing daerah.
Bagi bank swasta menengah bawah ada baiknya menjadi bank kecil spesialis (boutique bank) yang memiliki nasabah khusus, tradisional dan loyal. Ada kecenderungan bahwa bank raksasa papan atas dengan jutaan nasabah justru mulai kewalahan memberikan pelayanan yang sama memuaskan dan standard. Sebaliknya bank menengah kecil dengan nasabah sedikit (lebih familiar) bisa memberikan pelayanan sangat baik, cepat (tanpa melupakan online jaringan), dan tanggap menyamai servicenya “private banking” bank raksasa. -*-
Kompas, November 2002.

Read more...

Pedagang Kecil, wasit dalam perang tepung terigu (Press Release)

Oleh Beni Sindhunata
Setelah memperhatikan perdebatan tentang bea masuk anti dumping (BMAD) untuk tepung terigu yang sudah bergulir 2 tahun lebih dan semakin membiaskan pokok persoalan sehingga memperbesar biaya lobby, maka INBRA (Investment and Banking Research Agency) sebagai lembaga riset mengenai investasi dan perbankan menyampaikan pendapat dan saran khususnya bagi pemerintah sebagai regulator dan pengawas dari pertarungan bisnis antar pengusaha yang ujung-ujungnya pasti mengatasnamakan kepentingan perusahaan kecil menengah.
Pendekatan dan thema utama siaran pers ini didasarkan beberapa fakta dan kondisi yang ditelusuri oleh INBRA, diantaranya berdasarkan :
hasil pemantauan langsung dan survey terhadap pengusaha atau pedagang kecil selaku konsumen tepung terigu
pemantauan atas konstelasi persaingan global mulai dari persaingan antar produsen, eksportir, importer dan fluktuasi harga internasional dan perkembangan musim.
konstelasi persaingan bisnis domestic khususnya antara importer tepung terigu, produsen tepung terigu dan produsen makanan menengah atas (manufaktur)
sikap pemerintah yang tidak tegas dalam mengambil kebijakan

Berdasarkan perkembangan dan fakta selama ini maka INBRA menarik
beberapa fakta dan kondisi tentang anatomi bisnis tepung terigu yang semakin kusut karena tarik ulur justru pasca deregulasi.
Dilihat dari aspek deregulasi dan persaingan bebas (demi dan atas nama WTO) maka industri tepung terigu nasional termasuk yang sudah di deregulasi dan diserahkan ke pasar bebas sejak 1999. Jadi tidak ada lagi tata niaga karena setiap orang bebas mengimpor mulai dari konglomerat, importer tanpa alamat jelas sampai koperasi dan usaha kecil sejauh dia memiliki dana dan kemampuan.
Dibebaskannya kran impor maka tepung terigu impor membanjir sehingga setahun pasca deregulasi produk impor menguasai 15% pasar nasional sebesar 0,4 juta ton dari 3 juta ton lebih konsumsi nasional. Tahun 2001 porsinya menurun jadi 8% senilai 0,2 juta ton sementara konsumsi tetap 3 juta ton lebih. Ini sebenarnya sebuah kondisi yang tidak perlu dirisaukan oleh semua pihak (produsen tepung terigu, industri makanan dan biscuit atau importer) karena pemenang di pasar bebas ini akan ditentukan oleh perilaku “konsumen bebas” yakni para pengguna tepung terigu mulai dari industri makanan dan biskuit, mie basah, mie instant, kue basah sampai ke pedagang gorengan dan martabak.
Survey INBRA pada medio 2002 tentang anatomi konsumsi bahan baku pedagang martabak dan mie ayam Bangka menemukan bahwa harga bukan menjadi factor utama dalam bisnis mereka dengan daur hidup 6 jam per hari. Terpenting bagi mereka adalah mutu tepung terigu sehingga menjamin hasil adonannya disaat subuh (adonan mie basah) dan sore hari (adonan martabak) berhasil dan sesuai standar dan selera masing-masing seperti selama ini. Jika adonan gagal (tidak sesuai standarnya) mereka akan kehilangan penghasilan hari itu. Murah bukan jaminan mutu dan belum tentu cocok untuk produk mereka. Karena itu mereka tidak berani mencoba beralih menggunakan tepung terigu merk lain apalagi merk impor (meski harganya relative murah). Menurut Aptindo, kelompok pedagang kecil ini menyerap dua pertiga produksi tepung terigu nasional.
Tepung terigu impor lebih cocok dipergunakan untuk industri yang memproduksi makanan kering, mie instant, mie kering atau biscuit dengan pendekatan manufaktur yang dikomposisikan dengan bahan derivative lainnya. Sehingga industri skala manufaktur yang paling berpotensi mengkonsumsi tepung terigu impor, dimana beberapa produsen biscuit skala menengah atas juga mengimpor langsung guna menjamin ketersediaan bahan baku mereka. Kelompok ini menyerap sepertiga tepung terigu nasional.
Karena bahan baku tepung terigu adalah gandum yang harus diimpor sehingga sangat tergantung pada mekanisme harga pasar internasional, fluktuasi nilai kurs, perobahan musim dan siklus panen di negara-negara produsen utama. Akibatnya harga tepung terigu ibarat harga BBM yang sekarang justru dibiarkan berfluktuasi sesuai harga internasional. Sehingga tidak ada mekanisme standar untuk menurun harga tepung terigu di pasar domestik, kecuali pemerintah menetapkan floor price dengan konsekwensi subsidi. Sebuah kebijakan konvensional yang bukan zamannya lagi untuk diperbicangkan apalagi diterapkan.
Kebijakan pemerintah yang belum secara tegas memutuskan dan menjalankan bea masuk anti dumping (BMAD) ataupun sebaliknya menolak BMAD menjadi lahan subur bagi para pelobby bisnis dan politik yang kian menambah rumit, yang sebenarnya sangat sederhana.

Kesimpulan dan Saran
Pemerintah perlu segera menetapkan kebijakan yang tegas dan jelas apakah sepakat menetapkan BMAD 10%, 5%, atau hanya 0%. Ini perlu kesepakatan antara Deperindag dengan Departemen Keuangan. Penetapan ini tentu sudah memikirkan pelbagai konsekwensi mulai dari daya saing dan eksistensi tepung dalam negeri, pilihan konsumsi yang seluas-luasnya kepada konsumen dan persaingan murni. Inilah konsekwensi lain dari persaingan bebas berbaju WTO dimana kita lebih berpotensi menjadi korban dan bukan pemenang.
Supaya adil bagi para importer maka BMAD hanya diberlakukan kepada produsen tepung terigu yang terbukti melakukan dumping (hasil kerjasama dengan importer nasional dan eksportir asing). Bagi yang melakukan fair trade tidak layak diberlakukan sanksi.
Industri berskala Rp. 6 trilyun lebih yang sudah di deregulasi dan bebas ini sebaiknya dibiarkan bebas sesuai mekanisme pasar dengan pelbagai konsekwensinya. Para importer dan calon importir umum domestik apalagi kelas rent seeker akan mundur sendiri dan hilang dari peredaran jika hanya sanggup menjual produk kelas dua bermutu rendah. Ringkas kata tidak ada lagi tataniaga dalam industri ini dan kita akan mundur dua decade jika mencoba menerapkan tata niaga dalam bentuk tariff maupun non tariff.
Pemenang dari perang tepung terigu antara importer domestic yang bermitra dengan eksportir asing melawan produsen tepung terigu nasional adalah pihak yang mampu menjual produk terbaik, bermutu dan harga bersaing kepada konsumen bebas (sebagai the grass root) yakni para pedagang beroutlet gerobak yang jumlah puluhan ribu.
Dengan posisi maka pedagang kecil beroutlet gerobak (pedagang martabak, mie basah, gorengan, bakso, kue basah, etc) ibarat wasit dan pemerintah sebagai hakim garis. (*). NERACA, Oktober 2002 (Press Release)

Read more...

Saturday 5 January 2008

Melacak Investasi Asing

Oleh : Beni Sindhunata
Dua minggu lalu ketika BPPN mengumumkan obligor ke enam terbesar Tirtamas grup terungkap betapa susahnya mencari siapa investor-investor di balik perusahaan patungan mereka, yang non publik. Sehingga terdapat “missing link” dalam rantai afiliasi guna menelusuri arus dana yang dipinjam dari bank. Sementara di lantai bursa orang sibuk mencari emiten mana saja yang akan dilamar Soros sampai transaksi detik terakhir abad 20, padahal jauh sebelum Yahudi kelahiran Hongaria itu masuk puluhan fund manager dan lembaga keuangan sudah rutin berbelanja di BEJ sembari menerima titipan dana investor. Kemudian niat Newbrigde Capital dan Gilbert Global Equity Partner (asal AS) memborong 40% saham Astra yang ditentang oleh manajemen, bisa menjadi bibit perpecahan bagi Astra di tahun 2000.
Semua ini bermuara dari ketertutupan dan keterbatasan informasi di samping (memang) tidak semua informasi bisa diobral (meski alasan transparansi). Akibatnya banyak informasi dan data penting strategis yang tidak bisa diketahui publik, kecuali pihak tertentu. Misalnya tentang apa dan siapa dibelakang investor asing, sehingga selalu muncul isyu dan rumor yang banyak disalahgunakan. Lebih tragis lagi jika ketidakberhasilan melacak data tersebut melanda lembaga sekelas BPPN yang harus mencari asset negara yang gentayangan. Jika gagal bisa mengurangi target “perolehan omzet” Rp. 17 trilyun dari jualan asset sitaan BPPN, yang hanya cukup untuk bayar biaya bunga obligasi pemerintah dengan nilai sama.
Salah satu contoh kasus BPPN adalah kehilangan jejak tentang apa dan siapa pemilik Pacific Resources Investment Ltd., padahal sudah berkali-kali diminta. Meskipun kita tidak atau belum bisa masuk sampai ke jantung struktur kepemilikannya tapi setidaknya dari data afiliasi dan pihak terkait antar pemegang saham bisa terus dilacak tentang “the men behind the corporation”.
Penelusuran BIRO (Business Intelligence Report) menemukan bahwa sedikitnya ada 6 perusahaan patungan di industri petrokimia milik Tirtamas grup. Menggandeng dua mitra tetap dari Jepang yakni Nissho Iwai dan Itochu dengan saham gabungan rata-rata dibawah 10%. Bersama dengan dua investor tersebut ada 7 investor asing lain beralamat sama di tiga lokasi berbeda. Pertama ada 2 investor berlokasi hukum di pulau Tortola (British Virgin Island) yakni Southern Pacific Petroleum dan Trans Pacific Petrochemical. Dua perusahaan ini menguasai saham 3 perusahaan petrokimia patungan tersebut yakni TP Petrochemical, TP Polyethylene dan Petro Oxo Nusantara. Sedangkan lima investor asing lainnya berdomisili di Singapura di dua alamat. Yakni Cementhai Chemical, Tuban HDPE, Tuban LDPE dan Tuban Petrochemical yang berkantor di Cecil Street. Satunya lagi adalah Trans Pacific Chemical berlokasi di Shenton Way (juga di Singapura) sebagai pemilik saham TP Polyethylindo dan TP Styrene Indonesia.
Adalah tugas dan tanggungjawab staf BPPN (yang sudah digaji mahal) untuk menuntaskan alur keterkaitan ini dan jangan hanya menunggu jawaban dari debitur. Karena debitur sendiri sedang sibuk dan bukan tidak mungkin kantornya di BVI sudah tutup atau likuidasi. Karena dengan membayar US$ 350, orang bisa mendirikan perusahaan baru tanpa modal. Sehingga di negara mini berpenduduk 20 ribu lebih ini ada 220 ribu perusahaan non resident. Jika tidak berhasil ditelusuri maka nasib pinjaman setengah trilyun rupiah oleh Tirtamas kepada Pacific Resources Investment Ltd (pemilik Trans Pacific Petrochemical), hanya BPPN yang bisa menjawab. Penelusuran seperti ini bukan hanya terfokus ke Tirtamas grup tapi berlaku umum karena mekanisme investasi ini sudah universal, klasik dan mengglobal bagian kapitalisme yang tidak bisa dibendung.
Lalu kecurigaan bahwa the founder Astra Int’l. berada di belakang Newbridge Capital (NC) dan Gilbert Global Equity Partner (GGEP) juga tidak tepat. Kebetulan saja pada saat om William membantah isyu tersebut, maka di Seoul justru Newbridge Capital resmi mengakuisisi 51% saham Korea First Bank seharga US$ 440 juta (sekitar Rp. 3 trilyun), setelah berunding setahun lebih. Bank ke 8 terbesar Korea Selatan yang sudah dinasionalisir ini masih rugi US$ 2,2 milyar akibat kreditnya terpusat di Daewoo yang sekarang bangkrut.
Selain itu NC yang bermarkas di AS sendiri hobinya memang jual beli perusahaan-bank sejauh menguntungkan. Oleh sebab itu tidak heran jika dia bisa saja melakukan hal serupa di Indonesia. Uang Rp. 3 trilyun bukan hal kecil bagi om William, apalagi kalau untuk dipertaruhkan di luar negeri. Meski mendapat banyak kendala teknis jelas sekali om William tetap bernafsu menguasai kembali Astra Internasional, perusahaan kebanggaannya yang sudah ganti logo dari bola dunia menjadi garis lancip bagai pesawat supersonik. Dengan demikian masuknya om William terbuka lewat dua alternatif yakni menitipkan dananya di NC dan GGEP atau masuk langsung sebagai pembeli resmi karena memang tidak perlu ditutupi, apalagi jika menguasai lebih dari 5%. Banyak afiliasi yang bisa dipakai om William dan keluarga untuk investasi. Mulai dari L & M Investment (yang menyulap Kemayoran jadi Cybercity), Compasvalle (mengakuisisi 19% saham AGIS Tbk) atau lainnya.
Dapat disimpulkan bahwa melacak investor asing memang perlu (bahkan menarik) apalagi jika terkait dengan penyalahgunaan uang yang bisa merugikan negara. Termasuk juga apa dan siapa sebenarnya di belakang investor asing pemborong asset BPPN dan para pemenang lelang lokal dari mesin ketik, mebel sampai mobil bekas. Bukan tugas yang mudah tapi prinsipnya bisa tinggal kemauan dan mekanisme kerja dan jangan terbiasa mengambil jalan pintas dengan menyewa Kroll. Inilah salah satu tugas BPPN agar jangan sampai “di-kadalin” oleh pengusaha atau malah sebaliknya “buaya mau di-kadalin”. Semoga tidak begitu adanya. (*).
Warta, Edisi Akhir Tahun 1999/2000

Read more...

RI dan Resesi Global

Oleh : Beni Sindhunata,

Merosotnya indek bursa global yang dipicu oleh anjloknya indek Nasdaq - 6,3% (12/3) dan berdampak pada anjloknya bursa Japan, Hongkong, Singapura dan Korsel antara - 2,1 % sampai – 2,1%, merupakan sinyal negatif yang sudah diperkirakan awal Januari. Sinyal utama adalah pertanda melemahnya ekonomi AS yang terancam resesi, meski kemudian diperlunak oleh pidato Allan Greenspan. Sedikit banyak ini mengkontribusi terhadap anjloknya IHSG BEJ - 7% sejak Senin sampai Selasa (menjadi 385,9) disamping adanya demo anti Gus Dur yang kian meningkat. Bahkan Indek BEJ anjlok 10% dihitung sejak Jumat ketika rupiah menembus Rp. 10.050,-.
Dalam konteks ini kita mencoba melihat bagaimana perkembangan pesat di pentas global akan berdampak bagi ekonomi Indonesia, karena bagaimanapun RI tidak bisa lagi lepas dan menutup mata dari konstelasi global tersebut. Tergantung kemampuan kita untuk mengantisipasi dan meminimalisir dampak negatifnya, dengan catatan panggung politik Indonesia yang tidak pernah kekurangan Brutus ini harus bisa disterilkan.
Di pentas perdagangan global juga sedang berkecamuk pertemuran kecil-kecilan yang sporadis antar negara yang banyak diselesaikan lewat pembicaraan bilateral antar negara terkait. Sehingga muncul trend arus balik bahwa yakni lebih menguntungkan jurus bilateral atau multilateral. Ini terjadi antar sesama free trade areal (FTA) mulai dari kalangan Nafta melibatkan US, Kanada dan Amerika Latin (khususnya Brazil dan Argentina) sampai antar anggota EU yang ternyata tidak semuanya konsisten dengan komitmen global, WTO. Karena semuanya berpulang pada bagaimana mendahulukan kepentingan negara. Dalam konteks seperti ini maka posisi AS sebagai lokomotif perdagangan dunia sangatlah penting yang menguasai seluruh instrumen perdagangan dunia mulai dari “old economy” sampai “new economy”.
Bahwa AS bakal dilanda resesi bakal mulai terlihat dari langkah strategis The Fed yang menurunkan suku bunga (3 Januari 2001) jadi 6%. Langkah ini tidak lepas dari pelbagai indicator ekonomi makro AS yang menunjukan bahwa struktur ekonominya cenderung melemah dan berpotensi jadi masalah. Negara berpenduduk 275 juta dengan pendapatan per kapita US$ 33.800 ini tahun lalu tumbuh 2,4% dengan tingkat inflasi 3,4%. Meski cadangan emasnya hanya US$ 54 milyar (setengah dari Taiwan dan seperenam Jepang) merupakan lokomotif perdagangan dunia. Di mana tahun 1999, AS mengekspor US$ 682 milyar (12,6% ekspor dunia) dan mengimpor US$ 944 milyar (16,8% impor dunia) sehingga neraca perdagangan mereka defisit. Sehingga mereka menguasai sepertiga perdagangan dunia yang tahun 1999 tumbuh 5% atau pertumbuhan tertinggi selama enam belas tahun terakhir. Bahkan merosotnya indek saham berdampak besar bagi penurun kekayaan rumah tangga di AS. Laporan terbaru dari The Fed menunjukkan nilai saham rumah tangga AS menyusut dari US$ 8,7 trilyun jadi US$ 6,6 trilyun (2000), kondisi terparah dalam 55 tahun teraakhir.
Karena kompleksitas tersebut maka jika terjadi resesi praktis AS akan mengurangi impor (konsumsi) mereka, yang selanjutnya akan mengurangi ekspor dari negara lain. Kondisi ini akan paling berdampak buruk bagi negara yang sangat tergantung pada pasar AS dan mereka jelas paling terpukul. Diantaranya Kanada, Meksiko, Malaysia, Korsel dan Taiwan yang menggantungkan ekspornya pada pasar AS berkisar antara seperempat sampai sepertiga PDB negara masing-masing. Merosotnya indek saham sektor IT di Nasdaq selanjutnya akan menurunkan konsumsi produk IT yang juga berdampak hebat pada produsen IT dari Asia Timur, khususnya Taiwan dan Korea Selatan. Sebaliknya EU dan Jepang tidak separah mereka sebab ekspor EU dan Jepang ke AS hanya 3% PDB mereka. Dalam posisi ini ekspor Indonesia ke AS sekitar 14% dari total ekspor Indonesia yang mencapai US$ 48,6 milyar, atau 4,5% PDB tahun 1999.
Menurunnya aktivitas pabrik berarti menurunnya konsumsi minyak dunia dan bahan baku. Harga minyak akan turun dan berdampak pada negara-negara OPEC. Dari aspek ini maka dampaknya akan sama sebangun dengan negara diatas , di mana EU dan Jepang akan mendapat keuntungan. Oleh sebab itu bisa dimaklumi jika OPEC minggu ini berencana mengurangi produksi 0,5 juta sampai 1 juta barreal per hari, guna mengantisipasi kelebihan pasokan.
Dari aspek investasi langsung, maka negeri yang punya investasi (FDI) besar di AS akan terpukul karena pasar yang menurun sehingga keuntungan menyusut. EU dan Jepang akan terpukul karena FDI mereka di AS lebih besar dibandingkan transaksi perdagangan mereka. Disisi lain bergabungnya China ke dalam WTO juga akan menjadi tantangan sendiri bagi negara yang spesifikasi industrinya relatif sama dengan China, khususnya negara-negara Asia. Asumsi dasar bahwa produksi China akan lebih murah dan lebih kompetitif untuk menembus pasar ekspor negara lain. Sehingga pasar global yang semakin terbuka hanya bisa dipasok oleh produsen dari negara-negara dengan biaya produksi relatif murah. Misalnya dari kawasan Delta Mekong (Vietnam, Laos, Kamboja, Burma) meski negara ini juga memiliki segudang permasalahan mulai dari KKN sampai birokrasi.
Dari paparan dan analisis makro ini memperlihatkan bahwa resesi di AS akan memukul negara NAFTA dan beberapa negara Asia, khususnya sejumlah negara yang memiliki hubungan sangat erat dengan AS. Indonesia dengan nilai ekspor ke NAFTA (AS, Meksiko dan Kanada) sebesar 15% total ekspor atau senilai US$ 7,3 milyar, kedua terbesar setelah Jepang. Dengan posisi (dampak resesi) tentu akan berdampak bagi pencapaian ekspor nasional. Menurunnya ekspor berarti menurunnya produksi pabrik dan akibatnya kinerja perusahaan menurun dan tidak tertutup kemungkinan berhenti produksinya. Ini baru satu sisi dari aspek perdagangan.
Trend menurunnya harga minyak dunia (sebagai dampak resesi AS) akan berdampak bagi pendapatan Indonesia.karena kontribusi pendapatan migas terhadap APBN sangat signifikan. Pergeseran pendapatan ini tentu harus ditutup dengan pemasukan dari sektor lain. Sektor lain yang paling empuk dan potensial untuk ditingkatkan adalah pajak. Oleh sebab itu kita juga berlomba menggenjot pajak dari kualitas dengan kenaikan pajak bunga deposito sampai ke kuantitas.
Serangkaian perkembangan global ini seharusnya menjadi PR berat bagi tim ekuin untuk diantisipasi dan mencari jalan keluarnya. Tentu saja dengan segudang masalah ekuin di dalam negeri yang pasti tidak bisa diselesaikan hanya dengan modal “mantel nasionalisme” tapi ternyata pada sisi tertentu mungkin bisa berkompromi dengan pelaku ekonomi yang berkinerja buruk. Ancaman resesi global jelas berdampak negatif bagi perekonomian tapi akan semakin negatif lagi jika elite politik dan ekonom masih perang terbuka di mass media. Bagi mereka Pemilu 2004 lebih penting daripada memikirkan agenda liberalisasi perdagangan 2003. (*).





















Read more...

PPAK dan P3AK, Dua Sisi dari Uang Logam yang Sama

Oleh Beni Sindhunata,
Direktur Eksekutif INBRA (Investment and Banking Research Agency)
Yang dimaksud PPAK dalam analisis berikut ini adalah singkatan dari pembatasan pembelian asset kredit BPPN oleh bank yang lahir dari Peraturan Bank Indonesia No. 4/7/2002 tanggal 27 September yang membatasi bank agar tidak membeli asset kredit lebih dari setengah modal intinya. Sementara P3AK adalah produk BPPN yakni Program Penjualan Portofolio Asset Kredit yang bertujuan untuk menjual asset kredit dalam bentuk borongan (yang sudah maupun yang belum di restrukturisasi). Semakin cepat terjual semakin ringan beban BPPN, ibarat kapal yang sekarat dan terus menerus membuang beban. Dengan demikian PPAK versi BI membatasi bank-bank rekap agar lebih tidak royal membeli asset kredit di BPPN.
Jika kita telusuri secara jernih dalam konteks kepentingan ekonomi nasional maka sangat jelas bahwa tujuan kebijakan BI maupun BPPN adalah sangat-sangat positif. Sehingga kedua pihak yang sama-sama lembaga terhormat dan berkuasa ini perlu diacungi jempol. BI ingin menjaga dan memagari perbankan agar jangan sampai terjebak pada kredit macet akibat memborong asset kredit (yang sebagian besar mungkin eks debitur bank rekap). Ini wajar karena BI pasti tahu struktur dan kinerja kredit dari para bank terdahulu. Ringkas kata BI sudah kapok dan tidak ingin lagi terkena badai kredit macet yang sampai sekarang tidak jelas siapa yang harus bertanggungjawab.
Sebaliknya BPPN dengan paket P3AK juga punya misi besar dan positif yakni menyehatkan perbankan (apapun caranya ?) dan mengkontribusi pemasukan ke pos penerimaan negara sebesar puluhan trilyun untuk APBN 2003. Ibarat dokter yang di satu sisi harus menyembuhkan pasien tapi disisi lain harus menyumbang setoran sehingga terpaksa pakai jurus pintas yakni jual asset saja. Toh itu milik BPPN selaku pemegang saham wakil pemerintah. Ringkas kata dua lembaga yang super kaya dengan usia terpaut satu setengah abad ini ibarat dua sisi dari mata uang yang sama. Mereka sama-sama benar dan sama-sama bersih, demikian pula jika sebaliknya.
Silang pendapat tentang penjualan dan pembatasan pembelian asset kredit BPPN ini, hanyalah satu diantara kisah konflik kebijakan klasik antar otoritas moneter yang kebetulan sekarang melibatkan BI (selaku regulator) dan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) selaku pemegang saham. Pertarungan klasik seperti ini sudah seringkali berlangsung di bumi nusantara ini karena perbedaan kepentingan dan kebijakan antar anak dari induk yang sama. Yakni antara regulator (pemerintah melalui departemen terkait) dan pemegang saham (seperti BPPN dan kantor Meneg BUMN, sebagai wakil pemegang saham). Secara implicit kasus ini nasibnya sama dengan kasus siapa yang harus menandatangani release and discharge (R&D), cikal bakal yang lahirnya P3AK.
Dari analisis empiris asal muasal kredit macet ini tidak lepas dari mekanisme dan kinerja bank sentral dipenghujung abad 20. BI, sebagai regulator dan pengawas dari lembaga perbankan dalam hal tertentu memang pasti akan berbeda pandangan dengan BPPN selaku pemegang saham. Melalui PBI ini secara implicit menunjukkan bahwa BI sudah kapok dan sadar atas kekeliruan di masa lalu sehingga jauh lebiuh hati-hati. Ketika itu akibat lemahnya pengawasan dan mandulnya mekanisme sanksi bagi perbankan (paling signifikan dan monumental adalah pelampauan kuota BMPK dan BLBI) telah membuat negeri ini rusak parah meninggalkan hutang ratusan trilyun. Pada saat itulah banyak bank yang mati, dimatikan termasuk bunuh diri pelan-pelan. Selanjutnya bank-bank bermasalah yang membawa kredit macet (yang terkena dampak) digotong ke BPPN untuk disehatkan dengan jaminan asset yang ada. BI menyerahkan pengelolalannya kepada BPPN dengan segala plus minus untuk disehatkan selama hayat di kandung badan. Ingat, hayat BPPN sejatinya berakhir 27 Februari 2004 (sesuai PP 17/1999, kecuali disepakati untuk perpanjangan). Disinilah tolak ukur sukses tidaknya kinerja BPPN, sebuah lembaga super kaya (kaya asset dan kredit bermasalah berstatus K 3 sampai K 5) yang lahir mendadak akibat krisis.
Saat itulah kewajiban 48 bank BTO, BBO, BBKU dan BDL senilai Rp. 144,5 trilyun dialihkan ke BPPN, yang merupakan saldo fasilitas BLBI yang mereka terima per 29 Januari 1999. Atau tepat sebulan sebelum berlakunya PP 17 (27 Februari 1999). Sebulan setelah meletusnya konflik hebat di Ambon atau 11 hari menjelang pertemuan besar di presiden suite Hotel Mulia (10 Feb) yang ceritanya sudah lenyap ibarat embun di Puncak Pass. Saat itu semua pihak sepakat dan setuju inilah jalan terbaik untuk memulihkan perekonomian nasional akibat kesalahan otoritas moneter dan pemerintah secara menyeluruh termasuk sebagian pengusaha besar dan jajaran bankir. Saldo BLBI ini belum termasuk ke bank negara yang menyusul setahun kemudian.
Lalu apa yang dikerjakan oleh BPPN guna menyehatkan perbankan nasional disaat mana lembaga ini juga diberi target untuk mengisi pos penerimaan dalam negeri di APBN yang mencapai puluhan trilyun. Dipilihlah jalur pintas yang legal dan halal yakni menjual harta benda. Sehingga tidak heran BPPN berprofesi sebagai salesman mulai menjual apartemen, hotel, ruko, rumah sampai kavling kosong (PPAP). Termasuk juga menjual program penjualan asset strategis (PPAS) dan program penjualan portofolio asset kredit (P3AK) yang sekarang menimbulkan polemic. Jadi BPPN mendapat dua misi yang berbeda yakni menyehatkan perbankan termasuk restrukturisasi bank pemerintah sekaligus mencari dana untuk pos pembiayaan APBN. Mungkin ibarat BUMN berstatus perum yang difokuskan sebagai agent of development untuk public utilitas tapi juga dituntut sumbangsih dana dan kinerjanya harus sehat.
Jika success story BPPN diukur dari nilai kontribusi mereka kepada APBN yang terus menerus ditingkatkan maka bisa dikatakan berhasil, setidaknya terukur dengan nominal meskipun relative kecil karena pelbagai kendala. Sebaliknya jika diukur dari misi khususnya untuk penyehatan perbankan, belum bisa dibilang berhasil. Karena bisa dihitung berapa banyak bank yang masuk ICU BPPN ternyata tidak keluar lagi malah masuk liang kubur (dilikuidasi). Padahal BPPN sendiri mengutus tim-tim jempolan mereka di jajaran direksi dan komisaris untuk mengawasi dan menjalankan operasional bank rekap khususnya pada era sebelum sebelum didivestasi. Sebaliknya jika perbankan menjadi sehat maka belum tentu dianggap suksesnya BPPN karena tidak menutup kemungkinan adanya klaim pihak lain.
Lalu dalam pertarungan kebijakan strategis inilah perbankan berada di tengah-tengah dan terjepit, karena mayoritas sahamnya dimiliki oleh BPPN sementara yang mengawasinya BI. Mengingat bahwa kedua lembaga ini punya kepentingan mikro dari aspek masing-masing maka perbankan perlu mengambil kebijakan perkreditan yang smart, excellence, mandiri, dan terpenting menguntungkan. Ibarat kata biarkan pemegang saham dengan direksi dan komisaris bertengkar sepanjang hari (around the clock), yang penting pekerjaan dan tugas perbankan jalan terus sesuai aturan main. Mari kita simak dari pendekatan perbankan dan investasi berikut.
Menurut hitungan BI, per Oktober 2002, sembilan bank papan atas punya kapasitas beli P3AK sebesar Rp. 39 trilyun (50% dari modal inti) dan tinggal Rp. 33,4 trilyun setelah ikut borongan PPAK senilai Rp. 5,5 trilyun. Jika seluruh kapasitas ini dipakai memborong kembali asset P3AK BPPN berarti menyerap 47%. Lalu asumsi super optimis recovery ratenya 80% maka uang yang masuk ke BPPN sebesar Rp. 26 trilyun yang menyamai sumbangsihnya ke APBN. Berarti selesai sudah tugasnya, setoran tercapai dan bersih dari kredit bermasalah.
Lalu bagaimana nasib kredit tersebut setelah masuk ke mesin perbankan nasional. Siapa yang bisa menjamin kredit berstatus K3 sampai K5 ini bisa berstatus sehat atau sebaliknya tambah menyusahkan perbankan. Sementara tahun ini beberapa bank raksasa masih melakukan write off trilyunan rupiah dan LDR belum beranjak juga. Disinilah arti strategis yang mendorong BI menelurkan PBI No. 4.
Dari pengamatan terhadap dunia investasi dan perbankan serta hasil riset terbaru INBRA (Investment and Banking Research Agency) maka satu fakta umum yang terungkap bahwa banyak pengusaha kecil menengah yang prospektif dari pelbagai sector bisnis sedang membutuhkan dana untuk tambahan modal kerja bahkan juga untuk perluasan. Bahkan butuhnya sudah setengah mati. Namun mereka selalu terhalang oleh prosedur baku di perbankan mulai dari nilai jaminan, jenis jaminan sampai waktu pencairan yang relative lama. Padahal mereka butuh cepat dan bahkan ada yang siap membayar dengan bunga lebih tinggi asalkan bisa mendapat kucuran dana. Sebagian besar malah sudah berkali-kali mengajukan hal serupa ke bank berbeda dan hasilnya sama. Padahal hanya butuh pinjaman rata-rata Rp. 5 milyar ke bawah guna membiayai produksi yang berorientasi ekspor mulai dari produk agribisnis sampai produk kerajinan kayu. Debitur ini jangan disamakan dengan debitur UKM di 4 bank persero yang kredit macetnya tidak kurang dari Rp. 18 trilyun akan diserahkan oleh KKSK ke BPPN.
Dari fakta ini seharusnya perbankan bisa menarik kesimpulan dan introspeksi bahwa diluar kreditur besar dan asset kredit BPPN sebenarnya terdapat potensi bisnis luar biasa untuk penyaluran kredit. Kenapa harus berperang kata-kata dan berpacu untuk membeli asset puluhan trilyun milik BPPN dengan aneka status yang tidak jelas sementara di luaran terdapat ribuan calon debitur yang potensial, usahanya prospektif, skala menengah ke bawah dan bahkan ada yang baru pertama kali mencoba pinjam uang bank. Disinilah areal sebenarnya bagi bank untuk bersaing dan mengembangkan usahanya sesuai dengan trend konsentrasi ke ritel sekaligus menyebar resiko kredit. Dengan demikian meski BPPN obral luar biasa maka perbankan yang prudent akan membeli dengan sangat selektif. Tidak beli paket atau borongan tapi per kasus karena masing-masing memiliki kinerja tersendiri, apalagi sebagian mungkin bekas nasabahnya (seperti pinjaman konsorsium). Perlu dipahami bahwa penggerak ekonomi nasional sekarang dan masa depan bukan hanya debitur atau perusahaan yang jadi pasien BPPN tapi juga mereka yang berada diluar BPPN.
Bayangkan saja jika setengah dari kapasitas bank Rp. 33 trilyun itu senilai Rp. 16,5 trilyun ditujukan penyalurannya ke jajaran debitur non BPPN yang prospektif dengan plafond maksimal Rp. 5 milyar saja maka bisa membiayai 3.300 perusahaan menengah bawah. Memang sebagian bank papan atas sudah mengarah kesana dengan plafond berbeda namun belum semuanya berjalan sebagaimana yang ditargetkan.
Sebagai penutup ingin digarisbawahi bahwa analisis berikut tidak berpretensi menyalahkan dan atau membenarkan salah satu pihak tapi lebih pada usaha memberikan pandangan dari sisi lain yang hampir tidak mau diangkat, yakni membantu bergeraknya roda perekonomian. Dengan catatan jangan diartikan bahwa suksesnya program P3AK menjamin roda ekonomi berjalan lancar karena sebagian sudah mengalami rusak sistemik sejak dialihkan dari bank sentral. Biarkan kedua lembaga ini menyelesaikan PR mereka bersama karena ada kalanya benar pepatah bahwa “ketika pemerintah bangun ekonomi tidur, ketika pemerintah tidur ekonomi bangun”. Justru PR paling menarik dan menantang bagi 141 bank dan 10 bank papan atas khususnya adalah bagaimana menyalurkan kredit dengan baik sehingga LDR naik tanpa meningkatkan NPL. Jangan sampai terseret sengketa antar otoritas moneter. (*).

Kompas, 29 November 2002


Read more...

Mauritius, Investor Ketiga Terbesar


Oleh : Beni Sindhunata, Pengamat bisnis dan investasi dari INBRA

Di tengah musim paceklik investasi asing (foreign direct investment) ternyata arus PMA yang meminta izin investasi menunjukkan peningkatan. Setidaknya dilihat dari izin yang diberikan BKPM di mana untuk tahun 2002 yang disetujui US$ 9,7 milyar terdiri dari 1.135. Atau naik dari US$ 8,9 milyar tahun 2001, meski masih jauh dari tahun 2000 yang berhasil menarik investasi US$ 15,4 milyar. Meski positif tapi ada hal lain yang menarik untuk dikupas lebih mendalam secara mikro yakni siapa dan darimana asal investasi tersebut dan apa maknanya dalam peta investasi nasional tahun ini yang justru dijadikan sebagai “the investment year”.
Ternyata dari rencana investasi tersebut, sebanyak 8,7% berasal dari perusahaan asing yang tercatat di Mauritius, salah satu offshore centre di tenggara Afrika, bertetangga dengan Suriname. FDI yang masuk lewat Mauritius tersebut membawa dana US$ 843 juta dengan rencana membangun 19 proyek, sehingga menjadikan Mauritius sebagai negara investor ketiga terbesar di Indonesia, mengalahkan Jepang, AS, dan Inggris. Dua negara investor terbesar dari Singapura dengan US$ 3,3 milyar terdiri dari 155 proyek disusul oleh Hongkong senilai US$ 1,7 milyar dengan 12 proyek. Bahkan dilihat dari rata-rata investasi per proyek ternyata investor asal Mauritius justru lebih besar dari rata-rata investasi PMA. Yakni US$ 44 juta per proyek mengalahkan semua negara raksasa investasi termasuk Singapura hanya US$ 21 juta dan rata-rata terbesar adalah investor asal Hongkong US$ 142 juta per proyek.
Fakta ini menunjukkan fenomena baru bahwa investor raksasa dari kawasan tradisional selama ini (AS, Eropa, Jepang) tampaknya sedang menahan laju investasi sehingga porsi semakin kecil dibandingkan dengan investor asal NIC (Singapura, Hongkong, Korea Selatan dan Taiwan). Inilah warna mutakhir dari peta investasi nasional yang tentu saja akan terus menerus berkembang sesuai irama global dan regional. Sehingga tidak heran jika Mauritius menjadi investor terbesar ketiga menggeser Inggris dan Jepang yang menduduki peringkat pertama dan kedua tahun 2000.
Dari pergeseran arus dan sumber investasi asing ini kita bisa dan perlu memahami bahwa sikap kontra terhadap masuknya investor asing ke Indonesia menggunakan special purpose vehicle (SPV) berbasis di offshore centre adalah tidak tepat sasaran, mubazir. Karena eksistensi SPV di offshore centre sendiri adalah sebuah mekanisme perdagangan dan investasi global dan sudah hampir setengah abad. Oleh sebab investor asing bisa masuk lewat pelbagai offshore centre mulai dari British Virgin Island (BVI), Nauru, Nassau, Caymand Island sampai ke tetangga terdekat Labuan, Malaysia. Mulai dari proyek cold-storage, perikanan terpadu, pabrik karet, jasa konsultan manajemen dan investasi, dan yang paling banyak adalah di sector jasa perdagangan ekspor dan impor. Nilai investasinya juga bervariasi dari minimal US$ 100 ribu sampai US$ 1 juta. Sangat jelas bahwa tidak mungkin investasi tersebut milik perusahaan asli Mauritius, tapi lebih banyak merupakan afiliasi perusahaan, lembaga keuangan, investment fund atau perusahaan kecil papan nama yang milik perorangan.
Apa yang salah dengan pergeseran pola FDI ini ?. Jika misi utama kita adalah mencari investor untuk masuk Indonesia maka tidak pada tempatnya kita bersikap apriori terhadap masuknya investor asing berbaju SPV dari offshore centre. Karena yang penting mereka membawa dana untuk membangun pabrik dan berproduksi serta menyerap tenaga kerja dan membayar kewajiban kepada negara sebagaimana layaknya sebuah institusi bisnis. Memang sangat terbuka kemungkinan pengendara SPV tersebut bukan asing tapi ali, baba atau keduanya.
Dalam pertarungan merebut aliran investasi dari MNC global tersebut dimana kita juga harus bertarung melawan China, NIC, EU serta AS sendiri maka bukan zamannya kita menyeleksi calon investor. Karena surga investasi bagi mereka bukan hanya Indonesia tapi sudah terbentang mulai dari belahan utara China sampai ke Delta Mekong (Thailand, Vietnam, Kamboja, Laos) dengan pelbagai keunggulan komparatif yang cukup signifikan. Bahkan ketika inflow FDI ke Indonesia negatif US$ 2,7 milyar tahun 1999 dan US$ 4,5 milyar tahun 2000, sejumlah negara offshore centre malahan positif. Misalnya pada tahun 2000 Bermuda surplus US$ 6,6 milyar, demikian pula dengan BVI US$ 1,4 milyar, Cayman Island US$ 4,7 milyar, Netherland Antilles US$ 0,7 milyar dan Mauritius US$ 0,2 milyar.
Ringkas kata menjajakan sepotong Batam disamping puluhan kawasan berikat di “hot growth areal” saja tidaklah cukup bagi kita untuk menarik masuk investasi asing. Perlu kerjasama terpadu antar instansi terkait tanpa saling menyalahkan dan lepas tanggungjawab. Sehingga kesan “ngambeknya” Sony yang mau hengkang dari Indonesia tidak perlu ditanggapi serius sebab puluhan raksasa elektronik lainnya siap ekspansi US$ 2 milyar sampai 2006.
Jika kita konsisten untuk apriori terhadap eksistensi investor asal offshore centre maka otoritas bursa dan moneter sudah harus mewaspadai dari dulu bukannya sekarang. Karena dengan mekanisme atau aturan main seperti apa kita bisa melarang investor atau SPV membeli saham di bursa apakah itu dalam program privatisasi maupun divestasi yang prinsipnya sama. Sekarang saja tercatat hampir dua lusin investor asing asal offshore centre menguasai saham perusahaan public. Ini baru sebatas pemilikan saham diatas plafond 5% yang harus diumumkan dan bagaimana jika ada 5 SPV (satu grup) masing-masing 4,9% sehingga gabungannya melebihi seperlima. Apalagi sepanjang tahun 2002 ramai dilakukan stock buy back dengan harga saham cenderung turun.
Melejitnya Mauritius sebagai negara investor ketiga terbesar bagi Indonesia tahun 2002 selayaknya dilihat dari kacamata murni persaingan memperebutkan investasi global bagi pembangunan industri nasional. Karena hasilnya merupakan bagian dari capital inflow setelah dilanda capital flight besar-besaran. Mengingat mayoritas PMA asal Mauritius tersebut bergerak di bidang jasa perdagangan dengan modal relative kecil beralamat di luar CBD Jakarta, maka bisa diasumsikan eksistensi PMA asal Mauritius ini tidak hanya sebatas jasa ekspor impor tapi bisa melebar ke jasa lain. Semuanya akan terkait dengan proses produksi, pemasaran, ekspor, impor dan sumber pendanaan bagi perusahaan lain.
Namun karena pertimbangan dasar adalah untuk kecurigaan adanya penumpang gelap (pemilik hot money hasil korupsi untuk di daur ulang) maka perlu langkah khusus. Jika kita memang ingin membatasi atau melarang masuknya SPV sebagai investor maka perlu ditetapkan dengan aturan yang tegas dan transparan dan inin harus berlaku menyeluruh dari bank sentral, departemen keuangan, pasar modal, sampai ke pintu BKPM. Tapi jika mau ikut aturan main di pentas investasi global maka perlakukan para investor “tercatat” asal Mauritius dan offshore centre lainnya sebagai mitra dalam bisnis global. (*).
Press Release ke Majalah Investor, 5 Februari 2003

Read more...

Multi Media Masuk DNI


Oleh : Beni Sindhunata
Dalam konteks perdagangan global lahirnya Keppres 96/2000 mulai berlaku 20 Juli 2000 yang diantaranya menutup atau melarang masuknya investor asing atau perusahaan patungan ke bidang usaha jasa multi media (dalam pengertian luas) merupakan sebuah langkah mundur, mengejutkan dan berbenturan dengan sejumlah produk hukum ekonomi nasional. Menyadari bahwa masih luasnya pengertian jasa layanan informasi multi media maka sebaiknya pemerintah segera mengeluarkan pernyataan guna mempertegas bagaimana rincian jenis usaha tersebut agar masyarakat bisnis segera memahaminya secara transparan dan tentu saja perlunya diberi argumentasi dan motivasi atas Kepres 96 tersebut. Sehingga tidak membuat banyak pelaku bisnis di sektor multi media seperti kebakaran jenggot dengan pelbagai reaksi yang diantaranya malah jauh panggang dari api, khususnya dari perusahaan-perusahaan patungan asing.
Disaat dunia internasional membuka diri dan memperlunak masuknya investor asing ke sekrtor multi media dan teknologi informasi (secara umum), Indonesia justru menutup diri. Padahal Komisi Multimedia dan Komunikasi Malaysia (negara yang termasuk paling getol membangun multimedia) minggu lalu mengeluarkan keputusan yang mempermudah izin pendirian perusahaan internet dan jasa multimedia lain, diantaranya cukup mengisi formulir singkat dan membayar iuran tahunan 2.500 ringgit. Sementara RRC yang setengah mati berjuang masuk WTO diantaranya juga bersedia membuka jasa multimedia bagi pihak asing. Sehingga orang asing diperbolehkan memiliki sampai 30% saham perusahaan internet milik pengusaha Cina dan bisa diperbesar jadi 50% menjelang akhir 2001.
Sehubungan dengan itu melalui kolom berikut kita mencoba mengkaji bagaimana peta makro sektor industri dan jasa teknologi informasi yang didalamnya praktis akan terkait dengan jasa layanan multimedia. Untuk itu terlebih dahulu perlu adanya dikotomi yang jelas di bidang teknologi informasi (TI) yakni antara sektor jasa (software and services) dan pabrikasi (hardware). Sektor manufaktur atau pabrikasi di Indonesia sebenarnya sudah memasuki tahap yang cukup menggembirakan sebagai salah satu motor penghasil devisa ekspor. Pelan, pasti dan tanpa banyak gembar-gembor industri TI untuk perangkat keras bisa menyumbang ekspor US$ 1,4 milyar atau hampir sepertiga total ekspor produk elektronika, permesinan dan telekomunikasi dan suku cadang yang mencapai US$ 4,7 milyar. Meski krisis ekspornya naik seperlima dibandingkan tahun 1998 berbanding terbalik dengan impor yang menurun, sehingga tercipta surplus US$ 1,2 milyar. Perkembangan ini tentu saja tidak lepas dari peranan dan kontribusi perusahaan asing spesial produk TI yang jumlahnya kian bertambah, disamping kontribusi dari perusahaan-perusahaan elektronika yang juga memproduksi produk TI secara terpadu.
Para produsen TI (hardware) ini merupakan bagian dari 235 perusahaan asing (berstatus PMA) yang masuk Indonesia per Maret 2000, di mana 64 buah diantaranya memilih Batam sebagai lokasi bisnisnya. Bergerak dalam bidang produsen IC, semi konduktor, PCB, perangkat kompuetr, telekomunikasi sampai ke jasa dan konsultan multimedia dalam pelbagai aplikasi. Bahkan juga sudah memproduksi produk software seperti gambar animasi dan produk entertainment lainnya. Seluruh PMA tersebut merencanakan investasi senilai US$ 2,2 milyar dengan dukungan modal atau ekuiti US$ 719 juta. Gabungan target ekspor semua perusahaan ini diperkirakan bisa mencapai US$ 4,3 milyar dan menyerap hampir 69 ribu tenaga kerja (sekitar 2 ribu diantaranya adalah ekspatriate). Namun guna mengembangkan industri jasa ini mereka juga membutuhkan impor barang senilai US$ 842 juta.
Dari jajaran perusahaan asing tersebut ternyata yang spesifik memilih bidang usaha jasa konsultan TI dan multi media (termasuk internet) ternyata sudah mencapai 75 perusahaan tapi dengan rencana investasi (sesuai izin investasi) hanya US$ 52 juta (setara Rp. 390 milyar) didukung oleh modal sendiri hanya US$ 26 juta dan menyerap tenaga kerja 2.500 orang (12% diantaranya ekspatriate). Dari komposisi makro ini menunjukkan bahwa struktur investasi di jasa konsultan TI dan multimedia tidak terlalu padat modal sebagaimana halnya sektor pabrikasi. Sesuai aplikasi yang masuk ke BKPM tersebut maka tercatat investasi terbesar hanya mencapai US$ 9,3 juta (perusahaan patungan salah satu grup media dengan investor AS). Sementara mayoritas yakni 59 perusahaan justru hanya memiliki rencana investasi dibawah US4 1 juta, bahkan 8 perusahaan diantaranya hanya sebesar US$ 100 ribu.
Dari gambaran angka makro sektor jasa multi media dan konsultasi TI yang dalam pelaksanaannya pasti bersedia melakukan pelbagai praktek bisnis sejauh terkait dengan TI, ternyata tidak atau belum menunjukkan sebuah kontribusi yang luar biasa sekali. Kehadiran mereka memang tak lebih dari bagian euphoria bisnis multi media global yang penuh hingar bingar, terlebih lagi pada jasa internet dan layanan multimedia. Jauh dari konsep atau keinginan untuk menghasilkan devisa sebagaimana halnya dalam perdagangan riil, karena memang falsafah dasarnya sendiri adalah “virtual business” tapi bisa menghasilkan uang. Di mana transaksi dalam B2B dan e-commerce tentu akhirnya dapat dimasukan sebagai kontributor penghasil devisa. Pemaparan aspek ini bukan untuk merendahkan peranan jasa multimedia dan konsultan TI tapi lebih difokuskan untuk mendudukan persoalan secara objektif. Bahwa multi media dan konsultan TI (terlepas itu asing atau ahli local) memang sangat dibutuhkan sekarang dan masa depan dalam pelbagai lini kehidupan, kecuali hanya oleh kalangan orang tidak waras.
Dari kaca mata sempit, sejujurnya para pemain di sektor jasa layanan multimedia saat ini harus merasa “bersyukur” karena dengan tertutupnya bisnis ini bagi pendatang baru berarti membatasi para pemain yang sudah kebanjiran. Sebab ini praktis menutup pintu bagi masuknya investor asing dalam bisnis jasa layanan multi media kecuali bagi perusahaan swasta nasional. Disisi lain penutupan ini tidak berarti para pemain yang sudah eksis sekarang ini harus berhenti, gulung tikar atau merobah struktur. Sehingga ini menimbulkan komentar yang malah cenderung berlebihan. Dengan argumentasi bahwa mereka sudah menginvestasikan dana yang sangat besar, menyerap banyak tenaga kerja dan pelopor dari kemajuan dunia TI.
Menyadari belum jelasnya aturan dan klasifikasi ranci dari Keppres 96 tersebut yang juga menutup jasa televisi berlangganan dan orbit satelit dimana semuanya membentuk jaringan bisnis dari hulu sampai ke hilir, maka pelbagai reaksi yang ada sepanjang minggu ini perlu dicermati lagi. Bahwa bukan mustahil ini merupakan “reaksi ala kadarnya” padahal sebagian diantaranya sudah tahu dan paham. Bahkan lebih celaka lagi jika ini merupakan hasil loby bisnis dari para pemain yang sudah masuk agar jasa layanan multimedia masuk DNI guna membendung masuknya perusahaan multimedia asing lain.
Alasan paling kuat adalah bahwa mereka sudah menginvestasikan dana jutaan dollar dan sebagian diantaranya bisa atau sedang memasuki masa kritis mulai dari gelombang PHK, restrukturisasi manajemen dan reposisi pasar. Akuisisi atau private placement berlansgung terus-menerus bahkan baru saja diumumkan terjadi akuisisi senilai jutaan dollar, tepat pada medio Juli saat ditandatanganinya Keppres tersebut. Dengan kebijakan ini berarti hanya ada satu jalur bagi investor asing untuk masuk ke jasa layanan multi media yakni lewat pasar modal dengan IPO perusahaan local berstatus PMDN. Semoga saja asumsi ini tidak sebagaimana yang terjadi. (*).

Bistek, 14 Agustus 2000







Read more...

Ini Dia Orang Kaya Daerah

Oleh Beni Sindhunata
Dari laporan Warta Ekonomi tentang 50 kota terkaya pada edisi lalu mengin dikasikan secara jelas bahwa kota-kota besar di daerah akan menjadi roda penggerak ekonomi local dan selanjutnya akan berskala nasional. Disinilah akan berlangsung lagi fenomena klasik yakni apa dan siapa menjadi pionir atau sebaliknya follower, disamping pemerintah sebagai penyedia infrastruktur. Dengan kondisi demikian maka “potensi” yang diciptakan oleh pemerintah melalui APBD bisa menjadi pelopor sekaligus pemanis untuk menarik arus masuk dunia usaha riil dan menggerakan mesin ekonomi sesuai mekanisme bisnis. Pembedahan dari kaca mata makro tersebut sangat bermanfaat dan strategis sebagai pedoman mendalami aspek mikro yang lebih rinci lainnya agar lebih membumi dan mudah dimaknai oleh sesama dunia usaha.
Dalam konteks ini kita mencoba mendalami salah satu sisi mikro yakni bagaimana potensi daerah kaya ini bagi perbankan. Sehingga dana atau kekayaan yang dimiliki oleh orang kaya daerah (disingkat OKD) bisa didayagunakan semaksimal mungkin sebagai debitur maupun kreditur. Dan bagaimana bank pembangunan daerah (BPD) yang menjadi ekosistim inti dari perbankan daerah mengantisipasi perkembangan dan mendayagunakannya.
Neraca dana dan kredit perbankan masih menunjukkan komposisi klasik yang tidak banyak berubah. Dimana potensi pasar dana selalu lebih besar dibandingkan kredit yang diserap oleh wilayah tersebut, sehingga neraca dana dibanding kredit selalu surplus. Beberapa contoh seperti di Medan (Sumatera Utara) per akhir 2002 terdapat pasar dana (market size) sebesar Rp. 34 trilyun yang tentu saja dikelola oleh 216 kantor cabang bank umum, termasuk 15 cabang BPD dan 5 cabang bank asing dan campuran. Namun kredit yang diserap oleh wilayah ini hanya Rp. 15 trilyun atau 44% dari potensi dana. Ini juga terjadi di Kalimantan Timur dimana surplus dana mencapai Rp. 10 trilyun, Sulawesi Selatan sekitar Rp. 4,5 trilyun, Bali sebesar Rp. 6 trilyun, Riau surplus Rp. 8 trilyun dan Sumatera Selatan Rp. 6,5 trilyun. Demikian juga di wilayah Jawa.
Komposisi singkat ini (bisa menimbulkan aneka tafsir) mencerminkan bahwa daerah memiliki kekayaan dan sangat potensial terbukti dari market size yang ada dan tentu saja lahirnya para OKD (jangan disamaartikan dengan OKB, orang kaya baru atau parvenue). Jajaran OKD inilah yang menjadi daya tarik perbankan termasuk jasa keuangan dan dunia usaha sebagai pasar potensial. Bagi dunia usaha potensi ini harus dimanfaatkan tanpa perduli apakah OKDnya dari pengusaha atau birokrat generasi baru (gen y) yang merasa bulan madu reformasi belum berakhir. Dinamika dan peta kekuatan OKD kelompok ini terutama tergantung pada denyut atau kembang kempisnya kantong kantong APBD beserta produk turunannya.
Munculnya daerah kaya bersamaan dengan lahirnya OKD tentu tidak lepas dari perkembangan industri dan dunia usaha setempat yang secara garis besarnya terbagi dalam dalam dua kelompok. Yakni daerah yang pasar industrinya lebih didominasi output berorientasi ekspor (export oriented) dan disisi lain daerah yang lebih kuat berorientasi local (local oriented). Kondisi ini bisa digeneralisir di wilayah non Jawa dimana kegiatan ekonomi masih bertumpu pada industri pertambangan, perkebunan dan pertanian. Sementara industri sekunder dan jasa masih terfokus di Jawa.
Bagi yang berorientasi ekspor maka hampir semuanya merindukan masa keemasan di era krisis lima tahun lalu (1998) dimana nilai rupiah melemah sehingga satu dollar dihargai Rp. 15 sampai Rp. 20 ribu. Artinya produk agribisnis dari minyak sawit sampai ke rempah-rempah (spices) memberikan nilai tambah luar biasa. Mereka malah merasakan arti kerja dan menikmati hidup dan merasa kaya. Daerah produsen aneka spices dari ujung Medan (sawit), Bangka-Belitung (lada) sampai ke ujung Sangir Talaud (cengkeh, kayu manis, pala dsbnya) malah merasakan “dengan presiden baru hidup lebih nikmat”. Sehingga tidak heran jika pada wilayah dengan export oriented besar, dana masyarakat masuk bank naik pesat. Di Medan simpanan masyarakat naik dari Rp. 10 trilyun (1997) menjadi Rp. 21 trilyun (1998) atau di Makasar naik dari Rp. 3,7 trilyun jadi Rp. 7,2 trilyun. Demikian pula di wilayah lainnya yang naik rata-rata berkisar 80%. Disisi lain rata-rata saldo per tabungan (dari 69 juta rekening per Desember 2002) juga naik. Bayangkan sebelum krisis tahun 1997 rata-rata saldo per tabungan sebesar Rp. 1,4 juta menjadi Rp. 2,7 juta (2002). Atau rata-rata setengah dari pendapatan per kapita sepanjang periode tersebut.
Jajaran OKD yang lahir pasca krisis ini tentu merupakan sebagian dari pemilik dana di daerah yang ramai diperebutkan oleh perbankan, sehingga bank asing campuran malah terus memantau untuk buka cabang. Meski demikian “perburuan” pengusaha atau nasabah kaya dan potensial di daerah ini tidak selamanya harus ditangani cara membuka kantor cabang. Karena tim pemburu yakni para relationship manager dari perbankan bisa jemput bola apalagi para OKD sendiri sudah rutin pulang pergi dari Jakarta ke daerah. Justru strategi berburu para “the high net worth individual” (HNWI) asal daerah inilah yang sangat menarik dan hanya beredar di lingkaran tertentu.
Dari riset INBRA (Investment and Banking Research Agency) tahun 2002 menunjukkan bahwa bank nasional berbasis di Jakarta berhasil menggaet deposito yang cukup besar di beberapa wilayah. Di Sumatera Utara misalnya tercatat Citibank bisa menarik deposito Rp. 900 milyar dan HSBC sebesar Rp. 200 milyar lebih, dimana lima besarnya tentu saja masih selalu dikuasai oleh Bank Mandiri, BNI, BCA, Bank Danamon, atau BII di seluruh daerah. Sementara di Kalimantan Timur tercatat Bank Bali (pra merger) menggaet deposito Rp. 250 milyar termasuk juga Bank Buana, Bukpoin. Di Jawa Timur, Citibank mendapat Rp. 1,5 trilyun, Deutsche Bank dapat Rp. 1, 2 triulyun dan HSBC sebesar Rp. 500 milyar lebih.
Paparan data singkat ini untuk menunjukkan bahwa dari market size yang ada ternyata sebagian besar disedot oleh bank skala nasional termasuk asing dan patungan. Sementara BPD sendiri belum maksimal menjaring dan mengelola potensi dana tersebut. Tapi perlu juga dicermati bahwa OKD birokrat tentu merasa lebih aman dan bersih jika membuka deposito milyaran rupiah di bank asing maupun bank nasional di Jakarta, dibandingkan buka deposito di BPD atau bank local setempat. Karena terdapat rasa sungkan sebab sudah dikenal di wilayah setempat apalagi bagi birokrat yang kaya mendadak terimbas KKN. Sehingga mereka menjadi santapan lezat para bankir luar. Ini salah satu factor yang bisa mengurangi kemampuan menggalang dana masyarakat.
Oleh sebab itu jajaran OKD ini bisa menjadi nasabah potensial BPD termasuk juga sebagai konsumen untuk dunia usaha lain khusus yang akan mengknsumsi pelbagai produk dan jasa. Mulai dari jasa telekomunikasi, ponsel, riteler, makanan dan minuman sampai ke produk dan jasa horeca (hotel, restoran dan café) dalam kemasan lebih modern. Masa depan bisnis horeca tentu tidak hanya dilihat dari kacamata dampak SAR, tragedy 911, berita kerugian dan PHK di pelbagai maskapai penerbangan dan turunnya occupancy rate hotel-hotel pasar tradisional selama ini. Tapi perlu juga dilihat pasar di pelbagai daerah lainnya.
Padahal potensi atau perilaku konsumen untuk pasar “horeca” di wilayah non Jawa seperti di Sulawesi, Maluku, atau Irian malah sudah menjadi kegiatan sehari-hari atau sebagai lifestyle dengan pendekatan entertainment. Sehingga produk dan jasa seperti ini menjadi lahan bisnis yang akan berkembang pesat dan tidak lepas dari gaya hidup OKD birokrat yang bergantung pada dinamika APBD dengan menjadi konsumen utama bisnis horeca. Demikian pula bisnis ritel yang kian gencar membuka outlet di non Jawa sehingga nantinya kontribusi omzet dari wilayah non Jawa akan membesar.
Dari analisis ini ingin digaris bawahi berkembangnya dan tumbuhnya daerah kaya mulai dari kota-kota minyak dan tambang sampai ke kota agribisnis jelas melahirkan jajaran OKD. Potensi ini pasti akan diperebutkan oleh perbankan dan dunia usaha terkait, sehingga menjadi tantangan serius bagi pengusaha local dan BPD untuk menikmatinya dan bukan hanya oleh bank nasional, bank asing atau bank campuran.
Ini tentu tidak bermaksud meremehkan manajemen BPD karena bagaimanapun harus diakui bahwa sebagian dari manajemen BPD sekarang sudah memiliki wawasan berbeda disamping kapabilitas yang bukan sekedar kelas dua. Keberanian untuk menerbitkan obligasi secara implicit menunjukkan bahwa mereka berani dan mampu mengelola dan bertanggungjawa atas kinerja bank, sekaligus mengurangi ketergantungannya pada dana pemda sebagai pemegang saham. Dengan varian gaji rata-rata direksi antara Rp. 250 sampai Rp. 500 juta per tahun (riset “Indonesian Bankers Lifestyle”, INBRA 2002), maka sangat diharapkan kinerja BPD semakin baik dan kontribusinya meningkat.
Kebijakan BPD yang masuk dan mengembangkan e-banking dan e-payment dalam bentuk paling dasar (ATM, online banking, kartu debet atau kartu kredit) merupakan langkah positif guna peningkatan kinerja. Produk yang masuk dalam kelompok consumer banking ini jelas merupakan produk dan jasa alternative yang prospektif dan harus dikembangkan. Ini semua tentu saja perlu kerjasama dengan pelbagai pihak (sekaligus berbagi biaya) terkait mulai dari infrastruktur sampai ke penyiapan sumber daya manusia. (*).

Read more...

Mengantisipasi Rebound Suku Bunga Perbankan

Oleh : Beni Sindhunata, Direktur Eksekutif INBRA
(Investment and Banking Research Agency)

Halaman muka Bisnis Indonesia minggu lalu (Senin, 14 Juli) memuat pernyataan Bank Indonesia bahwa sampai Mei 2003 ada Rp. 80 trilyun dari kredit seluruh perbankan yang tidak dipakai (undisbursed loan). Sementara dunia usaha menilai suk suku bunga tersebut belum layak dan masih terlalu tinggi. Seminggu sebelumnya INBRA (Investment and Banking Research Agency) menyiarkan hasil surveynya (8 Juli) bahwa ada Rp. 42,3 trilyun kredit yang tidak terpakai di 10 bank rekap per Desember 2002 naik 72,9% dari tahun 2001 atau dua kali lebih cepat dari pertumbuhan kredit 30,3%. Setara dengan penyaluran kredit baru sepanjang tahun 2002 atau sama dengan komitmen kredit ke UKM oleh 13 bank pada Deklarasi Yogyakarta (Maret 2003).
Pengungkapan fakta yang kurang menggembirakan bagi dunia usaha maupun perbankan ini segera mendapat pelbagai reaksi baik dari kalangan moneter sendiri, perbankan, dan dunia usaha sector riil sebagai konsumen dari kredit tersebut. Sampai akhirnya menarik Bank Indonesia untuk melonggarkan (relaksasi) peraturan yang dianggap sangat ketat dalam menilai kinerja perbankan.
Sebagai lembaga riset independen maka posisi INBRA adalah dalam kerangka menyampaikan peringatan dini (early warning) secara public agar para pihak terkait bisa memahami, menyadari dan menyikapinya demi mencapai keuntungan bersama. Secara implicit besarnya undisbursed loan ini mencerminkan bahwa daya serap dunia usaha terhadap kapasitas produksi kredit milik bank belum maksimal. Oleh sebab itu dalam konteks ini INBRA tidak dalam posisi untuk membahas lebih jauh tentang pelbagai sikap atas fakta ini, namun kita ingin menganalisisnya dari persektif ke depan untuk diantisipasi secara lebih baik.

Siapa Menunggu Siapa ?
Kredit belum terpakai yang mencapai Rp. 42,3 trilyun jelas sangat ironis dengan kondisi dunia usaha yang pada bagian lain sangat membutuhkannya, sehingga terjadi dis-efisiensi di kedua pihak. Bagi bank ini jelas merugikan karena dana tersebut sudah dibeli dari masyarakat meskipun dengan biaya yang sudah lebih murah. Namun akan lebih efektif jika berhasil dijual ke debitur (dunia usaha) dan tidak hanya di parkir di instrument SBI yang bunganya sudah satu digit (habis ditelan inflasi nominal).
Artinya di satu sisi bank masih sangat selektif menurunkan suku bunga sambil tunggu perkembangan lanjutan. Termasuk juga menunggu dan mengintip bank besar mana yang lebih dahulu berani menurunkan suku bunga kredit ke pelbagai sector industri lain, bukan hanya kredit konsumsi saja (seperti KPR, KPM atau KPA). Artinya jika berani pasang 7,5% p.a kepada konsumen untuk cicilan beli Jaguar, BMW atau Mercedes Benz, jelas bukan sebuah track record yang luar biasa.
Sementara di sisi lain calon debitur juga tidak kalah pintarnya yakni lebih baik menunggu sampai suku bunga turun lagi pada level yang menjanjikan. Padahal dibandingkan posisi 2002 posisinya sudah relative bagus dna murah untuk sector tertentu sebagian di kredit konsumsi. Sehingga dunia usaha belum berani masuk mengambil kredit meski proposal bisnisnya sudah disetujui oleh bank setelah melalui proses penelitian yang wajar. Kedua, dunia usaha masih melihat bahwa iklim bisnis di sector riil belum terlalu kondusif meski mereka menyadari bahwa indicator ekonomi makro sudah membaik dan lulus. Dengan demikian kedua pihak saling menunggu dan masih berlaku prinsip bank follow the trade, bukan sebaliknya yang menjadi pionir. Tercatat bahwa minat untuk perluasan usaha juga cukup besar dimana sampai Juni 2003 ada 35 proyek perluasan milik PMDN dengan rencana investasi Rp. 1,6 trilyun disamping 71 proyek baru Rp. 3,9 trilyun. Ini hanya PMDN dan diluar PMA yang tentu saja aspek pembiayaannya relative berbeda dengan PMDN.
Perlu dimaklumi juga bahwa nominal sukubunga SBI sudah turun 3,5% (dari 12,8% awal 2003 jadi 9,2% bulan Juli) dan suku bunga deposito yang bakal menembus satu digit, tidak serta-merta menurunkan suku bunga kredit ke nasabah. Karena tidak ada yang menjamin bahwa suku bunga kredit rendah akan langsung diserap dunia usaha. Karena dunia usaha juga butuh waktu untuk merealisasi proyeknya apalagi jika situasi ekonomi makro dan politik tidak menentu.
Dalam kondisi ini ada baiknya Bank Indonesia menyikapinya secara moderat agar tidak terjebak dalam posisi yang sama-sama sulit. Indikator ekonomi moneter jelas menunjukkan bahwa bank sentral berhasil menjalankan perannya, meskipun banyak yang bilang itu tidak lepas dari pengaruh moneter global. Jika itu betul anggap saja karunia bagi CEO dan top eksekutif bank sentral lainnya. Oleh sebab itu jangan mencoba masuk terlalu dalam karena bagaimanapun kita harus membiasakan agar mekanisme pasar bisa berjalan murni. Dengan demikian bank sentral juga tidak perlu segera melakukan relaksasi peraturan karena nantinya bisa menjadi boomerang. Dan jika aturan serta rasio selalu direvisi guna mengikuti pasar, maka akhirnya jadi tradisi bank sentral untuk selalu toleran dengan aturan yang sudah dibuat.
Meski demikian memang bisa dipertimbangkan untuk relaksasi pada aspek makro misalnya pada pembobotan resiko sektoral dimana perlu pemilahan yang lebih rinci dan khusus. Artinya tidak fair menyamaratakan resiko semua debitur dari industri yang sama, karena masing-masing debitur atau perusahaan memiliki kinerja berbeda yang belum disentuh lebih dalam oleh perbankan. Jangan menganut pendekatan hitam satu hitam semua atau sebaliknya cerah satu cerah semua.

Antisipasi Rebound
Dari pemantauan sebulan terakhir sebenarnya ada banyak pengusaha yang malah cepat masuk dan mengambil kesempatan yang menurut perhitungannya sudah cukup aman dan feasible, setidaknya jika dibandingkan tahun 2002. Memang dengan perhitungan matang dan prospek bisnisnya juga baik serta lulus penelitian oleh bank. Dengan demikian jajaran perusahaan seperti ini yang berani menjadi pionir karena mungkin mereka sudah pernah masuk dan ambil kredit pada suku bunga antara 19% sampai 22%. Ini bisa dijadikan ilustrasi bahwa bukan hanya di perbankan saja dibutuhkan market mover sebagai the price leader tapi disisi pengusaha juga perlu memiliki sikap atau semangat the price leader setidaknya untuk posisi diri sendiri.
Keberanian untuk masuk saat ini adalah penting dan sekarang kesempatan yang terbaik. Mengapa demikian ?. Karena sebagaimana lazimnya dunia usaha maka turun naiknya suku bunga kredit maupun simpapan tidak bisa dikontrol oleh otoritas moneter. Semuanya berjalan karena mekanisme pasar yang memang akhirnya membawa otoritas moneter untuk menyikapinya. Sama halnya dengan indeks dan harga saham di bursa maka turun naiknya juga sangat rentan, fluktuatif dan sensitive terhadap pengaruh eksternal. Ibarat kata saat ini suku bunga kredit sedang memasuki musim semi (murah) dan diharapkan lebih turun lagi karena belum mencapai puncaknya. Namun musim semi juga pasti akan segera berganti sehingga mengarah pada rebound atau siklusnya meningkat lagi. Itu hanya masalah waktu dengan bandul kondisi eksternal, khususnya politik dan keamanan setidaknya sampai pemilu Juli 2004. Justru yang sangat tidak diharapkan dan unpredictable adalah perilaku politisi kita sampai Juli 2004 yang bisa memanaskan pasar uang dan perbankan.
Dengan demikian jika pada Q4 2003 sampai Q1 2004, situasi politik dan keamanan tidak lagi kondusif maka jangan banyak berharap bahwa suku bunga akan terus murah (relative) seperti saat ini. Karena pelbagai komponennya juga sudah terpengaruh misalnya SBI akan kembali naik sehingga akan mendorong suku bunga kredit ikut naik. Pada posisi demikian maka jangan harap bisa minta bank untuk jual kredit dengan murah, walaupun selama Q2 dan Q3 2003 membeli dana masyarakat dengan harga murah. Dengan demikian bisa muncul sikap negative bahwa ketika SBI turun dan bunga simpanan murah bank belum bisa turunkan bunga kredit. Tapi ketika bunga simpanan dan SBI naik maka bank langsung menaikkan bunga kredit. Sebuah kondisi dilematis karena bank sendiri adalah salah satu eko-sistim dalam pentas besar ekonomi dan moneter nasional.
Sebagai antisipasi maka sekarang saat yang tepat untuk masuk dan memanfaatkan kredit perbankan dengan catatan jangan menjadi atau seperti para debitur yang sudah dapat credit line tapi batal memanfaatkannya. Jangan menunggu sampai bunga kredit mencapai bottom line apalagi jika membandingkannya dengan posisi di kawasan Asean. Karena begitu bunga kredit merambat naik lagi (rebound) maka pertanda musim semi akan berganti sehingga kesempatan juga berbeda.
Namun perbankan juga harus mengakui bahwa selektifitas, prudential dan bahkan ekstra hati-hati dalam membaca potensi bisnis sanga debitur jangan sampai terlalu kaku. Apalagi jika sudah menyangkut jaminan. Tidak akan ada pengusaha yang bisa berkembang jika untuk mendapatkan kredit harus sediakan jaminan 100% sampai 150% dari pinjaman atau bahkan sediakan LC dan BG yang setara. Jika decision kredit mau gampang dan aman memang itulah cara terbaik. Tapi jika ingin menjual kredit dengan aman dan menguntungkan maka perbankan perlu memiliki skema credit risk sektoral yang direview berkala sehingga dan juga analisis pelaku utama sebagai benchmark untuk membaca peta secara menyeluruh dan terpadu.
Perlakuan beda antara perusahaan skala besar dan menengah dengan perusahaan kecil (KUK) memang tidak bisa dihindari meskipun sebenarnya perbankan mengakui bahwa track record para nasabah UKM lebih baik dari nasabah non UKM. Dengan catatan harus diperdalam lagi apa dan siapa jenis UKM tersebut. Inilah yang bisa menjawab bagaimana perbankan merealisir komitmen 13 bank nasional pada Deklarasi Yogyakarta (Maret 2003).
Bisnis Indonesia, 24 Juli 2003


Read more...

OKD Dan Peluang Bisnis BPD

Oleh : Beni Sindhunata, Direktur Eksekutif INBRA

Dari laporan Warta Ekonomi tentang 50 kota terkaya pada edisi lalu mengin dikasikan secara jelas bahwa kota-kota besar di daerah akan menjadi roda penggerak ekonomi local dan selanjutnya akan berskala nasional. Disinilah akan berlangsung lagi fenomena klasik yakni apa dan siapa menjadi pionir atau sebaliknya follower, disamping pemerintah sebagai penyedia infrastruktur. Dengan kondisi demikian maka “potensi” yang diciptakan oleh pemerintah melalui APBD bisa menjadi pelopor sekaligus pemanis untuk menarik arus masuk dunia usaha riil dan menggerakan mesin ekonomi sesuai mekanisme bisnis. Pembedahan dari kaca mata makro tersebut sangat bermanfaat dan strategis sebagai pedoman mendalami aspek mikro yang lebih rinci lainnya agar lebih membumi dan mudah dimaknai oleh sesama dunia usaha.
Dalam konteks ini kita mencoba mendalami salah satu sisi mikro yakni bagaimana potensi daerah kaya ini bagi perbankan. Sehingga dana atau kekayaan yang dimiliki oleh orang kaya daerah (disingkat OKD) bisa didayagunakan semaksimal mungkin oleh jaringan perbankan baik dalam konteks sebagai debitur (pengusaha yang meminjam kredit) maupun kreditur (deposan yang menempatkan uangnya di bank). Lebih khusus lagi adalah bagaimana kesiapan dan posisi bank pembangunan daerah (BPD) yang menjadi ekosistim inti dari perbankan daerah bisa mengantisipasi potensi ini. Artinya potensi besar daerah (dana para OKD) jangan hanya disimpan dan dikelola oleh perbankan nasional swasta, asing maupun campuran.
Dari neraca pendanaan dan perkreditan perbankan terlihat bahwa masih terdapat komposisi klasik dan belum banyak berubah sampai saat ini. Dimana potensi pasar dana selalu lebih besar dibandingkan kredit yang diserap oleh wilayah tersebut, sehingga neraca dana dibanding kredit selalu surplus disebagian besar daerah. Kita lihat beberapa contoh seperti di Medan (Sumatera Utara) per akhir 2002 terdapat pasar dana (market size) sebesar Rp. 34 trilyun yang tentu saja dikelola oleh 216 kantor cabang bank umum, termasuk 15 cabang BPD dan 5 cabang bank asing dan campuran. Namun kredit yang diserap oleh wilayah ini hanya Rp. 15 trilyun atau 44% dari potensi dana. Ini juga terjadi di Kalimantan Timur dimana surplus dana mencapai Rp. 10 trilyun, Sulawesi Selatan sekitar Rp. 4,5 trilyun, Bali sebesar Rp. 6 trilyun, Riau surplus Rp. 8 trilyun dan Sumatera Selatan Rp. 6,5 trilyun. Ini untuk wilayah di luar Jawa, sementara di Jawa sendiri faktanya sama.
Komposisi singkat ini (yang bisa multi tafsir) mencerminkan bahwa daerah memiliki kekayaan dan sangat potensial terbukti dari market size yang ada dan tentu saja lahirnya para OKD (jangan disamaartikan dengan OKB, orang kaya baru atau parvenue). Jajaran OKD inilah yang menjadi daya tarik perbankan termasuk jasa keuangan dan dunia usaha sebagai pasar potensial. Bagi dunia usaha potensi ini harus dimanfaatkan tanpa perduli apakah OKDnya dari pengusaha atau birokrat generasi baru (gen y) yang merasa bulan madu reformasi belum berakhir. Dinamika dan peta kekuatan OKD kelompok ini terutama tergantung pada denyut atau kembang kempisnya kantong kantong APBD beserta produk turunannya.
Munculnya daerah kaya bersamaan dengan lahirnya OKD tentu tidak lepas dari perkembangan industri dan dunia usaha setempat yang secara garis besarnya terbagi dalam dalam dua kelompok. Yakni daerah yang pasar industrinya lebih didominasi output berorientasi ekspor (export oriented) dan disisi lain daerah yang lebih kuat berorientasi local (local oriented). Kondisi ini bisa digeneralisir di wilayah non Jawa dimana kegiatan ekonomi masih bertumpu pada industri pertambangan, perkebunan dan pertanian. Sementara industri sekunder dan jasa masih terfokus di Jawa.
Bagi yang berorientasi ekspor maka hampir semuanya merindukan masa keemasan di era krisis lima tahun lalu (1998) dimana nilai rupiah melemah sehingga satu dollar dihargai Rp. 15 sampai Rp. 20 ribu. Artinya produk agribisnis dari minyak sawit sampai ke rempah (spices) memberikan nilai tambah luar biasa. Mereka malah merasakan arti kerja dan menikmati hidup dan merasa kaya. Daerah produsen aneka spices dari ujung Medan, terus Bangka-Belitung sampai ke ujung Sangir Talaud malah merasa ternyata “ganti presiden baru hidup lebih nikmat”. Sehingga tidak heran jika pada wilayah dengan export oriented besar, dana masyarakat masuk bank naik pesat. Di Medan simpanan masyarakat naik dari Rp. 10 trilyun (1997) menjadi Rp. 21 trilyun (1998) atau di Makasar naik dari Rp. 3,7 trilyun jadi Rp. 7,2 trilyun. Demikian pula di wilayah lainnya yang naik rata-rata berkisar 80%.





Yang menarik ditindaklanjuti adalah apa dan bagaimana posisi ini bagi dunia usaha sector riil maupun sector perbankan dan jasa keuangan. Sehingga akan memacu dunia usaha untuk saling berlomba dan menciptakan pilihan antara bank follow the trade atau trade follow the bank. Dua premis dasar ini sekarang tampaknya tidak lagi berlaku sama persis karena kemajuan teknologi informasi, mekanisme dan transaksi perdagangan, perkembangan sector jasa dan keuangan telah merubah paradigma dan skala bisnis. Terlebih lagi gaya hidup dan selera konsumen di masa kini berbeda. Inilah sisi lain yang juga perlu dicermati, disamping kondisi strategis dasar lainnya seperti potensi penduduk, sumber daya manusia, infrastruktur, public utilitas dan terpenting perilaku birokrat daerah yang justru sedang berbulan madu memaknai arti kebebasan.
Dalam konteks ini kita memfokuskan pada posisi perbankan dalam melihat potensi bisnis ini. Sehingga kita akan masuk pada analisis tentang bagaimana persaingan antar bank sendiri dalam mendayagunakan potensi daerah khususnya dari kacamata persaingan merebut dana masyarakat dan penyaluran kredit.
Dilihat dari kacamata bisnis ritel dan kinerja konsumsi rumah tangga secara nasional maka saat ini mulai terjadi pergeseran kontribusi omzet, dimana pangsa omzet dari outlet di luar Jawa mulai meningkat meskipun masih dibawah kontribusi Jawa. Tahun lalu 23% omzet Ramayana disumbang dari outlet non Jawa dan 2003 ditargetkan jadi 40%, seiring menjamurnya pembukaan outlet di liuar Jawa yang gencar dikembangkan oleh semua peritel nasional seperti Alfa, Makro, Matahari, dan Hero. Kebijakan “go east” yang maksudnya adalah memfokuskan pengembangan bisnis ke pasar kawasan Indonesia timur merupakan paradigma lama yang belum dikembangkan terpadu. Padahal selama ini kawasan timur secara riil memberikan kue luar biasa yang justru tidak bisa ditangkap secara efektif.
Oil city….
Rtgs……
Pangsa bank asing di non jawa dalam dpk







Sesuai dengan judul artikel “persepsi bisnis konsumen versus anatomi priority banking” maka kita mencoba melakukan korelasi kedua aspek tersebut guna melihat apa dan bagaimana persepsi bisnis konsumen dikaitkan dengan anatomi produk dan jasa perbankan khususnya priority banking dengan puncak piramidanya private banking. Dengan demikian kita juga perlu melihat bagaimana persepsi para bankers sendiri tentang masa depan bisnis pada umumnya, apalagi para bankers ini sangat mengetahui anatomi dan struktur kekayaan konsumen yang menjadi nasabah debitur maupun nasabah deposan.
Survey INBRA (Investment and Banking Research Agency) pada bulan Juni 2002 dengan responden 842 bankers (direksi dan komisaris) menunjukkan persepsi yang relative berbeda. Terlihat bahwa setengah dari responden yakin ekonomi nasional akan lebih baik di tahun ini dan seperempat diantaranya bilang lebih buruk. Para bankers yang mayoritas bukan perokok dan penggemar musik klasik ini ternyata relative jujur mengakui bahwa perbankan adalah penyebab dan sekaligus korban dari krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia. Ini merupakan salah satu cuplikan dari survey INBRA berjudul “Indonesian Bankers Lifestyle” (2002).


Lalu bagaimana menempatkan dan mengkorelasi persepsi banker ini ke sector riil khususnya aspek pendanaan dan pengelolaan dana pihak ketiga di perbankan ?. Dari optimisme yang dimiliki banker maka pihak perbankan setidaknya bisa melihat prospek bisnis nasional sedikit berbeda dengan konsumen dan rakyat pada umumnya. Perbedaan ini jelas ada karena latar belakangn survey atau pooling menggunakan basis berbeda baik jumlah, sasaran atau basis responden, materi pertanyaan sampai ke tingkat gaji dan aspek pribadi lainnya. Sehingga tidak tepat untuk ditelusuri perbedaan maupun persamaannya, kecuali menggunakannya sebagai persepsi dan potret sesaat. Ini bisa juga mencerminkan terjadinya anomaly dan ketimpangan atas penguasaan dan pengelolaan harta kekayaan (wealth management) di masyarakat Indonesia.
Dari meningkatnya rata-rata saldo per tabungan (mencapai 69 juta rekening per Desember 2002) menunjukkan secara jelas bahwa deposan di Indonesia relative lebih kaya dan memiliki saldo tabungan kian meningkat. Bayangkan sebelum krisis tahun 1997 rata-rata saldo per tabungan sebesar Rp. 1,4 juta kemudian turun jadi Rp. 1,3 juta tahun 1998. Tapi sejak 1999 sampai tahun 2002 saldonya terus meningkat dari Rp. 1,7 juta menjadi Rp. 2,3 juta (2000), Rp. 2,5 juta (2001) dan Rp. 2,7 juta (2002). Rata-rata setengah dari pendapatan per kapita sepanjang periode tersebut. Dimana saldo rata-rata terbesar (kualitas) ada di tabungan yang dikelola oleh bank swasta. Besaran saldo ini sudah dibawah pendapatan per kapita. Dari komposisi per individu terlihat bahwa deposito dan giro milik perorangan sudah mencpai Rp. 305 trilyun, dengan kontribusi cukup signifikan dimana deposito per orangan menguasai 56% (senilai Rp. 252 trilyun) total nilai pasar deposito sementara giro sebesar 26% (senilai Rp. 53 trilyun).
Data ini menunjukkan bahwa meski terjadi krisis ternyata orang kaya di Indonesia bertambah dengan alokasi harta (saving) yang rata-rata meningkat. Terkonsentrasinya harta kekayaan perorangan di Jakarta melalui 1.700 outlet bank yang mengelola 56% (senilai Rp. 472 trilyun) dari total nilai pasar deposito Rp. 845 trilyun per akhir tahun 2002, menunjukkan adanya ketimpangan penyebaran kekayaan masyarakat. Dari perspektif ini tentu tidak fair jika kita langsung mensejajarkan persepsi bisnis konsumen dengan konsentrasi harta perorangan di masing-masing kota responden. Namun setidaknya kita bisa menelusurinya dari konsentrasi penguasaan dan pengelolaan total deposito diantara bank-bank besar pada wilayah utama. Dengan catatan kritis bahwa nasabah kaya di daerah sudah biasa bertransaksi dengan outlet perbankan di Jakarta, sehingga sebagian potensi pasar di daerah agak tersedot. Lihat tabel berikut.

Ganti dengan pansga pasar di wilayah non jawa….
Lima Bank Terbesar Pengelola Deposito Di 5 Pasar Utama
No.
Wilayah Utama
Peringkat Lima Bank Menurut Pangsa (%)
1
DKI
BNI (19,9)
Mandiri (11)
Danamon (10,9)
BCA (10,9)
Citibank (6,1)
2
Jawa Timur
Mandiri (19,8)
BNI (17,3)
Danamon (14,4)
BCA (9,4)
BII (7,6)
3
Jawa Barat
BNI (20,2)
Mandiri (20,1)
BCA (11)
Danamon (7,2)
BII (6,8)
4
Jawa Tengah
Mandiri (29,2)
BNI (14)
BII (8,5)
BCA (7,6)
Niaga (5,8)
5
Sumatera Utara
Mandiri (25,6)
BNI (13,9)
BII (9,7)
BCA (7,5)
Citibank (6,4)

Sumber : INBRA (Investment and Banking Research Agency)
Pangsa pasar adalah posisi September 2001, sehingga bisa berbeda dengan potret terbaru
Wilayah diperingkat menurut nilai terbesar pasar deposito

Tabulasi diatas menunjukkan bahwa BNI menjadi penguasa pasar deposito terbesar di DKI yakni seperlima, disusul oleh Bank Mandiri, Danamon, BCA dan Citibank. Sedangkan bank swasta nasional BCA, Danamon, BII juga tetap masuk dalam kelompok 5 besar tersebut dan Citibank cukup berhasil menggaet deposito di Riau-Batam dan Medan. Tabulasi ini hanya mencantumkan pangsa pasar di lima wilayah utama (4 propinsi di pulau Jawa dan Sumatera Utara) dari 15 wilayah besar di seluruh Indonesia. Potret ini tentu saja bisa berubah karena saat ini Bank Mandiri baru mulai konsolidasi pasca merger dan Bank Permata hasil merger 5 bank baru lahir tahun 2002.

Dengan indicator ini kita bisa mendekati areal utama yakni seberapa besar dan banyak orang kaya di seluruh Indonesia yang berpotensi atau sudah menjadi nasabah perbankan khususnya yang digolongkan sebagai nasabah the priority banking, dan sedikit diantaranya masuk nasabah private banking. Bagi perbankan sendiri ini prospek bisnis yang potensial untuk dikelola setelah selama ini lebih banyak dikembang dan dikelola oleh bank asing. Dalam konteks wealth management maka pengelolaan uang orang kaya bagian dari “the high net worth individual” (HNWI) ini tidak lepas dari strategi dasar. Yakni bagaimana menjaring, mengelola termasuk mengembangkan dan menjaga atau proteksi dari kekayaan tersebut. Dari sinilah kemudian lahir pelbagai produk dan jasa yang bisa ditawarkan sebagai sarana investasi mulai dari aneka produk perbankan, pasar uang, pasar modal, aneka produk asuransi sampai pelbagai jenis surat berharga sebagai piranti investasi skala milyaran rupiah.
Eksistensi nasabah kelompok the priority banking ini tentu sangat potensial untuk dikelola yang tentu saja diperebutkan oleh sesama bank yang sudah bermain di pasar ini. Sehingga bukan hal aneh jika seorang nasabah kaya memiliki 3 rekening priority banking dari bank berbeda karena semuanya tergantung pada pelayanan jasa perbankan dan tentu saja alternative portofolio investasi dan proteksi yang ditawarkan oleh masing-masing bank.
Sebagai penutup ingin ditarik kesimpulan umum bahwa kelompok orang kaya di Indonesia semakin meningkat meskipun tidak mudah untuk mendapatkan sebuah figure yang eksak. Bahkan antar bank sendiri sangat merahasiakan berapa dan bagaimana peta nasabah priority banking mereka, karena nasabah jenis ini memberikan kontribusi cukup signifikan terhadap struktur dana di bank masing-masing. Sejujurnya nasabah (HNWI) ini adalah para pengusaha, CEO, bankers, top professional, birokrat dan elite nasional lainnya yang kadangkala persepsi bisnisnya tidak selalu bisa dijadikan indicator namun pandangan mereka sangat berpengaruh dan dikutip media massa.
Sehingga optimisme maupun pesimisme yang disuarakan oleh para nasabah priority banking ini belum tentu sama sebangun dengan kondisi riil yang dialaminya dan atau yang diharapkannya terjadi. Fenomena yang berbeda akan muncul jika kita menggunakan suara sample dari pooling di grass root (konsumen dan ibu rumah tangga pada umumnya) yang jauh lebih bebas nilai dan vested interest. Dengan demikian optimisme di konsumen bukan berarti optimisme juga bagi masyarakat perkotaan khususnya di jajaran orang kaya nasabah priority banking. Demikian juga sebaliknya. Untuk itu tetap diperlukan sikap kritis dari anomaly yang semakin banyak terjadi sekarang, apalagi di tahun 2004 akan lahir puluhan mesin pooling dengan klien utama partai politik dimana para elitenya mungkin juga nasabah priority banking. (*).

Jajak pendapat Litbang Kompas (Kompas, 18 Mei 2003) yang dilakukan tepat 5 tahun setelah tragedi Mei 1998, menunjukkan masih adanya optimisme atau keyakinan (53%) bahwa ekonomi akan membaik di tahun 2004, meski krisis belum berlalu. Pooling dengan basis 977 responden usia diatas 17 tahun di 10 kota (dari Medan sampai Jayapura) menarik untuk dipertajam dan korelasinya dengan kondisi riil perekonomian secara nasional. Kesimpulannya sebenarnya biasa saja namun menjadi menarik dan “lebih bernyawa” jika dirinci per kota responden. Ternyata dari 10 kota responden (baca sebagai konsumen) tersebut maka tiga wilayah yang tingkat keyakinan (optimisme) tertinggi adalah Papua (76,7%), Pontianak (75%) dan Makassar (61,9%) yang secara geografis mewakili kawasan Timur. Sebaliknya dua wilayah dengan tingkat optimisme yang terendah ada di Jakarta (48,9%) dan Medan (37%), masih dibawah rata-rata.

Persepsi Konsumen dan Pengusaha
Secara implicit ini bisa juga dibaca bahwa konsumen atau masyarakat di kawasan barat optimismenya relative lebih rendah dibandingkan konsumen di wilayah timur atau kota-kota lainnya. Artinya persepsi warga dan konsumen Jakarta justru kurang optimisme tentang prospek pemulihan ekonomi di tahun-tahun mendatang. Sebuah hasil pooling selayaknya dibaca sebagai “sebuah potret” sesaat atas kondisi tertentu tergantung pada dimensi ruang dan waktu. Sehingga tidak perlu diperdebatkan apalagi jika sudah masuk dalam diskursus tentang social, politik dan keamanan.
Mengapa demikian ?. Karena dengan responden yang sama tanggal 13 dan 14 Mei itu ketika ditanyakan masalah nasionalisme ternyata setengah dari responden (49,7%) menjawab “tidak ada lembaga atau organisasi yang mampu mempersatukan semua elemen bangsa”. Tiga belas persen dapat digolongkan bersikap cuek, apatis, atau emang gue pikirin. Hanya 37,2% yakin masih ada elemen pemersatu bangsa. Bisa ditafsirkan secara makro bahwa konsumen atau rakyat Indonesia yakin ekonomi akan membaik tapi ragu-ragu tentang nasionalisme dan masa depan social politik. Namun di kota besar dan pusat ekonomi lebih rendah optimismenya.
Sementara itu riset berkala indek kepercayaan konsumen (IDK) oleh Danareksa Research Institute pada bulan April menyimpulkan bahwa konsumen masih pesimis akan adanya perbaikan ekonomi untuk semester II tahun 2003. Berbasis pada 1.700 responden rumah tangga juga disimpulkan bahwa menurunnya daya beli masyarakat menjadi factor utama akan pesimisme terebut. Di kalangan sector riil khususnya para eksportir terungkap bahwa indeks kepercayaan eksportir menurun dan hanya 31% dari eksportir sebagai responden yang optimisme bahwa ekspor akan cerah untuk jangka panjang. Yang cukup menarik bahwa 35% eksportir memperkirakan omzetnya akan turun pada tiga bulan mendatang sementara disisi lain mereka masih yakin target omzet (58%) dan laba (60%) akan tercapai tahun ini, padahal 51% diantaranya malahs udah mengaku gagal memenuhitarget omzet untuk kwartal I tahun ini. Survey yang dilakukan Jasa Citra ini berbasis 200 eksportir yang mungkin pelanggan dari jasa kurir mereka sehingga mempunyai basis yang cukup akurat.
Kompilasi hasil pooling dan survey ini setidaknya memberikan potret mutakhir pelaku bisnis dan konsumen di pasar domestic yang akhirnya terkait dengan fleksibilitas daya beli masyarakat. Artinya secara umum persepsi bisnis konsumen dan dunia usaha masih menunjukkan optimisme dengan pelbagai kadar. Oleh sebab itu secara implicit juga terdapat pesimisme yang tentu tidak dapat dinihilkan.
Warta Ekonomi , 16 Juli 2003

Read more...

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP