Friday 6 August 2010

Emiten, Miniatur Ekonomi Nasional ?

Oleh : Beni Sindhunata, Direktur Eksekutif INBRA

*
Tidak berlebihan jika para analis menilai bahwa tahun 2009 adalah tahun miliknya perusahaan yang mengandalkan penjualannya pada pasar domestic. Karena mereka telah menikmati pertumbuhan yang signifikan. Dari kinerja emiten yang dianalisis tajuk utama Bisnis Indonesia (9 Maret 2010) mengungkapkan bahwa sepanjang tahun 2009 penjualan domestik emiten meningkat signifikan, sehingga terhindar dari dampak krisis financial global yang melemahkan pasar ekspor. Kondisi mutakhir ini memperkuat trend selama sejak 2003 sampai 2008 dimana pasar domestik masih jadi tumpuan pasar korporasi nasional dan kontribusinya bagi total penjualan sangat dominan.
*
Trend ini terlihat dari penelitian INBRA (Investment and Banking Research Agency) tahun 2009 terhadap aktivitas pemasaran 132 emiten manufakturing yang juga berorientasi ekspor dari tahun 2003 sampai 2008. Diketahui bahwa kontribusi pasar lokal terhadap total penjualannya masih lebih besar dibandingkan kontribusi pasar ekspor, namun porsinya mulai menurun dari 72,1% (2003) menjadi 67,2% (2008). Dengan demikian kontribusi pasar lokal bagi total penjualan mmeski tetap dominan tapi porinya mulai menurun. Sebaliknya ini menunjukan bahwa kontribusi ekspor terhadap penjualan (rasio rekspor) justru meningkat dengan perolehan devisa sebesar US$ 13,9 miliar tahun 2008. Secara makro kontribusi para emiten ini bagi perolehan devisa non migas nasional juga naik dari 9,3% menjadi 10,2%. Tabel.
*
Dinamika ini seakan-akan menempatkan korporasi nasional dan pemerintah pada dilema dengan pilihan yang sama strategisnya antara mendorong ekspor atau fokus ke pasar domestik. Sekaligus melindungi pasar domestik dari serbuan asing (dampak liberalisasi perdagangan). Dengan mengembangkan dan meningkatkan daya saing industri dan korporasi domestik sehingga penetrasi ekspornya lebih kuat gabungan sinergis keduanya ekspor dan domestik.
Dari sisi pengembangan ekspor untuk pemasukan devisa negara maka trend ini (meningkatnya porsi ekspor para emiten) justru positif. Artinya eksportir nasional semakin mampu bersaing merebut pasar global, yang tidak lepas dari daya saing produk dan fluktuasi nilai tukar. Karena para emiten eksportir ini menyumbang 10,2% ekspor non migas nasional tahun 2008 dan terus meningkat. Setidaknya ini menunjukan bahwa korporasi nasional bukan hanya jago kandang, tapi mampu bersaing di pasar global. Ini tentu saja perlu didorong dan dikembangkan meskipun mayoritas komoditi masih berbasis sumber daya alam (natural resources) diantaranya minyak sawit, kertas dan pertambangan batubara.
*
Tapi atas nama liberalisasi perdagangan untuk jangka panjang maka selayaknya penguatan daya saing ekspor diberi perhatian yang besar. Dalam pengembangan ekspor nasional kata kuncinya adalah peningkatan daya saing dengan berbagai kebijakan insentif dan dis-insentif agar sektor riil benar-benar bisa berkembang. Pasar terbuka lebar dengan aneka komoditi. Kondusifnya sektor riil dan akan meningkatkan kinerja ekspor nasional termasuk emiten eksportir. Strategi focus ke export oriented atau local oriented merupakan tantangan strategis bagi menteri bidang ekuin.
*
Dalam konteks inilah pernyataan presiden Susilo Bambang Yoedhono dalam pidato kenegaraan tanggal 15 Agustus 2009 bahwa Indonesia tidak lagi mengandalkan ekspor sebagai kekuatan ekonomi dan akan mengandalkan potensi pasar domestik, perlu disikapi dengan hati-hati. Karena bisa dimaknai agar kita focus saja kepasar local dan jangan lagi selalu mengandalkan pasar ekspor yang sangat fluktuatif seirama ekonomi global.
*
Fokus ke pasar lokal tentu saja bukan hal negatif. Justru ditengah arus liberalisasi perdagangan dunia maka pasar domestic perlu diperkuat untuk keuntungan domestic. Bahwa pasar domestic dengan potensi konsumen 230 juta jiwa merupakan asset yang berharga bagi korporasi local untuk digarap lebih maksimal. Tidak hanya dimanfaatkan oleh korporasi asing yang malah disambut lebih hangat dengan hamparan karpet merah. Kita sependapat bahwa adalah salah besar jika berkah Tuhan ini hanya disantap oleh korporasi asing dan tidak perlu lagi berkutat atau memperdebatkan dua pendapat yang terus bertentangan antara aspek kepemilikan dan aspek manfaat bagi ekonomi negara. Lepas dari pandangan sinis bahwa proteksi pasar domestic ibarat tindakan haram di zaman kini, maka kita perlu menempatkan kepentingan nasional diatas segalanya.
*
Liberalisasi perdagangan dunia sejatinya tidak lepas dari proteksi-proteksi terselubung negara maju yang harus disikapi dengan perlakuan sama dan seimbang tanpa perlu malu-malu kucing. Ambil contoh berbagai kasus sengketa dagang klasik tuduhan dumping oleh negara asing (bahwa korporasi nasional menjual produk dengan harga lebih murah di pasar luar negeri di banding pasar doestik) tidak selalu benar. Yang kebanyakan muncul ke permukaan adalah sisi negative bahwa korporasi nasional dianggap tidak jujur berbisnis dan curang. Padahal tidak selamanya tuduhan dumping itu benar dan ini juga membuktikan bahwa korporasi nasional bisa menjual dengan harga kompetitif. Padahal ini tidak lepas dari kebijakan melindungi kepentingan industri dan korporasi mereka melalui berbagai mekanisme. Dalam konteks ini Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) harus lebih proaktif memburu dan melacak eksportir asing yang menyerbu pasar domestic. Apakah biaya produksi (di negara asal) sudah menerima subsidi pemerintahnya sehingga bisa memproduksi dan menjual lebih murah di pasar global ketimbang pasar localnya. Coba telusuri bagaimana dan berapa banyak produk China yang berpotensi dituduh dumping. Kemudian dikenakan sanksi kenaikan tariff bea masuk atau sanksi lainnya. Tapi langkah ini butuh kerja keras, serius, survey dan dana.
*
Menyusutnya kontribusi pasar local bisa juga dilihat sebagai ketidakmampuan produsen local secara maksimal padahal potensinya besar. Ambil contoh pasar industri elektronik nasional yang rata-rata tumbuh 2 digit yang tahun lalu pasarnya mencapai Rp. 20 triliun. Sebagian di nikmati oleh raksasa elektronik Jepang seperti Sharp yang berhasil meraih omzet sekitar Rp. 4 triliun dan tahun 2010 targetnya Rp. 5 triliun. Panasonic tahun 2009 meraih total penjualan sekitar US$ 1,6 miliar dan targetnya tahun tahun 2012 penjualan domestic mencapai Rp. 6 triliun. Sedangkan Sanyo hampir Rp. 1 triliun. Pasar ini jika tidak dinikmati oleh korporasi local berarti kalah bersaing dengan asing di negeri sendiri. Praktis pasar elektronik diserap oleh produsen asing yang juga jadi eksportir elektronik dalam skala AS$ miliaran.
*
Sikap pro dan kontra untuk menunda pelaksanaan komitmen CAFTA dan kawasan lainnya kembali menunjukan bahwa belum adanya kesatuan sikap yang terpadu dalam menghadapi negara lain. Ada sesuatu yang keliru jika berteriak minta tunda pelaksanaan CAFTA (China-AFTA) padahal CAFTA sudah didengungkan satu dekade yang lalu. Ini baru dengan China dan bagaimana dengan FTA-FTA lain yang menunggu dikembangkan dengan pendekatan tersendiri. Tergantung bagaimana presiden dan otoritas industri perdagangan menyikapinya lebih kuat, menyeluruh dan terpadu.
*
Disisi lain tak dapat dipungkiri lagi bahwa emiten memainkan peranan penting sebagai salah satu mesin ekonomi nasional dengan segala kontribusinya. Ringkas kata emiten bisa dijadikan miniatur untuk melihat ekonomi nasional yang terus berrubah. Emiten yang saat ini menyumbang 10,2% ekspor non migas jelas positif tanpa melupakan bahwa 80% ekspor non migas lainnya di sumbang oleh ribuan perusahaan kecil dan perusahaan menengah besar yang bukan emiten.
*
Eksistensi emiten juga signifikan bagi perbankan karena mereka menyerap Rp 115 triliun atau sekitar 30% dari total kredit perbankan nasional yang disalurkan ke dunia usaha, diluar perusahaan jasa keuangan. Dari total hutang tersebut sebesar Rp 55,4 triliun merupakan hutang jangka panjang, Rp 46,3 triliun adalah hutang jangka pendek dan Rp 13,8 triliun adalah hutang yang masuk jatuh tempo (September 2007). Khusus untuk kelompok top 40 grup korporasi besar swasta nasional pada tahun 2008 meraih ekspor Rp. 136 triliun dan menyumbang 23,6% total pendapatannya. Kelompok top 40 ini punya asset sebesar Rp. 1.034 triliun dengan kewajiban Rp. 853 triliun termasuk hutang perbankan Rp. 171 triliun, yang jelas mengalami dinamika.
*
Mengembangkan ekspor perlu dikembangkan tanpa melupakan potensi pasar domestik Mampu ke pasar ekspor tentu terbuka lebar ke pasar domestic dan kuat domestic belum tentu bisa menembus pasar ekspor. Naik turunnya negara dalam pentas perdagangan global menunjukan bahwa daya saing negara dan korporasi sangat dinamis. Enam puluh tahun (1948) yang lalu AS jadi eksportir raksasa menguasai 21,7% ekspor dunia tapi di tahun 2007 turun peringkat 3 (menguasai porsi 8,5%) dibawah Jerman dan China.
*
Kinerja emiten ini bisa menjadi “miniatur” ekonomi Indonesia sebagai salah satu masukan riil bagi pengambil kebijakan didang ekuin dan moneter. Sebagai indikator ekonomi nasional maka diperlukan kerja keras dan komitmen dari Bapepam-LK untuk terus memantau dan mengawasi agar pelaporan neraca sesuai dengan prosedur dan tata kelola perusahan yang telah disepakati.
-*-
Bisnis Indonesia- 23 maret 2010

0 comment:

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP