Friday 28 August 2009

Harmonisasi Bank dan Jasa Keuangan

Oleh : Beni Sindhunata, Direktur Eksekutif INBRA

Keputusan Bank Indonesia tanggal 1 Juli 2009 yang melarang bank memasarkan produk derivatif dari bank lain merupakan langkah tepat guna memberikan perlindungan kepada nasabah jasa keuangan dan sesama bank. Aneka produk derivatif dengan sebutan canggih dunia keuangan itu sejatinya tidak lebih dari daur ulang surat hutang yang akhirnya tetap harus bayar bunga dan kewajiban lainnya. Sebuah zero sum game yang hanya mencoba menunda dan memperpanjang waktu bayar kewajiban. Kebijakan ini sebagai satu langkah positif dalam meredam dan meminimalisir dampak negatif dari aneka produk jasa keuangan terhadap sistim perbankan. Karena krisis finansial global terbaru membuktikan bahwa partisipasi perbankan dalam proses daur ulang dan pemasaran produk-produk surat berharga bisa menjadi embrio krisis yang bakal memempailitkan sebuah bank besar sekalipun.
Krisis finansial global yang mencapai klimaks tahun 2008 yang telah membangkrutkan bank besar dan lembaga keuangan internasional telah mendorong negara-negara maju untuk menata kembali dan merubah sistim pengaturan dan perbankan dan jasa keuangan. Belajar dari bangkrutnya Lehman Brothers. Pemerintah Inggris bulan Juni mengembalikan wewenang pengawasan perbankan kepada bank sentral (Bank of England). Sebelumnya dibawah FSA (Financial Services Agency) yang menjadi OJK versi Inggris dan tidak mampu menangkal krisis finansial terbaru. Belajar dari gangkrutnya Royal Bank of Scotland yang kemudian dibeli oleh Stanchart dan ABN seharga US$ 1,5 miliar. Maka Obama mengantisipasinya dengan kebijakan memperluas peran bank sentral (The Fed) untuk mengawasi dan mengatur lembaga keuangan yang bersifat sistemik.
Kebijakan “back to basic“ ini memang telah menjadi kecenderungan global sebagaimana dilaporkan oleh Bank for International Settlement (BIS) dalam survey bulan Mei 2009, yang menyimpulkan kekuasaan bank sentral dalam mengawasi perusahaan keuangan yang berpotensi sistemik dan mengancam stabilitas sistem keuangan, perlu diperkuat. Trend lobal saat ini menuju pada penguatan pengawasan oleh bank sentral sebagai cara melindungi konsumen jasa keuangan.
Belajar dari trend global penyehatan sektor jasa keuangan nasional maka salah satu alternatif adalah memperkuat dan meningkatkan pengawasan oleh bank sentral terhadap perusahaan di sektor jasa keuangan. Sehingga menjadi pengawasan satu atap yang mencakup bank dan jasa keuangan dibawah bank sentral, sebagai induk dan pusat alliran dana. Perbankan sebagai hulu dan perusahaan sektor jasa keuangan sebagai hilirnya yang secara bersama mengelola perputaran dana nasabah. Ini terkait erat dengan fungsi utamanya mengelola moneter. Juga dipandang penting dengan memperhatikan fakta bahwa bank dan jasa keuangan dalam operasionalnya sudah memiliki keterkaitan bisnis langsung yang kian erat dan luas. Mulai dari hubungan sebagai kreditur dan debitur sampai ke posisi sebagai sama-sama produsen yang memiliki konsumen hampir sama (khususnya kredit konsumen).

Korelasi Bank dan Jasa Keuangan
Sampai akhir tahun 2008, perbankan masih mendominasi industri keuangan nasional dimana 79% assetnya berada di perbankan dan sisanya di lembaga keuangan lainnya seperti asuransi, dana pensiun, perusahaan pembiayaan, sekuritas dan pegadaian. Komposisi ini tidak banyak berubah. Demikian dominannya peran perbankan dalam perekonomian maka todak heran jika sudah terjalin hubungan erat yang kian kompleks sehingga saling mempengaruhi. Data per April 2009 menunjukan lembaga keuangan bukan bank seperti perusahaan pembiayaan, asuransi dan dana pensiun menarik pinjaman dari perbankan sebesar Rp. 25,4 triliun yang digunakan untuk aneka kebutuhan bisnisnya. Ini belum termasuk perusahaan sekuritas yang skala bisnisnya kian membesar.
Sementara itu keberadaan pasar modal juga semakin penting dan strategis baik. Pertama sebagai salah satu alternatif sumber pendanaan bagi dunia usaha yang kontribusinya semakin besar. Kedua, pasar modal juga bisa digunakan oleh bank sentral sebagai salah satu mekanisme dalam untuk meningkatkan peran mediasinya dengsan paket insentif atau dis-insentif. Sebagaimana tercermin pada paket relaksasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia bulan April 2008 bertujuan untuk mendorong pertumbuhan kredit agar sesuai target nasional 22% tahun 2008. Dimana bagi bank yang menjual sahamnya hingga 40% di pasar modal akan diberi insentif dan pelonggaran rasio BMPK.. Atau langkah BEJ yang minta bank sentral mewajibkan IPO bagi debitur diatas Rp. 500 miliar. Kerjasama yang harmonis ini akan sangat positif jika direalisir karena akan menguntungkan semua pihak. Semua kebijakan terpadu yang bersemangat harmonisasi pemerintah dengan bank sentral untuk tujuan nasional harus didukung.
Perkembangan dari tahun 2000 sampai Juni 2007 menunjukkan kontribusi bursa sebagai sumber dana bagi dunia usaha cenderung meningkat meski masih kecil dari 11,4% menjadi 36,2% per April 2007. Dana dari pasar modal ini mencakup emisi saham (IPO) dan corporate action lainnya termasuk obligasi. Tahun 2000 total nilai emisi saham mencapai Rp 206,6 triliun dan obligasi Rp 23,1 triliun sehingga total mencapai Rp 229,8 triliun. Pada saat yang sama perbankan secara akumulatif menyalurkan kredit sebesar Rp 225,3 triliun. Dengan demikian gabungan kredit dan hasil emisi dari dua pilar keuangan tersebut mencapai Rp 455,1 triliun.
(Investor, 23 Juli 2009)

0 comment:

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP