Tuesday 24 February 2009

Quo Vadis BUMN ?

Setelah perdebatan panjang akhirnya pengelolaan dan pembinaan BUMN dikembalikan ke Departemen Keuangan sejak 10 Oktober melalui PP 89/2000. Sehingga BUMN kembali ke asalnya dibawah Dirjen Pembinaan BUMN, setelah tiga tahun pisah rumah di bawah kantor Meneg PBUMN. Permasalahan sekarang adalah bagaimana manajemen dan pengelolaan BUMN sekarang dan masa depan sehingga bisa menentukan perspektif jangka panjang yakni mau ke mana BUMN.

BUMN, Juru Selamat
Dengan target harus mendapat Rp. 13 trilyun dari hasil swastanisasi (Rp. 5 trilyun) dan transfer laba dari BUMN (Rp. 8 trilyun) menunjukkan bahwa pemerintah masih menaruh harapan besar terhadap sumbangsih BUMN bagi pembanguan ekonomi nasional, meski lebih rendah dari target APBN 2000. Di mana gabungan dua pos tersebut pada APBN 2000 mencapai Rp. 11,5 trilyun untuk 9 bulan sehingga rata-rata Rp. 1,3 trilyun per bulan dibandingkan target rata-rata per bulan tahun 2001 sebesar Rp. 1,08 trilyun. Dengan kontribusi Rp. 13 trilyun berarti sumbangsih BUMN mencapai 1% terhadap PDB 2001, 5,3% total pendapatan dan 4,4% total pengeluaran.
Dari komposisi angka makro ini terlihat jelas bagaimana BUMN itu secara tidak langsung menjadi salah satu tumpuan harapan bagi pemerintah untuk mendanai pembangunan. Kondisi seperti ini bukan hanya fenomena sekarang tapi sudah berlangsung sebelumnya dalam pelbagai bentuk. Mulai dari kontribusi untuk pengembangan UKM, pelbagai bentuk setoran sampai kepada bagaimana menjadikan deposito trilyun milik BUMN raksasa sebagai dinamisator dan katalisator untuk menetralisir pasar uang dan moneter nasional.
Secara menyeluruh kontribusi ini memang relatif sangat kecil jika kita bandingkan skala BUMN sendiri yang ibarat dinosaurus. Dari laporan riset BIRO tentang BUMN menemukan bahwa total assetnya (diluar bank dan jasa keuangan) setara dengan 54% PDB tahun 1999 namun hanya menyumbang 5,4% ekspor non migas, 8,8% toal ekspor dan menyerap 16% dari total 4,2 juta tenaga kerja nasional (di luar industri kecil dan rumah tangga). Lihat table.

Kontribusi BUMN Terhadap Ekonomi Nasional
1
Menyerap 4,6% total kredit perbankan (Juni 2000)
2
Memiliki 8,8% total deposito perbankan nasional (Juni 2000)
3
Menyumbang 5,4% ekspor non migas
4
Menyumbang 8,5% total ekspor
5
Menyumbang 5,3% total pendapatan (RAPBN 2001)
6
Hasil swastanisasi dan setoran laba setara 1% PDB 2001
7
Total asset setara dengan 54% PDB
8
Menyerap 3,5% total hutang luar negeri (Maret 2000)
9
Menyerap 16% tenaga kerja industri
10
Menerbitkan 28% dari total obligasi nasional
11
Menyerap 4,2% total emisi saham (IPO) di bursa
Sumber : BIRO (Business Intelligence Report)/2000
Kolom 1,2, 7, 8 dan 10 tidak termasuk bank dan jasa keuangan
Angka per Desember 1999, kecuali ada catatan khusus

Optimisme pemerintah untuk dapat transfer laba dari BUMN rata-rata Rp. 667 milyar per bulan yang lebih besar dari rata-rata tahun 2000 (Rp. 586 milyar) juga meragukan untuk bisa terealisir. Karena perolehan transfer laba tersebut hanya bisa tercapai jika BUMN sendiri meningkat pendapatan dan keuntungannya dibandingkan tahun sebelum. Meski dari survey BIRO (Business Intelligence Report) diperoleh data yang cukup menghibur. Bahwa ada 20 BUMN (sektor industri, diluar bank dan jasa keuangan) yakin penjualan atau omzetnya bakal naik berkisar antara 2% sampai 71% pada tahun 2000 dan tahun ini sebagai tahun pemulihan ekonomi Indonesia.
Eksistensi BUMN sebagai juru selamat justru sangat ironis dibandingkan dengan jajaran konglomerat yang malah perlu diselamatkan, terlepas apapun itu istilahnya. Akibatnya suka atau tidak suka terjadi proses nasionalisasi terpaksa dan pemerintah dipaksa untuk membentuk BUMN baru setidaknya untuk jangka menengah. Dengan saham tidak kurang dari rata-rata 70% yang jauh lebih tinggi dari saham pemerintah di beberapa BUMN ”blue chip” seperti Indosat, Telkom atau Semen Gresik tinggal rata-rata 65%. Padahal dari seluruh IPO BUMN hampir 10 tahun sejak 1991, pemerintah hanya mendapat Rp. 9 trilyun dimana 58% disedot dari pasar domestik.
Sehingga trend swastanisasi satu dekade terakhir yang telah mengurangi jumlah BUMN sampai 23% menjadi 144 buah, justru kini mendapat arus balik dengan lahirnya BUMN-BUMN baru hasil restrukturisasi BPPN yang memakan biaya jauh lebih besar. Di sisi lain BUMN industri dengan beban hutang luar negeri tidak kurang US$ 5 milyar nasibnya kian semrawut. Program restrukturisasi khusus untuk BUMN yang masuk BPPN juga penyelesaian tidak semudah yang diperkirakan. Disisi lain BUMN industri dengan beban hutang luar negeri tidak kurang US$ 5 milyar nasibnya kian semrawut. Ringkas kata, arah swastanisasi BUMN sudah menyimpang dari tujuan mulia untuk menyehatkan dan membesarkan BUMN menjadi sarana cara dana untuk membantu anggaran pemerintah. Bahaya besar jika fenomena ini terus berlanjut dan melihat eksistensi BUMN dari kepentingan jangka pendek apalagi dipakai untuk kepentingan non ekonomi.
Dibandingkan dengan sejumlah perusahaan publik raksasa yang mendominasi perekonomian nasional jelas bahwa BUMN ikut memainkan peranan penting. Sebanyak 14 dari 25 perusahaan peraih laba bersih terbesar di Indonesia (1999) adalah perusahaan negara termasuk 5 yang sudah masuk pasar modal. Total laba bersih milik 25 perusahaan ini mencapai Rp. 22,9 trilyun, dimana 11 diantaranya meraih laba diatas Rp. 1 trilyun. Memang pemerintah punya sebagian saham di PT Freeport Indonesia dan PT Indocement Tunggal Prakarsa namun dalam hal ini kita tidak melihat sebagai sebuah BUMN karena saham pemerintah masih dibawah 51%. Lihat table.
25 PERUSAHAAN PERAIH LABA TERBESAR INDONESIA, 1999
No.
Nama Perusahaan
Nilai (Rp. Juta)
1 PT. Gudang Garam Tbk 2,276,632
2PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk 2,185,667
3PT. Freeport Indonesia - 2,098,680
4PT. Indosat Tbk 2,052,188
5PT. Astra International Tbk 1,487,296
6PT. HM Sampoerna Tbk 1,412,659
7PT. Indofood Sukses Makmur 1,395,399
8PT. Pelindo III 1,387,203
9PT. Pupuk Sriwijaya * 1,172,797
10PT. Pelindo II 1,154,145
11PT. Pertamina (98/99) 1,054,548
12PT. Pabrik Kertas Tjiwi Kimia 779,916
13PT. Unilever Indonesia Tbk 533,005
14PT. Indocement Tunggal Prakarsa 523,423
15PT. United Tractor Tbk 456,686
16PT. Perusahaan Gas Negara 433,182
17PT. Bahana Pakarya Industri Strategis * 360,230
18PT. Tambang Timah Tbk 318,039
19PT. Tambang Batubara Bukit Asam 289,357
20PT. Garuda Indonesia 283,561
21PT. Prasidha Aneka Niaga Tbk 278,698
22PT. CP Prima 268,765
23PT. Angkasa Pura II 244,611
24PT. Semen Gresik * 240,586
25PT. Aneka Tambang Tbk 225,188
Sumber : Meneg PBUMN, laporan keuangan dan survey BIRO (September 2000)
* menunjukan angka konsolidasi

Sistim dan Manajemen

Dari komposisi angka makro dan mikro ini dapat disimpulkan bahwa besarnya skala BUMN dengan pelbagai pengalaman dan dukungan ternyata belum bisa memberikan manfaat maksimal, khususnya bagi pengembangan intern BUMN itu sendiri. Kontribusinya dalam anggaran pemerintah (APBN) jelas sangat membantu bahkan bisa menjadi salah satu juru selamat namun belum sebanding dengan harapan.
Setidaknya ada tiga hal yang berpotensi mengakibatkan belum maksimalnya kontribusi BUMN sebagai institusi bisnis. Pertama kesalahan lingkungan dan sistim yang melingkupi BUMN itu sendiri (yakni departemen dan kepentingan pemerintah). Kedua, penyimpangan intern di BUMN sendiri yang sudah menjadi cerita klasik paling tidak dari hasil audit BPKP maupun auditor asing selama ini. Ketiga yakni masalah manajemen dan professional di jajaran BUMN yang juga menjadi lini penting untuk diperbaiki demi kebaikan.
Adalah sebuah mimpi besar jika kita mengharapkan problematika BUMN bisa diselesaikan oleh satu periode kabinet, apalagi jika kabinetnya setiap tahun di reshuffle tanpa visi dan misi yang jelas dan konsisten. Inilah pekerjaan rumah bagi kita yang berkepentingan atas eksistensi BUMN agar bisa menjadi BUMN yang kuat, sehat dan mengglobal. Khususnya kepada 1.011 anggota direksi dan komisaris BUMN sebagai bahan introspeksi untuk perbaikan selanjutnya.
Perubahan paradigma menuju back to basic (mengembalikan pengelolaan BUMN ke departemen keuangan) memang memiliki basis, pengalaman dan infrastruktur yang lebih kuat dibandingkan mendirikan lembaga baru (apapun statusnya). Tapi perlu diwaspadai bahwa kebijakan back to basic bukan jaminan sukses dan bersih karena praktek “perusakan intern”, sistim serta lingkungan BUMN sendiri yang sangat signifikan.
Laporan riset World Bank yang dituang dalam buku berjudul “Bureaucrats in Business” (September 1995) menyimpulkan bahwa kunci sukses dalam proses swastanisasi dan manajemen BUMN bukan pada manajer atau birokrat per seorangan tapi lebih kepada sistim yang mapan dan lingkungan yang sangat mendukung. Meski dimaklumi bahwa kinerja birokrat dalam mengelola bisnis masih jauh dibawah professional atau kalangan swasta pada umumnya. Oleh sebab itu disarankan ada tiga pola pengelolaan BUMN antara pemerintah (sebagai pemeilik BUMN) dengan birokrat sebagai pengelola (disebut performance contract). Dua lainnya adalah management contract (pemerintah dengan perusahaan swasta) dan regulatory contract (pemerintah dengan lembaga swasta). Masing-masing pola memiliki kelebihan dan kekurangan. Intinya adalah semakin besar partisipasi swasta dalam kepemilikan dan manajemen maka semakin naik kinerja perusahaan negara tersebut.
Oleh sebab itu perlu dipertimbangkan untuk melakukan fit and proper test bagi seluruh anggota dewan komisaris dan direksi. Ini semua dilakukan dalam konteks makro menuju terciptanya good corporate governance bagi seluruh BUMN. Selanjutnya anggota komisaris perlu dirampingkan cukup menjadi dua saja, terdiri dari satu orang mewakili pemerintah sebagai pemegang saham dan satu lagi dari kalangan profesional (baik dari BUMN maupun swasta). Wakil pemerintah bisa dari departemen keuangan atau departemen teknis sementara swasta bisa dari eks BUMN atau profesional swasta dengan pengalaman dan visi yang berbeda dengan iklim BUMN. Sehingga tercipta sinergi antara BUMN dan swasta secara lebih mantap dan terpadu.

Kesimpulan
Kebijakan back to basic dalam pengelolaan dan pembinaan BUMN sangat positif dan relatif lebih baik tapi itu bukan jaminan bahwa kinerja BUMN akan membaik. Dengan asset setengah dari PDB tapi kontribusi secara makro masih kecil jelas ada sesuatu yang kurang dalam pembinaan BUMN. Sehingga perlu sikap tegas, konsisten, terpadu dan non politis untuk membenahinya. Belum cemerlangnya kinerja BUMN di Indonesia bukan karena kesalahan manajemen semata karena lebih dikarenakan lingkungan dan sistim di mana BUMN itu berada.
Ini merupakan introspeksi kepada seribu lebih anggota direksi dan komisaris BUMN dan para menteri terkait. Apalagi di jajaran komisaris ada mantan direktur jenderal, sekretaris jenderal sampai para jenderal purnawirawan dari pelbagai angkatan. Jangan mentargetkan “pemasukan resmi ke APBN” bisa lebih besar, jika atensi untuk membenahi BUMN secara “bisnis murni” tidak dilakukan serius. Eksistensi dan kontribusi BUMN bukan hanya seusia APBN tapi harus jangka panjang. (*).

0 comment:

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP