Sunday 1 February 2009

Kuota Pemilikan Saham Perbankan

Reaktif atau Menuju Good Banking Governance ?
Pada rapat kerja BI dengan DPR (Selasa, 19 November) lalu terungkap rencana Bank Indonesia untuk membatasi kepemilikan saham maksimum di perbankan, sebagai bagian dari aspek pengaturan dalam enam pilar utama arsitektur perbankan masa depan. Bahkan menurut Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia para pemilik saham mayoritas di perbankan sudah dikontak agar segera membagi sahamnya ke public dan mereka menyambut baik kebijakan ini. Kebijakan ini jelas sebuah langkah positif yang perlu ditindaklanjuti dan direalisir ditengah ramainya kebijakan bank sentral yang berbau “pembatasan” atau “kuota”. Seakan menyusul PBI No. 4 yang membatasi pembelian asset kredit oleh bank maksimum 50% dari modal inti.
Kebijakan ini tidak terlepas dari mekanisme perbankan global yang terangkum dalam 25 prinsip dasar pengawasan perbankan (Core Principles for Effective Banking Supervision). Core Principles ini dicetuskan pada KTT G 7 di Lyon Juni 1996 yang intinya adalah membangun sistim pengawasan perbankan dan keuangan yang kuat dan sehat. Indonesia termasuk salah satu negara (yang dilibatkan dalam pengembangan 25 prinsip-prinsip pengawasan perbankan ini. Secara menyeluruh 25 prinsip tersebut dibagi dalam 7 aspek utama yakni :
1. pra kondisi untuk pengawasan perbankan yang efektif
2. masalah perizinan dan struktur kepemilikan saham mencakup 4 prinsip
3. kewajiban dan kebijakan yang hati-hati mencakup 10 prinsip
4. metode dan pola pengawasan perbankan mencakup 5 prinsip
5. penyediaan informasi dalam rangka transparansi mencakup 1 prinsip
6. lembaga formal untuk melakukan pengawasan mencakup 1 prinsip
7. mekanisme operasionalisasi dan penetrasi bank global mencakup 3 prinsip.
Dalam konteks ini maka rencana kebijakan Bank Indonesia tersebut merupakan
implementasi prinsip ke 3 Basle Accord yang salah satu intinya adalah bank sentral atau pengawas (supervisor) harus meneliti tentang kepemilikan saham bank baik langsung maupun tidak langsung khususnya untuk “major shareholder”. Klasifikasi major shareholder jika sahamnya melebihi atau diatas 10% dari ekuiti. Sehingga dengan basis demikian maka bank sentral sudah memiliki batasan baru berlaku standard dan global. Kebijakan kuota saham ini sebenarnya bukan hal baru karena pemerintah sendiri sudah melakukan pelbagai pembatasan khususnya terhadap pemilikan asing di bank patungan. Namun kondisi ini ternyata tidak bisa diandalkan sebagai salah satu mekanisme untuk mendukung pengawasan operasionalisasi perbankan yang prudent.
Tidak tegasnya kuota pemilikan saham harus diakui sebagai salah satu unsure yang ikut mendorong krisis perbankan domestic yang diimplikasi melalui konsentrasi penyaluran kredit kepada pihak terkait (BMPK atau yang dulu popular dengan legal lending limit), sehingga krisis yang menimpa debitur afiliasi langsung berpengaruh terhadap bank dari grup terkait. Aspek ini juga diatur dalam prinsip ketiga ini dimana bank dilarang menjadi captive market bagi pembiayaan usaha pemilik.
Sehubungan dengan itu INBRA (Investment and Banking Research Agency) tertarik untuk mengkaitkannya dengan hasil riset bertajuk “Indonesian Banking Market Share” (INBRA, November 2002). Riset yang dimulai bulan Oktober 2002 tersebut salah satu bagiannya adalah menganalisis trend perobahan pemilikan saham perbankan Indonesia sejak 1997 sampai 2002. Berikut ini kita memaparkan apa dan bagaimana trend tersebut dan relevansinya dengan kebijakan yang akan diambil oleh bank sentral secara menyeluruh. Dari perkembangan tersebut terdapat beberapa fakta yakni :
sampai Maret 2002 tercatat ada 580 pihak sebagai pemegang saham 145 bank di Indonesia dengan catatan ada lebih dari satu pihak atau pemegang saham di satu bank yang dalam analisis ini dianggap sebagai pihak tersendiri.
ternyata ada 52% (terdiri dari 303 pihak pemegang saham) yang porsi sahamnya lebih dari 10%, dengan rincian 36% (211 pihak) sahamnya lebih dari 20% dan 92 pihak (16%) yang tercatat sebagai pemegang saham dengan porsi saham antara 10% sampai 20%. Dan sisanya sejumlah 277 pemegang saham (48%) yang porsi sahamnya tidak lebih dari 10%. Lihat table.

Diringkas dari "Indonesian Banking Market Share" (INBRA, 2002)

Komposisi ini menunjukkan bahwa pemilik saham dengan porsi lebih dari 10% masih dikuasai atau tercatat atas nama perorangan dan perusahaan afiliasinya dengan konsentrasi 97,4%. Dengan lain kata seperlima major shareholder tercatat atas nama pribadi. Sehingga tidak mengherankan jika bank sentral melihat sisi ini perlu ditata kembali dengan pendekatan kuota atau pembatasan pada tahap tertentu. Posisi yang sangat terkonsentrasi ini tentu saja memiliki sisi negative khususnya dilihat dari kacamata praktek prudential banking secara global.
Dapat dibayangkan bagaimana proses pengambilan keputusan di sebuah bank jika pemegang saham mayoritasnya adalah pribadi (umumnya terdiri dari 2 atau 3 orang). Sementara saham lainnya tercatat atas nama perusahaan afiliasi yang notabene pemiliknya adalah para pemegang saham terkait dengan alokasi bahkan sampai 90%. Pola ini masih banyak ditemui umumnya pada bank swasta nasional papan menengah eks bank milik keluarga atau konglomerasi. Bahkan atas nama beberapa perusahaan yang sebenarnya masih terkait juga banyak ditemukan sehingga juga bisa memberi peluang untuk dikendalikan oleh pemegang saham utama sebagai the godfather.
Kondisi demikian tidak boleh langsung diasumsikan sebagai sebuah praktek yang tidak baik atau terlarang karena memang selama ini tidak ada pembatasan yang jelas dan khusus. Sebaliknya bank atas nama perusahaan yang kepemilikannya tidak dominant juga banyak dan tidak menjamin bermutu baik.
Khusus untuk perbankan swasta nasional terdapat trend menarik dimana saham atas nama pribadi dijual atau beralih kepada perusahaan sebagian atau seluruhnya. Dimana dari tahun 1997 sampai Maret 2002 ada 19 bank yang saham mayoritasnya dikuasai perorangan beralih kepada perusahaan, yayasan, public maupun pemerintah (pada kasus bank rekap di BPPN). Ini merupakan sebagian dari 36 bank yang struktur sahamnya berubah. Sementara itu 44 bank tidak mengalami perubahan pemilikan saham yang struktur sahamnya tidak berubah dimana masih terdapat 17 bank yang mayoritas saham dimiliki oleh perorangan, 24 bank mayoritasnya dimiliki oleh perusahaan dan atau yayasan.
Di jajaran bank patungan terjadi perubahan drastic dimana ada 21 bank patungan mengalami perobahan karena beberapa hal. Dimana ada 14 bank patungan yang saham asingnya meningkat karena mengakuisisi sebagian atau seluruh saham mitra local yang rata-rata berkisar antara 15% sampai 20%. Ini termasuk 3 bank diantaranya menjadi 100% milik bank asing asal Jepang terkait merger global perusahaan induk luar negeri sepanjang tahun 2001. Disisi lain juga terjadi divestasi saham asing di 3 bank patungan termasuk satu bank yang sudah menutup usahanya. Perkembangan terakhir adalah divestasi seluruh saham Royal Scotland Bank di Bank Multicor yang dijual kepada 3 orang (rata-rata diatas 10%) dengan mitra lokal BCA, bulan November lalu. Juga rencananya dua bank patungan dengan mitra dari Eropa akan menutup usahanya di Indonesia karena memang kinerjanya menurun selama ini.
Trend ini menunjukkan bahwa pasca krisis banyak bank swasta nasional dan pemerintah yang sahamnya diakuisisi oleh bank atau investor asing, sebuah trend umum di pelbagai negara berkembang. Di jajaran bank swasta nasional tercatat tidak kurang 8 bank yang sebagian sahamnya dikuasai bank asing, investor atau lembaga keuangan internasional dengan saham bervariasi antara 6% sampai 66%. Inilah dampak lain krisis moneter, liberalisasi dan globalisasi perbankan.
Sebagai penutup ingin digarisbawahi beberapa intisari berikut :
kuota pemilikan saham di bank merupakan hal penting sebagai bagian dari etika dan norma perbankan global dengan catatan perlu disadari bahwa itu bukan jaminan terciptanya sebuah prudent banking sebagaimana diharapkan. Akan lebih baik jika ini dimotivasi oleh pertimbangan global demi kepentingan nasional. Bukan sekedar reaksi atas kasus-kasus tertentu yang sudah mengemuka sehingga perlu ditanggapi.
langkah bank sentral untuk mengimplementasikan prinsip ke 3 dari Core Principles tersebut perlu didukung oleh lembaga terkait lainnya dan tentu saja harus dipatuhi oleh bank sebagai pemain. Dan tentu saja realisasinya membutuhkan waktu karena ini menyangkut aspek permodalan bukan hanya sekedar ganti jaket.
hal lain yang perlu dijelaskan oleh bank sentral adalah bagaimana kebijakan ini dijalankan agar tidak bertentangan dengan kebijakan dari bank sentral sendiri sebelumnya dan atau kebijakan pasar modal untuk bank publik. Misalnya bagaimana mengatur bank asing yang sahamnya dominant (diatas 10%) di bank patungan maupun bank swasta nasional padahal mereka diundang dalam program liberalisasi perbankan. Apalagi jika ikut membeli saham bank dalam program divestasi perbankan milik BPPN mulai dari divestasi BCA, Bank Niaga, Danamon, BII, Lippo termasuk raksasa kita Bank Mandiri.
kuota saham juga sangat bisa diakali oleh pihak lain jika memang berniat jelek dengan cara divestasi ke puluhan paper company dadakan (sebagai investor asing) yang tercatat di berbagai offshore centre dengan saham misalnya dibawah 9%. Tapi pemilik akhirnya orang yang sama dan berdomisili di Jakarta. Sebuah pola investasi keuangan yang berusia lebih dari setengah abad dan bukan hal baru bagi Indonesia. Jika memang ingin dikendalikan maka pada areal inilah bank sentral harus mengambil sikap tegas dengan pengawasan lebih terpadu.

Kompas 23 januari 2008

0 comment:

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP