Tuesday 10 March 2009

Good Corporate Governance VS Rangkap Jabatan di BUMN

Langkah mundurnya sejumlah pejabat eselon I Departemen Keuangan sebagai anggota dewan komisaris di sejumlah BUMN bulan Juni guna menghindari conflict of interest merupakan langkah positif yang perlu dihargai. Tindakan ini meskipun terlambat tapi lebih baik dari pada tidak berjalan sama sekali seirama dengan program reformasi birokrasi yang berawal di departemen keuangan. Praktek rangkap jabatan (interlocking director) merupakan praktek yang sudah lama terjadi di Departemen Keuangan termasuk departemen teknis lain yang masing-masing membawahi BUMN. Praktek rangkap jabatan pada umumnya melibatkan para pejabat aktif maupun mantan pejabat tinggi departemen teknis sebagai anggota dewan komisaris BUMN dan anak perusahaannya.
Langkah ini segera mengundang tanggapan dari berbagai pihak yang bermuara pada dikeluarkannya SKB tiga menteri (Menteri Keuangan, Meneg BUMN dan Meneg PAN) untuk menata ulang penempatan pejabat struktural di BUMN terkait. Sementara Wakil Presiden lebih tegas menyatakan rangkap jabatan tidak masalah asal jangan rangkap gaji tentu terkait dengan efisiensi anggaran. Ironisnya minggu lalu Menteri Keuangan justru merangkap jabatan menjadi Menko Perekonomian yang tentu saja tidak bisa dianggap sebagai conflict of interest karena tujuannya sama mengemban tugas negara.
Program reformasi birokrasi di departemen keuangan sejatinya sudah mulai bergulir tahun 2007 sebagaimana diungkapkan oleh Menteri Keuangan pada Forum Strategis Bank Indonesia bulan Agustus 2007 bahwa pemerintah berencana menata ulang penempatan pejabat eselon I sebagai komisaris di BUMN dan anak perusahaannya. Pada bulan yang sama Panitia Anggaran DPR baru saja menyetujui usulan penyesuaian gaji (remunerasi) pegawai di Departemen Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan dan Mahkamah Agung untuk tahun 2007. Juga menyetujui penambahan anggaran remunerasi sebesar Rp. 1,46 triliun dalam APNBP tahun 2007. Membutuhkan waktu hampir satu tahun untuk direalisasi menunjukkan betapa tidak mudahnya menjalankan reformasi sebagaimana direncanakan.
Delapan tahun yang lalu, BIRO (Business Inteligent Report) yang kemudian berubah menjadi INBRA (Investment and Banking Research Agency) telah melakukan survey yang menulusuri relevansi birokrasi dan mantan birokrat departemen teknis dalam posisi mereka sebagai anggota dewan komisaris dan dewan direksi di jajaran BUMN yang menjadi binaannya. Survey tahun 2000 itu menemukan ada 1.011 pejabat yang menduduki berbagai jabatan di 129 BUMN. Dengan rincian terdiri dari 466 orang anggota dewan komisaris (terdiri 129 presiden komisaris dan 337 komisaris) dan 545 orang anggota dewan direksi (terdiri 138 presiden direktur dan 407 direksi). Para pejabat ini terdiri dari petinggi atau mantan petinggi eselon satu dan dua dari departemen teknis dan tentu saja penyebarannya sesuai dengan jumlah BUMN yang dimiliki di sektor terkait.
Praktek ini memang tidak hanya terjadi di departemen keuangan tapi juga di departemen teknis lain yang juga memiliki BUMN. Tercatat Departemen Keuangan punya 173 pejabat yang menduduki berbagai jabatan BUMN, dari Departemen Perindustrian dan Perdagangan ada sebanyak 172 orang, Departemen Kehutanan dan Perkebunan (160 orang), dan Departemen Pekerjaan Umum (123 orang). Eksistensi mereka di BUMN tersebut tidak selalu harus dilihat dari aspek negative karena bagaimana mereka mewakili pemegang saham guna mengawasi manajemen dan peningkatan kinerjanya.
Sebagaimana diatur dalam UU No. 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang berlaku 19 Juni 2003 ditetapkan bahwa yang bertugas mengawasi dan memberikan nasihat kepada direksi adalah komisaris (untuk persero) dan dewan pengawas (untuk perum). Sedangkan untuk persero berlaku UU No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Oleh sebab itu peranan dan kontribusi para komisaris di BUMN khususnya persero sangatlah strategis dan selayaknya memainkan peranan yang kuat karena mewakili pemegang saham, yakni pemerintah. Karena tugas ini memerlukan keahlian, waktu, pemikiran, dan tingkat kehadiran mingguan maka wajar saja jika dilarang adanya jabatan rangkap atau interlocking director (pasal 62). Dengan demikian tatanan pelaksanaan BUMN sudah sangat jelas, konkrit dan membumi sehingga tinggal pelaksanaan di lapangan baik oleh direksi maupun komisaris.
Sejujurnya perlu dipahami bahwa keputusan untuk menempatkan wakil pemegang saham (karena Meneg BUMN adalah pemegang saham wakil pemerintah) di berbagai BUMN yang berhubungan dengan masing-masing departemen teknis adalah hal wajar. Justru keliru besar dan juga adalah aneh jika pemegang saham tidak punya wakil dan menyerahkan semua kebijakan perusahaan negara kepada dewan direksi dan atau dewan komisaris yang tidak mewakili hak serta kepentingan shareholder (apalagi ini pemilik 100% saham). Dengan demikian adalah hal wajar jika 466 anggota dewan komisaris BUMN tahun 2000 adalah mayoritas pejabat dan mantan pejabat dari departemen keuangan dan atau departemen teknis. Yang justru perlu dicermati adalah bagaimana kinerjanya dalam mengawasi gerak langkah dewan direksi agar tidak menyimpang yang berakibat buruk pada kinerja BUMN. Dan ini sudah menyangkut masalah moral dan etika kerja yang menjadi bagian penting dari pelaksanaan good corporate governance.
Dengan mengacu pada visi ke depan yang menempatkan BUMN sebagi perusahaan berdaya saing kelas global (pasal 74, UU BUMN) maka disinilah seharusnya peran serta aktif dari dewan komisaris dan dewan direksi BUMN. Karena sejatinya para direksi yang mengelola BUMN saat ini bukanlah profesional kelas dua, justru mereka termasuk professional kelas satu yang memiliki kemampuan handal. Tapi lingkungan, budaya perusahaan,misi dan kebijakan pemegang saham (pemerintah) menjadi pertimbangan lain yang cukup signifikan dan lebih tragis lagi jika itu berdampak negative bagi BUMN. Keluar masuknya professional dari swasta ke BUMN atau sebaliknya dari BUMN ke swasta termasuk multi nasional menunjukkan bahwa eksistensi mereka cukup dihargai. Dan tentu saja lebih fair jika penilaian itu baru bisa diberikan 2 atau 3 tahun setelah mereka masuk.
Juga salah besar jika kita selalu memandang sinis atas posisi BUMN selama ini, yang justru menjadi kontributor pembangunan via APBN, karena siapapun dan bagaimanapun manajemen BUMN pasti akan mendapat kritik walaupun kerjanya kadang kala benar. Terlalu banyak kepentingan yang menjamah BUMN apalagi jika melihat rutinitas dewan direksi dan komisaris BUMN ke DPR untuk menyampaikan laporan.
Saat ini total investasi (capital expenditure) BUMN sekitar Rp 114 triliun dan tahun 2008 ditargetkan mencapai Rp 150 triliun, melebihi belanja pegawai, belanja barang dan belanja modal pemerintah pusat sekitar Rp 200 triliun (tahun 2006). Dengan kapasitas sebesar ini maka jelas bahwa BUMN bisa menjadi salah satu mesin pertumbuhan ekonomi dengan berbagai dampak gandanya bagi perekonomian nasional. Apalagi BUMN selalu terlibat dalam perkembangan proyek-proyek infrasturktur dengan berbagai mega proyeknya. Seluruh BUMN yang sekarang memiliki total aset Rp 1.361 triliun memiliki kewajiban Rp 909 triliun dan meraih pendapatan Rp 870 triliun berhasil menciptakan laba Rp 54 triliun, yang tahun 2008 ditargetkan Rp 100 triliun (laba sebelum pajak).
Praktek rangkap jabatan oleh pejabat struktural departemen di jajaran dewan komisaris BUMN juga perlu diarahkan kepada bagaimana pemanfaatan dan pendayagunaan aset yang tahun 2006 mencapai Rp 1.361 triliun melebihi aset pemerintah pusat Rp 1.219 triliun. Setoran bagian laba BUMN kepada pemerintah selaku pemegang saham tahun 2006 mencapai Rp. 22,3 trilyun (dari laporan keuangan pemerintah pusat tahun 2006).

Penutup
Kebijakan reformasi birokrasi yang bermula dari Departemen Keuangan selayaknya diikuti oleh jajaran di departemen teknis lainnya dalam kerangka meningkatkan kinerja BUMN secara menyeluruh termasuk good corporate governance. Terkait dengan program swastanisasi BUMN maka program swastanisasi tersebut tidak hanya menyangkut masalah permodalan tapi juga harus menyentuh aspek manajemen guna menghasilkan kinerja yang lebih baik. Swastanisasi manajemen bisa dimulai dengan mengurangi keterlibatan pejabat terkait dari departemen teknis untuk anggota dewan komisaris. Sedangkan untuk anggota dewan direksi mulai membuka pintu untuk memberikan kesempatan yang luas kepada profesional swasta yang tidak memiliki ikatan historis dengan departemen teknis maupun BUMN tersebut.
Dengan pola ini dapat ditetapkan alokasi misalnya 50% dari anggota dewan direksi adalah profesional dari luar dengan menggunakan pola recruitment terbuka atau menggunakan jasa head hunter sebagaimana yang dilakukan korporasi besar swasta. Dengan asumsi penciutan jumlah BUMN berjalan sesuai rencana sehingga tahun 2009 tinggal 69 BUMN dan setiap BUMN perlu dua direksi dari luar maka kantor Kementerian Negara BUMN perlu menjaring 138 profesional untuk menjadi calon direksi BUMN tahun 2009. Jumlah ini akan kian menyusut karena jumlah BUMN tinggal 25 buah tahun 2015. Sedangkan untuk jajaran dewan komisaris tidak diperlukan sebanyak saat ini tapi cukup dibatasi 50% saja karena tugas mereka adalah wakil pemegang saham (c.q pemerintah) yang harus mengawasi jalannya investasi dan kinerja BUMN.
Dengan demikian masuknya pejabat struktural departemen ke dalam dewan komisaris merupakan hal yang wajar, namun selanjutnya dalam konteks GCG perlu diatur lebih jelas dan tidak perlu menduduki seluruh jajaran dewan komisaris. Juga perlu dipertimbangkan swastanisasi manajemen (buka hanya swastanisasi permodalan) yang pengawasannya di awasi secara ketat oleh dewan komisaris yang mewakili pemerintah sebagai pemegang saham.
***Jakarta, 16 Juni 2008

0 comment:

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP