Thursday 27 December 2007

Cinta Segitiga: Hutang Multi Nasional dan Investasi

Oleh : Beni Sindhunata, Direktur INBRA

Bicara tentang perusahaan multi nasional (selanjutnya di singkat PMN) tidak akan bisa lepas dari anatomi hutang luar negeri negara dan anatomi investasi di negara bersangkutan (host country). Karena itu sudah merupakan hukum universal dimana negara kreditur pasti memiliki hubungan erat dengan jaringan afiliasi PMN di seluruh dunia yang menangani pelbagai proyek dari mega proyek infrastruktur, perbankan, otomotif, petrokimia, makanan sampai ke cuci pakaian dan sewa mobil.
Dalam konteks ini kita mencoba menganalisis bagaimana eksistensi PMN terkait dengan hutang luar negeri dan persepsi kita sebagai pemilik 17 ribu lebih pulau di bumi nusantara yang sekarang menanggung hutang US$ 150 milyar. Masih relevankah kacamata nasionalisme dan chauvinistis dipakai dalam melihat PMN apalagi di zaman teknologi informasi multi media super canggih ini, yang telah membuat dunia memang “cuma” selebar daun kelor.
Trend Investasi Global
Arus investasi global sepanjang dekade 90-an sudah memperlihatkan trend startegis yang menentukan eksistensi masa depan PMN. Tiga diantara trend strategis tersebut bahwa :
1. peran negara sebagai sumber dana investasi pembangunan menurun drastis. Dimana tahun 1990 negara (official finance) memasok US$ 56,3 milyar (55,9%) terhadap total investasi untuk negara berkembang sebesar US$ 100,6 milyar. Tapi tahun 1996 porsinya sudah menurun drastis tinggal 14,3% dengan nilai absolut US$ 40,8 milyar. Fenomena global ini juga terjadi di negara kita di mana peran pemerintah sebagai mesin ekonomi dan investasi menurun dikalahkan oleh swasta melalui pelbagai investasi. Ini tentu saja membutuhkan dana baik dalam maupun luar negeri. Sehingga akhirnya terpaksa melakukan pinjaman komersial di luar negeri yang menjadi salah satu biang keladi krisis moneter sekarang ini.
2. sebaliknya peran swasta (private loan) sebagai sumber investasi meningkat pesat dari US$ 44,4 milyar dengan pangsa 44,1% melonjak jadi 85,7% senilai US$ 243,8 milyar. Ini tidak lepas dari meningkatnya aktivitas pasar modal dan pasar uang yang mencatat perputaran dana US$ 1,2 trilyun per hari.
3. pola investasi swasta juga berubah, dimana pangsa hutang komersial dan investasi langsung menurun sementara pembiayaan lewat portofolio ekuiti naik. Tahun 1990 pangsa portofolio ekuiti baru 7,2% lalu naik jadi 18,7% tahun 1996 dengan jumlah US$ 45,5 milyar. Tapi investasi langsung oleh MNC masih dominan dan berperan besar menguasai pangsa 44,9% senilai US$ 109,5 milyar. Lihat tabel.

Sumber Investasi Global ke Negara Berkembang
Diolah INBRA dari "Global Development Finance" dan “World Investment Report” (Sept’98)

Di lain pihak kita tidak bisa mengingkari dampak positif kehadiran PMN khususnya dari aspek pengembangan dan peningkatan ekspor disamping alih teknologi dan permodalan. Dimana PMN via afiliasi dan patungannya di pelbagai negara menjadi basis produksi yang produknya kemudian di ekspor ke afiliasi PMN di negara lain. Arus ini tentu saja berdampak positif bagi negara bersangkutan, sehingga PMN menjadi tulang punggung ekspor mereka. Tahun 1997 tercatat bahwa dari 53 ribu PMN yang memiliki 450 ribu afiliasi di seluruh dunia meraih penjualan sebesar US$ 9,5 trilyun, sekitar US$ 2 trilyun terdiri dari hasil ekspor. Atau sepertiga dari dari total ekspor dunia dan pertumbuhannya lebih pesat.
Secara sektoral PMN di industri perminyakan, otomotif, perdagangan umum (trading house) meraih omzet luar negeri yang sangat besar seperti Exxon, Shell, Mobil Oil, General Motor, Toyota atau Mitsui. Tapi dari rasio penjualan afiliasi terhadap total omzet, yang terbesar justru dimiliki oleh PMN di industri makanan (Nestle), obat-obatan (Roche), elektronik (Philip) karena pasarnya yang bersifat global dan massal. Tentu saja ini tidak lepas dari pasar domestik di mana mereka berada.
Sehubungan dengan perobahan perilaku ini perlu diperhatikan temuan World Investment Report (1998) tentang perilaku jangka menengah PMN sampai tahun 2001, diantaranya :
1. Diperkirakan semakin banyak afiliasi PMN yang produksinya ditujukan hanya untuk pasar ekspor (export oriented), sehingga peranannya sebagai pencipta devisa meningkat.
2. Pola merger, akuisisi, aliansi dan kerjasama patungan akan semakin dominan sebagai sarana dalam proses globalisasi atau perluasan pasar.
3. Membantu pemasukan devisa melalui privatisasi global. Antara tahun 1988 sampai 1995 swastanisasi global di 73 negara mencapai US$ 463,3 milyar, 12% diantaranya berupa valas dari PMN sebagai pembeli saham BUMN tersebut.
4. Perusahaan skala menengah kecil juga akan tergiring untuk globalisasi (dibantu dengan aplikasi e-commerce via Internet).
5. FDI akan semakin besar di sektor infrastruktur, distribusi/retail, otomotif dan jasa non keuangan.
6. Akses dan potensi pasar masih menjadi pertimbangan utama bagi MNC untuk menentukan lokasi investasinya.
Posisi Di Indonesia
Adalah fakta bahwa PMN masih mendominasi pentas investasi nasional, setidaknya dilihat dari arus investasi (equity investment). Sebagai acuan kita menggunakan batas waktu 1997 dan kurs ekuivalennya rata-rata BI (saat itu) yaitu Rp. 4.650 per US$. Tercatat selama 30 tahun sejak 1967 sampai 1997 jumlah PMA yang disetujui BKPM ada 5.563 buah dengan investasi US$ 204 milyar (setara Rp. 949 trilyun). Sedangkan PMDN ada 10.946 proyek dengan investasi Rp. 602,8 trilyun. Berarti gabungan PMA dan PMDN mencapai 16.509 proyek dengan total investasi Rp. 1.551,8 trilyun.
Jajaran PMA kita pisahkan dalam dua kelompok yakni kelompok PMA 100% dengan total investasi US$ 50 milyar (Rp. 232 trilyun) mencakup 1.145 proyek dan kelompok patungan dengan 4.418 proyek senilai US$ 154 milyar (Rp. 716 trilyun). Dari kelompok patungan ini tentu saja ada sahamnya mitra nasional (mayoritas dari perusahaan besar atau afiliasi konglomerat) senilai US$ 21,6 milyar. (Rp. 100 trilyun). Dus, total investasi PMA (setelah dikurangi saham mitra domestik) mencapai US$ 182 milyar (setara Rp. 848 trilyun) dan PMDN (termasuk saham mereka di perusahaan patungan) mencapai US$ 151 milyar (setara Rp. 703 trilyun). Ini membuktikan bahwa selama 30 tahun afiliasi PMN sudah, sedang dan akan investasi Rp. 848 trilyun atau US$ 182 milyar atau menguasai 54,7% investasi swasta di Indonesia.
Pada periode yang sama hutang luar negeri kita sudah mencapai US$ 126 milyar, ternyata 43% (US$ 55 milyar) adalah hutang yang dibuat oleh perusahaan swasta di sektor industri. Per Maret 1999 malah sudah mencapai US$ 62 milyar. Secara eksplisit menunjukkan bahwa hutang bilateral maupun multilateral sudah dikalahkan oleh hutang antar swasta (via PMN). Ini belum termasuk hutang dari BUMN dan perbankan. Sehingga mau tidak mau, suka atau tidak suka (dengan pelbagai plus minus) PMN tetap hadir dan kita masih tetap berhutang.
Tapi kita memang harus mengambil posisi atas fakta makro investasi dan ekonomi tersebut, yang menimbulkan dikotomi antara pro PMN dan anti PMN. Menyadari perkembangan global saat ini maka tidak tepat lagi jika kita membedahnya dengan nasionalisme membabi buta layaknya seorang chauvinis. Karena bagaimanapun kita butuh dana pembangunan dari luar negeri dan PMN.
Bagi PMN sejauh negara tujuan tersebut masih ekonomis sebagai basis produksi dan pasar yang potensial maka mereka pasti akan masuk, meski dengan embel-embel menggunakan risk country yang indikatornya sangat fleksibel. Sehingga diantara sesama PMN justru terjadi perang tanding memperebutkan megaproyek selama ini. Proses akhirnya tidak lepas dari KKN yang mustahil tidak diketahui oleh mitra asing tersebut. Di sisi lain hutang luar negeri juga tidak bisa lepas dari unsur politis yang dalam pelaksanaannya banyak mengalami kebocoran.
Kita tidak bisa memutuskan hubungan historis dan politis antara negara kreditur pemberi hutang dengan jaringan PMN mereka. Dalam konteks inilah kita juga harus memahami mengapa bisa lahir proposal buy out proyek Tajung Jati B dengan special yen loan atau Miyazawa Plan yang sempat menghebohkan. Lima besar negara kreditur kita baik semasa orde IGGI maupun orde CGI adalah Jepang, AS, Jerman, Inggris AS yang tidak jauh beda dengan komposisi lima besar investasi swasta. Tanpa melupakan peran besar NIC yang sangat sukses (dari kacamata PMN) dalam memanfaatkan Indonesia sebagai basis produksi pasar domestik maupun ekspor.
Untuk itu solusinya hanya satu (meski terkesan klise) yakni kemauan dan kemampuan kita untuk membuat aturan main yang jelas dan berlaku pasti, standar dan umum serta bebas penyimpangan dan KKN baik oleh mitra lokal maupun oleh mitra asing. Perlu lebih cermat dalam perundingan dan perikatan kontrak. Selanjutnya adalah bagaimana memanfaatkan kehadiran mereka semaksimal mungkin (mumpung masih laris). Karena itu dikotomi klasik antara yang pro dan kontra kehadiran PMN (masing-masing punya argumentasi kuat) tidak terlalu menarik lagi untuk diperdebatkan. Karena substansi masalahnya adalah bahwa kedua pihak baik sesama MNC maupun sesama negara asalnya memiliki kepentingan positif bersama. Yakni bagaimana membangun perekonomian dengan azas keuntungan bersama dengan sebuah win-win solution. Jika dalam pelaksanaannya terdapat praktek negatif seperti kolusi, korupsi, nepotisme (KKN) sampai ke masalah lingkungan maka itu merupakan "cost" yang harus di- eliminir sampai tuntas ke akar-akarnya. (*).

Jakarta, 9/8/99-Majalah Indikator

0 comment:

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP