Saturday 5 January 2008

PPAK dan P3AK, Dua Sisi dari Uang Logam yang Sama

Oleh Beni Sindhunata,
Direktur Eksekutif INBRA (Investment and Banking Research Agency)
Yang dimaksud PPAK dalam analisis berikut ini adalah singkatan dari pembatasan pembelian asset kredit BPPN oleh bank yang lahir dari Peraturan Bank Indonesia No. 4/7/2002 tanggal 27 September yang membatasi bank agar tidak membeli asset kredit lebih dari setengah modal intinya. Sementara P3AK adalah produk BPPN yakni Program Penjualan Portofolio Asset Kredit yang bertujuan untuk menjual asset kredit dalam bentuk borongan (yang sudah maupun yang belum di restrukturisasi). Semakin cepat terjual semakin ringan beban BPPN, ibarat kapal yang sekarat dan terus menerus membuang beban. Dengan demikian PPAK versi BI membatasi bank-bank rekap agar lebih tidak royal membeli asset kredit di BPPN.
Jika kita telusuri secara jernih dalam konteks kepentingan ekonomi nasional maka sangat jelas bahwa tujuan kebijakan BI maupun BPPN adalah sangat-sangat positif. Sehingga kedua pihak yang sama-sama lembaga terhormat dan berkuasa ini perlu diacungi jempol. BI ingin menjaga dan memagari perbankan agar jangan sampai terjebak pada kredit macet akibat memborong asset kredit (yang sebagian besar mungkin eks debitur bank rekap). Ini wajar karena BI pasti tahu struktur dan kinerja kredit dari para bank terdahulu. Ringkas kata BI sudah kapok dan tidak ingin lagi terkena badai kredit macet yang sampai sekarang tidak jelas siapa yang harus bertanggungjawab.
Sebaliknya BPPN dengan paket P3AK juga punya misi besar dan positif yakni menyehatkan perbankan (apapun caranya ?) dan mengkontribusi pemasukan ke pos penerimaan negara sebesar puluhan trilyun untuk APBN 2003. Ibarat dokter yang di satu sisi harus menyembuhkan pasien tapi disisi lain harus menyumbang setoran sehingga terpaksa pakai jurus pintas yakni jual asset saja. Toh itu milik BPPN selaku pemegang saham wakil pemerintah. Ringkas kata dua lembaga yang super kaya dengan usia terpaut satu setengah abad ini ibarat dua sisi dari mata uang yang sama. Mereka sama-sama benar dan sama-sama bersih, demikian pula jika sebaliknya.
Silang pendapat tentang penjualan dan pembatasan pembelian asset kredit BPPN ini, hanyalah satu diantara kisah konflik kebijakan klasik antar otoritas moneter yang kebetulan sekarang melibatkan BI (selaku regulator) dan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) selaku pemegang saham. Pertarungan klasik seperti ini sudah seringkali berlangsung di bumi nusantara ini karena perbedaan kepentingan dan kebijakan antar anak dari induk yang sama. Yakni antara regulator (pemerintah melalui departemen terkait) dan pemegang saham (seperti BPPN dan kantor Meneg BUMN, sebagai wakil pemegang saham). Secara implicit kasus ini nasibnya sama dengan kasus siapa yang harus menandatangani release and discharge (R&D), cikal bakal yang lahirnya P3AK.
Dari analisis empiris asal muasal kredit macet ini tidak lepas dari mekanisme dan kinerja bank sentral dipenghujung abad 20. BI, sebagai regulator dan pengawas dari lembaga perbankan dalam hal tertentu memang pasti akan berbeda pandangan dengan BPPN selaku pemegang saham. Melalui PBI ini secara implicit menunjukkan bahwa BI sudah kapok dan sadar atas kekeliruan di masa lalu sehingga jauh lebiuh hati-hati. Ketika itu akibat lemahnya pengawasan dan mandulnya mekanisme sanksi bagi perbankan (paling signifikan dan monumental adalah pelampauan kuota BMPK dan BLBI) telah membuat negeri ini rusak parah meninggalkan hutang ratusan trilyun. Pada saat itulah banyak bank yang mati, dimatikan termasuk bunuh diri pelan-pelan. Selanjutnya bank-bank bermasalah yang membawa kredit macet (yang terkena dampak) digotong ke BPPN untuk disehatkan dengan jaminan asset yang ada. BI menyerahkan pengelolalannya kepada BPPN dengan segala plus minus untuk disehatkan selama hayat di kandung badan. Ingat, hayat BPPN sejatinya berakhir 27 Februari 2004 (sesuai PP 17/1999, kecuali disepakati untuk perpanjangan). Disinilah tolak ukur sukses tidaknya kinerja BPPN, sebuah lembaga super kaya (kaya asset dan kredit bermasalah berstatus K 3 sampai K 5) yang lahir mendadak akibat krisis.
Saat itulah kewajiban 48 bank BTO, BBO, BBKU dan BDL senilai Rp. 144,5 trilyun dialihkan ke BPPN, yang merupakan saldo fasilitas BLBI yang mereka terima per 29 Januari 1999. Atau tepat sebulan sebelum berlakunya PP 17 (27 Februari 1999). Sebulan setelah meletusnya konflik hebat di Ambon atau 11 hari menjelang pertemuan besar di presiden suite Hotel Mulia (10 Feb) yang ceritanya sudah lenyap ibarat embun di Puncak Pass. Saat itu semua pihak sepakat dan setuju inilah jalan terbaik untuk memulihkan perekonomian nasional akibat kesalahan otoritas moneter dan pemerintah secara menyeluruh termasuk sebagian pengusaha besar dan jajaran bankir. Saldo BLBI ini belum termasuk ke bank negara yang menyusul setahun kemudian.
Lalu apa yang dikerjakan oleh BPPN guna menyehatkan perbankan nasional disaat mana lembaga ini juga diberi target untuk mengisi pos penerimaan dalam negeri di APBN yang mencapai puluhan trilyun. Dipilihlah jalur pintas yang legal dan halal yakni menjual harta benda. Sehingga tidak heran BPPN berprofesi sebagai salesman mulai menjual apartemen, hotel, ruko, rumah sampai kavling kosong (PPAP). Termasuk juga menjual program penjualan asset strategis (PPAS) dan program penjualan portofolio asset kredit (P3AK) yang sekarang menimbulkan polemic. Jadi BPPN mendapat dua misi yang berbeda yakni menyehatkan perbankan termasuk restrukturisasi bank pemerintah sekaligus mencari dana untuk pos pembiayaan APBN. Mungkin ibarat BUMN berstatus perum yang difokuskan sebagai agent of development untuk public utilitas tapi juga dituntut sumbangsih dana dan kinerjanya harus sehat.
Jika success story BPPN diukur dari nilai kontribusi mereka kepada APBN yang terus menerus ditingkatkan maka bisa dikatakan berhasil, setidaknya terukur dengan nominal meskipun relative kecil karena pelbagai kendala. Sebaliknya jika diukur dari misi khususnya untuk penyehatan perbankan, belum bisa dibilang berhasil. Karena bisa dihitung berapa banyak bank yang masuk ICU BPPN ternyata tidak keluar lagi malah masuk liang kubur (dilikuidasi). Padahal BPPN sendiri mengutus tim-tim jempolan mereka di jajaran direksi dan komisaris untuk mengawasi dan menjalankan operasional bank rekap khususnya pada era sebelum sebelum didivestasi. Sebaliknya jika perbankan menjadi sehat maka belum tentu dianggap suksesnya BPPN karena tidak menutup kemungkinan adanya klaim pihak lain.
Lalu dalam pertarungan kebijakan strategis inilah perbankan berada di tengah-tengah dan terjepit, karena mayoritas sahamnya dimiliki oleh BPPN sementara yang mengawasinya BI. Mengingat bahwa kedua lembaga ini punya kepentingan mikro dari aspek masing-masing maka perbankan perlu mengambil kebijakan perkreditan yang smart, excellence, mandiri, dan terpenting menguntungkan. Ibarat kata biarkan pemegang saham dengan direksi dan komisaris bertengkar sepanjang hari (around the clock), yang penting pekerjaan dan tugas perbankan jalan terus sesuai aturan main. Mari kita simak dari pendekatan perbankan dan investasi berikut.
Menurut hitungan BI, per Oktober 2002, sembilan bank papan atas punya kapasitas beli P3AK sebesar Rp. 39 trilyun (50% dari modal inti) dan tinggal Rp. 33,4 trilyun setelah ikut borongan PPAK senilai Rp. 5,5 trilyun. Jika seluruh kapasitas ini dipakai memborong kembali asset P3AK BPPN berarti menyerap 47%. Lalu asumsi super optimis recovery ratenya 80% maka uang yang masuk ke BPPN sebesar Rp. 26 trilyun yang menyamai sumbangsihnya ke APBN. Berarti selesai sudah tugasnya, setoran tercapai dan bersih dari kredit bermasalah.
Lalu bagaimana nasib kredit tersebut setelah masuk ke mesin perbankan nasional. Siapa yang bisa menjamin kredit berstatus K3 sampai K5 ini bisa berstatus sehat atau sebaliknya tambah menyusahkan perbankan. Sementara tahun ini beberapa bank raksasa masih melakukan write off trilyunan rupiah dan LDR belum beranjak juga. Disinilah arti strategis yang mendorong BI menelurkan PBI No. 4.
Dari pengamatan terhadap dunia investasi dan perbankan serta hasil riset terbaru INBRA (Investment and Banking Research Agency) maka satu fakta umum yang terungkap bahwa banyak pengusaha kecil menengah yang prospektif dari pelbagai sector bisnis sedang membutuhkan dana untuk tambahan modal kerja bahkan juga untuk perluasan. Bahkan butuhnya sudah setengah mati. Namun mereka selalu terhalang oleh prosedur baku di perbankan mulai dari nilai jaminan, jenis jaminan sampai waktu pencairan yang relative lama. Padahal mereka butuh cepat dan bahkan ada yang siap membayar dengan bunga lebih tinggi asalkan bisa mendapat kucuran dana. Sebagian besar malah sudah berkali-kali mengajukan hal serupa ke bank berbeda dan hasilnya sama. Padahal hanya butuh pinjaman rata-rata Rp. 5 milyar ke bawah guna membiayai produksi yang berorientasi ekspor mulai dari produk agribisnis sampai produk kerajinan kayu. Debitur ini jangan disamakan dengan debitur UKM di 4 bank persero yang kredit macetnya tidak kurang dari Rp. 18 trilyun akan diserahkan oleh KKSK ke BPPN.
Dari fakta ini seharusnya perbankan bisa menarik kesimpulan dan introspeksi bahwa diluar kreditur besar dan asset kredit BPPN sebenarnya terdapat potensi bisnis luar biasa untuk penyaluran kredit. Kenapa harus berperang kata-kata dan berpacu untuk membeli asset puluhan trilyun milik BPPN dengan aneka status yang tidak jelas sementara di luaran terdapat ribuan calon debitur yang potensial, usahanya prospektif, skala menengah ke bawah dan bahkan ada yang baru pertama kali mencoba pinjam uang bank. Disinilah areal sebenarnya bagi bank untuk bersaing dan mengembangkan usahanya sesuai dengan trend konsentrasi ke ritel sekaligus menyebar resiko kredit. Dengan demikian meski BPPN obral luar biasa maka perbankan yang prudent akan membeli dengan sangat selektif. Tidak beli paket atau borongan tapi per kasus karena masing-masing memiliki kinerja tersendiri, apalagi sebagian mungkin bekas nasabahnya (seperti pinjaman konsorsium). Perlu dipahami bahwa penggerak ekonomi nasional sekarang dan masa depan bukan hanya debitur atau perusahaan yang jadi pasien BPPN tapi juga mereka yang berada diluar BPPN.
Bayangkan saja jika setengah dari kapasitas bank Rp. 33 trilyun itu senilai Rp. 16,5 trilyun ditujukan penyalurannya ke jajaran debitur non BPPN yang prospektif dengan plafond maksimal Rp. 5 milyar saja maka bisa membiayai 3.300 perusahaan menengah bawah. Memang sebagian bank papan atas sudah mengarah kesana dengan plafond berbeda namun belum semuanya berjalan sebagaimana yang ditargetkan.
Sebagai penutup ingin digarisbawahi bahwa analisis berikut tidak berpretensi menyalahkan dan atau membenarkan salah satu pihak tapi lebih pada usaha memberikan pandangan dari sisi lain yang hampir tidak mau diangkat, yakni membantu bergeraknya roda perekonomian. Dengan catatan jangan diartikan bahwa suksesnya program P3AK menjamin roda ekonomi berjalan lancar karena sebagian sudah mengalami rusak sistemik sejak dialihkan dari bank sentral. Biarkan kedua lembaga ini menyelesaikan PR mereka bersama karena ada kalanya benar pepatah bahwa “ketika pemerintah bangun ekonomi tidur, ketika pemerintah tidur ekonomi bangun”. Justru PR paling menarik dan menantang bagi 141 bank dan 10 bank papan atas khususnya adalah bagaimana menyalurkan kredit dengan baik sehingga LDR naik tanpa meningkatkan NPL. Jangan sampai terseret sengketa antar otoritas moneter. (*).

Kompas, 29 November 2002


0 comment:

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP