Saturday 22 December 2007

Anatomi dan Anomali Dana Kredit

Oleh Beni Sindhunata
Direktur Eksekutif INBRA (Investment and Banking Research Agency)


Bank-bank jor-joran membagikan hadiah untuk menjaring dana masyarakat. Hasilnya, kini dana itu di perbankan mencapai Rp902 triliun. Bagaimana penyalurannya? Sampai semester I 2004, dari Rp48,1 triliun kredit baru, ternyata 50,5%-nya diberikan untuk kredit perorangan. Siapa saja yang menerima kredit itu?

Mengamati perkembangan arus dana dan kredit perbankan selama semester pertama 2004 menunjukan bahwa hubungan antara bank dengan dunia usaha dan individu berada dalam sebuah siklus yang menarik. Sedemikian menariknya sehingga siklus itu membentuk anatomi yang disertai anomali (penyimpangan atau keganjilan). Posisi ini bisa diperoleh jika kita melihat potret pergerakan perbankan dari Januari sampai Juni 2004, yang tentu saja bisa memberikan warna lain di masa depan.

Sehubungan dengan itu, berikut ini dicoba didalami dua aspek penting dalam anatomi perbankan, yakni anomali arus kredit perbankan dan anomali arus dana, yang jika tidak ditata secara baik akan bisa menciptakan anatomi bencana bagi perbankan khususnya, dan perekonomian nasional pada umumnya. Pendekatan ini tidak terlepas dari pelbagai keluhan yang sudah menjadi rahasia umum dalam hubungan segitiga antara bank, dunia usaha dan individu, di mana pelbagai solusi yang diterapkan hingga kini ternyata belum memberikan hasil yang maksimal.

Anomali Dana Masyarakat
Perlombaan bank-bank dalam menghimpun dana masyarakat sudah memasuki perang yang sangat sengit. Jor-joran dengan aneka hadiah langsung telah mewarnai upaya perbankan nasional dalam menggali dana-dana dari masyarakat. Hasilnya, selama enam bulan pertama 2004 ini ternyata dana pihak ketiga yang berhasil diserap oleh perbankan nasional bertambah Rp12,7 triliun, sehingga totalnya menjadi Rp902 triliun.

Jika dilihat dari pemilik dananya, maka 60% atau senilai Rp542 triliun di antaranya merupakan dana deposan individu. Dana ini selama enam bulan pertama 2004 bertambah Rp9 triliun. Peningkatan dana milik individu tersebut bahkan menguasai 70% dari total dana pihak ketiga yang masuk ke dalam sistem perbankan nasional, untuk kemudian dijual kembali ke dunia usaha. (Lihat tabel-red).

Sebaliknya dana milik deposan lainnya justru menyusut Rp 1 triliun. Jadi total dana milik deposan perorangan di Indonesia mencapai Rp542 triliun, atau hampir setengah dari Produk Domestik Bruto (PDB), dan 60% dari total dana publik di perbankan nasional. Secara eksplisit ini menunjukkan bahwa orang-orang yang semakin kaya di Indonesia bertambah jumlahnya, dan peranan mereka dalam perputaran arus dana di masyarakat semakin meningkat. Lima tahun lalu (1999), uang deposan individu masih menguasai 56% total dari dana di perbankan, akan tetapi sampai Juni 2004 peranan mereka meningkat menjadi 60%.

Apa artinya? Fakta tersebut menunjukan bahwa pengusaha, atau individu dan deposan di Indonesia, memang mempunyai dana yang cukup besar. Akan tetapi untuk pengembangan pelbagai jenis usahanya, tentu lebih aman dan menarik jika menggunakan kredit dari perbankan yang sudah relatif murah selama ini. Alhasil ketika simpanan harta mereka di bank terus bertambah sebanyak Rp 9 triliun, sekaligus mereka juga menarik kredit dari perbankan nasional hampir 2,5 kali lipat menjadi Rp24,3 triliun. Dengan gabungan dana tersebut, maka orang-orang kaya di Indonesia bertindak dan memainkan peranan dua muka, yakni sebagai deposan (bahkan bisa diibaratkan kreditur) yang sekaligus juga menjadi debitur perbankan nasional.

Lalu ke mana mereka ini menyimpan dananya? Ternyata sebagian terbesar dilarikan ke dalam tabungan, yang memang paling gencar menjanjikan ribuan paket hadiah yang sangat menggiurkan. Langkah ini praktis menyebabkan menurunnya dana yang dialokasikan ke deposito. Saldo dana milik deposan individu sebesar Rp9 triliun berasal dari dana masyarakat yang berduyun-duyun masuk ke tabungan, sementara alokasi dana yang deposito justru menyusut Rp11,6 triliun. Ini jelas sebuah perubahan yang sangat signifikan, dan tidak terlepas dari kerja internal perbankan (pemasaran dan pelayanan) serta pengaruh suku bunga.
Sungguh tidak mudah untuk mencari tahu dari mana asal usul dana tersebut. Apalagi sampai saat upaya untuk mendapatkan akses data mengenai deposan masih menjadi perdebatan sengit antara pihak Departemen Keuangan, khususnya Direktorat Jenderal Pajak, dengan Bank Indonesia, yang membawahi bank-bank pelaksana.

Anomali Kredit
Adalah sebuah fakta yang tak terbantahkan bahwa penyaluran kredit oleh perbankan terus meningkat, yang sampai dengan Juni 2004 jumlahnya sudah mencapai Rp486 triliun. Fakta ini kemudian diklaim oleh pelbagai pihak sebagai sebuah prestasi dan dijadikan indikator bahwa sektor perbankan sudah kembali bergerak. Bahkan antara 1999 sampai 2003 terjadi penambahan kredit baru per tahun yang jumlah berkisar Rp47-72 triliun. Pertanyaan selanjutnya adalah kemana kredit tersebut disalurkan dan bagaimana nasib kredit tersebut setelah dikucurkan ke dunia usaha?

Sebelum masuk ke sana, kita lihat dulu siapa debitur yang bernasib baik dan bisa memperoleh kredit puluhan triliun tersebut ditengah suku bunga yang masih dianggap tinggi dan masih terus menerus menunggu sampai mencapai titik terendah. Jika kita fokuskan perhatian pada perkembangan terbaru selama semester pertama 2004, maka dari Rp48 triliun kredit yang dikucurkan oleh pihak perbankan, ternyata hanya 40,3% (sebesar Rp19,4 triliun) yang diserap oleh dunia usaha, khususnya dari perusahaan swasta. Dengan demikian secara riil sebenarnya hanya kredit sebesar itulah yang bisa dijadikan modal (utama) dalam menggerakkan roda perekonomian di sektor riil melalui deru mesin dan cerobong asap pabrik, termasuk lalu lintas produksi dan pemasaran.

Ada catatan di sini bahwa tidak semua kredit perbankan tersebut sudah masuk ke sistem produksi dan bergerak, karena tidak sedikit penyaluran kredit yang gagal, fiktif atau salah arah.
Bayangkan saja jika ada tiga kasus penyaluran megakredit (sekelas dengan kasus Grup Gramarindo yang membobol Bank BNI senilai Rp1,7 triliun pada tahun 2003), berarti setidaknya tak kurang Rp3 triliun kredit akan bernasib macet dan gagal. Padahal sepanjang tahun 2003, jajaran perusahaan swasta berhasil menyerap kredit baru sebesar Rp26 triliun.
Lalu kemana kredit yang lainnya disalurkan? Ternyata sisanya yang sebesar 50,5% itu disalurkan kepada debitur perorangan atau individu. Jika ditotal nilai kredit ke debitur perorangan ini mencapai Rp24,3 triliun. Dengan penambahan ini, maka per Juni 2004 jumlah kredit yang sudah diserap oleh debitur perorangan mencapai Rp197 triliun, atau setara dengan 17,5% PDB. Selanjutnya sisa kredit yang 9,1% diserap oleh pelbagai pihak, terutama oleh kalangan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), lembaga-lembaga pemerintah serta pemerintah daerah.

Berdasarkan fakta tersebut, maka kita bisa memahami lebih jauh tentang seberapa besarnya alokasi kredit ke dunia usaha yang diserap dan sekaligus menjadi kilas balik dan instrospeksi bagi perbankan apakah arah penyaluran kredit mereka sudah mencapai sasaran yang tepat dan sesuai dengan yang diharapkan. Ringkas kata bahwa penyaluran kredit memang terus menerus meningkat, akan tetapi tidak semuanya disalurkan ke dunia usaha (perusahaan swasta). Malah justru debitur peroranganlah yang mendapatkan alokasi yang kredit lebih besar (50,5%).
Pertanyaan selanjutnya, siapa sih debitur individu atau perorangan yang selama enam bulan pertama tahun 2004 ini sudah dipercaya dan sanggup menyerap kredit senilai Rp24,3 triliun itu? Lalu bagaimana cara mereka mengelola kredit tersebut sehingga memberikan nilai tambah bagi perekonomian nasional?
Secara umum, besarnya angka ini memang bisa menimbulkan pelbagai penafsiran oleh banyak pihak yang berada di luar sistem perbankan nasional. Apalagi jika komposisi riilnya kemudian disembunyikan rapat-rapat dalam pagar rahasia, meskipun dipahami bahwa informasi tentang debitur tidak wajib dirahasiakan sebagaimana halnya informasi deposan.

Debiturnya Bukan UKM
Debitur individu ini bisa saja berasal dari kalangan pengusaha kecil dan menengah (UKM) yang tidak atau belum memiliki kelengkapan administrasi, sehingga kemudian mereka mengajukan kredit atas nama pribadi sebagai pengusaha kecil. Sesuai aturan Bank Indonesia (PBI No.3 tanggal 4 Januari 2001) ditetapkan bahwa untuk plafon kredit maksimum Rp500 juta digolongkan sebagai Kredit Usaha Kecil (KUK). Artinya tidak menutup kemungkinan bahwa debitur individu ini adalah pengusaha-pengusaha kecil yang ingin mengembangkan usahanya ke berbagai sektor, sehingga membutuhkan dukungan dari kredit perbankan. Jika, dan sekali lagi jika, fenomena ini benar adanya, maka kita patut berbangga bahwa wiraswastawan individu di Indonesia semakin banyak jumlahnya dan bertumbuh dengan subur. Artinya perbankan telah sukses menyalurkan kreditnya ke kalangan pengusaha kecil menengah yang bergerak dalam berbagai sektor dan skala usaha.Akan tetapi apakah betul kalangan UKM penerima KUK di Indonesia sudah mencatatkan prestasi yang sedemikian menggembirakan? Sayangnya, ternyata tidak demikian adanya. Apa alasannya? Sebab di sisi lain ternyata terdapat perkembangan aneh dan tragis bahwa kredit KUK selama periode yang sama justru menurun sebesar Rp4 triliun, dari jumlah totalnya yang mencapai Rp74 triliun.

Jika ditelusuri lebih jauh, penurunan KUK yang terbesar justru terjadi di lingkungan bank-bank milik pemerintah. Kenyataan ini sungguh membuat miris. Sebab selama ini justru bank-bank milik pemerintahlah yang dianggap menjadi motor penggerak dan memberikan kontribusi separo dari KUK secara nasional. Juga, ini terjadi justru ditengah promosi dan gembar-gembor luar biasa dari sebagian besar bank-bank papan atas bahwa KUK menjadi fokus dari pembiayaan mereka dan, mempertegas UKM sebagai tumpuan masa depan. Akan tetapi ternyata fakta berbicara lain.

Menurunnya penyaluran KUK, terutama oleh bank-bank plat merah, bisa disebabkan oleh berbagai faktor. Misalnya, write off, pelunasan utang (karena kalangan pengusaha UKM katanya relatif lebih disiplin dan patuh dalam membayar utanynya), dan menurunnya permintaan kredit baru. Kondisi-kondisi ini melahirkan sebuah anomali dalam penyaluran kredit, di mana di satu sisi kredit individu bertambah Rp24,3 triliun, sementara di sisi lain alokasi KUK justru turun sebesar Rp4 triliun.

Oleh sebab itu keputusan Menteri Keuangan (KMK No.461 tertanggal 9 Oktober 2004) yang memberikan diskon (35%-50%) atas utang pokok debitur UKM yang pinjamannya berkisar Rp5-10 miliar memiliki relevansi yang cukup luas. Di sisi lain klasifikasi UKM yang sempat "nongkrong" di PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA),yang merupakan eks BPPN, ini juga perlu diperjelas, sehingga tidak rancu dan menjadi kuda tunggangan bagi pihak-pihak yang tidak selayaknya mendapatkan fasilitas tersebut.

Kredit Konsumsi Masih Mendominasi
Menurut versi Bank Indonesia, pinjaman antara Rp0,5-5 miliar tergolong sebagai kredit menengah. Sementara untuk mendalami dan menelusuri tentang "who and who" UKM kelas puluhan miliar tersebut, ini mestinya bisa dijalankan dengan cepat, transparan, guna menjustifikasi layak tidaknya mereka mendapatkan fasilitas. Ini tentu memiliki keterkaitan dengan kebijakan di beberapa bank yang memberikan hak kepada anggota direksi dan komisaris untuk memutuskan write off bagi debitur tertentu dengan plafon pinjaman maksimal Rp5 miliar. Ini merupakan tugas dan hak yang bisa membawa berkah dan juga sekaligus bencana bagi sang bankir. Diperkirakan sekitar Rp12 triliun utang milik UKM berpeluang untuk direstrukturisasi dengan jurus ampuh tersebut, dan sayangnya keputusan ini justru dikeluarkan pada minggu terakhir masa kerja Kabinet Gotong Royong.

Selanjutnya, jika debitur individu tidak mewakili persis 100% KUK, maka yang perlu ditelusuri adalah ke mana sesungguhnya kredit tersebut dialokasikan? Salah satu saluran yang potensial adalah dipergunakan untuk kredit konsumsi dan kredit properti dalam berbagai bentuk, mulai dari Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Kredit Pemilikan Apartemen (KPA), mobil, dan berbagai kebutuhan lainnya. Kebetulan memang selama periode yang sama permintaan akan kredit properti dan kredit konsumsi bertambah sebesar Rp19,8 triliun, atau menyerap 41% dari total kredit baru.

Jika diurai lebih jauh, kredit konsumsilah yang nilainya terbesar, yakni mencapai Rp10,3 triliun. Setelah itu baru disusul oleh KPR dan KPA senilai Rp4,3 triliun. Hanya bank pelaksana yang tahu persis bagaimana dan sejauh mana korelasi antara Rp24,3 triliun kredit kepada debitur individu dengan lonjakan hampir Rp20 triliun kredit yang disalurkan ke sektor properti dan konsumsi. Sebagai perbandingan, nilai pembiayaan kredit konsumen oleh perusahaan multifinance bertambah Rp7 triliun sepanjang tahun 2003, dan untuk tahun 2004 dan 2005 diperkirakan bakal naik pesat, khususnya disumbang oleh lima perusahaan raksasa di bisnis multifinance.

Anomali lain yang muncul terkait dengan kredit adalah undisbursed loan atau kredit yang sudah disetujui oleh pihak bank, akan tetapi belum dimanfaatkan oleh para debitur. Ketika Investment and Banking Research Agency (INBRA) merilis hasil penelitian bulan Juli 2003, di sana tercatat bahwa undisbursed loan milik 10 bank yang direkapitalisasi per Desember 2002 baru mencapai Rp42,3 triliun atau 72,9% dari total kredit yang sudah disalurkan. Akan tetapi ternyata dalam waktu 18 bulan kemudian (per Juni 2004), jumlah undisbursed loan sudah meningkat 50% sehingga menjadi Rp64,4 triliun. Bagaimana rinciannya?

Dalam kelompok tiga besar, di sana ada Bank Mandiri dengan undisbursed loan bertambah Rp8,2 triliun, lalu BCA bertambah Rp4,5 trilyin dan Bank BNI bertambah Rp3,7 triliun. Gabungan 10 bank papan atas ini menguasai setengah dari total kredit mubazir yang mencapai Rp127 triliun. Sepanjang semester pertama tahun 2004, jumlah undisbursed loan naik Rp24,6 triliun. Naiknya undisbursed loan ini merupakan beban bagi sektor perbankan karena dana yang sudah dibeli (ditarik) dari masyarakat ternyata tidak bisa dijual kembali semuanya. Dana tersebut masih mengendap di perbankan nasional, sehingga terpaksa dibelikan ke instrumen moneter, terutama Sertifikat Bank Indonesia, yang sampai dengan Agustus 2004 jumlahnya mencapai Rp112 triliun.

Sebagai penutup ingin digarisbawahi dan disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Perlu dimaklumi bahwa dari total kredit yang disalurkan oleh sektor perbankan, hanya 40% yang dapat diserap oleh dunia usaha, khususnya perusahaan swasta, yang notabene menjadi motor penggerak perekonomian nasional. Justru alokasi terbesar (50%) diberikan kepada debitur individu atau perorangan, yang juga menjadi deposan utama karena memiliki 60% dari total dana pihak ketiga yang ada di perbankan. Ini salah satu anomali yang masih mewarnai anatomi perbankan nasional.
2. Bahwa penyimpangan dan belum terarahnya penyaluran kredit ke sektor riil sebagaimana yang diharapkan jelaslah bukan kesalahan kalangan perbankan semata. Perbankan masih terhambat oleh faktor eksternal yang justru ikut menentukan kesuksesan dan kelangsungan kredit sang debitur.
3. Meski suku bunga untuk kredit modal kerja dan kredit investasi sudah turun rata-rata berkisar 14% (Juni 2004), hal itu tidak praktis menarik calon debitur untuk menggunakan kredit tersebut. Sebab suku bunga bukanlah satu-satunya indikator utama. Padahal setelah dipotong dengan rata-rata suku bunga deposito satu tahun (sekitar 7%), maka beban investasi riil hanya 7%.
4. Besarnya peranan dan eksistensi deposan maupun debitur individu dalam peta perbankan nasional juga berpotensi melahirkan bencana yang bersifat sistemik. Artinya kalau dulu kredit macet karena perilaku puluhan konglomerat, maka sekarang ada potensi kredit macet yang justru melibatkan jutaan konsumen. Apalagi jika mayoritas debitur individu tersebut menggunakan pinjaman bank untuk investasi ke sektor konsumsi dan properti yang akan memasuki titik klimaks. Dengan menarik KPA/KPR sebesar Rp1 miliar dan suku bunga 0% pada tahun pertama, dan selanjutnya suku bunga floating, maka deposan kelas miliaran rupiah akan tertarik untuk memborong sekaligus beberapa produk properti sebagai sarana investasi. Di sisi lain pengembang sudah mengambil uang muka yang jumlahnya mencapai ratusan miliar rupiah, dan bahkan ada yang setara tigaperempat dari total penjualannya.
5. Gebyar pengembangan dan fokus sejumlah bank untuk mengalokasikan kreditnya ke kalangan UKM ternyata tidak semuanya didukung dan terealisir sesuai target. Faktanya, malahan jumlah KUK menyusut, sementara kredit baru terus bertambah, yang justru sebagian besar diserap oleh debitur individu atau perorangan yang penggunaan kreditnya bisa sangat bervariasi.
Dimuat di Warta Ekonomi -Jum'at, 3 Desember 2004

0 comment:

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP