Saturday 29 August 2009

Bank Sentral dan OJK, Integrasi Hulu-Hilir

Oleh : Beni Sindhunata, Direktur Eksekutif INBRA

Ditengah perobahan pola investasi masyarakat dari saving soviety ke investment society, mekanisme hubungan antara lembaga perbankan dengan jasa keuangan perlu di perkuat. Agar bisa menciptakan sinergi yang baik dan kepastian bagi perlindungan konsumen.
Korelasi positif lainnya tercermin pada mengalirnya kredit perbankan ke perusahaan publik. Sebagaimana survey Investment and Banking Research Agency (INBRA) bulan Maret 2007 (“Pangsa Pasar Perbankan dan Kolektibilitas Kredit”). Sebesar Rp 115 triliun atau 30% dari total kredit perbankan yang disalurkan ke dunia usaha swasta juga diserap oleh 261 perusahaan public, diluar perusahaan jasa keuangan. Dari total hutang tersebut sebesar Rp 55,4 triliun merupakan hutang jangka panjang, Rp 46,3 triliun adalah hutang jangka pendek dan Rp 13,8 triliun adalah hutang yang masuk jatuh tempo (September 2007) sebesar 36,9% atau Rp 5,1 triliun merupakan hutang valas.
Terkait dengan perlindungan konsumen maka kehadiran berbagai produk keuangan yang semakin beragam perlu pengawasan dan pengaturan yang lebih ketat dan terpadu. Misalnya pemasaran polis asuransi yang sudah dipaket dengan aneka produk jasa keuangan dan dijual lewat perbankan produk asuransi (bancassurance), reksadana atau unit linked juga berpotensi untuk disalahgunakan yang akhirnya merugikan konsumen. Inilah yang telah berlangsung selama tahun terakhir. Ditengah perobahan pola investasi masyarakat dari saving society ke investment society maka perlu diperkuat mekanisme hubungan antar institusi ini agar bisa menciptakan sinergi yang baik dan kepastian perlindungan konsumen.

Dikotomi vs Integrasi
Eksistensi bank sentral dalam konteks pengelolaan stabilitas sistim keuangan juga mengalami perubahan sebagaimana hasil survey dari Financial Stability Institute (FSI) tahun 2006 yang menunjukan bahwa 66% atau 83 dari 125 negara menempatkan bank sentral sebagai pengawas utama perbankan, sebagai bagian inti dari stabilitas system keuangan dan mandatnya untuk bank sentral. Sedangkan survey tahun 2008 menyimpulkan trend bahwa bank sentral di negara negara berkembang cenderung memiliki fungsi dan tugas yang lebih luas dibandingkan negara maju. Dan krisis financial global tahun 2008 telah mendorong sebagian negara maju untuk merombak kembali sistim keuangan mereka yang cenderung dipisah-pisah seperti Inggris dan Amerika Serikat.
Globalisasi dan konglomerasi di sector jasa keuangan serta semakin ketatnya tata kelola perbankan terkait aturan Basle Accord II menuju terciptanya stabilitas system keuangan perlu diantisipasi dengan mempertimbang adanya pengaturan dan pengawasan sector jasa keuangan yang terpadu dengan perbankan. Jika perbankan ibarat hulunya maka sektor jasa keuangan adalah hilirnya sehingga terjadi integrasi pengawasan dan penglolaan yang terpadu dari hulu ke hilir. Pada tahap ini dibutuhkan adanya kerjasama pertukaran informasi dan data masing-masing pihak, sehingga bisa mendeteksi dini segala potensi penyimpangan dari para pelaku. Adanya pemisahan atau dikotomi pengaturan dan pengawasan antara moneter dan jasa keuangan menciptakan celah empuk untuk penyimpangan oleh pelaku bisnis. Terakhir adalah kasus di Bank Century terkait dengan produk reksadana dari Antaboga Sekuritas. Hubungan mesra antara sekuritas, perusahaan pembiayaan, asuransi, dana pensiun dan bank perlu diawasi lebih cermat, guna mencegah kerugian bagi investor.
Krisis perbankan satu dekade lampau telah membuat pengawasan di sektor perbankan semakin ketat yang harus diikuti oleh semakin ketatnya pengawasan di sector jasa keuangan. Jika tidak dimbangi akan berpotensi munculnya penyimpangan sejenis. Karena calon korban berikutnya beragam dari investor retail sampai investor institusi skala besar seperti perusahaan-perusahaan pengelola dana jaminan sosial dan tenaga kerja. Empat raksasa pengelola dana yang notabene persero saat ini punya asset Rp. 119 triliun milik 49 juta peserta di seluruh Indonesia dengan investasi Rp. 111 triliun. Juga pengelola dana pension yang total investasinya Rp. 100 triliun.
Dengan pendekatan seperti ini maka semangat pengaturan dan pengawasan satu atap sebenarnya bukan hal yang rumit karena tinggal mendayagunakan infrastruktur yang sudah tersedia saat ini yang sudah memahami peta dan anatomi jasa keuangan dan perbankan. Tanpa harus susah payah memikirkan pembentukan lembaga baru ibarat BPPN jilid 2. Karena membentuk lembaga baru perlu infrastruktur baru dengan sumber daya manusia yang memiliki latar belakang berbeda selain membutuhkan waktu dan fase penyesuaian dalam operasionalnya.
Selanjutnya untuk aktivitas sektor jasa keuangan maka dibentuk direktorat khusus dalam bank sentral. Ini akan memudahkan pengawasan dan manajemen informasi khususnya lalu lintas informasi dan data kegiatan perusahaan jasa keuangan. Sehingga potensi penyimpangan dari perusahaan jasa keuangan dapat segera diantisipasi agar tidak berpotensi menganggu stabilitas sistem keuangan yang berporos di perbankan. Pendekatan ini memiliki semangat yang sama dengan OJK kecuali dalam operasional teknisnya dengan tetap mempertahankan semangat independensi bank sentral dari intervensi pemerintah. Pengawasan dan pengelolaan terpadu dari hulu sampai hilir ini perlu segera direalisir mengingat perekonomian nasional belum lepas dari pusaran krisis finansial global yang belum berakhir tapi terus bergerak. Ini juga relevan dalam konteks penyusunan “dream team” kabinet SBY-Boediono yang sedang digodok saat ini. (*).
(Investor, 24 Juli 2009)

Read more...

Quo Vadis, Kontribusi Emiten Bagi Negara ?

Oleh : Beni Sindhunata, Direktur Eksekutif INBRA
(investor kamis, 26, agustus 2009)

Pernyataan Presiden SBY dalam pidato kenegaraan tanggal 15 Agustus 2009 bahwa Indonesia tidak lagi mengandalkan ekspor sebagai kekuatan ekonomi dan akan mengandalkan potensi pasar domestik, memang lebih mencerminkan kekuatan dan kinerja pelaku ekonomi di sektor riil tahun lalu yang “tertolong” oleh pasar domestik. Pemikiran ini di perkuat lagi oleh fakta di sektor riil yang menunjukan bahwa benar sebesar 68% penghasilan para emiten eksportir disumbang oleh penjualan domestic. Kelompok emiten eksportir ini adalah perusahaan public yang juga mengekspor.
Penelitian INBRA terhadap aktivitas ekspor oleh 132 eksportir dari tahun 2003 sampai 2008 menunjukan beberapa hal yang perlu dicermati. Adalah benar kontribusi pasar lokal terhadap total penjualan masih lebih besar dibandingkan pasar ekspor. Namun selama 5 tahun terakhir porsinya menurun dari 72,1% menjadi 67,2%. Secara implicit ini menunjukan bahwa kontribusi ekspor terhadap penjualan (rasio rekspor) justru meningkat. Dengan perolehan devisa tahun 2008 sebesar Rp. 152 triliun (setara US$ 13,9 miliar) atau tumbuh 23%, lebih tinggi dari pertumbuhan otal ekspor nasional (19,3%). Sehingga dalam 5 tahun dari 2003 sampai 2008 kontribusi ekspor terhadap penjualannya naik 27,9% menjadi 82,8%. Dengan demikian kontribusinya bagi perolehan devisa nasional (migas) juga naik dari 9,3% menjadi 10,2%. Lihat tabel.
Kontribusi Ekspor Emiten, 2003 – 2008
Diolah INBRA dari sumber BPS dan laporan keuangan

Jika gabungan kekuatan sektor riil yang diwakili oleh 132 emiten eksportir ini dijadikan semacam “miniatur” ekonomi Indonesia maka naiknya rasio ekspor dan kontribusinya bagi perekonomian nasional cukup positif mulai dari pajak, sektor riil sampai penyerap tenaga kerja.
Analisis kinerja per perusahaan menunjukan bahwa jumlah eksportir kelas triliunan bertambah dari 11 perusahaan tahun 2003 menjadi 30 tahun 2008. Komposisi sektoral untuk kelompok 10 besar terdiri dari sektor pertambangan 47%, produk pulp dan kertas 30,8% dan agri-industri 17,9% yang semuanya mengalami kenaikan harga. Untuk kelompok 20 konglomerasi besar ekspornya mencapai Rp. 134,1 triliun dengan rasio ekspor 30,4%.

Kesimpulan
Melambatnya pertumbuhan ekspor non migas jangan sampai merubah strategi pengembangan dan orientasi pasar industri nasional dari export oriented ke local oriented. Karena untuk jangka panjang strategi ini kurang tepat dan bisa melemahkan daya saing karena liberalisasi perdagangan harus dihadapi dengan segala konsekwensinya. Justru harus meningkatkan daya saing dengan segala upaya yang selama ini terkendala banyak faktor. Sehingga perlu semakin focus dalam pengembangan dan penguatan daya saing ekspor yang bernilai tambah dan bukannya membiarkan daya saing berkembang sendiri. Kinerja emiten eksportir menunjukan bahwa kontribusi dan rasio ekspornya naik bahkan tumbuh lebih tinggi dari total penjualan, ini perlu didukung.
Perbandingan empiris global selama 60 tahun menunjukan bahwa AS yang jadi eksportir raksasa tahun 1948 menguasai 21,7% ekspor dunia kini tahun 2007 turun di peringkat 3 (menguasai porsi 8,5%) dibawah Jerman dan China. Porsi Indonesia sejak 1997 juga turun dari 10,1% menjadi 8,5%. Ini semuanya tidak lepas dari peningkatan daya saing.
Dengan demikian untuk pengembangan ekspor nasional maka kata kuncinya adalah peningkatan daya saing dengan berbagai kebijakan insentif dan dis-insentif agar sektor riil benar-benar bisa berkembang. Pasar terbuka lebar dengan aneka komoditi. Kondusifnya sektor riil dan akan meningkatkan kinerja ekspor nasional termasuk emiten eksportir. Strategi focus ke export oriented atau local oriented merupakan tantangan bagi menteri bidang ekuin di cabinet mendatang. (Investor, 26 Agustus 2009)
-***-

Read more...

Friday 28 August 2009

Harmonisasi Bank dan Jasa Keuangan

Oleh : Beni Sindhunata, Direktur Eksekutif INBRA

Keputusan Bank Indonesia tanggal 1 Juli 2009 yang melarang bank memasarkan produk derivatif dari bank lain merupakan langkah tepat guna memberikan perlindungan kepada nasabah jasa keuangan dan sesama bank. Aneka produk derivatif dengan sebutan canggih dunia keuangan itu sejatinya tidak lebih dari daur ulang surat hutang yang akhirnya tetap harus bayar bunga dan kewajiban lainnya. Sebuah zero sum game yang hanya mencoba menunda dan memperpanjang waktu bayar kewajiban. Kebijakan ini sebagai satu langkah positif dalam meredam dan meminimalisir dampak negatif dari aneka produk jasa keuangan terhadap sistim perbankan. Karena krisis finansial global terbaru membuktikan bahwa partisipasi perbankan dalam proses daur ulang dan pemasaran produk-produk surat berharga bisa menjadi embrio krisis yang bakal memempailitkan sebuah bank besar sekalipun.
Krisis finansial global yang mencapai klimaks tahun 2008 yang telah membangkrutkan bank besar dan lembaga keuangan internasional telah mendorong negara-negara maju untuk menata kembali dan merubah sistim pengaturan dan perbankan dan jasa keuangan. Belajar dari bangkrutnya Lehman Brothers. Pemerintah Inggris bulan Juni mengembalikan wewenang pengawasan perbankan kepada bank sentral (Bank of England). Sebelumnya dibawah FSA (Financial Services Agency) yang menjadi OJK versi Inggris dan tidak mampu menangkal krisis finansial terbaru. Belajar dari gangkrutnya Royal Bank of Scotland yang kemudian dibeli oleh Stanchart dan ABN seharga US$ 1,5 miliar. Maka Obama mengantisipasinya dengan kebijakan memperluas peran bank sentral (The Fed) untuk mengawasi dan mengatur lembaga keuangan yang bersifat sistemik.
Kebijakan “back to basic“ ini memang telah menjadi kecenderungan global sebagaimana dilaporkan oleh Bank for International Settlement (BIS) dalam survey bulan Mei 2009, yang menyimpulkan kekuasaan bank sentral dalam mengawasi perusahaan keuangan yang berpotensi sistemik dan mengancam stabilitas sistem keuangan, perlu diperkuat. Trend lobal saat ini menuju pada penguatan pengawasan oleh bank sentral sebagai cara melindungi konsumen jasa keuangan.
Belajar dari trend global penyehatan sektor jasa keuangan nasional maka salah satu alternatif adalah memperkuat dan meningkatkan pengawasan oleh bank sentral terhadap perusahaan di sektor jasa keuangan. Sehingga menjadi pengawasan satu atap yang mencakup bank dan jasa keuangan dibawah bank sentral, sebagai induk dan pusat alliran dana. Perbankan sebagai hulu dan perusahaan sektor jasa keuangan sebagai hilirnya yang secara bersama mengelola perputaran dana nasabah. Ini terkait erat dengan fungsi utamanya mengelola moneter. Juga dipandang penting dengan memperhatikan fakta bahwa bank dan jasa keuangan dalam operasionalnya sudah memiliki keterkaitan bisnis langsung yang kian erat dan luas. Mulai dari hubungan sebagai kreditur dan debitur sampai ke posisi sebagai sama-sama produsen yang memiliki konsumen hampir sama (khususnya kredit konsumen).

Korelasi Bank dan Jasa Keuangan
Sampai akhir tahun 2008, perbankan masih mendominasi industri keuangan nasional dimana 79% assetnya berada di perbankan dan sisanya di lembaga keuangan lainnya seperti asuransi, dana pensiun, perusahaan pembiayaan, sekuritas dan pegadaian. Komposisi ini tidak banyak berubah. Demikian dominannya peran perbankan dalam perekonomian maka todak heran jika sudah terjalin hubungan erat yang kian kompleks sehingga saling mempengaruhi. Data per April 2009 menunjukan lembaga keuangan bukan bank seperti perusahaan pembiayaan, asuransi dan dana pensiun menarik pinjaman dari perbankan sebesar Rp. 25,4 triliun yang digunakan untuk aneka kebutuhan bisnisnya. Ini belum termasuk perusahaan sekuritas yang skala bisnisnya kian membesar.
Sementara itu keberadaan pasar modal juga semakin penting dan strategis baik. Pertama sebagai salah satu alternatif sumber pendanaan bagi dunia usaha yang kontribusinya semakin besar. Kedua, pasar modal juga bisa digunakan oleh bank sentral sebagai salah satu mekanisme dalam untuk meningkatkan peran mediasinya dengsan paket insentif atau dis-insentif. Sebagaimana tercermin pada paket relaksasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia bulan April 2008 bertujuan untuk mendorong pertumbuhan kredit agar sesuai target nasional 22% tahun 2008. Dimana bagi bank yang menjual sahamnya hingga 40% di pasar modal akan diberi insentif dan pelonggaran rasio BMPK.. Atau langkah BEJ yang minta bank sentral mewajibkan IPO bagi debitur diatas Rp. 500 miliar. Kerjasama yang harmonis ini akan sangat positif jika direalisir karena akan menguntungkan semua pihak. Semua kebijakan terpadu yang bersemangat harmonisasi pemerintah dengan bank sentral untuk tujuan nasional harus didukung.
Perkembangan dari tahun 2000 sampai Juni 2007 menunjukkan kontribusi bursa sebagai sumber dana bagi dunia usaha cenderung meningkat meski masih kecil dari 11,4% menjadi 36,2% per April 2007. Dana dari pasar modal ini mencakup emisi saham (IPO) dan corporate action lainnya termasuk obligasi. Tahun 2000 total nilai emisi saham mencapai Rp 206,6 triliun dan obligasi Rp 23,1 triliun sehingga total mencapai Rp 229,8 triliun. Pada saat yang sama perbankan secara akumulatif menyalurkan kredit sebesar Rp 225,3 triliun. Dengan demikian gabungan kredit dan hasil emisi dari dua pilar keuangan tersebut mencapai Rp 455,1 triliun.
(Investor, 23 Juli 2009)

Read more...

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP