Wednesday 11 February 2009

Indonesia dan Resesi Global

Merosotnya indek bursa global yang dipicu oleh anjloknya indek Nasdaq - 6,3% (12/3) dan berdampak pada anjloknya bursa Japan, Hongkong, Singapura dan Korsel antara - 2,1 % sampai – 2,1%, merupakan sinyal negatif yang sudah diperkirakan awal Januari. Sinyal utama adalah pertanda melemahnya ekonomi AS yang terancam resesi, meski kemudian diperlunak oleh pidato Allan Greenspan. Sedikit banyak ini mengkontribusi terhadap anjloknya IHSG BEJ - 7% sejak Senin sampai Selasa (menjadi 385,9) disamping adanya demo anti Gus Dur yang kian meningkat. Bahkan Indek BEJ anjlok 10% dihitung sejak Jumat ketika rupiah menembus Rp. 10.050,-.

Dalam konteks ini kita mencoba melihat bagaimana perkembangan pesat di pentas global akan berdampak bagi ekonomi Indonesia, karena bagaimanapun RI tidak bisa lagi lepas dan menutup mata dari konstelasi global tersebut. Tergantung kemampuan kita untuk mengantisipasi dan meminimalisir dampak negatifnya, dengan catatan panggung politik Indonesia yang tidak pernah kekurangan Brutus ini harus bisa disterilkan.

Di pentas perdagangan global juga sedang berkecamuk pertemuran kecil-kecilan yang sporadis antar negara yang banyak diselesaikan lewat pembicaraan bilateral antar negara terkait. Sehingga muncul trend arus balik bahwa yakni lebih menguntungkan jurus bilateral atau multilateral. Ini terjadi antar sesama free trade areal (FTA) mulai dari kalangan Nafta melibatkan US, Kanada dan Amerika Latin (khususnya Brazil dan Argentina) sampai antar anggota EU yang ternyata tidak semuanya konsisten dengan komitmen global, WTO. Karena semuanya berpulang pada bagaimana mendahulukan kepentingan negara. Dalam konteks seperti ini maka posisi AS sebagai lokomotif perdagangan dunia sangatlah penting yang menguasai seluruh instrumen perdagangan dunia mulai dari “old economy” sampai “new economy”.

Bahwa AS bakal dilanda resesi bakal mulai terlihat dari langkah strategis The Fed yang menurunkan suku bunga (3 Januari 2001) jadi 6%. Langkah ini tidak lepas dari pelbagai indicator ekonomi makro AS yang menunjukan bahwa struktur ekonominya cenderung melemah dan berpotensi jadi masalah. Negara berpenduduk 275 juta dengan pendapatan per kapita US$ 33.800 ini tahun lalu tumbuh 2,4% dengan tingkat inflasi 3,4%. Meski cadangan emasnya hanya US$ 54 milyar (setengah dari Taiwan dan seperenam Jepang) merupakan lokomotif perdagangan dunia. Di mana tahun 1999, AS mengekspor US$ 682 milyar (12,6% ekspor dunia) dan mengimpor US$ 944 milyar (16,8% impor dunia) sehingga neraca perdagangan mereka defisit. Sehingga mereka menguasai sepertiga perdagangan dunia yang tahun 1999 tumbuh 5% atau pertumbuhan tertinggi selama enam belas tahun terakhir. Bahkan merosotnya indek saham berdampak besar bagi penurun kekayaan rumah tangga di AS. Laporan terbaru dari The Fed menunjukkan nilai saham rumah tangga AS menyusut dari US$ 8,7 trilyun jadi US$ 6,6 trilyun (2000), kondisi terparah dalam 55 tahun terakhir.

Karena kompleksitas tersebut maka jika terjadi resesi praktis AS akan mengurangi impor (konsumsi) mereka, yang selanjutnya akan mengurangi ekspor dari negara lain. Kondisi ini akan paling berdampak buruk bagi negara yang sangat tergantung pada pasar AS dan mereka jelas paling terpukul. Diantaranya Kanada, Meksiko, Malaysia, Korsel dan Taiwan yang menggantungkan ekspornya pada pasar AS berkisar antara seperempat sampai sepertiga PDB negara masing-masing. Merosotnya indek saham sektor IT di Nasdaq selanjutnya akan menurunkan konsumsi produk IT yang juga berdampak hebat pada produsen IT dari Asia Timur, khususnya Taiwan dan Korea Selatan. Sebaliknya EU dan Jepang tidak separah mereka sebab ekspor EU dan Jepang ke AS hanya 3% PDB mereka. Dalam posisi ini ekspor Indonesia ke AS sekitar 14% dari total ekspor Indonesia yang mencapai US$ 48,6 milyar, atau 4,5% PDB tahun 1999.

Menurunnya aktivitas pabrik berarti menurunnya konsumsi minyak dunia dan bahan baku. Harga minyak akan turun dan berdampak pada negara-negara OPEC. Dari aspek ini maka dampaknya akan sama sebangun dengan negara diatas , di mana EU dan Jepang akan mendapat keuntungan. Oleh sebab itu bisa dimaklumi jika OPEC minggu ini berencana mengurangi produksi 0,5 juta sampai 1 juta barreal per hari, guna mengantisipasi kelebihan pasokan.

Dari aspek investasi langsung, maka negeri yang punya investasi (FDI) besar di AS akan terpukul karena pasar yang menurun sehingga keuntungan menyusut. EU dan Jepang akan terpukul karena FDI mereka di AS lebih besar dibandingkan transaksi perdagangan mereka. Disisi lain bergabungnya China ke dalam WTO juga akan menjadi tantangan sendiri bagi negara yang spesifikasi industrinya relatif sama dengan China, khususnya negara-negara Asia. Asumsi dasar bahwa produksi China akan lebih murah dan lebih kompetitif untuk menembus pasar ekspor negara lain. Sehingga pasar global yang semakin terbuka hanya bisa dipasok oleh produsen dari negara-negara dengan biaya produksi relatif murah. Misalnya dari kawasan Delta Mekong (Vietnam, Laos, Kamboja, Burma) meski negara ini juga memiliki segudang permasalahan mulai dari KKN sampai birokrasi.

Dari paparan dan analisis makro ini memperlihatkan bahwa resesi di AS akan memukul negara NAFTA dan beberapa negara Asia, khususnya sejumlah negara yang memiliki hubungan sangat erat dengan AS. Indonesia dengan nilai ekspor ke NAFTA (AS, Meksiko dan Kanada) sebesar 15% total ekspor atau senilai US$ 7,3 milyar, kedua terbesar setelah Jepang. Dengan posisi (dampak resesi) tentu akan berdampak bagi pencapaian ekspor nasional. Menurunnya ekspor berarti menurunnya produksi pabrik dan akibatnya kinerja perusahaan menurun dan tidak tertutup kemungkinan berhenti produksinya. Ini baru satu sisi dari aspek perdagangan.

Trend menurunnya harga minyak dunia (sebagai dampak resesi AS) akan berdampak bagi pendapatan Indonesia.karena kontribusi pendapatan migas terhadap APBN sangat signifikan. Pergeseran pendapatan ini tentu harus ditutup dengan pemasukan dari sektor lain. Sektor lain yang paling empuk dan potensial untuk ditingkatkan adalah pajak. Oleh sebab itu kita juga berlomba menggenjot pajak dari kualitas dengan kenaikan pajak bunga deposito sampai ke kuantitas.

Serangkaian perkembangan global ini seharusnya menjadi PR berat bagi tim ekuin untuk diantisipasi dan mencari jalan keluarnya. Tentu saja dengan segudang masalah ekuin di dalam negeri yang pasti tidak bisa diselesaikan hanya dengan modal “mantel nasionalisme” tapi ternyata pada sisi tertentu mungkin bisa berkompromi dengan pelaku ekonomi yang berkinerja buruk. Ancaman resesi global jelas berdampak negatif bagi perekonomian tapi akan semakin negatif lagi jika elite politik dan ekonom masih perang terbuka di mass media. Bagi mereka Pemilu 2004 lebih penting daripada memikirkan agenda liberalisasi perdagangan 2003. (*)
Warta ekonomi, 14 Maret 2001

0 comment:

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP