Saturday 14 March 2009

Investasi Anak Perusahaan Bank Dunia (IFC) Mempermalukan Indonesia !

Mengamati perkembangan sengketa bisnis sejak Oktober 2000, sampai saat ini masih banyak yang belum terselesaikan. Terutama antara International Finance Corporation (IFC) – afiliasi Bank Dunia dengan beberapa kreditornya di Indonesia. Kreditor IFC di Indonesia yang bermasalah, antara lain PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (AJMI) dan PT Panca Overseas Finance (POF).
Dua kasus itu bisa menimbulkan aneka penafsiran yang mencermikan sebuah ironi. Karena sengketa bisnis ini sudah menjalar di tingkat makro Ekuin, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), IMF, Bank Dunia, sampai ke Istana Presiden sebagai bagian dari restrukturisasi ekonomi nasional. Sementara itu, di tingkat mikro sudah merambah dari Kantor Pengadilan Niaga, Balai Lelang, kantor fiktif dari Hayam Muruk sampai Hong Kong dan offshore center, yakni Bahama, British Virgin, dan Western Samoa.
Dalam konteks ini, kita mendalami kasus ini dari sisi makro dan eksistensi IFC sendiri sebagai sebuah lembaga keuangan internasional yang misinya adalah mengembangkan dunia usaha swasta di negara berkembang. Kondisi ironis ini dapat dicermati, jika kita mengkaji bagaimana posisi investasi IFC di Indonesia, khususnya pascakrisis.
Perkembangan selama tiga tahun terakhir (Juni 1997 sampai Juni 2000) menunjukkan trend bahwa IFC sebagai kreditor dan pemilik saham sudah mengurangi aktivitasnya di Indonesia. Dengan porsi Juni 2000 yang hanya mencapai 500 juta dollar AS, berati investasinya sudah menurun 11 persen dibandingkan posisi prakrisis Juni 1997 yang ketika itu sudah mencapai 564 juta dollar AS.
Dilihat dari jenis investasinya, maka kumulatif portofolio 500 juta dollar AS ini terbagi dalam bentuk jaminan senilai 359 juta dollar AS atau 72 persen, yang menurun dari porsi 76 persen pada Juni 1997. Sebaliknya, alokasi dalam bentuk penyertaan saham meningkat dari 24 persen menjadi 28 persen atau sebesar 140 juta dollar AS.
Perubahan ini menunjukkan bahwa peran serta IFC dalam pinjaman ke dunia swasta Indonesia memang cenderung menurun dan lebih difokuskan pada penyertaan saham. Secara implist ini menunjukkan bahwa IFC cukup yakin akan prospek masa depan di Indonesia sehingga merasa perlu ikut serta sebagai pemegang saham termasuk juga memberikan pinjaman.
Artinya, walau krisis datang dan pergi, IFC tetap memperhatikan Indonesia. Sama dengan induknya Bank Dunia dan “pamannya” IMF yang sepakat mengguyur paket kredit tiga tahun senilai lima miliar dollar AS. Meski nilai investasi menurun, tetapi unit penyertaannya bertambah satu perusahaan dari 39 unit menjadi 40 unit perusahaan (Juni 2000).
Akan tetapi, yang diperoleh IFC terhadap nasib investasinya di Indonesia bukannya pembagian dividen, tetapi malah menuai sengketa bisnis yang selain merepotkan juga bisa berdampak negatif bagi manajemen dan eksekutif top IFC.
Bahwa lembaga investasi sekelasnya IFC bisa “jeblok” dalam sengketa bisnis yang sangat kompleks dan yang bisa saja mengarah atau bagian dari sebuah corporate crime yang lebih luas.
Artinya, orang luar bisa mempertanyakan bagaimana kinerja IFC dalam berkiprah. Padahal, lembaga keuangan ini cukup hati – hati dalam membatasi investasi maksimal 100 juta dollar AS per proyek yang bisa direalisasikan dalam bentuk penyertaan ekuiti maksimal 35 persen dari saham dan maksimal 25 persen jika dilakukan untuk pinjaman.
Berangkat dari dua kasus di Indonesia, khususnya kasus Panca Overseas Finance dan AJ Manulife Indonesia, dapat dilihat sebuah benang merah yang menarik untuk ditelesuri lebih lanjut. Setidaknya bisa dilihat lebih jauh keterkaitan bisnis antara Highmead Ltd. (terdaftar di Western Samoa), Harvest Hero International Ltd. (terdaftar di Hong Kong), dan Roman Gold Asset (terdaftar di British Virgin Island).
Highmead juga ikut dalam sindikasi pinjaman ke Panca Overseas Finance. Keterlibatan paper company dari offshore centre dengan pelbagai metode keuangannya merupakan salah satu konsekuensi dari liberalisasi dan globalisasi keuangan.
Oleh sebab itu, jangan heran jika ada perusahaan seumur jagung dari luar negeri yang bermodal dasar tidak sampai 10 juta dollar AS.
Mengemuknya sengketa ini tentu tidak lepas dari keputusan pengadilan niaga yang diharapkan bisa menjadi pintu terakhir dalam menyelesaikan sengketa bisnis secara fair dan adil.
Pelbagai kekalahan investor atau perusahaan asing dalam sengketa bisnis yang diselesaikan di pengadilan niaga memang sedikit banyak mempengaruhi pandangan mereka terhadap kinerja pengadilan niaga, yang justru dibentuk dengan ambisius atas prakarsa IMF dan Bank Dunia, sebagai bagian dari program restrukturisasi.
Bahkan, investor mendapat kesan, ini merupakan salah satu cara menggagalkan tuntutan pailit dan menghindari pelunasan utang. Jadi, di mata IFC dan sejumlah investor asing, eksistensi Pengadilan Niaga tidak menjamin bisa menyelesaikan sengketa bisnis yang adil dan fair.
Kiranya mereka perlu banyak belajar meski Pengadilan Niaga dibentuk dalam paket restrukturisasi oleh IMF, namun itu tidak menjamin bisa menyelesaikan sengketa dengan baik, setidaknya dilihat dari aspek mereka sendiri.
Salah satu jurus ampuh yang dicoba lagi bagi IFC dan kreditor asing untuk memenangkan kasus mereka di pengadilan niaga adalah mencari pengacara yang tepat.
Ujung tombak ada di pengacara. Fenomena larisnya pengacara spesialis kasus pailit dan sejenisnya bukan hanya di Jakarta, tetapi juga melanda AS, yang justru mengalami langkanya pengacara spesialis pailit.
Memang sangat ironis.
Oleh sebab itu, permintaan Menko Ekuin agar Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) mengkaji kasus penjualan saham AJMI agar jangan sampai berimplikai dan berdampak negatif bagi dunia usaha internasional, memang langkah tepat. Meski itu belum optimal dan bahkan agak terlambat.
Terlepas dari seberapa besar sengketa bisnis melibatkan afiliasi IFC berdampak pada pinjaman IFC kepada Indonesia, yang jelas kita harus segera memperbaiki dan membenahi kepastian hukum, khususnya pada pengadilan niaga. Karena secara makro dan jangka panjang, kasus – kasus seperti itu akan menjadi noda hitam yang merusak citra hukum dan perilaku bisnis di Indonesia.
Sampai – sampai editorial The Asian Wall Street Journal (AWSJ) dengan sinis mengingatkan bahwa 90 persen hukum di Indonesia sudah hilang. Dalam konteks inilah kita bisa memahami mengapa IFC menyatakan akan mempertimbangkan kembali masa depan investasinya di Indonesia.
Tentu saja kita perlu melihat bagaimana kinerja 41 afiliasi IFC sampai saat ini, diman 43 persen total investasinya atau senilai 364 juta dollar AS pada 14 proyek ternyata bermasalah. Sektor keuangan adalah sektor yang investasinya paling intensif dengan total pinjaman dan penyertaan saham senilai 72 juta dollar AS pada 12 perusahaan.
Berdasarkan posisi keuangan tahun 1999 terlihat bahwa beberapa perusahaan keuangan tersebut khususnya di sektor jasa keuangan (multi-finance) memang kritis, meski bisa meraih laba.
Modal tiga perusahaan multifinance bahkan sudah defisit ada yang mencapai hampir Rp 700 miliar. Aktivitas pembiayaan tiga perusahaan tersebut juga menyusut ada yang sampai 80 persen.
Dilihat dari mitra bisnis di afiliasinya IFC tersebut, memang terdapat grup – grup besar yang sekarang sebagian sedang mengalami masalah keuangan. Beberapa di antara pemilik afiliasi IFC tersebut mulai dari Astra, Bakrie, Dharmala, Ongko, Panin, Lyman Grup, Argo Pantes, Indorama, sampai Gramedia (khusus perhotelan).
Memang tidak semua afiliasi IFC yang kinerjanya menurun karena pada beberapa afiliasi lainnya justru menunjukkan kinerja yang baik, termasuk manajemennya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, jika IFC mengurangi investasinya di Indonesia, tentu saja mereka akan bersifat selektif. Karena, bagaimanapun pertimbangan utama investasinya adalah bisnis murni, meskipun tidak bisa menutup mata terhadap konstelasi politk global.
Secara umum, jika pelbagai sengketa bisnis tidak dapat diselesaikan dengan baik dan adil, maka kasus – kasus selama ini bisa menjadi preseden buruk dan sebagai yurisprudensi di masa depan. Padahal, kita memahami dengan kondis ekonomi sekarang, maka letupan kasus – kasus sejenis akan berpotensi muncul, khususnya menyangkut investor, IFC atau kreditor asing lainnya. (*)
Kompas, 27 Maret 2001

0 comment:

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP