Thursday 19 March 2009

Restitusi Pajak Pemegang Kartu ,Mendukung Ekstensifikasi Pajak

Pembayaran pajak lewat perbankan senilai Rp 22,1 triliun selama January sampai April 2003 (Kompas, 17 April 2003) atau setengah dari total penerimaan pajak pada periode tersebut serta menyumbang 10 persen total target penerimaan pajak Rp 213,7 triliun tahun 2003, merupakan prestasi yang tertunda bagi Ditjen Pajak. Ini merupakan bagian kecil dari potensi dua juta wajib pajak bagi perorangan dan 685.000 wajib pajak badan. Ini juga contoh positif sinergi pemerintah dengan swasta sehingga pajak bisa dibayar melalui 35 bank dari 83 bank yang akan bekerja sama.
Dalam konteks ekstensifikasi pajak terdapat banyak cara yang bisa dikembangkan sambil terus meningkatkan intensifikasi pemungutan pajak terhadap wajib pajak (WP) yang besar dan potensial, khususnya WP kelas kakap. Artikel berikut menawarkan sebuah wacana guna menjadi bahan diskusi untuk dikembangkan lebih lanjut.
Intisari dari konsep ini adalah memberikan intensif pajak kepada konsumen atau masyarakat yang berbelanja menggunakan kartu debet atau kartu kredit. Insentif yang dimaksud bisa diberikan dalam berbagai bentuk, namun yang terutama adalah memberikan restitusi pajak bagi WP pribadi sebagai konsumen (rakyat) yang telah memenuhi kewajibannya.
Mekanisme restitusi bukan hal baru, namun sosialisasi dan pelaksanaanya kurang berjalan lancar, apalagi terkesan mekanisme restitusi bukan hal yang gampang diterapkab ke WP pribadi.
Ini tentu bisa dijalankan dengan baik, apalagi jika didukung hubungan kerja harmonis dan terpadu antara dua lembaga, yakni Direktorat Jendral (Ditjen) Pajak dan Bank Indonesia, khususnya Direktorat Sistem Pembayaran Nasional. Mekanisme ini juga akan membuat usaha untuk membangun dan mengembangkan pusat data transaksi pembayaran dan dinamika bisnis perdagangan nasional yang sangat akurat. Ringkas kata, dengan memberikan insentif dan restiusi pajak langsung kepada konsumen yang berbelanja dengan kartu (e-payment), akan mendukung suksesnya program ekstensifikasi pajak.
Secara menyeluruh, mekanisme ini tentu saja melibatkan beberapa pihak yang saling terkait secara teknis, yakni konsumen, merchant, bank, jasa pembayaran e-payment, dan tentu saja direktorat pajak dan Bank Indonesia. Dimana dalam praktiknya, semua pihak tidak ada yang dirugikan bahkan saling melengkapi dan mendukung terciptanya pasar dan potensi bisnis yang lebih luas.

“No card no buy”
Dengan adanya kebijkan insentif pajak dari pemerintah kepada konsumen yang berbelanja memakai kartu debet maupun kredit, maka konsumen akan terdorong untuk membayar belanja dengan kartu. Ini akan lebih bergema, menarik, dan populer jika diikuti dengan program hadiah langsung yang cukup bernilai dan skala nasional. Kondisi ini secara perlahan akan mendorong konsumen lebih selektif dan memiliki daya tawar dalam berbelanja, yakni hanya mau belanja jika toko tersebut menerima pembayaran kartu (debet maupun kredit). Jika tidak menerima kartu, lebih baik tidak berbelanja di tempat (merchant) tersebut. Singkatnya, no card no buy.
Pada tahap ini, secara tak langsung juga terjadi proses edukasi kepada konsumen agar berbelanja dengan bijak (sesuai kemampuan). Dengan demikian, ini praktis akan meningkatkan jumlah konsumen pengguna kartu, bahkan bukan mustahil bisa tumbuh di atas 50 persen dibandingkan rata – rata 35 persen selama ini.
Berdasarkan data dari Bank Indonesia (Biro Sistem Pembayaran Nasional) tercatat bahwa dari Januari sampai Juli 2002, jumlah kartu debet di Indonesia sebanyak 13, 4 juta lembar dengan transaksi Rp 4,3 triliun, dikelola 12 bank dan tumbuh pesat. Disisi lain, ada 3,8 juta kartu kredit tapi dengan transaksi senilai Rp 14,2 triliun, tiga kali lipat dari transaksi kartu debet. Dengan demikian, gabungan dua alat pembayaran ini mencatat transaksi Rp 18,5 triliun selama satu semester dari 17 juta kartu belanja yang dikelola oleh 20 bank (kartu kredit dan debet).
Selanjutnya adalah terkait para merchant, yakni retailer dan toko kelas menengah atas yang beromzet besar dan tentu sudah biasa menerima kartu selama ini. Jika sudah berbentuk kondisi no card no buy, maka para merchant akan terdorong untuk menerima menyediakan transakasi e-payment. Karena jika tidak, maka para merchant akan kalah bersaing sebab bukan hanya mereka saja yang menjual produk tersebut. Kondisi ini memang tidak bisa disamaratakan sehingga harus bisa dibatasi minimum transaksi, misalnya Rp 50.000 atau tergantung jenis produk. Hal positif lain bagi merchant adalah mereka tidak repot menghitung uang tunai dan uang recehan menangkal uang palsu dan mempercepat waktu transaksi.
Melalui mekanisme insentif pajak ini, pemerintah akan mengetahui nilai dan frekuensi merchant juga tidak tertarik mengelak karena itu tercatat di bank penagih maupun bank penerbit, dimana kedua belah pihak ini justru akan melaporkan semua transaksinya ke bank sentral. Dengan demikian, semua transaksi akan tercatat sehingga yang ditelusuri adalah transaksi dan bukan alasan merchant untuk meningkatkan komisi (fee) atau pungutan lain sehingga membuat mahal produk. Alhasil, pemerintah secara pasti dan terarah bisa menggali dan menambah penghasilan pajak dari dunia usaha yang memang seharusnya dikeluarkan.
Dengan demikian, bank sebagai penyedia jasa pembayaran elektronis akan memperoleh manfaat besar. Karena ini akan meningkatkan basis nasabah, meningkatkan saldo rata – rata nasabah, mengurangi biaya operasional dan penyediaan kas di ATM, serta meminimalisasi uang mengganggur (idle money) di ATM dan sumber fee base income yang potensial. Jika setiap mesin ATM yang saat ini berjumlah 9.000 unit lebih, harus diisi uang minimal (katakanlah) Rp 300 juta, berati perbankan harus menyediakan Rp 2,7 triliun uang yang tentu saja bisa menghasilkan bunga jika tidak masuk ATM.

Efisiensi
Bagi bank sentral, ini membantu efisiensi operasional karena akan mengurangi biaya pencetakan uang kertas dan logam mulia, biaya pengiriman atau distribusi, dan termasuk biaya penghancuran bila rusak atau kedaluwarsa (juga perlu uang). Setiap tahun tidak kurang dari Rp 700 miliar dikeluarkan Bank Indonesia hanya untuk biaya pengedaran uang ke berbagai wilayah. Dengan meningkatnya e-payment, maka sejumlah pos biaya bisa dihemat di samping mempercepat proses, efisiensi dan menghambat peredaran uang palsu.
Proses ini tentu akan berkembang dan berjalan lancar jika didukung oleh infrastruktur proses keuangan yang terpadu. Ini mencakup implementasi teknologi informasi, jaringan bank penerbit kartu, dan sampai ke penyedia mesin EDC yang menjadi platform dasar dan terpenting dari proses administrasi transaksi e-payment, khususnya kartu kredit maupun debet. Dengan demikian, meningkatnya kartu selayaknya diikuti oleh tersedianya “mesin gesek” di seluruh outlet retailer dan toko – toko.
Sampai saat ini, eksistensi penyedia mesin gesek umumnya adalah bank penarik dana (acquirer bank) utama, misalnya BCA, BII, Bank Danamon, BNI, Bank Mandiri, dan Permata Bank (eks unit Bank Bali dan Bank Universal). Disamping itu, juga ada para spesialis seperti PT Multi Adiguna Manunggal dengan bendera Kartuku yang tergolong aktif sudah bermitra dengan 5 retailer besar dan 4 bank nasional mengoperasikan 3.000 lebih mesin gesek (EDC), sejak Juni 2002. Kehadiran Kartuku sebagai pendatang baru cukup menarik disamping pemain lama seperti Dinner Club yang sudah diakuisisi oleh investor baru dari tangan BPPN (eks grup Gajah Tunggal). Dengan dukungan infrastruktur para penyelenggara jaringan transaksi e-payment ini, maka proses teknisnya akan berjalan lancar dan menguntungkan semua pihak. Selain itu, juga memberikan pilihan dan kesempatan lebih luas kepada merchant dalam memilih mitra pengelola mesin gesek yang cocok.
Pada titik terakhir, posisi pemerintah sebagai stimulator pencipta insentif dan pemberi restitusi pajak harus mengalokasikan dana untuk potongan atau pengurangan pajak serta hadiah bagi konsumen e-payment. Disini perlu dihitung secara rinci plus minus dari pola ini bagi pemerintah, yakni seberapa besar potensi pajak baru yang berhasil ditarik lalu dikurangi dengan berapa besar alokasi insentif, restitusi pajak, dan termasuk hadiah yang harus dikeluarkan. Jika masih surplus, pola ini layak dan positif dijalankan. Sebaliknya, jika defisit, maka perlu ditinjau lagi komposisi dan teknis pelaksanaannya. Yang jelas, ini merupakan program terpadu jangka panjang, dan bermanfaat ganda serta mendukung pengembangan e-payment menuju cashless society, dimana masyarakat lebih cenderung berbelanja dengan menggunakan kartu (nontunai).
Besaran insentif pajak bagi konsumen atau masyarkat yang berbelanja dengan kartu (bagian dari cashless society) memang perlu dihitung secara rinci yang menjadi wewenangnya Ditjen Pajak. Sebagai perbandingan, tercatat bahwa restitusi pajak tahun 2002 mencapai Rp 13 triliun atau rata – rata di bawah 10 persen dari target penerimaan pajak. Kemudian paket stimulus pajak untuk pemulihan ekonomi pascabom Bali sebesar Rp 5 triliun dan penghapusan piutang pajak mencapai Rp 2 triliun karena kedaluwarsa atau tidak dapat ditagih. Rincian sumber pajak di APBN 2002 menunjukkan bahwa pemasukan dari Pajak Penghasilan (PPh) nonmigas Rp 202 triliun, sebanyak Rp 67,8 triliun berasal dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPn-BM). Ini diluar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), BPHTB, bea, cukai, dan pajak migas lainnya.
Untuk menghitung berapa besar potensi penerimaan pajak dan besarnya insentif yang harus dikeluarkan pemerintah memang diperlukan sebuah perhitungan lebih rinci dan dukungan data yang terpadu. Sebagai ilustrasi makro kita lihat trend konsumsi swasta yang memasok tiga perempat Produk Domestik Bruto (PDB), sebagai motor penggerak ekonomi nasional selama ini. Konsumsi swasta tahun 2002 mencapai Rp 1.135 triliun atau 3,5 kali lipat dari konsumsi pemerintah. Jika diasumsikan minimum 15 persen saja dari jumlah tersebut adalah transaksi di sektor ritel dan perdagangan besar, maka nilainya berkisar Rp 170 triliun, setara dengan nilai PDB sektor perdagangan dan ritel.
Dimana kontribusi sektor perdagangan terhadap PDB selama lima tahun terakhir berkisar 12 persen sampai 15 persen. Contoh mikro, misalnya Matahari Department Store yang total berkisar Rp 6 triliun (satu tahun) di asumsikan 50 persen berbelanja lewat kartu (deber, kredit, retail card), berati nilai transaksi e-payment mencapai Rp 3 triliun (mencakup ribuan konsumen yang adalah WP pribadi).
Dari jumlah ini, maka pemerintah bisa menghitung nilai restitusi pajak yang dikembalikan ke konsumen dalam bentuk unsur pengurang (deductible) kewajiban pajak. Dengan demikian, semakin banyak berbelanja melalui e-payment, maka semakin besar nilai pengurang dalam menghitung kewajiban pajak konsumen. Selain itu, memang perlu dibantu dengan program cepat, yakni memberikan hadiah menarik seperti motor atau mobil. Ini bisa dijalankan dengan kerjasama erat pemerintah, merchant, penyedia jasa pembayaran elektronis, dan perbankan.

Kesimpulan
Perlu disimpulkan beberapa benang merah dari analisis ini agar tidak terdapat salah tafsir baik dari pihak pro maupun kontra. Peluang pemerintah memperluas wajib pajak badan atau dunia usaha masih terbuka lebar sehingga yang diperlukan adalah bagaimana menjaring dan mendayagunakan potensi tersebut secara kreatif dan sukses. Sehingga, tidak perlu dengan pelbagai jurus yang sudah mengarah pada tindakan paksa badan (gijzeling) untuk wajib pajak terhutang minimal Rp 100 juta. Ada tindakan lain yang lebih bersih dan mendidik, yakni memberi insentif dan restitusi pajak bagi konsumen yang menjadi ujung tombak dalam transaksi berbelanja. Mekanisme yang sudah ada selama ini tinggal disosialisasi dan dikembangkan lebih jelas. Paksa badan memang perlu dan cukup dijalankan bagi WP pribadi kelas kakap jika dipaksa.
Dengan restitusi atau insentif pajak, konsumen cenderung menggunakan kartu dan akhirnya akan mendorong pedagang, toko dan ritel menengah ke bawah untuk menerapkan belanja lewat kartu. Selanjutnya, semua transaksi ini akan terkumpul dalam satu pusat data yang sangat berguna untuk menyusun strategi moneter, ekonomi, sistem pembayaran nasional, perdagangan domestik, dan penerimaan pajak. Ini awal menuju terciptanya cashless society dalam arti sempit. Semakin besar transaksi pembayaran nontunai, semakin kecil peredaran uang kertas dan mempersempit peredaran uang palsu.
Dari pengalaman suksesnya promosi swasata menjual produk dan jasa, pemerintah juga bisa menerapkan strategi serupa agar lebih sukses secara profesional dalam pendekatan bisnis. Paradigma juga perlu diubah menjadi paradigma bisnis dari paradigma birokrat dengan jurus paksa badan.
Perlu dukungan dan kesiapan dunia usaha yang terlibat di bidang transaksi pembayaran elektronis ini. Para pihak yang terlibat tidak dirugikan atau berkurang fee atau pendapatannya. Karena semua insentif ini akhirnya ditanggung pemerintah sebagai biaya program ekstensifikasi pajak yang berdimensi strategis nasional. Sebagai imbalan akan mendapatkan penerimaan pajak lebih besar akibat bertambahnya jumlah WP badan maupun pribadi.
Sasaran dari program ini menggarap potensi WP pajak secara persuasif melalui mekanisme pasar bisnis murni. Pemerintah tidak perlu membatasi atau mengatur jenis barang atau minimal transaksi yang perlu diberi insentif, tetapi diserahkan semuanya kepada konsumen. Yang terpenting, pemerintah konsisten memberikan insentif dan restitusi pajak kepada konsumen. Dengan sendirinya sistem akan berjalan mendukung target nasional, yakni meningkatk penerimaan pajak. Mau menangkap ikan memang perlu pancing dan umpan. (*).
Kompas, 2 Mei 2003

0 comment:

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP