Saturday 21 March 2009

Raksasa Semen Asing Mulai Unjuk Gigi


Rencana pemerintah Indonesia (1 April 2002) menggugat pemerintah Filipina ke WTO karena memberlakukan safeguard atas produk semen dari Indonesia pada intinya bukanlah permasalahan antara pemerintah dengan pemerintah (G to G). Tapi itu lebih merupakan dampak dari persaingan bisnis antara multi nasional (MNC) di industri semen Indonesia dan Filipina. Apalagi pasarnya tidak lagi didominasi para produsen lokal tapi sudah dikuasai oleh produsen asing dengan pelbagai metode baik pra maupun pasca krisis ekonomi. Sehingga persaingan antar MNC dalam merebut dan menguasai pasar akhirnya memaksa kedua pemerintah untuk menyelesaikannya karena pertimbangan kepentingan nasional. Padahal jika ditilik lebih mendalam kepentingan nasional hanya sebatas papan nama karena isi sebenarnya adalah kepentingan bisnis MNC di industri semen kedua negara. Alangkah dahsyat dan ironisnya nasib negara berkembang di bawah kepungan MNC.
Dalam konteks inilah kita perlu mendalami bagaimana posisi produsen semen raksasa mulai memainkan peranan sesungguhnya sebagai mesin ekonomi yang wajar dan universal. Sehingga akan menjawab kapan para produsen semen asing di Indonesia mulai menunjukkan sifat yang sesungguhnya, mulai kelihatan belangnya dalam menjalankan strategis bisnis.
Munculnya bibit – bibit perang bisnis ini mengingatkan saya akan diskusi pada makan siang dengan salah satu analis dari Cemex di Shangrila Hotel, 24 September 1998, tepat setahun setelah Cemex masuk ke semen Gresik, dan tiga hari setelah Salim Grup menandatangani MSAA (21 September) yang mewajibkan Salim melunasi utang BLBI Rp 52 triliun (termasuk bunga sekitar 68%) dengan menyerahkan 108 unit usahanya di pelbagai sektor. Minggu itu juga Paris Club I ditandatangani. Sementara salah satu topik di masyarakat bisnis ibukota adalah bakal masuknya Heilderberger ke Indocement (yang direalisir resmi setahun kemudian, Oktober 1999). Sehingga pada masa – masa itulah skenario masa depan industri semen Indonesia (dan industri nasional pada umumnya) mulai di setting secara halus, terarah dan rapi dalam sebuah grand design berskala global.
Salah satu inti diskusi adalah bahwa mereka sangat optimis akan prospek bisnis semen di Indonesia yang bisa menjadi basis industri untuk menguasai pasar regional. Oleh sebab itu perlu dijadikan basis investasi (harga tak jadi masalah) guna merebut captive market yang sudah by design. Meski belum diutarakan secara jelas, tampak bahwa mereka sepaham masuknya raksasa semen asing di industri semen nasional bukan merupakan ancaman bagi mereka. Karena sudah merupakan komitmen umum diantara para MNC global sejenis untuk membagi pasar atau marketing zone sesuai komitmen demi keuntungan bersama. Pesaing sekaligus mitra bisnis.
Lalu apa kaitannya dengan kondisi sekarang. Salah satu yang sudah menjadi fakta adalah bahwa pembatasan impor semen dari Indonesia oleh Philipina yang berpotensi memicu perang dagang akhirnya melibatkan negara, padahal salah satu penyebab adalah perang bisnis antar MNC dalam memperebutkan pasar. Sebagaimana diketahui bahwa industri dan pasar semen Asean dan Asia tidak lepas dari peranan the big three yakni Holdersbank, Cemex dan Heilderberger. Dengan mengakuisisi pelbagai perusahaan semen yang terkena krisis di Asia akhirnya mereka mulai menancapkan kuku bisnisnya di wilayah potensial ini (hot growth areal).
Dengan demikian pasca dominasi asing di industri semen nasional maka salah satu trend utama yang bakal muncul adalah meningkatnya ekspor (yang pasti akan didengungkan sebagai prestasi besar dalam menghasilkan devisa). Trend ekspor ini akan meningkat terus karena didukung mulusnya jaringan pemasaran antar afiliasi perusahaan tersebut. Untuk jangka panjang praktek ini bisa berpotensi mnjadi kelangkaan semen di pasar domestik. Jika kondisi ini terjadi maka impor akan menyerbu ke pasar domestik yang pada akhirnya akan dipasok oleh afiliasi produsen luar negeri tersebut yang notabene adalah afiliasi mereka sendiri. Skenario ini tentu akan dengan mudah mengatur harga pasar regional dan nasional secara bersamaan.
Untuk meningkatkan rasio ekspor (agar tampak sukses marketing-nya) maka tidak menutup kemungkinan penjualan ekspor antar afiliasi dari jaringan MNC global tersebut menggunakan harga yang disepakati. Agar tidak terjebak pada definisi apakah itu masuk dalam kartel harga, kartel pemasaran atau kartel – kartel lainnya maka inilah salah satu aspek teknis yang bisa mereka jalankan. Dimana harga ekspor oleh produsen semen di Indonesia akan dijual relatif lebih murah kepada para afiliasi mereka di luar negeri (sebagai importir) dibandingkan dengan yang lainnya. Dengan penjualan lebih murah maka akan mendapatkan keuntungan lebih awal yang dikantongi oleh afiliasi mereka. Sementara afiliasi mereka di Indonesia justru kehilangan “potential gain” yang jika dilakukan dengan transaksi murni akan menguntungkan pemegang saham lainnya (yakni, pemerintah, pengusaha Indonesia dan investor publik pemegang saham).
Artinya jika harga semen biasanya bisa dijual dengan harga US$ 100 maka sekarang tidak menutup kemungkinan untuk dijual dengan harga lebih rendah misalnya US$ 75. Dus, afiliasi sudah dapat untung duluan sementara pemegang saham lain akan dapat untung (rugi) belakangan. Praktek markdown sebagai bagian dari jurus transfer pricing merupakan kisah klasik yang sama usianya dengan berkembangbiaknya MNC di seluruh dunia. Sebuah jurus bisnis yang tidak membutuhkan ilmu khusus tapi cukup dari nalar dan pikiran bisnis yang biasa – biasa saja. Oleh sebab itu praktek – praktek seperti ini tidak menutup kemungkinan diterapkan juga oleh para raksasa semen asing di Indonesia. Misalnya Heilderberger dengan Indocementnya, Holdersbank dengan Semen Cibinongnya, atau Cemex dengan Semen Gresiknya.
Tidak mudah bagi pihak luar untuk membuktikan apakah mereka sudah menjual ke pasar luar negeri dengan harga yang lebih murah dibandingkan pasar domestik atau internasional. Jika itu semua bisa dibuktikan maka bisa menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah bertindak pro-aktif yakni menuntut mereka agar menjalankan praktek bisnis yang baik (fair trade practice). Karena selain bisa dituduh markdown, membentuk kartel harga dan marketing zone mereka juga bisa dituntut ke WTO karena berpotensi melakukan dumping. Lebih jauh lagi bisa menuntut ke pemrintah masing – masing MNC karena melanggar etika bisnis dalam WTO apalagi jika negaranya sudah memiliki aturan yang mengatur praktek bisnis sehat bagi perusahaan mereka yang beroperasi di luar negeri seperti AS. Praktek ini tidak hanya di industri semen tapi bisa berlaku di seluruh sektor industri semen dalam pelbagai bentuk dan pola. Dengan demikian ini akan menjadi PR baru yang lebih menantang bagi KPPU agar lebih proaktif dan jangan sebatas menangani “selingkuh bisnis” antara pemerintah dengan ekskonglomerat saja.
Dengan demikian kita tinggal menunggu waktu untuk melihat secara jelas, faktual dan objektif (bulan asal tuduh) kapan dan bagaimana para MNC ini akan kelihatan belangnya dalam menjalankan praktek bisnis yang miring. Analisis singkat ini hanya melihat dari cakrawala fenomena global yang pasti merembes ke Indonesia. Meski demikian perlu dipahami bahwa ini bukan mengarah pada posisi chauvinisme sempit atau xenophobia (anti asing) karena tidak zamannya lagi kita menggunakan konsep pemikiran demikian, terlepas suka atau tidak suka. Yang menjadi masalah adalah bagaimana mendayagunakan asing bagi kepentingan nasional dan menjaga mereka menjalankan bisnis sesuai aturan di mana mereka berada (bukan dari mana mereka).
Dalam konteks dan posisi kecil apapun maka nasionalisme harus tetap dipertahankan asal jangan disalahtafsirkan dan disalahgunakan. Mulai dan semakin dominannya asing di pentas bisnis nasional adalah sebuah fakta yang harus diterima. Jika dulu konglomerat yang dituduh menguasai dan menyetel industri nasional maka sekarang giliran asing yang menyetel industri nasional. Ringkas kata “hilang konglomerat yang muncul MNC dan ekspartriat” yang anehnya lagi oleh sebagian orang justru disambut positif berlebihan dengan “red carpet” sekalian dengan “red tape” yang tidak mudah dikikis. (*) Prospektif, 14 Januari 2002

0 comment:

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP