Friday 20 February 2009

Ayo Bankir Kita Ke Kebun !

Hampir setahun sejak Gubernur Bank Sentral Burhanudin Abdullah pada sidang pleno ke 12, ISEI di Balikpapan (20 Juli 2007) menghimbau agar perbankan memfokuskan penyaluran kredit ke sektor pertanian ternyata kredit perbankan ke sector pertanian termasuk perkebunan hanya naik sedikit. Sehingga porsinya terhadap total kredit ke sector pertanian masih kecil.
Per April 2007 sektor pertanian menyerap 13,8 % dari total kredit yang disalurkan perbankan. Perkembangan selama 5 tahun terakhir dari 2002- April 2007 menunjukkan terjadinya penurunan pangsa pasar kredit ke sektor pertanian dari 6,1 % Desember 2002 menjadi 5,3 % April 2007 dan kontribusi bank pemerintah menurun dari 61 % menjadi 56 %. Peta kredit makro ini dipertegas lagi pada peta mikro menyangkut masing – masing bank pelaksana sebagaimana terlihat dari survey INBRA berjudul Pangsa Pasar Perbankan dan Kolektibilitas Kredit, Juni 2007.
Survey ini menunjukkan bahwa kondisi yang sama dimana sektor pertanian bukanlah sektor utama bagi kalangan perbankan. Per Desember 2006 sektor ini hanya menyerap kredit Rp 31,6 triliun dari yang disalurkan oleh bank publik sebagai basis survey ini atau menyumbang 70% terhadap total kredit di sektor pertanian (Rp 45,2 triliun). Ternyata 5 bank terbesar penyalur kredit sektor pertanian adalah Bank Mandiri, BRI, BNI, BII, dan BCA dengan kisaran pangsa pasar antara 4 % –23 % secara nasional dengan nominal berkisar dari Rp 1,8 triliun (BCA) sampai Rp 10,4 triliun (Bank Mandiri). Porsi selengkapnya lihat tabel.
Daftar dan Table Lengkap Pangsa Pasar Perkebunan, 2006-2007 (Rp. Miliar ) Hubungi Inbra)

Sumber: Laporan Keuangan diolah INBR, Juni 2008
Program revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan yang dicanangkan pemerintah Juni 2005 belum memberikan perbaikan yang signifikan. Terkait dengan kondisi sektor pertanian saat ini maka,
Sementara itu dilihat dari kolektibilitas kreditnya maka total kredit lancar di sektor pertanian mencapai Rp 12 triliun atau 38%, dan hanya sebesar Rp 1,6 triliun (5%) tergolong bermasalah dan hanya Rp 1 triliun yang tergolong macet. Dengan demikian komposisi kredit bermasalah di sektor pertanian yang dimiliki oleh kelompok bank publik relatif sama dengan komposisi kredit bermasalah pertanian secara nasional dimana kelompok bank publik menyumbang 51% dari kredit bermasalah sektor pertanian nasional. Lihat tabel kolektibilitas kredit sektor pertanian.
Kolektibilitas Kredit Sektor Pertanian ( Table Lengkap )

Sumber:“Pangsa Pasar Perbankan dan Kolektibilitas Kredit”, INBRA April 2007

Secara nasional kredit di sektor pertanian yang berstatus bermasalah/NPL sebesar Rp 3,16 triliun atau ketiga terbesar di antara sektor lain – lainnya setelah perindustrian, perdagangan, hotel dan restoran. Perkembangan selama lima tahun terakhir menunjukkan bahwa kredit bermasalah sektor pertanian cenderung menurun dari Rp 3,9 triliun (tahun 2001) menjadi Rp 3,16 triliun (tahun 2006), dan peringkatnya tidak mengalami perubahan.
Selengkapnya lihat tabel.
Sumber: Bank Indonesia, 2007

Dari komposisi nasional ini menunjukkan bahwa kredit perbankan ke sektor pertanian baik off-farm maupun on-farm belum menjadi pilihan investasi yang menarik bagi perbankan meskipun kelayakan kreditnya relatif baik dibandingkan sektor–sektor lainnya. Untuk itu diperlukan insentif dan penyamaan persepsi dalam program revitalisasi pertanian agar dapat mencapai tujuan. Penyamaaan persepsi adalah penting mengingat keterkaitan dari sektor – sektor lain yang tinggi secara tidak langsung. Salah satu perkembangan yang menarik kita bisa melihat pada rencana makro dari salah satu konglomerasi yang justru sedang aktif dan terpadu mengembangkan bisnisnya di sektor yang terkait dengan sektor pertanian. Dengan cara mereka memberikan kredit langsung kepada petani untuk pengadaan seluruh kebutuhan yang terkait dengan kegiatan pertanian, mulai dari pembibitan, pupuk, alsintani, sampai ke pemasaran - perdagangan produk akhir pertanian. Oleh sebab itu jika dilihat dari jenisnya maka sebagian kredit ini bisa digolongkan pada sektor perdagangan yang kenyataannya terkait sektor pertanian.
Ekspansi yang dilakukan oleh konglomerasi tersebut dapat dikatakan berskala nasional dengan pola pemasaran produk pertanian mengarah pada konsep outlet dengan jaringan pemasaran ala mutilevel. Dengan konsep ini diharapkan memberikan multiplier effect yang akhirnya akan menaikkan pendapatan petani dan tentu saja mengamankan pengembalian kewajibannya kepada kreditur yang telah menyalurkan kredit.
Secara teknis dapat diungkapkan pola yang dilakukan oleh konglomerasi tersebut adalah petani yang mendapatkan kredit dari bank akan dibina dengan pola manajemen dari bank kreditur. Pada saat bersamaan juga disalurkan kredit kepada perorangan maupun petani untuk terlibat dalam aktivitas perdagangan alsintani (alat mesin pertanian, seperti traktor mini atau cangkul) yang akan didirikan pada setiap kecamatan yang akan menjangkau di wilayah setempat. Unit usaha ini yang nantinya akan membentuk outlet – outlet yang akan menjual produk alsintani, bibit dan pupuk dengan konsumen utama para petani di wilayah setempat. Dengan demikian aktivitas bisnisnya akan terkait langsung dengan dinamika sektor pertanian yang tentu saja tidak lagi hanya sebatas menghasilkan padi. Keberadaan outlet – outlet ini diperkirakan akan menjadi persaing utama bagi koperasi – koperasi yang selama ini terkait dengan aktivitas pertanian.
Dengan mobilisasi dana dan dukungan jaringan distribusi yang sudah dimiliki saat ini maka realisasi dari konsep ini diperkirakan akan berjalan dengan baik, dengan catatan sejauh didukung oleh pelaku utama sektor pertanian yaitu petani. Konsep konglomerasi pertanian ini jika ingin dikembangkan secara nasional sebagai prototype dalam menumbuh kembangkan taraf hidup petani maka dapat diterapkan oleh bank sebagai kreditur yang akan terlibat total dalam pengembangan pertanian ini. Sehingga tidak lagi hanya membatasi diri pada penyaluran kredit semata. Jika konsep ini diterapkan oleh bank – bank utama yang selama ini cukup mendominasi kredit di sektor pertanian maka diharapkan akan berdampak positif dalam peningkatan kredit ke sektor pertanian yang berkualitas baik.
Saat ini memang belum ada bank spesifik atau fokus membiayai sektor pertanian karena bank pemerintah (Bank Mandiri porsi ke pertanian hanya 8,9%, BRI 10,5% dan BNI 5%). Sedangkan Bank Agro yang pemegang sahamnya pihak – pihak yang terkait dengan pertanian dan perkebunan porsinya hanya 43% dari total kreditnya atau sebesar Rp 865,9 miliar cenderung meningkat. Dengan demikian konsep “konglomerasi pertanian” diperkirakan dapat meningkatkan aktivitas kredit ke sektor pertanian yang selama ini khususnya pasca krisis telah menjadi penyelamat aktivitas ekonomi makro dan memiliki daya tahan dan keunggulan dibandingkan beberapa sub sektor perindustrian lainnya.
Dengan kenyataan masih minimnya alokasi kredit perbankan ke sektor pertanian seharusnya menjadi pendorong bagi perbankan untuk memanfaatkan dan mendayagunakan potensi riil yang ada di sektor ini.

Kesimpulan:
Minimnya alokasi kredit perbankan ke sektor pertanian dan sektor terkait tidak bisa disalahkan kepada pihak perbankan saja karena untuk pengembangan dan suksesnya bisnis pertanian memerlukan dukungan infrastruktur terkait lainnya yang saling menunjang. Mulai dari alokasi tanah, alsintani sampai ke pemasaran hasil produksi baik lokal maupun ekspor tanpa tersedianya infrastruktur tersebut maka sektor pertanian sulit untuk berkembang dan memberikan hasil yang maksimal. Apalagi untuk menjadi sektor penyerap kredit yang lebih besar.
Tiga bank pemerintah masih menjadi motor utama penyaluran kredit ke pertanian sehingga tiga bank terbesar ini menguasai 51,2% dari total kredit pertanian nasional per Desember 2006. Sedangkan tiga besar dari kelompok bank swasta nasional adalah Bank International Indonesia (4,5%), Bank Central Asia (4,1%) dan Bank Niaga (3,4%). Meskipun NPL sektor pertanian relatif rendah dibandingkan NPL sektor konsumsi tapi kelompok bank – bank utama ini justru pada saat bersamaan semakin aktif menyalurkan kredit ke sektor konsumsi khususnya sektor property. *

0 comment:

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP