Monday 23 March 2009

Anti-Dumping, Kepentingan Nasional VS Dagang Global

Dari berbagai kasus sengketa dagang antar negara maju dan berkembang menunjukkan globalisasi perdagangna dunia tidak serta merta selalu membuat setiap negara menempatkan kepentingan global diatas kepentingan nasional mereka.
Bahkan demi kepentingan nasional maka negara (baca: pemerintah) sebagai pengawal kepentingan perusahaan nasional tersebut melibatkan diri dalam menyelesaikan sengketa bisnis dengan pihak asing.
Oleh sebab itu adalah salah besar dan menjadi kebablasan jika kita tidak berani bersikap tegas atas dasar kebenaran dlam menghadapi mitra dagang asing hanya karena takut dituduh proteksi, anti perdagangan liberal dengan ancaman akan dikucilkan pasar internasional.
Padahal kita tidak buta melihat bahwa negara maju pun tidak tanggung – tanggung membela kepentingan industri nasionalnya, dengan berbagai argumentasi. Perilaku protektif masih menjadi jurus konvensional yang laris bahkan dilakukan oleh AS dan EU yang justru dianggap kampiun liberalisasi perdagangan dunia.
Menjelang ganti bajunya GATT menjadi WTO di Marrakesh tahun 1994 ramai sindiran bahwa GATT adalah general agreement of talk and talk.
Karena selama setengah abad tidak banyak hasil positif yang ditelurkan guna mengembangkan perdagangan dunia.
Kini belum genap satu dekade WTO juga dimulai mendapatkan kritikan pedas setidaknya bermula dari demo di Seatle.
Negara berkembang dan bahkan sebagian unsur di negara maju sendiri memprotes kebijkan WTO dijuluki sebagai world of talk only.
AS secara tak langsung mengeluh bahwa pasar ekspor mereka mengalami kendala di pasar luar negeri. Laporan dari USTR (April 2001) mengungkapkan hampir 60 negara termasuk 15 negara anggota EU dan 6 negara Teluk masih memiliki dan memberlakukan proteksi dagang terhadap negara luar.
Yang jelas USTR (United State Trade Representative) tidak mengungkapkan berapa banyak kebijakan protektif yang diambil alih AS guna melindungi industri nasional mereka.
Pembatasan akses pasar dengan berbagai argumentasi dan jenis perlakuan tersebut menyulitkan negara berkembang menerobos pasar domestik mereka. Dalam konperensi World Bank (Mei 2001) di Brussel diungkapkan setiap negara tahun negara miskin rugi US$ 2,5 miliar akibat pembatasan pasar ekspor oleh negara – negara maju.
Yang paling ketat adalah AS sehingga menciptakan neraca di mana untuk setiap US$1 bantuan AS yang diterima Afghanistan maka mereka kehilangan US$7 akibat pembatasan ekspor tekstil dan garmen oleh AS. Ini termasuk dampak lanjutannya sehingga terjadi pengurangan order, penutupan pabrik dan pengangguran.
Demikian juga di EU. Bulan Oktober 2001 Pascal Lumy, trade commissioner EU, mempopulerkan program EBA (everything but arm) yang intinya EU membuka akses pasar seluas – luasnya kepada produk negara miskin untuk masuk ke pasar, kecuali yang diharamkan, yakni dagang senjata. Tapi langkah positif dari aspek perdagangan global ini tidak mendapat dukungan bahkan tantangan dari para anggota EU maupun asosiasi pengusaha seperti National Farmer Union dan British Sugar. Mereka menolak karena takut kepentingan bisnisnya mereka kalah bersaing dan hancur akibat serbuan produk impor (ekspor oleh negara berkembang). Mereka hanya setuju dengan catatan jika everything but Arm dirubah menjadi everything but Farm (boleh ekspor apa saja kecuali pertanian – agribisnis).

Kasus di Haiti
Lain lagi contoh kasus di Haiti. Negeri ini sangat agresif membuka pasar lokalnya dengan mencabut berbagai kendala impor sejak awal 90-an khususnya di bidang makanan dan agribisnis.
Akibatnya banjir barang impor dari AS yang pelan tapi pasti menghancurkan industri lokal dan industri rumah tangga mereka. Akibatnya posisi Haiti bergeser dari negara swasembada pangan menjadi negara yang tergantung pada impor dan bahkan produk impor sudah menguasai setengah dari konsumsi nasionalnya.
Ironisnya adalah negara maju di kawasan Utara terus – menerus mendorong liberalisasi sementara mereka sendiri (negara kawasan Utara) malah asyik mensubsidi produsen mereka hampir US$1 miliar per hari.
Kasus lainnya adalah penelitian dumping atas impor baja oleh produsen asing ke pasar AS. Perintah yang diamanatkan langsung oleh George Bush ini sangat baik dilihat dari kacamata kepentingan AS karena dumping akan merusak industri baja mereka. Apalagi eksekutif dan serikat buruh pabrik baja sudah mengeluh dampak negatif baja impor.
Langkah ini mendapat dukungan sangat solid karena Alcoa (produsen almunium kedua terbesar dunia setelah Nippon Steel dan terbesar di AS beromzet US$ 16 miliar menyerap 107.000 karyawan) juga mengalami kondisi serupa.
Sangat kebetulan chairman Alcoa Paul O’Neill adalah menteri keuangan kabinet Bush saat ini. Klop sudah pertemuan “kebetulan” antara politisi dan pengusaha yang bersatu padu mempertahankan industri nasional. Membisniskan poltik dan mempolitikan bisnis.
Akibat kebijakan tersebut EU justru pusing tujuh keliling karena mereka yakin jika AS membatasi impor baja maka produsen baja EU akan terpukul dan bahkan produsen baja lain akan menyerbu pasar EU.
Oleh sebab itu Pascal Lumy sempat sewot dan menyatakan this bad news and the cost of restructuring in the US steel sector should not be shifted onto the rest of the world.
Sementara Jepang hanya bilang apappun keputusan AS diharapkan itu tetap sejalan dengan aturan main WTO.
Gesekan strategis seperti ini tidak heran jika berdampak bagi produsen baja luar negeri termasuk dari Indonesia, sehingga tidak luput dari tuduhan dumping dan terkena BMAD di negara luar.
Berbagai contoh ini menyiratkan bahwa adalah kewajiban negara untuk melindungi kepentingan industri nasionalnya secara benar demi menghadapai persaingan luar negeri, termasuk juga menjaga tercipatanya persaingan bisnis yang sehat di pasar domestik dari serbuan produk impor khususnya yang melakukan perdagangan tidak fair.
Perilaku bisnis curang yang menjadi kendala ini sangat beragam mulai dari kendala tarif, non tarif, sertifikasi, subsidi ekspor sampai ke anti dumping dan lingkungan.
Tapi kita juga tidak bisa menerapkan serta merta tanpa toleransi. Karena negara lain khususnya negara maju justru masih sibuk dan tetap ngotot melindungi industri nasional mereka dengan pelbagai alasan dan kriteria.
Sehingga jika tidak hati – hati kita bisa menjadi Haiti kedua yang berubah status dari swasembada menjadi pengimpor nomor wahid untuk semua produk industri. Populer dan bagus dimata perdagangan internasional (apalagi importir dan produsen asing) tapi industri lokalnya hancur lebur.

Kasus terigu
Salah satu contoh yang menarik untuk kasus di Indonesia adalah usulan pengenaan bea masuk antidumping (BMAD) yang diajukan asosiasi tepung terigu nasional (Aptindo) terhadap impor tepung terigu dari Australia, UE dan Uni Emirat Arab.
Setelah KADI (Komite Anti Dumping Indonesia) melakukan investigasi sampai selesai September 2001 terdapat bukti kuat bahwa impor tepung terigu dari 3 negara terbukti dumping dan perlu dikenakan BMAD antara 5,9% sampai 35,9%.
Sejak impor tepung terigu dikenakan bea masuk 0% (tahun 1998) pangsa pasar terigu impor meningkat dari 2% tahun 1998 menjadi 15% tahun 2000 dari total konsumsi nasional 3 juta ton.
Tahun 1999 impornya mencapai US$ 18 juta dari volume atau hampir satu juta ton. Pengajuan oleh BMAD sudah disertai bukti kuat dumping ini hanya dikenakan kepada importir dari 3 negara tersebut diatas.
Sehingga importir dari 36 negara lainnya tidak melakukan dumping bisa masuk dengan normal dan tidak dikenakan BMAD. Namun usulan ini belum mendapat persetujuan pemerintah untuk dilanjutkan atau tidak karena berbagai alasan.
Jika kepentingan industri nasional adalah kepentingan negara secara menyeluruh maka sudah pada tempatnya pemerintah melakukan BMAD secara selektif tersebut.
Pengenaan BMAD selektif ini sangat tepat karena memberikan pelajaran kepada perusahaan asing untuk tidak main – main. Selain itu BMAD tidak bisa dibaca sebagai tindakan protektif karena pemasok lain yang tidak melakukan dumping tidak dikenakan BMAD, sehingga cukup fair dan adil.
Berangkat dari kondisi ada beberapa hal yang dapat disimpulkan. Bahwa pengenaan BMAD terhadap tepung terigu impor selayaknya disetujui oleh pemerintah dengan alasan untuk melindungi kepentingan industri nasional dan memberi sanksi kepada perusahaan yang tidak mengikuti aturan persaingan bisnis yang sehat.
Konsistensi melindungi kepentingan industri nasional jangan dilihat dari kacamata sempit pada aspek kepemilikan. Jika kita melihat pada aspek pemilikan oleh pihak tertentu maka kita perlu melihat bagaimana sikap pemerintah dalam pengenaan BMAD atas produk lain dengan pemilik berbeda.
Ringkas kata jika Salim Grup sebagai pemain maka dibiarkan saja sebaliknya jika tidak bukan Salim Grup maka harus dibantu all out.
Jika ini pendekatan yang dipergunakan, maka strategi pengembangannya adalah bukan mengembangkan industri nasional secara menyeluruh tapi mengembangkan industri nasional dengan melihat kepentingan siapa pemiliknya.
Jika ingin menciptakan iklim persaingan bisnis yang sehat maka lebih tepat jika KPPU (Komisi Pegawas persaingan Usaha) yang memantau anatomi industri tepung terigu ini, misalnya dari aspek penguasaan pasar.
Ringkas kata membela kepentingan industri nasional jangan mudah terjebak pada aspek subjektif dalam negeri dan juga tidak bisa terlena mengikuti slogan liberalisasi agar dianggap sopan dalam tata krama perdagangan internasional.
Negara majupun tidak malu – malu memproteksi industri nasionalnya sejauh itu memungkinkan (ada saja alasannya), sementara kita merasa hebat dan yakin bisa bersaing habis – habisan di pentas global. (*)Kompas, 24 Maret 2002

0 comment:

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP