Tuesday 24 March 2009

Anatomi dan Anomali Dana – Kredit Perbankan

Mengamati perbankan arus dana dan kredit perbankan selama semester pertama 2004 menunjukkan bahwa hubungan bank dengan dunia usaha dan induvidu berada dalam sebuah siklus yang menarik sehingga membentuk anatomi yang disertai anomaly (penyimpangan atau keganjilan). Posisi ini diperoleh jika kita melihat potret pergerakan perbankan dari Januari sampai Juni 2004 yang tentu saja bisa memberikan warna lain di masa depan. Sehubungan dengan itu berikut kita mendalami dua aspek penting dalam anatomi perbankan yakni anamoly arus kredit perbankan dan anomaly arus dana, yang jika tidak ditata secara baik bisa menciptakan anatomi bencana bagi perbankan khususnya. Pendekatan ini tidak lepas dari pelbagai keluhan yang sudah menjadi rahasia umum dalam hubungan segitiga antara bank, dunia usaha dan individu dimana pelbagai solusi yang diterapkan belum mencapai hasil maksimal.

Anomali Dana Masyarakat
Dari perlombaan menghimpun dana masyarakat yang sudah memasuki perang sengit dengan aneka hadiah langsung telah mewarnai peta pendanaan perbankan nasional. Selama 6 bulan pertama 2004 ini ternyata dana pihak ketiga yang berhasil diserap oleh bank bertambah Rp 12,7 triliun sehingga menjadi Rp 902 triliun. Dilihat dari pemiliknya maka 60% milik deposan individu senilai Rp 542 triliun atau bertambah Rp 9 triliun selama 6 bulan pertama 2004. Peningkatan dana milik individu tersebut akan menguasai 70% dari total dana pihak ketiga yang masuk ke sistim perbankan untuk kemudian dijual kembali ke dunia usaha. Lihat tabel.
Sebaliknya deposan lainnya menyusut Rp 1 triliun. Sehingga total dana milik deposan perorangan di Indonesia mencapai Rp 542 triliun atau hampir setengahnya PDB dan 60% total dana public di perbankan. Secara eksplisit ini menunjukkan bahwa individu – individu kaya di Indonesia bertambah dan peranannya semakin dalam perputaran arus dana di masyarakat. Lima tahun lalu (1999) uang deposan individu menguasai 56% total dana di perbankan dan tahun 2004 (Juni) malah sudah mencapai 60%.

Fakta ini menunjukkan bahwa pengusaha atau individu atau deposan di Indonesia punya dana yang cukup besar, namun untuk pengembangan pelbagai jenis usaha tentu lebih aman dan menarik menggunakan kredit bank yang sudah relative murah selama ini. Sehingga ketika simpanan hartanya di bank terus bertambah Rp 9 triliun mereka juga menarik kredit hampir 2,5 kali lipat menjadi Rp 24,3 triliun. Dengan gabungan dana tersebut maka individu kaya di Indonesia bertindak dan memainkan peranan dua muka yakni sebagai deposan (bahkan ibarat kreditur) sekaligus menjadi debitur perbankan nasional.
Kemana mereka ini menyimpan dananya?. Ternyata sebagian terbesar dilarikan ke tabungan yang memang paling gencar menjanjikan ribuan paket hadiah yang sangat menggiurkan, dan langkah ini praktis menurunkan alokasi ke deposito. Saldo dana milik deposan individu sebesar Rp 9 triliun berasal dari tersebut berasal dari dana masyarakat yang berduyun – duyun masuk ke tabungan, sementara deposito menyusut Rp 11,6 triliun. Sebuah perubahan yang sangat signifikan dan ini tidak lepas kerja internal perbankan (pemasaran dan pelayanan) dan pengaruh suku bunga. Tidak mudah untuk mencari tahu dari mana asal usul dana tersebut apalagi sampai saat ini masih menjadi perdebatan sengit antara Depkeu khususnya Ditjen Pajak dengan Bank Indonesia yang membawahi bank pelaksana untuk mendapatkan hal akses data deposan.

Anomali Kredit
Adalah sebuah fakta yang tak terbantahkan bahwa penyaluran kredit oleh perbankan terus meningkat sampai Juni 2004 mencapai Rp 486 triliun, sehingga diklaim oleh pelbagai pihak sebagai prestasi dan dijadikan indicator bahwa bank sudah bergerak. Bahkan antara 1999 sampai 2003 penambahan kredit baru per tahun berkisar antara Rp 47 triliun sampai Rp 72 triliun. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah kemana kredit tersebut disalurkan dan bagaimana nasib kredit tersebut setelah dikucurkan ke dunia usaha?.
Kita lihat siapa debitur yang bernasib baik dan bisa memperoleh kredit puluhan triliun tersebut ditengah suku bunga yang masih dianggap tinggi dan masih terus menerus menunggu sampai mencapai titik nadir terendah. Jika kita fokuskan pada perkembangan terbaru selama semester pertama 2004, maka dari Rp 48 triliun kredit yang dikucurkan bank ternyata hanya 40,3% (sebesar Rp 19,4 triliun) yang diserap oleh dunia usaha khususnya dari perusahaan swasta. Dengan demikian catatan secara rill hanya kredit sebesar itulah yang bisa dijadikan modal (utama) dalam menggerakan roda sector rill melalui deru mesin dan cerobong asap pabrik termasuk lalu lintas produksi dan pemasaran. Dengan catatan bahwa tidak semuanya sudah masuk ke sistim produksi dan bergerak karena tidak sedikit yang gagal, fiktif atau salah arah. Bayangkan saja jika ada 3 kasus penyaluran mega kredit (sekelas Gramerindo grup di BNI di tahun 2003) berati tidak kurang Rp 3 triliun kredit akan bernasib macet dan gagal. Padahal sepanjang tahun 2003, jajaran perusahaan swasta berhasil menyerap kredit baru Rp 26 triliun.
Lalu kemana kredit yang lainnya disalurkan? Ternyata sisanya 50,5% disalurkan kepada debitur perorangan atau individu yang mencapai Rp 24,3 triliun. Dengan penambahan ini maka per Juni 2004 jumlah kredit yang sudah diserap oleh debitur perorangan mencapai Rp 197 triliun, atau setara 17,5% PDB (sementara) per Juni 2004. selanjutnya sisa 9,1% diserap oleh pelbagai pihak terutama oleh BUMN, lembaga pemerintah dan pemda.
Dari fakta ini maka kita bisa memahami lebih jauh tentang seberapa besarnya alokasi kredit ke dunia usaha yang diserap sekaligus menjadi kilas balik dan instrospeksi bagi perbankan apakah arah penyaluran kredit sudah mencapai sasarn yang tepat dan sesuai yang diharapkan. Ringkas kata bahwa penyaluran kredit memang terus menerus meningkat tapi tidak semuanya disalurkan ke dunia usaha (perusahaan swasta), justru debitur individu yang mendapat kredit lebih besar (50,5%). Pernyataan selanjutnya siapa sih debitur individu atau perorangan yang selama bulan pertama tahun 2004 ini dipercaya dan sanggup menyerap kredit Rp 24,3 triliun dan bagaimana kredit tersebut dikelola sehingga nilai tambah.
Secara umum, angka ini memnag bisa menimbulkan pelbagai tafsir oleh pelbagai pihak di luar perbankan apalagi jika komposisi riilnya disembunyikan rapat – rapat dalam pagar rahasia, meskipun dipahami bahwa informasi debitur tidak wajib dirahasiakan sebagaimana halnya informasi deposan. Debitur individu ini bisa saja berasal dari pengusaha kecil menengah yang tidak atau belum memiliki kelengkapan administrasi sehingga mengajukan kredit atas nama pribadi sebagai pengusaha kecil. Sesuai aturan BI (PBI No. 3 tanggal 4 Januari 2001) ditetapkan bahwa untuk plafond kredit maksimum Rp 500 juta digolongkan sebagai KUK. Artinya tidak menutup kemungkinan debitur individu ini adalah pengusaha kecil yang ingin mengembangkan usahanya berbagai sektor sehingga membutuhkan kredit perbankan. Jika, dan sekali lagi jika fenomena ini benar maka kita patut berbangga bahwa wiraswastawan individu di Indonesia semakin banyak dan tumbuh subur. Artinya perbankan telah sukses menyalurkan kredit ke pengusaha kecil menengah di berbagai sektor dan skala usaha.
Tapi apakah betul UKM penerima KUK kita sudah mencatat prestasi demikian menggembirakan. Ternyata tidak demikian adanya. Karena disisi lain terdapat perkembangan aneh dan tragis bahwa kredit KUK selama periode yang sama justru menurun Rp 4 triliun dari Rp 74 triliun. Penurunan terbesar justru terjadi di lingkungan bank pemerintah yang menurun Rp 6,5 triliun dan selama ini menjadi motor penggerak dan mengkontribusi setengah KUK nasional. Ini terjadi justru ditengah promosi dan gembar-gembor luar biasa dari sebagian besar bank papan atas bahwa KUK adalah fokus pembiayaan mereka dan mempertegas UKM sebagai tumpuan masa depan. Tapi fakta bicara lain. Menurutnya KUK bisa disebabkan oleh berbagai faktor misalnya write off, pelunasan hutang (karena relatif lebih displin dan patuh, katanya), dan menurunnya permintaan kredit baru. Kondisi – kondisi ini melahirkan sebuah anomaly kredit, dimana di satu sisi kredit individu bertambah Rp 24,3 triliun sementara alokasi KUK turun Rp 4 triliun.
Oleh sebab itu keputusan Menteri Keuangan (KMK No. 461/tanggal 9 Oktober 2004) yang memberikan diskon (35%-50%) atas hutang pokok debitur UKM yang pinjamannya berkisar antara Rp 5 miliar sampai Rp 10 miliar, memiliki relevansi yang cukup luas. Karena klasifikasi UKM yang sempat “nongkrong” di PPA (eks BPPN) ini juga perlu diperjelas sehingga tidak rancu dan menjadi kuda tunggangan bagi pihak yang tidak selayaknya mendapatkan fasilitas tersebut. Menurut versi BI pinjaman antara Rp 0,5 miliar sampai Rp 5 miliar tergolong kredit menengah. Sementara untuk mendalami dan menelusuri tentang “who and who” UKM kelas puluhan miliar tersebut bisa dijalankan dengan cepat, transparan, guna menjustifikasi layak mendapat fasilitas tersebut atau tidak. Ini tentu memiliki keterkaitan dengan kebijakan di beberapa bank yang memberikan hak kepada anggota direksi dan komisaris untuk memutuskan write off bagi debitur tertentu dengan plafond pinjaman maksimal Rp 5 miliar. Ini merupakan tugas dan hak yang bisa membawa berkah sekaligus bencana bagi sang banker. Diperkirakan sekitar Rp 12 triliun hutang milik UKM yang berpeluang direstrukturisasi dengan jurus ampuh tersebut dan sayangnya ini dikeluarkan pada minggu terakhir kabinet gotong royong.
Selanjutnya, jika debitur individu tidak mewakili persis seratus persen KUK maka yang perlu ditelusuri adalah kemana kredit dialokasikan?. Salah satu saluran yang potensial adalah dipergunakan untuk kredit konsumsi dan kredit property dalam berbagai bentuk mulai dari kredit pemilikan rumah, apartment, mobil, dan kebutuhan lainnya. Selama periode yang sama permintaan untuk kredit property dan kredit konsumsi bertambah Rp 19,8 triliun atau menyerap 41% dari total kredit baru. Terutama kredit konsumsi Rp 10,3 triliun disusul oleh KPR dan KPA Rp 4,3 triliun kredit kepada debitur individu dengan lonjakan hampir Rp 20 triliun kredit ke property dan konsumsi. Sebagai perbandingan nilai pembiayaan kredit konsumen oleh perusahaan multifinance bertambah Rp 7 triliun sepanjang tahun 2003 dan tahun 2004 dan 2005 akan naik pesat khususnya oleh 5 raksasa multifinance.
Anomaly lain yang muncul terkait dengan kredit adalah un-disbursed loan atau kredit yang sudah disetujui bank tapi belum dimanfaatkan oleh debitur. Ketika INBRA merilis hasil penelitian bulan Juli 2003 tercatat bahwa un-disbursed loan milik 10 bank rekap per Desember 2002 baru mencapai Rp 42,3 triliun atau 72,9% dari total kredit yang sudah disalurkan. Ternyata 18 bulan kemudian (per Juni 2004) jumlah un-disbursed loan sudah meningkat 50% menjadi Rp 64,4 triliun. Dengan rincian tiga besar yakni Bank Mandiri bertambah Rp 8,2 triliun, BCA bertambah Rp 4,5 triliun dan BNI bertambah Rp 3,7 triliun. Gabungan 10 bank papan ini menguasai setengah dari total kredit mubazir yang mencapai Rp 127 triliun. Sepanjang semester pertama tahun 2004 jumlah undisbursed loan naik Rp 24,6 triliun. Naiknya undisbursed loan merupakan beban bagi perbankan karena dana yang sudah dibeli (ditarik) dari masyarakat tidak bisa dijual kembali semuanya. Sehingga masih mengendap dan terpaksa dibeli ke instrument moneter terutama SBI per Agustus 2004 mencapai Rp 112 triliun.
Sebagai penutup ingin digarisbawahi dan disimpulkan beberapa hal terkait.
perlu dimaklumi bahwa dari total kredit yang disalurkan perbankan hanya 40% yang diserap oleh dunia usaha khususnya perusahaan swasta yang menjadi motor penggerak ekonomi nasional. Justru alokasi terbesar (50%) diberikan kepada debitur individu yang menjadi deposan utama karena memiliki 60% dari total dana diperbankan. Ini salah satu anomaly yang masih mewarnai anatomi perbankan nasional.
bahwa penyimpangan dan belum terarahnya penyaluran kep sektor rill sebagaimana yang diharapkan jelas bukan kesalahan perbankan semata. Tapi mereka juga terkendala oleh faktor eksternal yang justru ikut menentukan kesuksesan dan kelangsungan kredit sang debitur.
meski suku bunga untuk kredit modal kerja dan kredit investasi sudah turun rata – rata berkisar 14% (Juni 2004) tidak praktis menarik calon debitur untuk menggunakan kredit tersebut karena suku bunga bukan satu – satunya indikator utama. Padahal setelah dipotong dengan rata – rata suku bunga deposito 1 tahun (sekitar 7%) maka beban investasi rill hanya 7%.
besarnya peranan dan eksistensi deposan maupun debitur individu dalam peta perbankan nasional juga berpotensi melahirkan bencana yang bersifat sistemik. Artinya kalau dulu kredit macet karena perilaku puluhan konglomerat maka sekarang kredit macet karena jutaan konsumen. Apalagi jika mayoritas debitur individu tersebut menggunakan pinjaman bank untuk investasi ke sektor konsumsi dan property yang akan memasuki titik klimaks. Dengan menarik KPA/KPR (pada contoh kasus developer dengan bank tertentu minggu lalu) sebesar Rp 1 miliar bunga 0% tahun pertama dan selanjutnya floating maka deposan kelas milyaran rupiah akan tertarik untuk memborong sekaligus property untuk investasi. Disisi lain developer sudah mengambil uang muka yang jumlahnya ratusan miliar bahkan ada yang setara tigaperempat total salesnya.
gebyar pengembangan dan fokus ke UKM tidak semuanya didukung dan terealisir sesuai target. Malahan jumlah KUK menyusut sementara kredit baru bertambah yang justru diserap oleh debitur yang penggunaan kreditnya sangat bervariasi. (*). Warta Ekonomi, 10 November 2004

0 comment:

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP