Friday 5 November 2010

FIN Dan Pemerataan Penetrasi Perbankan

By Beni Sindhunata, Direktur Eksekutif INBRA (Investor Daily, edisi 2 Nov 2010).

Diukur dari rasio penetrasi perbankan global per sejuta penduduk maka rasio perbankan Indonesia tergolong cukup padat dengan rasio 46,2. Artinya setiap sejuta penduduk Indonesia dilayani oleh 46,2 kantor bank, kedua tertinggi setelah AS dan masih diatas Swiss (42,7) dan Singapura (34,3) dan rata-rata negara OECD sebesar 30,9 pada tahun 2008. Sementara pendapatan per kapita Indonesia sebesar US$ 2.217, Amerika Serikat US$ 46.997 dan rata-rata OECD US$ 44.449 per kapita.

*

Di Amerika Serikat terdapat 7.021 bank komersial yang punya 83 ribu kantor cabang dengan mengelola transaksi US$ 845 miliar. Perkembangan sejak 2004 menunjukan bahwa jumlah bank komersialnya berkurang hampir 500 buah tapi kantor cabangnya bertambah 11 ribu unit termasuk transaksinya naik US$ 90 miliar. Sedangkan Singapura, negeri berpenduduk hampir 5 juta jiwa ini memiliki 113 bank komersial dengan 408 kantor cabang mengelola transaksi Sing $ 347 miliar. Selama periode yang sama jumlah bank di dalam negeri berkurang, tapi jumlah cabang bertambah.

*

Kombinasi rasio penetrasi kantor perbankan per sejuta penduduk (per million people) dengan pendapatan per kapita, melahirkan aneka tafsir. Selintas ini menunjukan bahwa jaringan perbankan di Indonesia sudah padat (banyak kantor) sehingga peluang dan potensi memperluas jaringan kantor baru semakin kecil. Bahwa Indonesia yang tergolong miskin dibanding negara maju (OECD) tapi penetrasinya tinggi, jadi dana siapa dan dari mana diperebutkan.

*

Salah satu faktor penyebab adalah karena penyebaran kantor bank belum merata, dimana kantor bank yang berdomisili di Jakarta menyedot 50% total dana masyarakat. Ini menunjukan bahwa perbankan di Indonesia masih terkonsentrasi mengikuti dinamika dunia usaha (bank follow the trade). Contoh yang lebih massal adalah terkonsentrasinya produk tabungan. Dari Desember 2009 sampai Oktober 2010 nilai tabungan baru yang masuk ke sistim perbankan bertambah Rp. 15,9 triliun tapi 69% berasal dari kantor bank di Jakarta. Selama tiga triwulan tahun 2010 saldo tabungan dibawah Rp. 100 juta naik 100% dibanding tahun 2009. Dari jumlah rekening tabungan dibawah Rp. 100 juta bertambah 7,4 juta rekening. Lebih tinggi dari periode sama tahun 2009 yang bertambah 3,5 juta rekening. Saldo per September rp. 386 triliun, sepertiga dari total tabungannya miliarder Rp. 1.228 triliun (Investor Daily, 28/10/2010).

*

Dalam konteks pengembangan makro perbankan komposisi ini kurang bagus dan kurang mendukung perekonomian nasional. Ketidak merataan lainnya tersirat dari pernyataan Gubernur Bank Indonesia pada seminar Alliance for Finanial Inclusion (AFI) Global Policy Forum, di Bali (27 September 2010). Bahwa saat ini terdapat 60 juta UKM saat ini yang belum tersentuh perbankan. Untuk itu Bank Indonesia sedang memproses kebijakan positif yang bervisi jangka panjang untuk mendukung tercapainya pemerataan tersebut. Diantaranya dengan membuat Financial Identity Number (FIN) atau Identitas Keuangan Nasabah untuk memperluas akses rakyat dalam mengakses bank, baik menyimpan dana maupun pinjaman dana. Sehingga segala transaksi keuangan masyarakat terekam yang selanjutnya menjadi bahan baku penting untuk membuat kebijakan moneter secara nasional.

*

Banyaknya rakyat atau konsumen yang belum tersentuh bank “unbankable” memang bukan monopoli Indonesia. Survey McKinsey& Co. bulan Maret 2010 mencatat tahun 2008 terdapat 2,5 miliar orang belum tersentuh produk dan jasa perbankan, sebanyak 2,2 miliar bermukim di Asia, Afrika Amerika Latin dan Timur Tengah.

*

Dalam konteks ini prakarsa membuat FIN tentu berdampak positif untuk memperluas dan pemerataan akses jasa perbankan. Visi jangka dari FIN selain untuk keperluan moneter dan perbankan juga nantinya akan berdampak positif bagi pengelolaan data moneter secara cepat dan akurat. Sebab dengan teraksesnya data atau riwayat keuangan (financial record) dari seluruh nasabah atau rumah tangga di Indonesia, maka otoritas moneter dengan cepat bisa membaca guna mengantisipasi bagaimana struktur keuangan rumah tangga Indonesia dengan cepat dan akurat.

*

Manfaat lainnya adalah database tersebut dapat dijadikan indikator tambahan untuk prediksi tingkat inflasi dan lebih khusus lagi pola konsumsi masyarakat. Juga bermanfaat dalam pengembangan dan penguatan tugas PPATK.

*

Lebih dari itu juga bisa diprediksi kemungkinan bangkrutnya keuangan rumah tangga dengan berbagai implikasinya. Kalau hanya seribu rumah tangga nasional bangkrut atau pailit tentu belum berdampak besar. Tapi jika mencapai 10% tentu akan berpengaruh ke sistem perbankan, khususnya pada kredit konsumen yang jadi penyumbang terbesar (92%) dari total non performing loan kredit konsumen Rp. 12,6 triliun. Oleh sebab itu langkah pemerataan akses perbankan baik untuk simpan apalagi untuk pinjam uang tentu perlu diperluas dan terjangkau, tanpa mengganggu rambu yang ada.

*

Namun perlu dibentuk payung hukum yang kuat karena tidak menutup kemungkinan adanya pihak yang terganggu dengan alasan klasik dan kuno menjaga kerahasiaan nasabah dan perbankan. Sehingga bisa saja akan muncul tudingan sebagaimana munculnya pro dan kontra atas upaya penguatan tugas dan wewenang PPATK.

*

Terciptanya identitas keuangan nasabah memang akan membuat 237 juta penduduk Indonesia hidup bagai dalam rumah kaca yang membuat semuanya terlihat benderang. Dimana akan terlihat jelas kemana larinya dana miliaran rupiah dari miliarder filantropis. Sampai menelusuri pergerakan dana para donatur pemilu maupun pemilukada. Memang sekarang sebagian bisa dipantau tapi dengan semakin meratanya penyebaran jaringan akses bank, maka daya jangkaunya semakin besar. Oleh sebab itu izin pembukaan kantor bank sebaiknya lebih selektif dengan memberikan syarat lebih ketat jika tetap ingin membuka cabang di kawasan yang padat. *

0 comment:

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP