Saturday 29 August 2009

Quo Vadis, Kontribusi Emiten Bagi Negara ?

Oleh : Beni Sindhunata, Direktur Eksekutif INBRA
(investor kamis, 26, agustus 2009)

Pernyataan Presiden SBY dalam pidato kenegaraan tanggal 15 Agustus 2009 bahwa Indonesia tidak lagi mengandalkan ekspor sebagai kekuatan ekonomi dan akan mengandalkan potensi pasar domestik, memang lebih mencerminkan kekuatan dan kinerja pelaku ekonomi di sektor riil tahun lalu yang “tertolong” oleh pasar domestik. Pemikiran ini di perkuat lagi oleh fakta di sektor riil yang menunjukan bahwa benar sebesar 68% penghasilan para emiten eksportir disumbang oleh penjualan domestic. Kelompok emiten eksportir ini adalah perusahaan public yang juga mengekspor.
Penelitian INBRA terhadap aktivitas ekspor oleh 132 eksportir dari tahun 2003 sampai 2008 menunjukan beberapa hal yang perlu dicermati. Adalah benar kontribusi pasar lokal terhadap total penjualan masih lebih besar dibandingkan pasar ekspor. Namun selama 5 tahun terakhir porsinya menurun dari 72,1% menjadi 67,2%. Secara implicit ini menunjukan bahwa kontribusi ekspor terhadap penjualan (rasio rekspor) justru meningkat. Dengan perolehan devisa tahun 2008 sebesar Rp. 152 triliun (setara US$ 13,9 miliar) atau tumbuh 23%, lebih tinggi dari pertumbuhan otal ekspor nasional (19,3%). Sehingga dalam 5 tahun dari 2003 sampai 2008 kontribusi ekspor terhadap penjualannya naik 27,9% menjadi 82,8%. Dengan demikian kontribusinya bagi perolehan devisa nasional (migas) juga naik dari 9,3% menjadi 10,2%. Lihat tabel.
Kontribusi Ekspor Emiten, 2003 – 2008
Diolah INBRA dari sumber BPS dan laporan keuangan

Jika gabungan kekuatan sektor riil yang diwakili oleh 132 emiten eksportir ini dijadikan semacam “miniatur” ekonomi Indonesia maka naiknya rasio ekspor dan kontribusinya bagi perekonomian nasional cukup positif mulai dari pajak, sektor riil sampai penyerap tenaga kerja.
Analisis kinerja per perusahaan menunjukan bahwa jumlah eksportir kelas triliunan bertambah dari 11 perusahaan tahun 2003 menjadi 30 tahun 2008. Komposisi sektoral untuk kelompok 10 besar terdiri dari sektor pertambangan 47%, produk pulp dan kertas 30,8% dan agri-industri 17,9% yang semuanya mengalami kenaikan harga. Untuk kelompok 20 konglomerasi besar ekspornya mencapai Rp. 134,1 triliun dengan rasio ekspor 30,4%.

Kesimpulan
Melambatnya pertumbuhan ekspor non migas jangan sampai merubah strategi pengembangan dan orientasi pasar industri nasional dari export oriented ke local oriented. Karena untuk jangka panjang strategi ini kurang tepat dan bisa melemahkan daya saing karena liberalisasi perdagangan harus dihadapi dengan segala konsekwensinya. Justru harus meningkatkan daya saing dengan segala upaya yang selama ini terkendala banyak faktor. Sehingga perlu semakin focus dalam pengembangan dan penguatan daya saing ekspor yang bernilai tambah dan bukannya membiarkan daya saing berkembang sendiri. Kinerja emiten eksportir menunjukan bahwa kontribusi dan rasio ekspornya naik bahkan tumbuh lebih tinggi dari total penjualan, ini perlu didukung.
Perbandingan empiris global selama 60 tahun menunjukan bahwa AS yang jadi eksportir raksasa tahun 1948 menguasai 21,7% ekspor dunia kini tahun 2007 turun di peringkat 3 (menguasai porsi 8,5%) dibawah Jerman dan China. Porsi Indonesia sejak 1997 juga turun dari 10,1% menjadi 8,5%. Ini semuanya tidak lepas dari peningkatan daya saing.
Dengan demikian untuk pengembangan ekspor nasional maka kata kuncinya adalah peningkatan daya saing dengan berbagai kebijakan insentif dan dis-insentif agar sektor riil benar-benar bisa berkembang. Pasar terbuka lebar dengan aneka komoditi. Kondusifnya sektor riil dan akan meningkatkan kinerja ekspor nasional termasuk emiten eksportir. Strategi focus ke export oriented atau local oriented merupakan tantangan bagi menteri bidang ekuin di cabinet mendatang. (Investor, 26 Agustus 2009)
-***-

0 comment:

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP