Thursday 27 December 2007

Dicari Gubernur BI: Dewa Yang Independen


Oleh : Beni Sindhunata, Pengamat investasi dan perbankan dari INBRA

Diserahkannya 3 calon gubernur dari presiden Megawati kepada DPR (Jumat lalu) yang kebetulan semuanya dari kalangan intern Bank Indonesia menjadi titik awal dari perdebatan publik dengan aneka sudut pandang. Bersamaan dengan itu minggu lalu Pengadilan Negeri Jakarta memvonis penjara antara 3 sampai 5 tahun untuk 3 mantan direktur Bank Indonesia, sehingga sangat fenomenal sebagai peringatan halus bagi calon gubernur dan deputi gubernur masa depan. Terkait dengan ini maka artikel yang cenderung independen dari Faturachman (di Kompas 15 Februari) lalu menarik untuk ditanggapi lebih mendalam dalam konteks makro sehubungan dengan proses pemilihan gubernur Bank Indonesia menggantikan Syahril Syabirin, yang masa tugasnya berakhir 17 Mei 2003.

Secara menyeluruh artikel tersebut menggambarkan betapa beratnya menjadi gubernur bank sentral karena harus memenuhi syarat dan kriteria baik yang terukur maupun tak terukur. Yang terukur secara kuantitatif misalnya pengendalian tingkat inflasi, uang beredar, suku bunga, dan pengawasan perbankan nasional. Sementara yang kualitatif dan sangat lentur menyangkut masalah moral, akhlak, visi, serta falsafah hidup jangka panjang. Disisi lain juga ada aspek normatif seperti terlibat kejahatan pidana maupun perdata yang bisa hitam bisa putih bahkan bisa abu-abu, apalagi jika sudah bicara aspirasi politik.

Berikut ini kita mencoba menganalisis bagaimana independensi dan kinerja Bank Indonesia bisa diukur guna menilai apakah kinerjanya sukses atau gagal dan sejauhmana independensi figur bisa memastikan independensinya lembaga. Ringkas kata dengan segudang entry barrier tersebut maka mencari calon gubernur bank sentral ibarat mencari dewa (baik) yang profesional (pintar) dan independen (non partisan). Mungkinkah presiden Megawati bisa mencari figur ideal seperti yang diidam-idamkan tersebut. Dapat diperkirakan, siapapun yang terpilih menjadi gubernur bank sentral periode 2003-2008 pasti bakal mendapat suara sumbang timbul pro dan kontra sehingga jangan harap gubernur baru bisa langsung bekerja mantap tancap gas untuk 100 hari pertama.

Sikap menolak atau kontra tersebut bisa muncul di kemudian hari mulai dari Senayan sampai ke 5.600 karyawan Bank Indonesia (setengahnya berada di kantor pusat) sendiri disamping para pengamat dan intelektual yang juga menginginkan bank sentral berkinerja baik yang sesuai dengan hukum dan aturan main. Tidak tertutup kemungkinan penolakan ini akhirnya mengkristal dan berwujud pada demo atau mogok kerja, sebuah pola yang sudah mewabah dan jadi trend umum di negara kita dan muncul tak terduga pada saat kritis. Sehingga tidak heran jika salah satu klausul yang diminta oleh para bidder saat ini dalam proses divestasi dan privatisasi BUMN adalah jaminan tidak adanya demo atau mogok dari karyawan, seperti para bidder privatisasi Indofarma. Karena mereka sudah belajar banyak dari privatisasi Indosat yang geger habis-habisan justru setelah diumumkan siapa pemenangnya dengan isyu yang terus-menerus berubah dari masa depan karyawan, monopoli, data intelijen, masuknya special purpose vehicles dan akhirnya tuduhan KKN dengan tuntutan lengser. Sangat kreatif, berani dan luar biasa.

Meskipun penulis tidak sependapat dan seyakin Faturachman bahwa demo atau mogok bukan cara populer di Bank Indonesia, kita berharap sinyalemen itu benar adanya. Jika berprinsip bahwa gubernur bank sentral adalah figur yang harus bisa diterima oleh seluruh publik intern Bank Indonesia maka prinsip itu relatif sudah melebar. Memang idealnya harus bisa bersinergi dan harmonis dengan seluruh jajaran karyawan Bank Indonesia karena dalam menjalankan tugasnya gubernur tidak seorang diri tapi terkait dengan pejabat di pelbagai eselon. Namun juga perlu dipahami karyawan bank sentral digaji oleh negara dari pajak rakyat serta dunia usaha dan bukannya dari honorarium sang gubernur atau anggota dewan gubernur. Apalagi beban umum dan administrasi di Bank Indonesia hampir mencapai Rp. 2 trilyun per tahun, yang tentu saja diantaranya termasuk beban gaji karyawan.

Di luar faktor formal sesuai UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia (ironisnya sekarang sedang direvisi) juga terdapat banyak faktor lain yang tidak kalah pentingnya. Bahwa figur sang gubernur haruslah figur yang bisa diterima pasar (market acceptable) yang ringkas kata bisa memahami kondisi riil industri karena Bank Indonesia sebagai regulator tidak hidup sendiri tapi harus mengerti kondisi lapangan. Karena dalam memainkan instrumen moneter tentu saja harus memperhatikan dampak ekonominya secara riil bagi dunia usaha, sehingga instrumen moneter bisa menjadi gas, rem dan kopling bagi bank sentral dalam menjalankan fungsi moneter nasional secara menyeluruh dan terpadu.

Tentang perlunya harmonisasi dengan lembaga pemerintah terkait lain khususnya Departemen Keuangan, adalah sebuah keharusan jika pengelolaan keuangan dan moneter negara ini mau berjalan baik dan benar. Sudah lumrah, mengglobal dan universal bahwa antara bank sentral dengan departemen keuangan jarang terdapat hubungan yang harmonis karena kedua pihak memiliki kepentingan dan agenda tersendiri sehingga saling berseberangan jalan. Apalagi tidak sedikit kebijakan departemen lain yang secara tak langsung berdampak pada dinamika mesin moneter yang justru sudah diatur oleh bank sentral. Sebagaimana dicontohkan oleh Faturachman tentang kebijakan pengurangan subsidi BBM tanpa mengaitkannya dengan pengendalian inflasi. Sehingga jika dijalankan akan berdampak negatif pada target besaran moneter seperti inflasi, suku bunga, uang beredar dan struktur perbankan secara menyeluruh. Pelbagai dampak negatif ini tentu harus diatasi dan dikendalikan oleh bank sentral yang akhirnya menjadikan bank sentral sebagai pemadam kebakaran di pelbagai musim.

Tapi proses harmonisasi dengan pihak luar bisa tercipta jika di jajaran internal Bank Indonesia sendiri sudah harmonis dan kompak. Karena pada lembaga sebesar dan se-strategis Bank Indonesia tidak mudah untuk menciptakan harmonisasi total di tubuh mereka sendiri. Setidaknya ini tercermin dari tulisan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (Kompas, 23 Desember 2000) pada catatan pribadinya sewaktu mengundurkan diri. Diungkapkan bahwa dewan gubernur bank sentral bukan merupakan dewan yang kompak, masing-masing bekerja sendiri sendiri tanpa koordinasi, tanpa inisiatif dan tanpa kekuasaan untuk menilai kinerja dan mendisiplinkan bawahannya. Dus, bagaimana bisa harmonis dengan pihak luar jika diri sendiri juga tidak harmonis. Harmonis dalam konteks kebijakan dan kelembagaan bukan hanya harmonis secara personal. Potensi konflik intern juga bisa meningkat apalagi jika yang bertarung adalah calon dari kalangan Bank Indonesia sendiri.

Kriteria independensi juga salah satu aspek yang sangat abu-abu dengan kain pembatas yang sangat tipis. Jika sekarang non partisan tidak terkait parpol tertentu maka siapa bisa menjamin bahwa dua tahun setelah menjadi gubernur atau deputi gubernur mereka tetap non partisan dan tidak mempraktekkan jurus konvensioal KKN yang sudah menjadi hukum besi. Padahal setelah menjadi gubernur maka hampir tidak ada celah bagi pemerintah untuk menggantikannya apalagi hanya sekedar demo oleh publik dan mahasiswa. Yang bisa menggantikan gubernur bank sentral dari jabatannya hanya kematiannya dan berhalangan tetap yang bukan lagi urusan duniawi. Sementara pintu lainnya seperti mengundurkan diri atau sebagai ditetapkan terpidana dan sudah memiliki kekuatan hukum tetap, sangat tipis bisa dijalankan. Atau jika gagal menjalankan tugas dan tanggungjawabnya di bidang moneter dan perbankan, juga ukurannya sangat lentur. Sudah 4 presiden, 5 menteri keuangan dan 7 kepala BPPN datang silih berganti tapi gubernur bank sentralnya tetap bertahan (melewati dua abad). Bahkan presiden yang ingin menurunkan gubernurnya malah lengser duluan. Pelbagai kondisi ini menunjukkan sedemikian independen gubernur bank sentral sehingga dia menjadi orang kedua paling berkuasa setelah presiden dan paling awet dan teraman.

Seperti diungkapkan oleh kanselir Jerman Konrad Adenauer (1956) bahwa Bundesbank (salah satu bank sentral paling independen) tidak bertanggungjawab kepada siapapun, tidak kepada parlemen maupun pemerintah. Sedemikian berkuasanya Bundesbank maka lembaga ini memainkan peranan dalam proses jatuh bangunnya tiga kanselir Jerman pengganti Konrad (Ludwig Erhard, Kurt George Kiesinger dan Helmut Schmidt). Bank sentral dengan independensinya menjadi sebuah institusi yang tak tersentuh bahkan punya kekuatan luar biasa. Di AS, presiden Bill Clinton masih memilih Alan Greenspan sebagai gubernur The Fed, padahal Alan adalah republiken tulen dan Bill adalah demokrat sejati. Ini menjadikan Alan sebagai gubernur The Fed yang bermitra dengan 4 presiden (Reagan, Bush, Clinton dan Bush Jr) sejak Agustus 1987. Kedua terlama setelah William M. Chesney Martin (1951-1970) yang bersanding dengan 5 presiden (dari Harry Truman sampai Nixon). Jimmy Carter bahkan yakin bahwa dua orang penyebab utama kegagalannya di pemilu tahun 1980 adalah Khomeini dan Paul Volker. Demikian pula George Bush menuduh kekalahannya tahun 1992 salah satunya karena Alan Greenspan tidak mau melonggarkan likuiditas moneter saat itu karena ekonomi sedang lesu, sekaligus mengakhiri kebijakan uang ketat AS.

Yang justru sedikit dan kurang laris untuk diperdebatkan adalah kinerja Bank Indonesia dengan barometer yang terukur, kuantitatif dan jelas. Padahal ini faktor yang relatif mudah dibandingkan faktor-faktor lainnya. Misalnya jika Bank Indonesia mentargetkan angka inflasi tahunan, suku bunga SBI, uang beredar dan besaran moneter lainnya maka angka inilah yang harus dipegang untuk menilai rapor mereka di akhir tahun. Jika angka realisasinya berbeda dengan target yang mereka tetapkan sendiri maka DPR perlu meminta penjelasan secara menyeluruh. Dari aspek seperti inilah baru kita bisa menilai kesuksesan seorang gubernur bank sentral dan jajaran anggota dewan gubernur dalam menjalankan tugas. Seyogyanya inilah yang menjadi rapor mereka. Untuk team sekarang kita bisa llihat bahwa inflasi masih dua digit sementara suku bunga SBI cenderung turun tapi tidak menjamin kucuran kredit mengalir cepat.

Sementara program penjaminan simpanan yang secara tradisional menjadi tanggungjawab bank sentral dengan falsafah too big too fail sehingga melahirkan skema blanket guarantee, bakal dialihkan ke Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) tahun ini. Demikian pula dengan tugas pengawasan perbankan karena tugas ini nantinya akan diserahkan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Secara eksplisit menunjukkan bahwa tugas dan tanggungjawab bank sentral relatif akan berkurang. Dalam menangani dua hal yang sangat strategis ini maka masa transisi operasionalisasi LPS serta OJK bekerjasama dengan baik, harmonis dan terpadu guna menghasilkan sesuatu yang terbaik bagi bangsa dan negara sebagaimana yang sedang digodok dalam RUU bersangkutan.

Sebagai penutup ingin digarisbawahi beberap hal berikut :
jika kita ingin mencari figur gubernur bank sentral yang suci bersih, bermoral, pintar, profesional, bertanggungjawab, diterima publik intern maupun ekstern, independen, non partisan parpol, bisa bekerjasama secara harmonis dengan para mitra lembaga pemerintah terkait lainnya maka setahunpun tidak bakal dapat apalagi hanya 3 bulan. Itu sama dengan mencari dewa atau setengah dewa yang juga independen. Sterilisasi Bank Indonesia dari partai politik tidak menjamin independensi dari 5 ribu lebih karyawannya dan sebaliknya partisan parpol tidak praktis selalu membuka pintu untuk berKKN ria untuk kiblat partai.

bahwa independensi Bank Indonesia adalah suatu keharusan namun posisi demikian tidak bisa hanya diukur dari keikutsertaannya sebagai orang parpol atau non parpol. Karena moral, falsafah, kepentingan dan visi orang parpol tidak selalu lebih jelek dari non parpol dan sebaliknya orang non parpol tidak lebih suci bersih dibandingkan partisan parpol. Prinsip ini menggiring kita untuk memilih calon setengah dewa tapi non partisan daripada dewa tapi anggota parpol.

Ringkas kata menempatkan Alan Greenspan sekalipun tidak menjamin independensi BI dan berhasil menjalankan tugasnya secara benar dan baik, jika kondisi lingkungan luar dan intern tidak aman dan bersih. Bank sentral juga harus dinilai kinerjanya (dari target yang terukur dan kuantitatif) karena mereka sudah bekerja keras, dibayar dengan profesional.
proses pemilihan ini sangatlah krusial sehingga dituntut ketajaman laksana mata elang bagi presiden Megawati dan anggota DPR agar bisa memilih figur terbaik diantara yang ada. Karena sekali terpilih maka sangat kecil pintu untuk meninjau ulang atau bahkan melengserkan gubernur dan juga harus siap bermitra dengan gubernur sekarang sampai 2008, siapapun presiden Indonesia mendatang. (*).
Dimuat 20 Februari 2003

Read more...

Elite Politik dan Resesi


Oleh : Beni Sindhunata, Direktur Riset BIRO

Karya mutakhir Pansus DPR Bulogate danBruneigate dengan Lahirnya Memorandum I oleh Pansus DPR soal Bulogate dan Bruneigate (15 Januari) yang garis besarnya mengingatkan dan bahkan meminta presiden Gus Dur lengser, berdampak serius bagi peta politik nasional yang secara tak sadar akhirnya berdampak bagi perekonomian nasional. Apalagi kemudian disusul dengan maraknya demo pro dan anti Gus Dur mulai dari Jakarta sampai Jawa Timur (awal Februari) yang bahkan melebar ke luar Jawa.

Keributan yang terjadi antar elite politik di dalam negeri ini sekarang menjadi komoditas informasi utama bagi masyarakat. Ditengah gemuruh elite politik jual dagangan, bencana alam dahsyat datang beruntun di minggu pertama Februari mulai dari meletusnya Gunung Merapi, banjir di Jawa Timur sampai tanah longsor di provinsi Banten yang menewaskan ratusan warga.
Sehingga elite politik kita terpaksa melupakan pelbagai perkembangan ekonomi global yang justru akan berdampak bagi masa depan Indonesia. Ini seharusnya menjadi PR bagi kita semua untuk mulai diantisipasi, jangan hanya meributkan periuk nasi di rumah sendiri. Pelbagai perubahan ini tentu saja akan berdampak bagi peta ekonomi kita yang sudah tidak bisa lagi dipisahkan dari perkembangan global dari masalah moneter, harga komoditi, investasi, suku bunga, perkembangan bursa saham dan perdagangan global termasuk masalah lingkungan hidup dan perburuhan.
Perkiraan bahwa resesi bakal membayangi ekonomi AS mulai terlihat dari langkah strategis The Fed yang menurunkan suku bunga (3 Januari 2001) jadi 6%. Langkah ini tidak lepas dari pelbagai indicator ekonomi makro AS yang menunjukan bahwa struktur ekonominya cenderung melemah dan berpotensi jadi masalah. Negara berpenduduk 275 juta dengan pendapatan per kapita US$ 33.800 ini tahun lalu tumbuh 2,4% dengan tingkat inflasi 3,4%. Meski cadangan emasnya hanya US$ 54 milyar (setengah dari Taiwan dan seperenam Jepang) merupakan lokomotif perdagangan dunia. Di mana tahun 1999, AS mengekspor US$ 682 milyar (12,6% ekspor dunia) dan mengimpor US$ 944 milyar (16,8% impor dunia) sehingga neraca perdagangan mereka defisit. Sehingga mereka menguasai sepertiga perdagangan dunia yang tahun 1999 tumbuh 5% atau pertumbuhan tertinggi selama 16 tahun terakhir.
Berangkat dari kondisi AS dan konflik perdagangan global baik itu multilateral maupun bilateral semuanya berpotensi untuk mengganggu jalannya perdagangan dunia dan Indonesia khususnya. Sebagai masukan kita lihat study dan scenario dari HSBC tentang dampak resesi AS terhadap ekonomi dunia jika resesi AS berlanjut dan menempatkan sejumlah negara/kawasan dalam tingkat resiko masing-masing.

Resesi di AS akan mengurangi impor (konsumsi) mereka, yang selanjutnya akan mengurangi ekspor dari negara lain. Dengan posisi ini maka negara yang sangat tergantung pada pasar AS jelas paling terpukul. Kanada, Meksiko, Malaysia, Korsel dan Taiwan menggantungkan ekspornya pada pasar AS berkisar antara seperempat sampai sepertiga PDB masing-masing. Menurunnya konsumsi produk IT berdampak hebat pada produsen IT dari Asia Timur. Sebaliknya ekspor EU dan Jepang ke AS hanya 3% PDB dan ekspor Indonesia ke AS 14% dari total ekspor US$ 48,6 milyar atau 4,5% PDB tahun 1999. .
Menurunnya aktivitas pabrik berarti menurunnya konsumsi minyak dunia dan bahan baku. Harga minyak akan turun dan berdampak pada negara-negara OPEC. Dari aspek ini maka dampaknya akan sama sebangun dengan negara diatas , di mana EU dan Jepang akan mendapat keuntungan.
Dari aspek investasi langsung maka negeri yang punya investasi (FDI) besar di AS akan terpukul karena pasar yang menurun sehingga keuntungan menyusut. EU dan Jepang akan terpukul karena FDI mereka di AS lebih besar dibandingkan transaksi perdagangan mereka.

Selain itu bergabungnya China ke dalam WTO juga akan menjadi tantangan sendiri bagi negara yang spesifikasi industrinya relatif sama dengan China, khususnya negara-negara Asia. Asumsi dasar bahwa produksi China akan lebih murah dan lebih kompetitif untuk menembus pasar ekspor negara lain. Sehingga pasar global yang semakin terbuka hanya bisa dipasok oleh produsen dari negara-negara dengan biaya produksi termurah. Misalnya untuk relokasi di kawasan Delta Mekong (Vietnam,Laos, Kamboja, Burma) meski negara ini juga memiliki segudang permasalahan.
Dari analisis ini terlihat bahwa resesi di AS akan memukul negara NAFTA dan
beberapa negara Asia, khususnya pada negara yang memiliki hubungan sangat erat dengan AS. Dengan ekspor RI ke NAFTA (AS, Meksiko dan Kanada) sebesar 15% (US$ 7,3 milyar) atau kedua terbesar setelah Jepang maka tentu saja ini berdampak bagi ekspor nasional. Menurunnya ekspor berarti menurunnya produksi pabrik dan akibatnya kinerja perusahaan menurun dan tidak tertutup kemungkinan berhenti produksinya. Ini baru satu sisi dari aspek perdagangan.
Trend menurunnya harga minyak dunia (sebagai dampak resesi AS) akan berdampak bagi pendapatan Indonesia.karena kontribusi pendapatan migas terhadap APBN sangat signifikan. Pergeseran pendapatan ini tentu harus ditutup dengan pemasukan dari sektor lain. Sektor lain yang paling empuk dan potensial untuk ditingkatkan adalah pajak.
Sehingga semakin ramailah perlombaan meningkatkan pendapatan pajak mulai dari meningkatkan pajak bunga deposito (dari 15% jadi 20% sejak 1 Februari 2001) sampai ke ekstensifikasi jenis barang mewah. Akibatnya setrika terpaksa diklasifikasikan sebagai barang mewah. Sebuah produk konsumsi rumah tangga yang sangat umum dengan pasar minimal 60 juta rumah tangga di Indonesia. Diluar pasar ekspor.
Belum lagi jika dilihat dari konstelasi dan dampak ikutan dari suku bunga, investasi dan portofolio di pasar modal. Banyak agenda sektoral lain yang harus dicermati dengan catatan scenario ini bukan untuk memburamkan masa depan ekonomi kita tapi lebih pada usaha untuk bisa introspeksi dan pro-aktif. Dengan demikian bahaya besar sebenarnya cukup potensial akan menerpa kita sebagaimana halnya serbuan badai besar yang sedang mengamuk sepanjang Februari-Maret ini. (BS).

Jika kita mengamati pelbagai debat, pro kontra atau pemunculan aneka isyu dari masalah politik, ekonomi, hukum sampai keamanan yang terbentang dari Senayan sampai Medan Merdeka maka hanya ada satu skenario paling pasti tentang masa depan negeri berpenduduk 203.456 ribu di 32 propinsi yaitu : suram dan kelabu. Bahkan tidak jarang para elite nasional dari pelbagai strata dan lembaga termasuk para pengamat tersebut berperilaku yang lebih mengherankan. Yakni dengan menggunakan indicator-indikator negatif dari luar negeri untuk menyerang kekuatan serta eksistensi diri sendiri atau sebaliknya menggunakan indicator positif untuk menambah “pede” diri sendiri. Sebuah situasi yang sangat tidak logis dan irasional bahkan tidak mendasar.

Tanpa disadari perdebatan di panggung politik khususnya antara lembaga tinggi negara dengan eksekutif justru menjadi bumerang yang malah semakin membuat negeri terpuruk dan belum bisa bangkit dari krisis dengan cepat sebagaimana halnya beberapa negara tetangga di Asia. Dengan demikian persepsi dan perspektif “rumah masa depan Indonesia” cenderung suram yang akhirnya justru membuat sebagian investor asing dan dunia luar semakin takut dan menjauh.

Dari sisi ekonomi, kita sependapat dengan pernyataan Prof. Mubyarto dalam orasi ilmiah di Solo (31/12/2000) bahwa banyak ekonom (asing maupun domestik) tidak melihat kenyataan bahwa ekonomi secara riil memang menggeliat dan tidak benar semuanya mengarah pada pesimisme. Karena sebagian dari pengamat tersebut tidak mau melihat kenyataan empiris yang ada khususnya peta daerah. Sehingga terjadilah perang proyeksi ekonomi antar lembaga yang semuanya tentu memiliki argumentasi dan analisis yang tidak lepas dari subjektivitas, sekecil apapun. Rabu lalu, Bank Indonesia memproyeksikan ekonomi Indonesia tahun 2001 akan tumbuh antara 4,5% sampai 5,5%, lebih rendah dari proyeksi Econit 6% - 7% tapi lebih optimis dari Indef (3,8%), Danareksa (4,3%) dan Jetro 4,7%. Sementara beberapa sekuritas dan bank asing relatif lebih rendah berkisar antara 2,5% sampai 5,3%. Percaya atau tidak, terserah masing-masing sembari tunggu sampai tahun 2002 dengan ambang batas 5% target RAPBN.
Lepas dari perbedaan proyeksi tersebut kita perlu melihat dan memahami fakta bahwa ekonomi riil terus bergerak dan tumbuh. Ekspor non migas hampir menembus US$ 50 milyar meski tidak ada satu jaminan bahwa devisa sedemikian besar pasti pulang kandang. Inflasi melambung jadi 9,35% secara implisit menjadi indikator bahwa masyarakat kita punya uang untuk dibelanjakan khususnya pada tiga hari raya di bulan Desember 2000. Tapi jangan tanya relevansinya dengan UMR atau gaji PNS. Denyut ekonomi ini seakan tidak terganggu sedikitpun oleh ledakan bom beruntun di 9 kota pada malam Natal terakhir di abad 20 yang lalu.

Dengan kondisi seperti ini sejujurnya perlu disadari bahwa ada kesalahan dalam melihat potensi, kekuatan dan kinerja ekonomi saat ini. Penyebabnya tak lain adalah hingar bingar yang ditiupkan oleh para pengamat, politisi dan lembaga asing yang terkadang sangat berlebihan, tidak proporsional dan meragukan objektifitasnya. Disadari atau tidak maka yang turut membantu memperlambat pemulihan ekonomi adalah diri kita sendiri. Kita masih lemah dalam hal independensi, objektif, faktuil dengan wawasan luas.

Sebagai bukti pembanding kita lihat dua laporan dari Jepang. Bulan November lalu Japan Bank for International Cooperation (JBIC), sebuah lembaga pemerintah, melakukan survey terhadap 469 perusahaan Jepang yang punya afiliasi atau patungan di Asia dan AS. Salah satu kesimpulan survey adalah bahwa 54,5% berniat meningkatkan produksinya di luar negeri untuk 3 tahun mendatang. Dari 10 negara paling favorit untuk dijadikan lahan investasi maka Indonesia menduduki peringkat ke 4, setelah RRC (1), AS (2) dan Thailand (3). Mungkin sebagian orang bilang itu hanya rencana dan prediksi yang bisa berubah setiap saat pada bulan-bulan mendatang. Setidaknya mereka cukup objektif karena dilakukan dari kacamata Jepang terhadap potensi pasar MNC mereka di Asia dengan motivasi tunggal yakni kepentingan ekonomi.

Supaya imbang kita lihat prestasi dan kinerja afiliasi MNC Jepang di Asia untuk sektor otomotif, elektronik dan telekomunikasi sampai Mei 2000. Laporan MITI menunjukkan bahwa penjualan oleh afiliasi Jepang di Asia naik 10% (US$ 24,5 milyar) selama kwartal kedua (April - Juni 2000), menciptakan kenaikan berturut-turut sejak September 1999. Pertumbuhan terbesar dialami oleh afiliasi Jepang di 4 negara Asean (Thailand, Indonesia, Filipina dan Malaysia) sebesar 12% menyusul turunnya penjualan di Eropa dan Amerika Utara. Peningkatan omzet ekspor ini mendorong para sogo sosha untuk memperluas jaringan dengan menambah tenaga kerja.

Afiliasi MNC dengan sebaran pabrik dari Batam sampai Jabotabek tetap menikmati omzet besar di pasar domestik sementara ekspornya terus meningkat. Produksi jalan terus, ekspor naik dan konsumsi domestik luar biasa sehingga tidak aneh bila MNC elektronik omzetnya menembus US$ 1 milyar. Tahun 2000, enam raksasa Jepang menguasai hampir 40% ekspor elektronik dan tahun 2001 diproyeksikan para raksasa menguasai 45% total ekspor atau setara US$ 3,4 milyar. Ini belum termasuk ratusan perusahaan kelas menengah lain yang menyebar dari Batam sampai Botabek. Sukses bisnis ini dilakukan tanpa gembar-gembor yang penting dapat untung dan setoran ke kantor pusat semakin besar. Demikian juga bank asing yang meraih untung besar tahun lalu dan setengah dari laba tersebut disetor ke kantor pusat. Tapi bank-bank ini masih saja menyuarakan pesimisme terhadap ekonomi Indonesia 2001, sama pesimisnya ketika mereka memasuki tahun 2000, tapi nyata membawa berkah. Ini menjadi bahan introspeksi bahwa disaat kita sibuk memperdebatkan hal-hal yang sarat kepentingan pribadi dan golongan sembari mengejek diri sendiri, ternyata investor asing terus bekerja dan menikmati hasil luar biasa.

Pelbagai skenario dan perkembangan terakhir ini sebaiknya tidak sampai membuat dunia usaha “larut” dalam perdebatan dan dinamika yang ditiupkan para elite nasional. Tapi tetaplah berkarya dan jangan sampai terombang-ambing dengan perdebatan antar elite. Mengingat para elite tidak bisa dilarang bicara maka jalan pintas adalah lupakan pernyataan dan komentar mereka. Setidaknya “forget the elite” lebih arif dibandingkan William Shakeaspeare dengan “the first thing we do…..lets to kill the lawyer” . (*).

Jakarta, Februari 2001



Read more...

E-Government dan Otonomi Daerah


Oleh : Beni Sindhunata,
Direktur Riset BIRO dan Wakil Ketua BIPB (Babel Investment Promotion Board)

Salah satu tugas strategis dalam mendayagunakan keunggulan teknologi informasi adalah bagaimana mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari agar memberikan manfaat secara nasional guna terciptanya efisiensi, efektifitas dan produktivitas. Dengan demikian keunggulan IT baik dari segi piranti lunak maupun piranti keras dapat dimanfaatkan dan terakses oleh 40 juta keluarga dalam pelbagai aspek kehidupan dan juga kepentingan administrasi nasional dan program pemerintah. Ringkas kata agar lebih lebih membumi secara nasional.
Potensi kearah sana sebenarnya sudah terbetnuk secara sporadic bauikitu di depaertemen, lembaga non departemen dan jaringan informasi milik dunia usaha yang tentu saja memiliki aspek bisnis. Departemen dan lembaga non departemen banyakyang sudah memiliki pusat informasi yang sudah on line. Terlebih lagi dengan lembaga perguruan tinggi dan dunia usaha swasta yang bahklan bergerak leih cepart dan melebar denga pertimbangan dasar bisnis. Bahkan tidak sedikit yang kebablasan sehingga bergerak lebih cepat dari kesiapan lingkungan dan akhirnya menjadi anti klimak.
Mengingat semua pihak dengan dukungan teknologi, pakar dan dana ternyata lebih banyak yang jalan sendiri sendiri dengan obsesi dan berlomba menjadi pusat informasi nasional yang memadukan pelbagai data dan informasi terlengkap dan terpadu. Ibarat kata semua orang sibuk bikin supermall terbesar dan terlengkap namun yang mengisi ruang toko dan memasok jualannya terbatas dan belum terakses dengan baik. Maka tidak heran jika pelbagai situs yang ada belum bisa memberikan informasi yang lengkap dan memuaskan sesuai yang mereka targetkan. Mulai dari mutu informasi yang diberikan, jenis informasinya sampai aktualitas dan urgensinya masih tergolong biasa saja. Dalam arti kata kuantitas dan kualitas informasi (sebagai produk dalam jaringan informasi) belum bisa maksimal. Lebih tragis lagi jika orang mengandalkan hidupnya dari sekedar menjual dan merelasikan content tersebut tanpa memiliki pasokan dan jenis content yang baik, beragam dan terbaru.
Padahal data dan informasi tersebut bisa memberikan manfaat dan menciptakan nilai tambah yang luar biasa bagi pengakses (pendengar merangkap pemirsa) jika dikelola secara terpadu oleh sebuah pusat informasi nasional (national information center). Sehingga pelbagai pusat informasi di dunia maya yang masing-masing memiliki spesifikasi dan kekhususan bisa dibuat menjadi bagian dari jaringan nasional. Untuk melaksanakan ini tentu harus lewat kebijakan pemerintah yang misalnya bisa ditindaklanjuti lewat Tim Telematika Nasional sekarang. Pusat informasi nasional inilah yang akan menggabungkan pelbagai pusat informasi sektoral dan khusus tersebut baik milik pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun swasta. Tentu saja dengan pelbagai modifikasi struktur teknis maupun kompilasi data sekaligus menutupi overlapping dengan berbagai kekurangan dan kelebihan. Tanpa ada kebijakan nasional yang tegas dan pasti maka jangan harap itu bisa terlaksana.
Eksistensi pusat informasi ini merupakan salah satu bagian penting dalam rangka menuju e-government, sebagai antisipasi dari perkembangan menuju perbaikan. Jika semua urusan administrasi publik dan data serta informasi ekuin dan sosbud sudah tercakup maka akan mudah dan cepat bagi pemerintah untuk memutuskan sebuah kebijakan nasional. Ini menjadi unsur positif dalam mengantisipasi ekses-ekses otonomi daerah sekaligus menuju terciptanya good corporate governance. Di mana satu dari empat kunci unsur utamanya adalah transparansi yang tak langsung menjadi alat kontrol. Misalnya data tentang keuangan daerah wajib disampaikan, terbuka untuk umum dan bisa diakses melalui sistim informasi keuangan daerah. Pemda wajib menyampaikan informasi tersebut dan pemerintah pusat sebagai pelaksananya, sesuai pasal 27 UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan.
Implementasi lain dalam administrasi publik misalnya dengan membuat KTP nasional dengan kode wilayah masing-masing serta PIN khusus dan materi KTP seragam di seluruh Indonesia. Namun otorisasi tetap dilakukan oleh petugas daerah tersebut. Sehingga akan sangat memudahkan kita jika melakukan sensus atau keperluan pemilu yang setiap lima tahun sekali harus mengeluarkan biaya ratusan milyar, tanpa jaminan akurasi data. Dari aspek otonomi daerah KTP nasional justru menjadi perekat psikologis dan hukum bagi 210 juta warga agar jangan menganggap negaranya hanya sebatas provinsi.
Demikian pula dari aspek ekonomi makro maupun mikro. Semua propinsi maupun kabupaten bisa memberikan informasi khusus mengenai profil wilayah masing-masing namun semuanya harus mengakses dan terpadu pada pusat informasi. Sehingga publik atau lebih khusus lagi investor akan lebih mudah memperoleh atau mengakses data tentang profil atau potensi ekonomi serta rencana kebijakan propinsi serta daerah tertentu. Jika semua propinsi dan minimal kabupaten sudah melakukan hal tersebut maka sebuah nilai tambah luar biasa telah tercipta. Akan lahir pula dampak positif secara berantai. Tentu saja data dan informasi harus lengkap dan diperbaharui (up-dating). Maka peluang ekspor yang dimiliki oleh industri kecil menengah di wilayah yang terisolir bisa diterobos dan dikembangkan. Kehadiran situs-situs perdagangan (dalam e-commerce) menjadi sangat mendesak, dengan catatan akan lebih baik jika bisa menjadi one stop services.
Lambat tapi pasti akan tercipta sebuah kesempatan bersaing dan meningkatkan keunggulan masing-masing daerah dengan platform yang sama. Sehingga 32 propinsi baru saat ini ditambah rencana 10 propinsi baru (2002) dengan 45 juta kepala keluarga dan 35 juta unit usaha (pelbagai skala) bisa diakses dan dan saling berkomunikasi. Ini satu fenomena yang harus diantisipasi oleh pemerintah daerah (khususnya bupati dan gubernur) agar tidak ketinggalan momentum dalam peningkatan daya saing daerah (locals competitiveness).
Sehingga keunggulan tekonologi informasi tidak hanya sebatas gegap gempita dan pesta poranya internet dan dotcom. Namun bagaimana kita membumikan keunggulan tersebut bagi kepentingan masyarakat agar semuanya siap memasuki era baru. Jika sudah terbentuk dan terbangun infrastruktur IT dan sektor terkait lainnya maka potensi besar siap digarap oleh para netreprenur yang sebagian keburu antiklimak. Tapi bagaimanapun keberanian mereka mendahului arus patut dicaungi jempol sebagai pionir dan terbuka waktu untuk kembali bertarung. Apalagi otonomi daerah menjanjikan masa depan setidaknya jika dilihat dari aspek positif dengan platform kerja E-government. (BS).
Dimuat di Warta Ekonomi,February 2001

Read more...

E-commerce SME


Oleh : Beni Sindhunata
Aplikasi dan pemanfaatan teknologi informasi oleh usaha kecil menengah (UKM) Indonesia terbukti bukanlah hanya omong kosong atau hanya sebatas visi, tapi sudah menjadi fakta dengan trend kian berkembang. Setidaknya ini terlihat dari hasil survey BIRO (Business Intelligence Report) tentang prospek masa depan UKM nasional yang dilakukan antara Februari sampai April 2001. Dengan basis responden 420 perusahaan UKM yang berlokasi utamanya di Jabotabek, memproduksi atau terlibat pada 14 jenis produk, 80% diantaranya memiliki investasi dibawah US$ 1 juta, dan mayoritas (72,5%) omzetnya juga dibawah US$ 1 juta. Salah satu aspek yang dianalisis adalah tentang bagaimana persepsi serta posisi mereka mengantisipasi kemajuan IT khususnya dalam konteks paling sederhana yaki internet dan e-commerce.
Ternyata sebanyak 127 perusahaan (30%) dari responde UKM tersebut sudah membuat dan menggunakan website dengan motivasi utama untuk mendukung kegiatan promosi. Dari jumlah tersebut sebanyak 105 memiliki website sendiri dan 22 buah lainnya menjadi member dari portal e-commerce yang sekarang jumlahnya tidak kurang dari 24 buah dengan pelbagai spesialisasi dan segmentasi. Dari 127 perusahaan diatas sebanyak 87 perusahaan berlokasi di Jabotabek dan 40 perusahaan tersebar di DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur dan Bali.
Disisi lain sebanyak 253 perusahaan (60% dari responden) telah memiliki e-mail yang tersebar di Jabotabek (165 perusahaan) dan 88 perusahaan di luar Jabotabek. Yang menarik adalah seluruh perusahaan yang menjadi basis survey BIRO tersebut telah siap melakukan transaksi bisnis secara on-line (B2B). Dari jumlah tersebut sebanyak 208 perusahaan (49%) berlokasi di Jabotabek dan 213 perusahaan (51%) berlokasi di luar Jabotabek. Dengan rincian tersebar DI Yogyakarta sebanyak 121 perusahaan (57%), Jawa Barat sebanyak 61 perusahaan (29%), Jawa Tengah 34 perusahaan (16%), dan Jawa Timur 14 perusahaan (7%).
Kesiapan UKM khususnya di daerah memasuki media internet dalam rangka promosi produk dan transaksi bisnis menjadi modal utama dalam perdagangan global dimasa depan. Karena media internet akan menjadi sarana promosi dan komunikasi bisnis paling efektif, global dan universal tanpa batas. Sekarang saat ini yang tepat untuk mengembangkan promosi dan transaksi bisnis secara on-line dalam rangka menjaring buyer dan mengantisipasi pasar bebas global. Penting dan menariknya pasar ekspor tidak perlu diperdebatkan lagi khususnya untuk produk-produk kelompok industri kecil, tinggal bagaimana merebut potensi tersebut dengan menjadikan kemajuan IT sebagai salah satu alat perang dalam bisnis.
Dalam konteks inilah perusahaan IT bisa menjadikan segmen dunia usaha UKM sebagai salah satu pasar potensial. Dengan menawarkan pelbagai produk dan jasa manajemen teknologi secara tepat guna dan membumi. Jangan melihat jajaran UKM ini sebagai pengusaha lemah yang tidak memiliki modal besar tapi paradigmanya harus dibalik dengan memandang mereka sebagai mitra dan konsumen potensial untuk dibesarkan. Sehingga jika mereka bisa berkembang dan melebarkan sayap maka perusahaan IT akan menikmati hasil jangka panjang yang lebih besar. Mereka inilah bibit unggul bisnis masa depan. Tentu saja program aplikasi tersebut bisa disesuaikan dengan kebutuhan mereka yang paling mendasar dan sangat aplikatif, misalnya dalam lingkup akses pemasaran atau manajemen keuangan.
Apalagi mayoritas responden adalah eksportir sebanyak 409 perusahaan (97%) dan sisanya 12 perusahaan belum melakukan ekspor, namun siap melakukan ekspor. Dari jajaran eksportir UKM tersebut ternyata ada 320 perusahaan yang sudah melakukan ekspor sendiri. Sisanya 89 perusahaan melakukan ekspor melalui jasa perusahaan ekspor (trading). Selam atiga tahun terakhir sejak 1997 sampai awal 2001 tercatat ada 99 UKM berorientasi ekspor yang justru baru berdiri, sementara di sisi lain justru banyak perusahaan afiliasi konglomerat yang pailit dan dilikuidasi. Tercatat bahwa 60% (244 perusahaan) memiliki rasio penjualan ekspor diatas 40%, diantaranya 29% (118 perusahaan) memiliki rasio ekspor diatas 86%.
Usaha kecil menengah (UKM) Indonesia semakin menunjukkan eksistensinya dalam perekonomian nasional dengan pelbagai kontribusi baik dari sisi makro maupun mikro. Sebuah fakta lama yang tidak diangkat kepermukaan dan kini seakan menjadi fenomena baru, apalagi menjadi juru selamat ekonomi bagi rakyat kebanyakan selama dan sesuah krisis ekonomi.
Kita memahami bahwa UKM menghadapi pelbagai kendala, sebuah hal logis dalam pengembangan bisnis. Misalnya ketergantungan pada eksportir pengumpul (jasa) yang banyak tersebar di sentra-sentra industri kecil. Ini menyebabkan margin keuntungan yang diperoleh jauh lebih kecil dibandingkan kalau mengekspor sendiri. Hal ini disebabkan kekurangan informasi pasar global termasuk produk yang diminati konsumen di luar negeri. Memang dari survey, kelompok usaha seperti ini hanya seperlima dari responden. Namun fakta ini menuntut kita untuk dicarikan solusinya demi keuntungan UKM secara nasional. Apalagi kita tidak bisa menutup mata bahwa tidak sedikit usaha kecil menengah di pelbagai wilayah yang gulung tikar.
Dinamika pasar pasti akan mendorong pihak terkait untuk menjadikan UKM (SME) sebagai mitra usaha mereka baik selaku konsumen atau produsen. Pihak terkait ini mulai dari perbankan, jasa keuangan, industri, perdgangan, dan sektor jasa lainnya. Sehingga tidak heran jika sekarang perbankan saling berlomba untuk menyalurkan kreditnya kepada UKM, disamping adanya pendorong melalui kebijakan pemerintah. Apalagi dalam RUU Perbankan yang sedang direvisi, plafond kredit UKM dinaikkan menjadi 40% dari sebelumnya 20%.
Keputusan KTT G15 bulan lalu yang menekankan pentingnya kerjasama dalam pengembangan UKM secara global merupakan momentum yang tepat apalagi dengan kondisi riil nasional seperti saat ini. Bangun jatuhnya industri UKM di pelbagai daerah memang memprihatinkan kita semua danitu adalah bagian lain dari satu sisi mata uang yang sama. Sebagian besar memang terkendala oleh komponen produksi mulai dari bahan baku apalagi dengan rencana kenaikan tarif dasar listrik, telepon dan PPN. Sehingga kondisi tersebut jangan menjadi tolak ukur tunggal bahwa UKM tidak mungkin bisa dijadikan andalan apalagi menganggap UKM tidak prospektif. Survey sudah menunjukkan bahwa mereka bisa eksis dan selalu lentur mengantisipasi perkembangan produk dan jasa teknologi informasi (mulai yang paling dasar website, e-mail dan e-commerce) dengan menjadikannya sebagai “just a marketing tolls only”. .......mulai ini disensor....Secara ekplisit ini menunjukkan bahwa IT berperan dalam meningkatkan kinerja UKM dan UKM sendiri jadi pasar potensial bagi perusahaan IT dan terkait lainnya. * (bs).
Dimuat di Warta Ekonomi, June 2001

Read more...

BMAD, Kisah Sukses atau Kalah Bersaing ?

Oleh : Beni Sindhunata, Direktur Eksekutif INBRA

Selama setengah tahun terakhir kita menyaksikan beberapa industri dalam negeri mengajukan petisi untuk menerapkan bea masuk anti dumping (BMAD) kepada beberapa produk impor yang masuk pasar domestic. Dalam perspektif persaingan bisnis global maka mekanisme penerapan BMAD kepada produsen asing (atau eksportir dari negara lain) sebenarnya memiliki posisi yang setara jika ada produsen Indonesia yang juga dituduh melakukan dumping (dikenakan BMAD) oleh produsen di negara luar. Dan semuanya wajar-wajar saja. Tidak ada yang aneh. Justru ini menjadi tolak ukur daya saing dan kemampuan produsen Indonesia bertempur dalam persaingan bebas dan juga kemungkinan pasar Indonesia direbut oleh produsen asing, konsekwensi logis dari aturan global World Trade Organization (WTO).
Kenapa demikian ?. Karena apabila produsen Indonesia berproduksi dengan biaya tinggi sehingga harga jualnya tinggi maka akan kalah dengan produsen asing yang menjual lebih rendah. Disinilah kita perlu mempertanyakan kinerja dan daya saing mereka (terlepas dari jenis produknya). Sehingga mendorong mereka untuk minta pemerintah menerapkan BMAD, guna perlidungan atau proteksi. Sebaliknya jika ada produsen nasional yang dituduh dumping oleh negara asing (menjual lebih rendah di luar negeri dari harga di Indonesia) justru menjadi berita bagus bagi Indonesia karena produsennya bisa memproduksi lebih murah dan sanggup menyerbu pasar global. Ini yang kalau perlu diberi bintang jasa sebagai produsen dan eksportir unggul.
Namun semua ini bisa direalisir jika kita (pemerintah) sudah melakukan penelitian mendalam dan bisa membuktikan apakah tuduhan-tuduhan tersebut benar atau salah. Ini semua bisa terjadi setiap saat pada setiap produk dan bahkan oleh perusahaan yang sama. Artinya dulu pernah terbukti tidak melakukan dumping (di pasar global) dan sekarang malah meminta BMAD (proteksi), atau sebaliknya.
Oleh sebab itu tidak tepat jika pemerintah langsung memvonis dan menyetujui BMAD yang diusulkan oleh para produsen domestic tanpa penyelidikan yang terbukti dan belum kedaluarsa. Karena jika tidak terbukti malah memalukan dan ibarat “buruk muka cermin dibelah”. Apalagi mekanisme BMAD hanyalah salah satu mekanisme proteksi yang memang legal dan diizinkan oleh WTO, dengan kondisi tertentu. Antara 1996 sampai medio 2002, KADI (Komite Anti Dumping Indonesia) menerima 23 pengaduan kasus dumping untuk dikenakan BMAD. Ternyata setelah diselidiki ada 9 kasus yang dihentikan karena tidak terbukti, 7 kasus masih dalam tahap penyelidikan dan hanya 7 kasus yang disetujui untuk dikenakan BMAD. Dari catatan histories ini kita perlu memaklumi bahwa pengajuan BMAD tidak bisa semena-mena meskipun dengan argumentasi melindungi industri dalam negeri atau lebih dahsyat lagi jika mengatasnamakan nasionalisme ekonomi yang kebablasan. Semuanya perlu dilakukan dengan terpadu serta terbukti.
Disisi lain pengenaan BMAD juga harus memperhatikan dampak kerugiannya bagi industri local sebagai konsumen dari produk tersebut di sector hilir atau lanjutannya. Karena kita tidak bisa hanya melihat factor injuri yang dipikul oleh produsen pengaju BMAD tapi juga harus melihat seberapa besar “aspek injuri” yang juga diterima oleh industri local sebagai industri lanjutan yangh mengkonsumsi produk tersebut. Artinya jika ada produk impor yang lebih murah saat ini lalu dikenakan BMAD maka konsumen akan membayar lebih mahal sementara produsen local (pengaju BMAD) terlindungi dalam perang harga. Oleh sebab itu setidaknya Deperindag dan KADI perlu memikirkan aspek “local injuries” dalam mempertimbangkan BMAD.
Dari kilas balik persaingan global kita juga harus menyadari bahwa perilaku proteksi dalam bentuk apapun masih dan mungkin dilakukan oleh negara maju sekalipun. Contoh termutakhir adalah pada sidang Agreement on Agriculture WTO (31 Maret 2003) dimana negara maju tidak setuju mengurangi proteksi dan subsidi bagi sector pertanian mereka. Secara implicit dalam tataran global ini menunjukkan bahwa mereka setuju jika Indonesia memberikan subsidi dan proteksi ke produk pertanian mulai dari bunga perbankan, peralatan pertanian, pupuk sampai ke pemasaran. Ini cerminan bahwa negara maju yang menjadi konsumen dan juga produsen besar tidak bisa dikatakan jujur dan konsisten menerapkan aturan WTO di semua lini.
Yang lebih kacau dan tragis lagi di jajaran pemerintah juga tidak semuanya selalu selaras dan konsisten dalam memandang WTO, apalagi jika sampai diambil keputusan tanpa dukungan data yang kuat dan mutakhir. Bahkan dengan alasan mematuhi aturan WTO yang menuntut liberalisasi maka semua produk dan sector dibuka habis. Padahal dipahami bahwa tidak semua industri local siap dan mampu bersaing dengan serbuan produk impor, apalagi yang illegal. Sementara WTO sendiri masih memberi toleransi bagi kita untuk memproteksi dengan kondisi tertentu, yang banyak dimanfaatkan oleh negara lain (mitra sekaligus pesiang produsen Indonesia).
Sebagai contoh produk baja jenis HRC dan CRC yang minta BM 25% sampai 30% dari 5% sampai 10% saat ini. Ini masih tergolong rendah karena beberapa negara Asia sudah menerapkan BM antara 25% sampai 50%. Demikian pula dengan produk tepung terigu dimana hampir seluruh negara menerapkan BM yang cukup tinggi disamping proteksi non tariff. Berbeda dengan Indonesia yang justru ingin membebaskan sama sekali padahal produsennya mengusulkan BMAD 5% sampai 10%. Kedua produk ini akhirnya juga gagal menaikan BM dan BMAD karena menurut KADi tidak terbukti.
Bagaimana dengan produk lain yang tidak kalah gencar minta peningkatan BM dan BMAD. Salah satu contoh yang juga gencar dilakukan adalah produsen kertas dan bubur kertas yang tentu mengatasnamakan asosiasi. Sebagai salah satu produk berorientasi ekspor dan terkait erat dengan harga pasar internasional maka dinamika produk ini juga sangat fluktuatif. Sehingga tidak heran jika para produsen berniat mengusulkan BMAD agar bisa mempertahankan pasar domestic, sementara pasar ekspor relative tidak terkait. Tapi melihat perjalanan historisnya maka para produsen di industri kertas dan produk-produk kertas nasional bisa bersaing di pasar global bahkan industri pulp and paper Indonesia sendiri termasuk paling efisien dalam produksinya. Pada awal 90-an beberapa produsen buku dan produk kertas pernah dituduh dumping oleh Australia dan akan dikenakan BMAD.
Tapi jika tuduhan itu tidak terbukti, sehingga menunjukkan bahwa produsen Indonesia ini bisa memproduksi dan menjual denga harga bersaing di pasar global, atau minimal tidak lebih murah dari pasar domestic di Indonesia. Sehingga harga kertas dan aneka produk kertas di grosir Mangga Dua tidak jauh lebih mahal dari harga di Sydney atau Melbourne. Itulah yang diinginkan terjadi sebagai sebuah kisah sukses. Demikian pula nasib tiga produsen ban sepeda Indonesia yang tuduhan dumpingnya dicabut oleh Argentina (Agustus 2002) karena tidak terbukti. Tuduhan ini juga diajukan kepada produsen dari Cina dan Thailand. Catatan histories menunjukkan ada 99 produk ekspor Indonesia yang dikenakan tuduhan dumping namun 47 kasus ditunda karena tidak terbukti dan 42 kasus terbukti lalu dikenakan BMAD. Ini bisa jadi tolak ukur melilhat apakah produsen Indonesia semakin berdaya saing atau malah kalah bersaing.
Sehingga jika saat ini beberapa produsen dan raksasa kertas nasional minta BMAD maka perlu ditelusuri lebih mendalam motivasinya dan apakah betul sudah terjadi injuri kepada mereka serta dapat dibuktikan. Sebaliknya juga perlu dilihat sejauhmana BMAD tersebut akan menciptakan “local injuries” bagi para konsumen dan industri hilir pengguna produk tersebut. Karena dalam praktik per”dumpingan” secara umum tidak menutup kemungkinan terjadinya praktik (skenario) dimana dibikin skenario importer menyerbu pasar local dengan banting harga agar terbukti ada perilaku dumping. Dengan demikian produsen memiliki argumentasi dan bukti kuat untuk minta perlakuan BMAD. Ternyata sang importer yang bekerjasama dengan produsen asing tersebut adalah mitra dan teman satu scenario dari produsen local. Akhirnya pemerintah menyetujui BMAD yang tentu menguntungkan produsen local karena serbuan impor setidaknya dapat dihambat (minimal dan sementara). Apalagi dengan melihat peta dan anatomi industri ini yang memang harus dijaga karena menjadi salah satu ladang emas diantara sekian banyak industri “privilege” nasional, dan tentu saja harus dengan embel-embel “asset nasional”.
Tapi disisi lain konsekwensinya adalah para konsumen langsung maupun industri di sector hilir mulai yang jumlahnya ratusan bahkan ribuan yang mengalami “local injuries”. Kelompok usaha ini tentu tidak punya pilihan kecuali mengkonsumsi produk dengan harga relative tinggi. Ringkas kata jajarn konsumen ini tidak bisa menikmati sisi positif WTO, liberalisasi perdagangan dengan harga termurah dan produk terbaik. Oleh sebab itu jika BMAD akan terus dilanjutkan maka kembali KADI mendapat tugas maha berat. Apalagi jika terjadi perang tanding antara produsen pengusul BMAD dengan pihak yang kontra BMAD diantaranya tentu saja percetakan koran dan majalah yang menjadi pilar keempat dalam hal bersuara (bukan berdemokrasi).
Sebagai penutup ada beberapa hal dan sikap yang perlu digarisbawahi agar tidak menimbulkan salah tafsir.
melindungi industri nasional dari persaingan global yang tidak seimbang adalah kebijakan tepat, wajar dan perlu. Dengan tingkat persaingan seperti saat ini maka dalam mengembangkan industri nasional kita hanya punya satu pilihan yakni “proteksi atau mati”. Sikap proteksi (dalam berbagai bentuk) ini mungkin tidak semuanya diinginkan oleh industi nasional karena malu atau sungkan, padahal mereka butuh tapi malu. Budaya kebablasan dalam reformasi jangan menyebabkan kita menjadi tempat perdagangan global yang paling liberal. Terpuji tapi buntung.
dalam konteks tersebut pemerintah harus memiliki sikap yang tegas dan berwibawa serta berani mengambil sikap yang tidak populer (bagi kalangan tertentu), asalkan transparan dan didukung oleh argumentasi serta data yang kuat tak terbantahkan (kita pasti memahami bagaimana “nyawa” sebuah data hasil rekayasa). Sehingga perlu penelitian secara objektif dan akurat sehingga memberikan kesimpulan independent kepada pemerintah untuk tindak lanjut. Untuk mendapatkan data tersebut tentu saja butuh dana yang harus dikeluarkan pemerintah, jika ingin membantu dan menyehatkan dan memperkuat industri nasional. Lain halnya jika misi dan visi sudah berubah.
kerugian (injuri) bagi produsen yang mengajukan BMAD harus diperhatikan karena itu menyangkut nasib investasi, peluang meraih devisa ekspor, tenaga kerja dan sebagainya. Namun hal serupa juga harus diperhatikan kepada konsumen atau industri lanjutan (hilir) yang mengkonsumsi produk tersebut, karena mereka juga bakal terkena “local injuri” (kerugian akibat tertutupnya pilihan produk impor dan tergantung pada produk local). Sektor hulu maupun hilir sama-sama investasi, menyerap tenaga kerja, penghasil devisa dan tentu saja pembayar pajak. Yang berbeda (mungkin) hanya kepemilikan, siapa dulu pemiliknya dan seberapa besar kekuatan. Disilah benang merahnya yakni memberlakukan BMAD harus secara selektif dan terbukti serta plus minus injury (bagi sector hulu maupun hilir). (*).

Dimuat di Warta Ekonomi


















































































Read more...

Data Perdagangan RI – Hongkong Juga Deviasi ?

Oleh : Beni Sindhunata, Direktur Eksekutif INBRA

Langkah Menperindag Rini Suwandi (Selasa, 10 Juni) yang mengungkapkan fakta adanya perbedaan signifikan dalam pencatatan transaksi perdagangan ekspor dan impor antara Indonesia dengan Singapura, tidak bisa hanya dibaca sebagai perbedaan sebatas nominal saja. Juga jangan hanya dilihat dari aspek strategi dan perang dalam perdagangan internasional. Lebih dari itu juga sebagai pukulan halus sekaligus membuktikan bahwa ada sesuatu yang keliru dalam administrasi data perdagangan internasional Indonesia. Untuk itu pihak terkait seperti bea dan cukai perlu introspeksi demi kebenaran di masa depan.

Data dari Singapura menunjukan bahwa tahun 2002 negeri seluas DKI ini mengimpor atau membeli barang (non migas) dari Indonesia senilai US$ 7,4 milyar dan mengekspor atau menjual produknya ke Indonesia sebesar US$ 5,2 milyar, sehingga total transaksi dagang kedua mencapai US$ 12,6 milyar. Sebaliknya menurut catatan BPS yang berlandaskan data dari bea cukai ternyata Indonesia membeli produk Singapura hanya US$ 4,6 milyar dan menjual hanya US$ 2,4 milyar atau total transaksi dagang US$ 7,1 milyar. Dengan demikian neraca perdagangan mengalami selisih US$ 5,5 milyar. Banyak factor yang menyebabkan perbedaan ini mulai dari perbedaan sistim penghitungan, penyimpangan pencatatan invoice sampai ke penyelundupan. Yang jelas pemerintah rugi kehilangan bea masuk dan ini juga berpotensi terjadi dengan importer atau eksportir dari negara mitra dagang lainnya.

Berdasarkan pemantauan dan penelusuran data perdagangan global dan bilateral menunjukkan bukti bahwa ternyata perbedaan atau deviasi statistic perdagangan juga terjadi dengan mitra dagang Hongkong. Perbedaan ini merupakan selisih antara data BPS dengan Hongkong Trade Development Centre. Antara 1998 sampai 2000 pemerintah Hongkong mencatat pembelian barang (impor) dari Indonesia sebanyak US$ 4,9 sementara menurut BPS hanya US$ 4,6 milyar. Berarti terdapat selisih US$ 300 juta dalam pencatatan ekspor Indonesia ke negara tersebut. Demikian juga dari sisi ekspornya Hongkong dimana mereka mencatat sudah menjual US$ 2,3 milyar sementara menurut BPS hanya US$ 0,8 juta.

Sehingga selama tiga tahun sejak krisis (1998-2000) terdapat selisih pencatatan sebesar US$ 1,5 milyar yang bisa terjadi karena pelbagai sebab misalnya under invoicing sampai penyelundupan dari pelbagai produk mulai garmen bekas, obat sampai barang elektronik. Disinilah perlunya sinkronisasi dan pemahaman lebih lanjut oleh pihak terkait khususnya bea cukai. Khusus dua tahun terakhir (2001 dan 2002) data dari Hongkong menunjukkan ekspor ke Indonesia mencapai US$ 1,7 milyar sementara impor dari Indonesia mencapai US$ 2,8 milyar.

Dua negeri ini memang menarik untuk diperhatikan karena sudah menjadi lalu lintas perdagangan internasional sehingga tidak heran jika posisi dan porsinya sebagai pusat persinggahan ekspor-impor dunia semakin meningkat. Setidaknya bisa dilihat dari meningkatnya rasio re-export yakni perbandingan antara nilai re-ekspor terhadap total ekspor negara tersebut. Rasio re-ekspor di Hongkong selama 20 tahun terakhir naik dari 35% tahun 1980 menjadi 88% tahun 2000. Bahkan sudah mencapai 92% tahun 2002 dengan nilai US$ 180 milyar dari total ekspor US$ 200 milyar. Disisi lain membesarnya rasio re-ekspor mencerminkan bahwa ekspor riil dari produksi domestic semakin mengecil yang tahun 2002 hanya US$ 16,6 milyar, setara dengan ekspor Vietnam. Sementara itu Singapura meskipun rasio re-ekspor masih dibawah 50%, tapi cenderung meningkat. Selama periode yang sama rasionya naik dari 35% tahun 1980 menjadi 43% tahun 2000 dan 47% tahun 2002, dengan nilai re-ekspor sebesar US$ 58 milyar dari total ekspor US$ 125 milyar.

Read more...

Debitur, Pindah Kelain Hati ( Pasar Modal VS Perbankan )


Oleh Beni Sindhunata, Direktur Eksekutif INBRA

Merger BES-BEJ menjadi BEI yang ditargetkan menjadi bursa kelas dunia dengan kapitalisasi pasar Rp 2.100 triliun akan memantapkan Bursa Efek Indonesia menjadi salah satu pilar utama perekonomian nasional. Dengan target menjaring 150 emiten antara tahun 2008-2009 maka bursa menjadi sumber baru pendanaan yang potensial bagi dunia usaha disamping perbankan. Terkait dengan perkembangan pasar modal dan penguatan Arsitektur Perbankan Indonesia mak a artikel berikut mengkaji korelasi antara perbankan dan pasar modal yang keduanya sama – sama berfungsi sebagai sumber dana untuk investasi dan pengembangan dunia usaha, dimana secara tidak langsung dua pilar ini sama–sama berusaha meningkatkan kontribusinya bagi perekonomian nasional.
Dari perkembangan selama tujuh tahun terakhir sejak tahun 2000 sampai Juni 2007 menunjukkan bahwa kontribusi bank sebagai penyedia dana (kredit) masih tetap dominan dengan kecenderungan porsinya mengecil dari posisi puncak tahun 2005 sebesar 88,6% menjadi 79,5% tahun 2006 dan 63,8% (April 2007) sementara kontribusi bursa sebagai sumber dana bagi dunia usaha meskipun kecil tapi cenderung meningkat dari posisi terendah 11,4% menjadi 20,5% tahun 2006 dan 36,2% per April 2007. Dana dari pasar modal ini mencakup emisi saham (IPO) dan corporate action lainnya termasuk obligasi. Tujuh tahun yang lalu nilai emisi saham mencapai Rp 206,6 triliun dan obligasi Rp 23,1 triliun sehingga total dana yang berhasil dihimpun oleh dunia usaha dari pasar modal mencapai Rp 229,8 triliun. Pada saat yang sama perbankan secara akumulatif menyalurkan kredit sebesar Rp 225,3 triliun. Dengan demikian gabungan kredit dan hasil emisi dari dua pilar keuangan tersebut mencapai Rp 455,1 triliun dengan kontribusi pasar modal sebesar 50,5% dan sisanya 49,5% dari perbankan.
Lebih dominannya pasar modal saat itu tidak lepas dari perbankan yang masih dilanda krisis dan sedang bergelut menyelesaikan restrukturisasi kreditnya yang sampai saat ini belum tuntas. Selanjutnya porsi bank mulai meningkat dan mencapai titik puncak tahun 2005 mencapai 88,6% dan yang kemudian menurun lagi menjadi 63,8% per April 2007. Dinamika di pasar modal juga mengalami pasang surut dan cenderung menurun mencapai titik terendah 11,4% tahun 2005 dan meningkat lagi menjadi 36,2% per April 2007. Pergeseran rasio kontribusi antara bank dan pasar modal ini belum melihat korelasi transaksi keuangan antara emiten di pasar modal yang juga menjadi debitur di perbankan dimana diantara ketiganya (emiten yang merangkap debitur, pasar modal dan perbankan) terjalin transaksi keuangan yang sangat erat. Karena tidak sedikit emiten yang setelah IPO juga menjadi debitur yang menarik kredit dari perbankan untuk kemudian secara bersamaan diinvestasikan ke dunia usaha.
Disamping itu emiten ini juga menjadi deposan yang cukup signifikan sebagai pemilik dana di perbankan nasional. Survey INBRA (“Potensi dan Peluang Deposito di Indonesia, April 2006”) menunjukkan bahwa 188 perusahaan publik punya simpanan Rp. 52,3 triliun pada 3.319 rekening di 79 bank ( bank negara, swasta domestik, asing-patungan) per Juni 2005. Dari jumlah ini terbagi dalam deposito sebesar Rp 33,5 triliun dan giro sebesar Rp 18,8 triliun, sehingga deposito perusahaan publik mewakili 35% total deposito perusahaan swasta nasional (diluar asuransi, jasa keuangan, yayasan dan dana pensiun).
Tidak terdapat komposisi standar atau baku tentang penggunaan dana hasil emisi baik penjualan saham maupun penerbitan obligasi karena komposisinya sangat fleksibel dan tergantung pada kondisi internal masing – masing emiten. Namun sebagian besar dana tersebut disalurkan untuk dua hal utama yakni modal kerja termasuk ekspansi maupun peningkatan kapasitas produksi (rata - rata 25%) dan membayar kewajiban atau hutang ke kreditur atau perbankan (rata– rata 75%). Dengan memperhitungkan komposisi rata – rata diatas dengan catatan tidak semuanya berlaku sama maka diperkirakan dari total emisi maka sebesar Rp 95,8 miliar sekitar 25% disalurkan untuk modal kerja guna pengembangan usaha atau peningkatan kapasitas produksi dan sisanya Rp 287 miliar (75%) dipergunakan membayar hutang dan kewajiban ke perbankan sehingga dana tersebut masuk kembali ke sistem perbankan nasional.
Perkembangan selama tujuh tahun terakhir menunjukkan bahwa perbankan masih menjadi sumber yang dominan sebagai penyandang dana bagi dunia usaha sekitar 63,8% dan 36,2% dari emisi pasar modal (obligasi dan saham) secara kumulatif dari 2000 sampai 2007 tapi kontribusi ini pun mengalami perubahan sesuai perkembangan ekonomi makro nasional namun secara menyeluruh tidak mengalami perubahan drastis. Dengan catatan porsi terbesar dari perbankan sebesar 88,6% tahun 2005 dan porsi terbesar dari pasar modal terjadi tahun 2000 sebesar 36,2%. Komposisi kumulatif ini tidak berbeda jauh dengan komposisi dari pertumbuhan per tahun riil. Lihat tabel perbandingan kredit perbankan dengan emisi dana dari pasar modal 2002-2007.

Perkembangan ini juga menunjukkan bahwa posisi tradisional yang dominan dari perbankan sebagai sumber pendanaan bagi dunia usaha mulai mendapat saingan dan tantangan dari pasar modal yang sangat fluktuatif dan berkembang cepat. Porsi pertumbuhan per tahun ini relatif sama dengan porsi kumulatif. Kondisi ini disatu sisi menjadi prestasi dan hal positif bagi pihak terkait di pasar modal yang mulai tumbuh pesat pada dekade 90-an. Di sisi lain menjadi tantangan sekaligus dorongan bagi perbankan untuk lebih meningkatkan fungsi intermediasinya yang sedikit banyak mulai diambilalih oleh pasar modal dengan kata lain para pengusaha banyak yang membuka akses langsung ke pemilik modal melalui IPO atau corporate action lainnya.
Dalam konteks inilah terjadi peran ganda dimana emiten merangkap menjadi debitur atau sebaliknya sehingga total dana yang diraih oleh perusahaan (dunia usaha) bisa berlipat ganda yakni dari pasar modal dan juga pinjaman perbankan yang besarnya cukup signifikan. Justru korelasi dan keterkaitan yang cukup tinggi ini berpotensi untuk sama – sama terkena risiko yang sama jika dunia usaha mengalami kelesuan sehingga krisis di sektor riil akan menjadi amunisi yang ampuh untuk menimbulkan sentimen negatif bagi dinamika pasar modal yang dengan cepat akan menjalar ke sektor lainnya, demikian juga sebaliknya.
Sebagaimana terungkap dari hasil survey INBRA (Investment and Banking Research Agency) bulan Maret 2007 tentang kredit perbankan ke perusahaan publik (“Pangsa Pasar Perbankan dan Kolektibilitas Kredit”). Tercatat sebesar Rp 115 triliun atau setara 30% dari total kredit perbankan yang disalurkan ke dunia usaha swasta juga diserap oleh 261 perusahaan publik tidak termasuk jasa keuangan. Dari total hutang tersebut maka sebesar Rp 55,4 triliun merupakan hutang jangka panjang, sebesar Rp 46,3 triliun adalah hutang jangka pendek dan sebesar Rp 13,8 triliun adalah hutang yang masuk jatuh tempo (September 2007). Dengan rincian sebesar 36,9% atau Rp 5,1 triliun merupakan hutang valas. Dibandingkan dengan posisi 2005 maka saldo kewajiban dan hutangnya menurun. Lihat tabel.

Indikator Makro Kewajiban
Perusahaan Publik, September 2006 (Rp. triliun)
Sisi positif dari emisi pasar modal ini adalah membantu debitur melunasi kewajibannya kepada perbankan sehingga kolektibilitas kreditnya relatif membaik yang akhirnya memperbaiki NPL perbankan secara keseluruhan.
Dari pertumbuhan kredit perbankan dan emisi di pasar modal dan kapasitas emiten yang menjadi debitur sekaligus deposan diperbankan mempertegas adanya korelasi yang erat antara dunia usaha, pasar modal dan perbankan yang secara bersamaan memiliki peranan yang signifikan dalam pembangunan ekonomi nasional. Korelasi dan transaksi keuangan antara tiga pihak ini menjadi pilar-pilar penting dalam pembentukkan arsitektur keuangan nasional. Adanya undisbursed loan sekitar Rp 150 triliun dan rencana IPO dari BUMN 2008-2009 dan target BEI serta optimistisme pertumbuhan kredit perbankan sebesar 21-22% diperkirakan tidak akan menciptakan perubahan yang drastis, di mana perbankan masih akan dominan sehingga debitur belum pindah ke lain hati.-*-

Dimuat Kompas, 17 September 2007

Read more...

Cinta Segitiga: Hutang Multi Nasional dan Investasi

Oleh : Beni Sindhunata, Direktur INBRA

Bicara tentang perusahaan multi nasional (selanjutnya di singkat PMN) tidak akan bisa lepas dari anatomi hutang luar negeri negara dan anatomi investasi di negara bersangkutan (host country). Karena itu sudah merupakan hukum universal dimana negara kreditur pasti memiliki hubungan erat dengan jaringan afiliasi PMN di seluruh dunia yang menangani pelbagai proyek dari mega proyek infrastruktur, perbankan, otomotif, petrokimia, makanan sampai ke cuci pakaian dan sewa mobil.
Dalam konteks ini kita mencoba menganalisis bagaimana eksistensi PMN terkait dengan hutang luar negeri dan persepsi kita sebagai pemilik 17 ribu lebih pulau di bumi nusantara yang sekarang menanggung hutang US$ 150 milyar. Masih relevankah kacamata nasionalisme dan chauvinistis dipakai dalam melihat PMN apalagi di zaman teknologi informasi multi media super canggih ini, yang telah membuat dunia memang “cuma” selebar daun kelor.
Trend Investasi Global
Arus investasi global sepanjang dekade 90-an sudah memperlihatkan trend startegis yang menentukan eksistensi masa depan PMN. Tiga diantara trend strategis tersebut bahwa :
1. peran negara sebagai sumber dana investasi pembangunan menurun drastis. Dimana tahun 1990 negara (official finance) memasok US$ 56,3 milyar (55,9%) terhadap total investasi untuk negara berkembang sebesar US$ 100,6 milyar. Tapi tahun 1996 porsinya sudah menurun drastis tinggal 14,3% dengan nilai absolut US$ 40,8 milyar. Fenomena global ini juga terjadi di negara kita di mana peran pemerintah sebagai mesin ekonomi dan investasi menurun dikalahkan oleh swasta melalui pelbagai investasi. Ini tentu saja membutuhkan dana baik dalam maupun luar negeri. Sehingga akhirnya terpaksa melakukan pinjaman komersial di luar negeri yang menjadi salah satu biang keladi krisis moneter sekarang ini.
2. sebaliknya peran swasta (private loan) sebagai sumber investasi meningkat pesat dari US$ 44,4 milyar dengan pangsa 44,1% melonjak jadi 85,7% senilai US$ 243,8 milyar. Ini tidak lepas dari meningkatnya aktivitas pasar modal dan pasar uang yang mencatat perputaran dana US$ 1,2 trilyun per hari.
3. pola investasi swasta juga berubah, dimana pangsa hutang komersial dan investasi langsung menurun sementara pembiayaan lewat portofolio ekuiti naik. Tahun 1990 pangsa portofolio ekuiti baru 7,2% lalu naik jadi 18,7% tahun 1996 dengan jumlah US$ 45,5 milyar. Tapi investasi langsung oleh MNC masih dominan dan berperan besar menguasai pangsa 44,9% senilai US$ 109,5 milyar. Lihat tabel.

Sumber Investasi Global ke Negara Berkembang
Diolah INBRA dari "Global Development Finance" dan “World Investment Report” (Sept’98)

Di lain pihak kita tidak bisa mengingkari dampak positif kehadiran PMN khususnya dari aspek pengembangan dan peningkatan ekspor disamping alih teknologi dan permodalan. Dimana PMN via afiliasi dan patungannya di pelbagai negara menjadi basis produksi yang produknya kemudian di ekspor ke afiliasi PMN di negara lain. Arus ini tentu saja berdampak positif bagi negara bersangkutan, sehingga PMN menjadi tulang punggung ekspor mereka. Tahun 1997 tercatat bahwa dari 53 ribu PMN yang memiliki 450 ribu afiliasi di seluruh dunia meraih penjualan sebesar US$ 9,5 trilyun, sekitar US$ 2 trilyun terdiri dari hasil ekspor. Atau sepertiga dari dari total ekspor dunia dan pertumbuhannya lebih pesat.
Secara sektoral PMN di industri perminyakan, otomotif, perdagangan umum (trading house) meraih omzet luar negeri yang sangat besar seperti Exxon, Shell, Mobil Oil, General Motor, Toyota atau Mitsui. Tapi dari rasio penjualan afiliasi terhadap total omzet, yang terbesar justru dimiliki oleh PMN di industri makanan (Nestle), obat-obatan (Roche), elektronik (Philip) karena pasarnya yang bersifat global dan massal. Tentu saja ini tidak lepas dari pasar domestik di mana mereka berada.
Sehubungan dengan perobahan perilaku ini perlu diperhatikan temuan World Investment Report (1998) tentang perilaku jangka menengah PMN sampai tahun 2001, diantaranya :
1. Diperkirakan semakin banyak afiliasi PMN yang produksinya ditujukan hanya untuk pasar ekspor (export oriented), sehingga peranannya sebagai pencipta devisa meningkat.
2. Pola merger, akuisisi, aliansi dan kerjasama patungan akan semakin dominan sebagai sarana dalam proses globalisasi atau perluasan pasar.
3. Membantu pemasukan devisa melalui privatisasi global. Antara tahun 1988 sampai 1995 swastanisasi global di 73 negara mencapai US$ 463,3 milyar, 12% diantaranya berupa valas dari PMN sebagai pembeli saham BUMN tersebut.
4. Perusahaan skala menengah kecil juga akan tergiring untuk globalisasi (dibantu dengan aplikasi e-commerce via Internet).
5. FDI akan semakin besar di sektor infrastruktur, distribusi/retail, otomotif dan jasa non keuangan.
6. Akses dan potensi pasar masih menjadi pertimbangan utama bagi MNC untuk menentukan lokasi investasinya.
Posisi Di Indonesia
Adalah fakta bahwa PMN masih mendominasi pentas investasi nasional, setidaknya dilihat dari arus investasi (equity investment). Sebagai acuan kita menggunakan batas waktu 1997 dan kurs ekuivalennya rata-rata BI (saat itu) yaitu Rp. 4.650 per US$. Tercatat selama 30 tahun sejak 1967 sampai 1997 jumlah PMA yang disetujui BKPM ada 5.563 buah dengan investasi US$ 204 milyar (setara Rp. 949 trilyun). Sedangkan PMDN ada 10.946 proyek dengan investasi Rp. 602,8 trilyun. Berarti gabungan PMA dan PMDN mencapai 16.509 proyek dengan total investasi Rp. 1.551,8 trilyun.
Jajaran PMA kita pisahkan dalam dua kelompok yakni kelompok PMA 100% dengan total investasi US$ 50 milyar (Rp. 232 trilyun) mencakup 1.145 proyek dan kelompok patungan dengan 4.418 proyek senilai US$ 154 milyar (Rp. 716 trilyun). Dari kelompok patungan ini tentu saja ada sahamnya mitra nasional (mayoritas dari perusahaan besar atau afiliasi konglomerat) senilai US$ 21,6 milyar. (Rp. 100 trilyun). Dus, total investasi PMA (setelah dikurangi saham mitra domestik) mencapai US$ 182 milyar (setara Rp. 848 trilyun) dan PMDN (termasuk saham mereka di perusahaan patungan) mencapai US$ 151 milyar (setara Rp. 703 trilyun). Ini membuktikan bahwa selama 30 tahun afiliasi PMN sudah, sedang dan akan investasi Rp. 848 trilyun atau US$ 182 milyar atau menguasai 54,7% investasi swasta di Indonesia.
Pada periode yang sama hutang luar negeri kita sudah mencapai US$ 126 milyar, ternyata 43% (US$ 55 milyar) adalah hutang yang dibuat oleh perusahaan swasta di sektor industri. Per Maret 1999 malah sudah mencapai US$ 62 milyar. Secara eksplisit menunjukkan bahwa hutang bilateral maupun multilateral sudah dikalahkan oleh hutang antar swasta (via PMN). Ini belum termasuk hutang dari BUMN dan perbankan. Sehingga mau tidak mau, suka atau tidak suka (dengan pelbagai plus minus) PMN tetap hadir dan kita masih tetap berhutang.
Tapi kita memang harus mengambil posisi atas fakta makro investasi dan ekonomi tersebut, yang menimbulkan dikotomi antara pro PMN dan anti PMN. Menyadari perkembangan global saat ini maka tidak tepat lagi jika kita membedahnya dengan nasionalisme membabi buta layaknya seorang chauvinis. Karena bagaimanapun kita butuh dana pembangunan dari luar negeri dan PMN.
Bagi PMN sejauh negara tujuan tersebut masih ekonomis sebagai basis produksi dan pasar yang potensial maka mereka pasti akan masuk, meski dengan embel-embel menggunakan risk country yang indikatornya sangat fleksibel. Sehingga diantara sesama PMN justru terjadi perang tanding memperebutkan megaproyek selama ini. Proses akhirnya tidak lepas dari KKN yang mustahil tidak diketahui oleh mitra asing tersebut. Di sisi lain hutang luar negeri juga tidak bisa lepas dari unsur politis yang dalam pelaksanaannya banyak mengalami kebocoran.
Kita tidak bisa memutuskan hubungan historis dan politis antara negara kreditur pemberi hutang dengan jaringan PMN mereka. Dalam konteks inilah kita juga harus memahami mengapa bisa lahir proposal buy out proyek Tajung Jati B dengan special yen loan atau Miyazawa Plan yang sempat menghebohkan. Lima besar negara kreditur kita baik semasa orde IGGI maupun orde CGI adalah Jepang, AS, Jerman, Inggris AS yang tidak jauh beda dengan komposisi lima besar investasi swasta. Tanpa melupakan peran besar NIC yang sangat sukses (dari kacamata PMN) dalam memanfaatkan Indonesia sebagai basis produksi pasar domestik maupun ekspor.
Untuk itu solusinya hanya satu (meski terkesan klise) yakni kemauan dan kemampuan kita untuk membuat aturan main yang jelas dan berlaku pasti, standar dan umum serta bebas penyimpangan dan KKN baik oleh mitra lokal maupun oleh mitra asing. Perlu lebih cermat dalam perundingan dan perikatan kontrak. Selanjutnya adalah bagaimana memanfaatkan kehadiran mereka semaksimal mungkin (mumpung masih laris). Karena itu dikotomi klasik antara yang pro dan kontra kehadiran PMN (masing-masing punya argumentasi kuat) tidak terlalu menarik lagi untuk diperdebatkan. Karena substansi masalahnya adalah bahwa kedua pihak baik sesama MNC maupun sesama negara asalnya memiliki kepentingan positif bersama. Yakni bagaimana membangun perekonomian dengan azas keuntungan bersama dengan sebuah win-win solution. Jika dalam pelaksanaannya terdapat praktek negatif seperti kolusi, korupsi, nepotisme (KKN) sampai ke masalah lingkungan maka itu merupakan "cost" yang harus di- eliminir sampai tuntas ke akar-akarnya. (*).

Jakarta, 9/8/99-Majalah Indikator

Read more...

“Bali, The Last Paradise Jangan Menjadi The Lost Paradise”

Oleh :Beni Sindhunata, Direktur Eksekutif INBRA
Indonesia memang dalam bahaya jika kita melihat tragedy peledakan bom di Kuta (Bali) dan Manado yang menelan korban 184 orang (12 Oktober 2002), merupakan episode baru nan kelam dalam perjalanan bangsa yang sedang memulihkan perekonomian. Tapi kita tidak boleh begitu saja membiarkan dampak negatifnya meluas sehingga perlu sebuah sikap objektif dan independent dalam menyikapinya. Dalam kerangka menjaga dan memberikan pandangan positif serta objektif untuk menyejukan iklim investasi pada umumnya maka INBRA (Investment and Banking Research Agency) menyampaikan pernyataan sikap dan masukan sebagai berikut.
tragedy pemboman di Bali dan Manado jangan sampai membuat pelaku dunia usaha panik dan melakukan tindakan yang terburu-buru demi antisipasi sesaat dan jangka pendek. Karena semakin tercipta kondisi yang panic maka semakin memperburuk keadaan. Jika mayoritas pelaku usaha dan investor bersikap panic maka akan tercipta kondisi yang merusak diri kita sendiri (self destruction) dengan efek berantai yang akhirnya merusak denyut ekonomi makro dan mikro.
penurunan IHSG 38 point atau minus 10,3% menjadi 337 (Senin, 14 Oktober) di Bursa Efek Jakarta merupakan bukti bahwa investor di pasar saham adalah pihak yang paling rentan dan paling mudah terkena kejadian negative. Di pasar uang kurs rupiah melemah dari Rp. 9.010 menjadi Rp. 9.335 bahkan sempat menyentuh Rp. 9.400 (Senin sore). Dua indicator ini memang sangat krusial dan sensitive sehingga akan menjadi tolak ukur setidaknya sampai minggu depan. Ini merupakan konsekwensi jika sebuah perekonomian mulai memperbesar eksposurnya ke pasar modal dan pasar uang. Karena eksistensi dan loyalitas foreign portofolio investment (FPI) di sebuah negara tidak kekal dan usianya hanya seputaran jarum jam, artinya easy come easy go.
Sementara itu investasi langsung seperti foreign direct investment (FDI) justru loyalitasnya lebih tinggi dan tidak mudah untuk memutuskan keluar atau mundur dari sebuah investasi. Karena mereka sudah membangun pabrik, mesin, rencana kerja atau bahkan perluasan sesuai kinerja masing-masing. Afiliasi MNC (multinational corporation) tidak akan segera menutup pabrik dan melikuidasi perusahaannya hanya karena dampak pemboman tersebut, namun mereka akan mengantisipasi dengan cara yang lebih moderat.
Oleh sebab itu sangat wajar dan bisa dimengerti jika muncul pernyataan dari pelaku usaha asing bahwa mereka akan hengkang dan keluar dari pentas bisnis Indonesia, yang tentu saja berpengaruh besar dan menjadi informasi mencemaskan bagi pelaku usaha domestic lainnya. Demi keamanan pribadi mungkin para ekspatriat akan mudik sambil menunggu situasi, namun bisa fatal jika mereka baru kembali lagi pasca Natal & Tahun baru 2003.
Dampak negative pemboman ini jangan hanya dilihat dari nasib Bali semata dimana pariwisata sebagai penyumbang dua pertiga perekonomian daerah, atau nasib Rp. 5 trilyun lebih kredit dan Rp. 11 trilyun lebih dana masyarakat yang oleh dikelola 197 kantor bank umum (September 2002). Tapi lebih pada dampak makronya sebagai salah satu magnet dan jantungnya pamor Indonesia di pentas investasi dan pariwisata global.

Kesimpulan dan Himbauan
Menghimbau kepada pemerintah untuk mengungkapkan misteri pemboman ini secepatnya dan bersikap sangat tegas karena kunci utamanya ada di tangan pemerintah. Apapun scenario dibalik kasus pemboman ini harus diungkapkan sehingga tidak menghancurkan wibawa pemerintah dan sekaligus memulihkan kepercayaan public.
Perlu diusahakan jangan sampai kasus ini menjadi konsumsi pelbagai pihak yang bisa menggiringnya menjadi konsumsi politis, social budaya dan keamanan. Oleh sebab itu dihimbau dan diharapkan agar para politisi jangan menyampaikan sikap apapun ke public namun sebaiknya tenang serta berpikir dalam kerangka positif dan serahkan semuanya kepada pemerintah dan pihak yang berwewenang.
Meski pemboman ini berdampak besar bagi Bali sebagai “the last paradise” namun kita yakin, berharap dan berusaha agar “Bali tidak menjadi the lost paradise”. Untuk itu perlu sikap tenang dan bijaksana serta moderat dari kalangan dunia usaha dan masyarakat umum sebagai pemegang kunci strategis setelah pemerintah.
Dampak dari kasus ini jangan hanya dilihat dari ukuran kuantitas dan angka-angka semata tapi lebih kepada aspek kualitas Indonesia dimasa depan secara menyeluruh. Sehingga pemulihan ekonomi yang sedang dijalankan bisa berjalan sebagaimana mestinya meskipun penuh lobang dan luka disana-sini.
Bagi investor pasar uang dan pasar modal, kondisi ini justru harus diantisipasi dengan cerdik agar tidak terperosok terlalu jauh dan harus siap dana karena tidak tertutup kemungkinan terbentuknya siklus dengan kurva V. Bagi pelaku usaha sector riil tetaplah focus pada bisnis semula tanpa harus membanting setir karena dalam kondisi kritis akan muncul energi positif yang kreatif dan pendobrak.
Jakarta, Oktober 2002

Read more...

Wednesday 26 December 2007

Pedagang Kecil, Wasit dalam Perang Tepung Terigu

Oleh : Beni Sindhunata, Direktur Eksekutif INBRA

Setelah memperhatikan perdebatan tentang bea masuk anti dumping (BMAD) untuk tepung terigu yang sudah bergulir 2 tahun lebih dan semakin membiaskan pokok persoalan sehingga memperbesar biaya lobby, maka INBRA (Investment and Banking Research Agency) sebagai lembaga riset mengenai investasi dan perbankan menyampaikan pendapat dan saran khususnya bagi pemerintah sebagai regulator dan pengawas dari pertarungan bisnis antar pengusaha yang ujung-ujungnya pasti mengatasnamakan kepentingan perusahaan kecil menengah.
Pendekatan dan thema utama siaran pers ini didasarkan beberapa fakta dan kondisi yang ditelusuri oleh INBRA, diantaranya berdasarkan : hasil pemantauan langsung dan survey terhadap pengusaha atau pedagang kecil selaku konsumen tepung terigu pemantauan atas konstelasi persaingan global mulai dari persaingan antar produsen, eksportir, importer dan fluktuasi harga internasional dan perkembangan musim. konstelasi persaingan bisnis domestic khususnya antara importer tepung terigu, produsen tepung terigu dan produsen makanan menengah atas (manufaktur) sikap pemerintah yang tidak tegas dalam mengambil kebijakan

Berdasarkan perkembangan dan fakta selama ini maka INBRA menarik beberapa fakta dan kondisi tentang anatomi bisnis tepung terigu yang semakin kusut karena tarik ulur justru pasca deregulasi.
Dilihat dari aspek deregulasi dan persaingan bebas (demi dan atas nama WTO) maka industri tepung terigu nasional termasuk yang sudah di deregulasi dan diserahkan ke pasar bebas sejak 1999. Jadi tidak ada lagi tata niaga karena setiap orang bebas mengimpor mulai dari konglomerat, importer tanpa alamat jelas sampai koperasi dan usaha kecil sejauh dia memiliki dana dan kemampuan.
Dibebaskannya kran impor maka tepung terigu impor membanjir sehingga setahun pasca deregulasi produk impor menguasai 15% pasar nasional sebesar 0,4 juta ton dari 3 juta ton lebih konsumsi nasional. Tahun 2001 porsinya menurun jadi 8% senilai 0,2 juta ton sementara konsumsi tetap 3 juta ton lebih. Ini sebenarnya sebuah kondisi yang tidak perlu dirisaukan oleh semua pihak (produsen tepung terigu, industri makanan dan biscuit atau importer) karena pemenang di pasar bebas ini akan ditentukan oleh perilaku “konsumen bebas” yakni para pengguna tepung terigu mulai dari industri makanan dan biskuit, mie basah, mie instant, kue basah sampai ke pedagang gorengan dan martabak.
Survey INBRA pada medio 2002 tentang anatomi konsumsi bahan baku pedagang martabak dan mie ayam Bangka menemukan bahwa harga bukan menjadi factor utama dalam bisnis mereka dengan daur hidup 6 jam per hari. Terpenting bagi mereka adalah mutu tepung terigu sehingga menjamin hasil adonannya disaat subuh (adonan mie basah) dan sore hari (adonan martabak) berhasil dan sesuai standar dan selera masing-masing seperti selama ini. Jika adonan gagal (tidak sesuai standarnya) mereka akan kehilangan penghasilan hari itu. Murah bukan jaminan mutu dan belum tentu cocok untuk produk mereka. Karena itu mereka tidak berani mencoba beralih menggunakan tepung terigu merk lain apalagi merk impor (meski harganya relative murah). Menurut Aptindo, kelompok pedagang kecil ini menyerap dua pertiga produksi tepung terigu nasional.
Tepung terigu impor lebih cocok dipergunakan untuk industri yang memproduksi makanan kering, mie instant, mie kering atau biscuit dengan pendekatan manufaktur yang dikomposisikan dengan bahan derivative lainnya. Sehingga industri skala manufaktur yang paling berpotensi mengkonsumsi tepung terigu impor, dimana beberapa produsen biscuit skala menengah atas juga mengimpor langsung guna menjamin ketersediaan bahan baku mereka. Kelompok ini menyerap sepertiga tepung terigu nasional.
Karena bahan baku tepung terigu adalah gandum yang harus diimpor sehingga sangat tergantung pada mekanisme harga pasar internasional, fluktuasi nilai kurs, perobahan musim dan siklus panen di negara-negara produsen utama. Akibatnya harga tepung terigu ibarat harga BBM yang sekarang justru dibiarkan berfluktuasi sesuai harga internasional. Sehingga tidak ada mekanisme standar untuk menurun harga tepung terigu di pasar domestik, kecuali pemerintah menetapkan floor price dengan konsekwensi subsidi. Sebuah kebijakan konvensional yang bukan zamannya lagi untuk diperbicangkan apalagi diterapkan.
Kebijakan pemerintah yang belum secara tegas memutuskan dan menjalankan bea masuk anti dumping (BMAD) ataupun sebaliknya menolak BMAD menjadi lahan subur bagi para pelobby bisnis dan politik yang kian menambah rumit, yang sebenarnya sangat sederhana.

Kesimpulan dan Saran
Pemerintah perlu segera menetapkan kebijakan yang tegas dan jelas apakah sepakat menetapkan BMAD 10%, 5%, atau hanya 0%. Ini perlu kesepakatan antara Deperindag dengan Departemen Keuangan. Penetapan ini tentu sudah memikirkan pelbagai konsekwensi mulai dari daya saing dan eksistensi tepung dalam negeri, pilihan konsumsi yang seluas-luasnya kepada konsumen dan persaingan murni. Inilah konsekwensi lain dari persaingan bebas berbaju WTO dimana kita lebih berpotensi menjadi korban dan bukan pemenang.
Supaya adil bagi para importer maka BMAD hanya diberlakukan kepada produsen tepung terigu yang terbukti melakukan dumping (hasil kerjasama dengan importer nasional dan eksportir asing). Bagi yang melakukan fair trade tidak layak diberlakukan sanksi.
Industri berskala Rp. 6 trilyun lebih yang sudah di deregulasi dan bebas ini sebaiknya dibiarkan bebas sesuai mekanisme pasar dengan pelbagai konsekwensinya. Para importer dan calon importir umum domestik apalagi kelas rent seeker akan mundur sendiri dan hilang dari peredaran jika hanya sanggup menjual produk kelas dua bermutu rendah. Ringkas kata tidak ada lagi tataniaga dalam industri ini dan kita akan mundur dua decade jika mencoba menerapkan tata niaga dalam bentuk tariff maupun non tariff.
Pemenang dari perang tepung terigu antara importer domestic yang bermitra dengan eksportir asing melawan produsen tepung terigu nasional adalah pihak yang mampu menjual produk terbaik, bermutu dan harga bersaing kepada konsumen bebas (sebagai the grass root) yakni para pedagang beroutlet gerobak yang jumlah puluhan ribu. Dengan posisi maka pedagang kecil beroutlet gerobak (pedagang martabak, mie basah, gorengan, bakso, kue basah, etc) ibarat wasit dan pemerintah sebagai hakim garis. (*)
Pers Release Kepada Harian Ekonomi, 13 Oktober 2002

Read more...

Apa dan Dimana, Investasi Paling Prospektif ?

Oleh : Beni Sindhunata, Direktur Eksekutif INBRA

Jika ada yang klien yang bertanya seperti diatas maka sebelum menjawab ada baiknya kita malah bertanya dahulu yakni berapa besar dana yang anda miliki dan bersedia di tanamkan dalam bsinsi tersebut. Figur tentang besaran dana investasi adalah hal penting karena ini merupakan tonggak awal dari bergeraknya bisnis. Tidak jadi masalah apakah itu investasi melalui akuisisi perusahaan yang sudah berjalan dan sedang bermasalah maupun mendanai investasi baru sama sekali. Skala investasi bisa bergerak dari kelas milyaran rupiah sampai trilyunan rupiah dan sektornya bisa menyebar dari bisnis maya dan jasa sampai ke pabrik. Bahkan bisa masuk ke bisnis tertua di dunia yang sudah bergaya milenium yakni casino on-line seperti dilakukan Kerry Packer, sang raja kasino Australia pemilik Crown Casino yang akan buka Crowngames.com bulan Maret mendatang.
Pada prinsipnya semua sector usaha memiliki sifat universal yakni rasio keuangan yang baik dan menguntungkan tidak peduli jenis dan bidang usahanya. Karena semua jenis bidang usaha memiliki tingkat keuntungan dan prospek yang berbeda. Bahkan antara pemain dis ektor yang sama juga nasibnya bisa berbeda. Sebelum menganalisis tentang sektor mana yang paling prospektif dan atau menarik untuk investasi ada baiknya kita lihat dahulu bagaimana peta dan indikasi (historis) dari perusahaan di Indonesia.
Dinamika perusahaan publik selama 3 tahun terakhir bisa dijadikan salah satu tolak ukur makro untuk melihat prospek tersebut karena kinerja 300 lebih perusahaan ini setidaknya sudah mewakili mayoritas sector usaha di Indonesia dan terbuka peluang untuk diminati. Dinamika tahun 2000 misalnya menunjukkan bahwa hanya ada 4 sektor usaha dimana perusahaannya (emiten) tidak menderita rugi yakni dari sektor telekomunikasi, pabrik rokok dan produsen barang konsumsi.
Sektor lainnya terbukti ada yang rugi bahkan sampai ratusan milyar tapi sebaliknya juga ada yang untung dengan angka relatif. Sehingga total kerugian emiten (di luar yang untung) di bursa tahun 2000 mencapai Rp. 54,1 trilyun naik dari Rp. 44,8 trilyun tahun 1999 dan Rp. 49 trilyun tahun 1998. Dus, selama 3 tahun pasca krisis total kerugian kumulatif dari ratusan emiten mencapai Rp. 147 trilyun (ekuivalen dengan US$ 18 milyar berdasarkan kurs rata-rata tahun bersangkutan). Atau setara dengan 22% nilai buku asset di BPPN (Rp. 644 trilyun) dan 88% nilai pasarnya (Rp. 167 trilyun). So, apa artinya nilai asset BPPN tersebut antara 4 sampai 10 tahun mendatang ?.
Sector usaha di mana kerugiannya relatif kecil juga perlu dicermati ecara positif seperti sektor farmasi, ritel, jasa perdagangan, fotografi, elektronik, barang mesin sampai asuransi. Yang paling tragis ternyata ada 13 sektor di mana total keurgian perusahan-perusahaan dibidang tersebut berkisar dari Rp. 1 trilyun sampai sampai Rp. 10 trilyun. Lebih lanjut perlu dipahami bahwa kerugian inipun bukan semata karena pasar yang hancur sehingga ozmet turun, tapi juga ada yang dikarenakan beban bunga dan hutang yang menggunung sehingga masih defisit berkepanjangan, setidaknya ampai tahun 2000. Ringkas kata tidak ada jaminan sector industri tertentu sangat prospektif dan menjanjikan keuntungan. Karena factor lain seperti modal dan manajemen secara total juga sangat krusial. Apalagi jika kita bandingkan dengan kinerja perusahaan asing di pelbagai sektor di bumi nusantara ini.
Kita perhatikan figure berikut. Sejak krisis tahun 1997 sampai 2000 tercatat total nilai transfer laba yang dikirim oleh ribuan afiliasi MNC di Indonesia mencapai US$ 5,3 milyar atau setara dengan Rp. 39 trilyun (ekuivalen berdasarkan kurs tahun masing-amsing). Ini tentu saja unsure defisit bagi neraca sektor jasa. Dengan rincian tahun 1997 transfer laba sebesar US$ 1,3 milyar lalu turun jadi US$ 1,1 milyar tahun 1998 kemudian naik jadi US$ 1,4 milyar tahun 1999 dan tetap US$ 1,4 milyar tahun 2000. Transfer laba ini jelas menunjukkan bahwa perusahaan afiliasi berhasil meraup laba atas operasionalnya di Indonesia. Ini berlaku mulai dari sektor perbankan, perminyakan, manufakturing sampa jasa-jasa lainnya. Dengan demikian selama krisis memuncak afilasi MCN via PMA tetap mencetak laba dan bahkan sempat kirim “wesel ke kampung halamannya”, sementara pemain lokal mencatat rugi besar-besaran senilai US$ 18 milyar. Meskipun rugi tidak menutup kemungkinan mereka juga sempat mengirim “wesel” keluar negeri untuk disimpan sementara di pelbagai negara pulau mini dari Pasifik sampai Atlantik. Artinya kemampuan manajemen secara menyeluruh juga menjadi faktor penting dan untuk itulah masih diperlukan jasa konsultan dan manajemen.
Berangkat dari kondisi ini dikaitkan dengan perkembangan sekarang dan trend jangka pendek setidaknya kita perlu mencari dan menelaah sektor industri mana yang relatif prospektif untuk dijadikan lahan investasi. Dari aspek pengembangan daerah maka kita perlu memberikan perhatian khusus ke sektor jasa logistik, jasa transportasi, pergudangan dan sejenisnya. Karena jasa di sektor ini akan sangat dibutuhkan guna mengantisipasi berkembangnya ekonomi daerah yang pasti akan bergerak (terlepas daris sejauhmana kecepatan dan konsistensi realisasi otonomi daerah yang berjalan lamban karena diganduli aspek politis dan para poli-tikusnya).
Selain jasa logistik yang menjadi infrastruktur perekonomian maka perlu merubah paradigma menjadi “go local” terlepas dari “go west or go east”. Dalam arti kata jangan hanya terpaku pada pasar ekspor yang ranjaunya semakin banyak dan ganas, tapi harus melihat potensi pasar domestik khususnya ke daerah-daerah yang potensial dan mulai menggeliat. Untuk itu tetap menekuni sektor konvensional yang terkait dengan sandang, pangan dan rumah.
Kian parah dan lambatnya pemulihan krisis ekonomi nasional diantaranya karena tidak ada struktur ekonomi yang berbasis pengembangan potensi daerah. Sehinggga akhirnya tercatat ada daerah surplus dan daerah minus atasa komoditi tertentu sepanjang 3 dasawarsa. Bahkan lebih tragis lagi jika kita amati neraca perdagangan antar daerah dengan lintas sektor. Di mana daerah 1 surplus produk a sementara defisit produk b. Sebaliknya daerah 2 surplus produk b tapi defisit produk a. Surplus dan defisit ini mencerminkan impor dan ekspor atau perdagangan antar pulau. Ketimpangan neraca perdagangan dan komoditi nasional inilah yang seharusnya diantisipasi oleh pengusaha untuk menggeluti sektor jasa perdagangan tersebut dari pelbagai sisi terkait. Dilain pihak juga pemerintah perlu membangun infrastruktur dan kebijakan yang kondusif. Termasuk kepala daerah jangan sampai kebablasan menerapkan otda apalagi dengan standar ganda.
Jika kita hanya terfokus pada BPPN dengan segala prestasi baik dan buruknya berikut debitur bermasalah, maka negeri ini tidak akan bisa bangkit dan menyelesaikan krisisnya. Sementara orang yang lebih jauh dan menjaga jarak dengan Jakarta justru panenannya relatif tidak terganggu. (*).
Majalah Pilar januari 2004

Read more...

Amakudari ala Indonesia

Oleh : Beni Sindhunata, Direktur Eksekutif INBRA

Secara umum “amakudari” dapat dikatakan sebagai praktek atau kondisi dimana para mantan pejabat tinggi departemen teknis selalu mendapatkan jabatan sebagai anggota komisaris atau direksi di perusahaan negara yang sebelumnya secara teknis berada dibawah pengawasannya. Istilah ini popular di Jepang yang biasa juga disebut “the old boy network” dituding sebagai salah satu pihak yang ikut memicu skandal keuangan pada decade 80-an yang melibatkan mantan birokrat, pengusaha dan jaringan mafia di negeri sakura ini. Yang lebih parah lagi adalah berlangsungnya scenario atau praktek dimana birokrat yang bakal memasuki usia pensiun membuat aturan yang memberikan (menciptakan) peluang bisnis di sector riil yang dibawah pengawasan departemen terkait.
Apakah praktek seperti ini terjadi di Indonesia ?. Tidak mudah untuk menemukan bukti atau fakta tentang praktek ala amakudari Jepang di Indonesia. Namun sejauh ini yang bisa kita angkat hanyalah sebatas sinyalemen yang memberi peluang atau memperkuat dugaan tersebut. Studi INBRA tahun 2000 menemukan sebuah kondisi yang relevan untuk mendalami lebih jauh bagaimana relevansi birokrasi dan mantan birokrat departemen dalam posisi mereka sebagai komisaris dan direksi di jajaran BUMN yang dulu menjadi binaannya. Dari 129 BUMN yang disurvey ada 1.011 orang terdiri dari 466 orang anggota dewan komisaris (mencakup 129 presiden komisaris dan 337 komisaris) dan 545 orang anggota dewan direksi (terdiri 138 presiden direktur dan 407 direksi). Para pejabat ini terdiri dari petinggi atau mantan petinggi eselon satu dan dua dari departemen teknis dan tentu saja penyebarannya sesuai dengan jumlah BUMN yang dimiliki di sector terkait.
Lima departemen yang memiliki anggota direksi dan komisaris BUMN terbanyak adalah Departemen Perhubungan (total 175 orang anggota direksi dan komisaris), Departemen Keuangan punya 173 orang, Departemen Perindustrian dan Perdagangan sebanyak 172 orang, Departemen Kehutanan dan Perkebunan (160 orang), dan terakhir adalah Departemen Pekerjaan Umum (123 orang). Ini posisi tahun 2000 yang tidak mengalami perobahan drastic selama 3 tahun berikutnya. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kinerja para birokrat dan mantan birokrat ini dalam menjalankan tugas pengawasannya (sebagai anggota dewan komisaris) terhadap BUMN di sector binaan yang pernah dibawahinya. Eksistensi para mantan birokrat yang dalam istilah amakudari atau “jajaran orang bijak dari surga” ini tidak selalu harus dilihat dari aspek negative apalagi dalam konteks transparansi dan peningkatan kinerja bisnis BUMN sendiri.
Dalam UU No. 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang berlaku 19 Juni 2003 ditetapkan bahwa yang bertugas mengawasi dan memberikan nasihat kepada direksi adalah komisaris (untuk persero) dan dewan pengawas (untuk perum). Selanjutnya untukperserpo berlaku UU No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Oleh sebab itu peranan dan kontribusi para komisaris di BUMN khususnya persero sangatlah strategis dan selayaknya memainkan peranan yang kuat karena mewakili pemegang saham, yakni pemerintah. Karena ini memerlukan keahlian, waktu, pemikiran, dan tingkat kehadiran mingguan maka wajar saja jika dilarang adanya jabatan rangkap atau interlocking director (pasal 62). Secara menyeluruh tatanan pelaksanaan BUMN sudah sangat jelas, konkrit dan membumi sehingga tinggal pelaksanaan di lapangan baik oleh direksi maupun komisaris.
Terkait dengan inilah maka jabatan presiden komisaris di Pertamina, BUMN terbesar dari total pendapatan (Rp. 202 trilyun), terbesar kedua dalam laba bersih (Rp. 5,9 trilyun), dan terbesar ketiga dalam asset (Rp. 92 trilyun), sangat menarik perhatian. Besarnya skala bisnis yang dimiliki memang memberikan peluang dan potensi besar untuk disalahgunakan oleh berbagai pihak. Karena itu dalam konteks pengamanan kepentingan pemegang saham maka bisa dipahami jika Meneg BUMN mengambil posisi tersebut, apalagi UU BUMN memang tidak melarang praktek ini. Tapi celakanya pada kondisi sekarang, langsung saja menimbulkan prasangka dan pelbagai komentar apalagi jika dikaitkan dengan pesta politik akbar tahun 2004 (kampanye dan Pemilu).
Bicara soal BUMN maka satu hal yang selalu terkait adalah soal swastanisasi atau privatisasi. Yang menurut UU BUMN maksud dan tujuan privatisasi adalah memperluas kepemilikan masyarakat atas persero, meningkatkan efisiensi dan produktivitas, menciptakan struktur industri yang sehat dan berdaya saing, berorientasi global, menumbuhkan iklim usaha, ekonomi makro dan kapasitas pasar. Namun dari fakta proses privatisasi selama ini menunjukkan persepsi dan kebijakan berbeda. Bayangkan saja setiap tahun program privatisasi harus menyetor pendapatan ke APBN, yang sejak 1998/99 sampai 2002 mencapai Rp. 16 trilyun. Ditambah setoran bagian laba BUMN kepada pemerintah selaku pemegang saham mencapai Rp. 31 trilyun lebih, maka pemasukan dari dua pos ini sudah hampir mencapai Rp. 50 trilyun sejak krisis sampai tahun 2002 lalu.
Sejujurnya perlu dipahami bahwa keputusan untuk menempatkan wakil pemegang saham (karena Meneg BUMN adalah pemegang saham wakil pemerintah) di berbagai BUMN yang berhubungan dengan masing-masing departemen teknis adalah hal wajar. Justru salah besar dan juga tidak mungkin pemegang saham menyerahkan semua kebijakan perusahaan negara kepada dewan direksi dan atau dewan komisaris yang tidak mencerminkan atau mewakili hak serta kepentingan shareholder (apalagi ini pemilik 100% saham). Dengan demikian adalah hal wajar jika 466 anggota dewan komisaris BUMN tahun 2000 adalah mayoritas pejabat dan mantan pejabat dari departemen keuangan dan atau departemen teknis. Yang justru perlu diamati adalah bagaimana kinerjanya dalam mengawasi gerak langkah dewan direksi agar tidak menyimpang yang berakibat buruk pada kinerja BUMN. Dan ini sudah menyangkut masalah moral dan etika kerja yang menjadi bagian penting dari pelaksanaan good corporate governance.
Dengan mengacu pada visi ke depan yang menempatkan BUMN sebagi perusahaan berdaya saing kelas global (pasal 74, UU BUMN) maka disinilah seharusnya peran serta aktif dari dewan komisaris dan dewan direksi BUMN. Karena sejatinya para direksi yang mengelola BUMN saat ini bukanlah profesional kelas dua, justru mereka termasuk professional kelas satu yang memiliki kemampuan handal. Tapi lingkungan, budaya perusahaan dan misi dan kebijakan pemegang saham (pemerintah) menjadi pertimbangan lain yang cukup signifikan dan lebih tragis lagi jika itu berdampak negative bagi BUMN. Keluar masuknya professional dari swasta ke BUMN atau sebaliknya dari BUMN ke swasta termasuk multi nasional menunjukkan bahwa eksistensi mereka cukup dihargai. Dan tentu saja lebih fair jika penilaian itu baru bisa diberikan 2 atau 3 tahun setelah mereka masuk.
Eksistensi BUMN sebagai motor dan mesin penggerak roda ekonomi masih sangat penting pasar BUMN dilintas sector industri pada 72 produk memperlihatkan bahwa ada 41 BUMN yang menguasai pangsa pasar antara 75% sampai 100% pada 31 produk dan 89 BUMN menguasai pangsa pasar antara 19% sampai 25% yang tersebar pada 28 produk atau komoditi. Jumlah keterlibatan BUMN ini dihitung dan mencakup lebih dari satu BUMN di produk atau sector terkait. Artinya ada BUMN yang bersaing sesama BUMN pada produk yang sejenis (misalnya aneka jenis pupuk), sehingga diperhitungkan sebagai gabungan BUMN. Dari tabulasi dan komposisi pangsa pasar tersebut menunjukkan bahwa BUMN lebih dominant di industri hulu, padat modal dan atau industri yang berbasis sumber daya alam, sebaliknya swasta lebih banyak bermain di sector industri hilir dan produk turunannya yang lebih kuat pada proses manufacturing.
Semua ini jadi tantangan berat apalagi 148 BUMN sekarang punya hutang Rp. 718 trilyun dengan modal dasar Rp. 303 trilyun. Oleh sebab itu demi meningkatkan total kinerja maka restrukturisasi menyeluruh BUMN harus mencakup perbaikan pabrik, mesin, teknologi dan sumber daya manusia yang bermutu. Selain itu perlu sinkronisasi dan sikap terpadu dari departemen teknis maupun kantor Meneg BUMN selaku shareholder. Juga salah besar jika kita selalu memandang sinis atas posisi BUMN selama ini, yang justru menjadi kontributor pembangunan via APBN, karena siapapun dan bagaimanapun manajemen BUMN pasti akan mendapat kritik walaupun kerjanya kadang kala benar. Terlalu banyak kepentingan yang menjamah BUMN apalagi jika melihat rutinitas dewan direksi dan komisaris BUMN ke DPR untuk menyampaikan laporan.
Sebagai penutup ingin digarisbawahi bahwa guna memberikan peluang dan tanggungjawab lebih luas kepada public sekaligus memberikan warna lain bagi pengembangan BUMN dimasa depan, maka ada baiknya jumlah anggota dewan komisaris lebih bervariasi. Yakni cukup tiga saja anggota dewan komisaris dan dipilih seimbang mewakili pemegang saham (pemerintah), wakil dari departemen teknis, dan professional dari luar yang berpengalaman baik di swasta maupun di BUMN. Untuk wakil dari luar inilah sebaiknya diberikan jatah presiden komisaris. Komposisi ini tentu akan menimbulkan sikap pro dan kontra karena akan mengurangi jatah jabatan yang selama ini paling sedikit 5 orang. Dan untuk lebih maksimal memang sebaiknya anggota dewan komisaris ditinjau ulang setiap tahun sebagaimana dijalankan dalam RUPS selama ini termasuk juga kontrak dengan para auditornya. Jangan lagi memandang BUMN dengan paradigma lama sebagai ladang subur untuk “dikerjain” tapi justru jadikan BUMN sarana subur untuk menciptakan multinasional kelas regional. Itu saja sudah luar biasa !.
Warta Ekonomi, Oktober 2003

Read more...

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP