Friday 20 March 2009

Swastanisasi Terjebak Dikotomi IPO dan Investor Strategis

Berkaca dari “sengketa bisnis” pada Semen Gresik Grup (SGG), yakni pro-kontra pemisahan anak perusahaan (spin-off) dan penjualan lanjutan sesuai hak opsi (putoption) yang belum juga tuntas, bahkan bisa berkepanjangan, merupakan akses lain dari program swastanisasi yang memang sudah banyak menyimpang dari tujuan semula. Terlalu banyak dibebani misi dan kepentingan. Mulai dari pemerintah, DPR, BUMN sendiri dan pelbagai pihak yang merasa relevan dan punya kepentingan. Akibatnya, muncul dengan pendekatan nasionalisme, otonomi daerah, transparansi, globalisasi, antimonopoli, dan sebagainya.
Sengketa bisnis ini hanyalah puncak dari gunung es swastanisasi BUMN yang berpotensi disusul oleh pelbagai kasus lain yang bakal mencuat. Akan tetapi, kali ini kita tidak menfokuskan pada sengketa SGG, tetapi mengkaji bagaimana perkembangan swastanisasi nasional selama tiga dasawarsa secara menyeluruh, dan eksistensi BUMN sendiri yang dinilai dengan standar ganda. Dengan demikian, proses swastanisasi sendiri sering terjebak dikotomi yang sebenarnya tidak perlu.

Perkembangan
Ditinjau dari kuantitasnya, maka misi serta mengurangi dan menjual saham pemerintah kepada masyarakat (publik), menunjukkan sebuah keberhasilan. Survei Bussiness Intelligence Report (BIRO) tahun 2000 berjudul Eksistensi dan Masa Depan BUMN menemukan bahwa selama dekade terakhir (sejak tahun 1990 sampai 2000) jumlah BUMN menyusut 25,8 persen atau berkurang 48 buah. Dari 186 BUMN pada tahun 1990 menjadi 138 tahun 2000, setelah mencapai puncak jumlahnya 222 pada tahun 1983.
Penyusutan BUMN tersebut karena proses restrukturisasi internal BUMN melalui merger, akuisisi dan atau likuidasi antar-BUMN sendiri, di samping berdirinya BUMN baru. Akibatnya, sejak tahun 2000 tidak lagi BUMN berstatus Perusahaan Negara dan PT Lama, sementara pemerintah (termasuk pemda) malah mulai aktif mendirikan perusahaan jawatan.
Akan tetapi, dari sisi kualitasnya, maka tujuan swastanisasi untuk menyehatkan BUMN secara keseluruhan (harus diakui) belum mencapai target. tahun 1990, sebanyak 32 persen BUMN bisa menyandang predikat sangat sehat, namun sejak tahun 1998 tidak adal lagi yang berpredikat sangat sehat (bertepatan dengan kondisi puncak krisis moneter).
Dengan demikian, sebagian besar BUMN tersebut, predikatnya menurun dari sangat sehat menjadi sehat sehingga porsi yang naik dari 21 persen tahun 1990 menjadi 71 persen tahun 1998. Penurunan kinerja perusahaan ini tentu saja tidak terlepas dari kebijakan para nakhoda dan pengawas, yakni 645 anggota dewan direksi dan 466 anggota dewan komisaris BUMN. Jangan hanya menuduh faktor eksternal!.
Meski dengan kuantitas maupun kualitas yang cenderung menurun tersebut, tetapi eksistensi BUMN dalam peta ekonomi nasional, khususnya pada sektor rill masih cukup dominan, apalagi di sektor hulu. Survei BIRO di atas juga menemukan keterlibatan BUMN di sektor rill yang masih cukup dominan pada 72 produk atau sektor melibatkan 173 BUMN (ada BUMN yang memproduksi lebih dari satu produk). Dengan rincian, ada 59 BUMN menguasai pangsa pasar di atas 51 persen pada 38 produk dan 34 komoditas lainnya, dengan pangsa pasar di bawah 50 persen. (tabel 1).
Perlu dipahami, bahwa penguasaan pangsa pasar oleh BUMN ini belum mencakup pelbagai sektor atau produk nasional lain yang dalam kenyataannya, tidak ada yang melibatkan BUMN. Padahal, jumlahnya sedikit. Untuk perspektif ke depan, komposisi diperkirakan tidak mengalami pergeseran yang signifikan karena tidak munculnya kekuatan swasta baru sebagai pesaing yang memperebutkan pasar tersebut.
Meskipun jumlahnya menyusut dan kinerjanya cenderung menurun, kontribusi BUMN bagi keuangan negara (khususnya dalam penerimaan APBN) tetap dibutuhkan, walaupun porsinya menurun. Penurunan ini bukan disengaja, tetapi lebih dikerahkan kondisi krisis ekonomi di pelbagai sisi yang akhirnya menekan proyeksi perolehan laba BUMN dan hasil privatisasi.
Perkembangan APBN sejak lima periode (sejak tahun 1999 sampai RAPBN 2002) menunjukkan bahwa kontribusi BUMN (dari laba dan hasil swastanisasi) terhadap total penerimaan APBN kian menyusut. Dari 13,2 persen (tahun 1999/2000) menjadi 5,4 persen (APBN 2001) dan menyusut lagi jadi 4,2 persen (RAPBN 2002). Secara implisit ini menunjukkan bahwa meski jelek, tetapi BUMN masih menjadi tumpuan harapan di masa kritis. Padahal, BUMN yang akan diswastakan tersebut adalah “barang lama” yang seharusnya sudah dijual tahun 2000. Bahkan, target laba BUMN ini dinaikkan lagi menjadi Rp 10,3 triliun (tabel 2).
Artinya, defisit Rp 43 triliun pada RAPBN 2002, sebagian dibiayai dari hasil swastanisasi BUMN sebesar Rp 3,9 triliun atau 9,1 persen, menyusut dari target APBN tahun 2001 yang diharapkan memasok 12 persen. Pelbagai kondisi ini secara tidak langsung sudah mengubah arah dan misi swastanisasi BUMN, dari tujuan utama untuk menyehatkan BUMN berkembang menjadi salah satu motor pemasok dana untuk APBN. Sangat berisiko besar jika fenomena ini terus berlanjut dari melihat eksistensi BUMN dari kepentingan jangka pendek hanya sebatas APBN per APBN.

IPO versus SI

Perkembangan sepanjang tiga dasawarsa menunjukkan bahwa swastanisasi BUMN baru melibatkan publik, pada dekade tahun 1990-an, dipelopori oleh penjualan perdana untuk publik (IPO atau initial public offering) Semen Gresik (1991). Sebelumnya, yang palng banyak dilakukan adalah melalui kerja sama dengan pihak asing maupun swasta (joint venture). Dengan demikian, saat itu mulai banyak BUMN yang memiliki anak perusahaan dan umumnnya bergerak di bidang yang masih terkait dengan BUMN induk. Atau patungan langsung antara pemerintah dengan pihak investor asing yang pada tahun 1973 tercatat 10 perusahaan patungan.
Sepuluh tahun kemudian, pola ini masing dianggap yang paling umum dan jumlahnya naik pesat jadi 28 buah. Pada dekade tahun 1990-an mulai dipergunakan pola baru, yakni IPO, joint operation (KSO) di luar KSO sektor migas, dan penempatan langsung (private placement-PP) atau investor strategis (strategic investors-SI). Pola ini masih berlanjut sampai sekarang.
Yang paling dipersoalkan adalah plus-minus dan pola mana yang lebih menarik atau positif antara IPO dengan PP kepada SI. Dapat diyakini bahwa kedua pola ini sama – sama punya kelebihan dan kekurangan. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa IPO lebih transparan dibandingkan PP/SI. Sebaliknya, tidak ada yang bisa memastikan bahwa harga lewat PP/SI bisa menguntungkan dibandingkan IPO. Oleh sebab itu, agar tidak larut dalam perbandingan keunggulan maya (virtual’s compentitiveness) tersebut, maka sebaiknya kita jangan terjebak pada dikotomi antara IPO versus PP dan atau SI. Lebih bijak jika kedua pola ini diterapkan sekaligus pada sebuah BUMN, tergantung jurus mana yang diinginkan lebih dahulu. Melakukan IPO dulu kemudian disusul dengan PP/SI atas sisa saham pemerintah, sebaliknya PP/SI dulu baru menyusul IPO.
Dari rencana strategis swastanisasi versi pemerintah, tetap memilih IPO dan PP/SI sebagai pilihan yang sangat diandalkan dengan pelbagai kelebihannya. Sepanjang dasawarsa tahun 1990-an, IPO lebih banyak dipergunakan. Sementara strategi PP/SI akan semakin populer bahkan bisa menjadi alternatif ekspers bagi pemda yang agresif mengembangkan peluang bisnis di daerah masing – masing dalam menumbuhkembangkan local competitiveness.
Namun jika dicermati, ada kecenderungan untuk memberi porsi lebih besar kepada PP/SI, naik melalui pola tunggal atau sekaligus dengan IPO. Berdasarkan rencana pemerintah saat ini, maka diperkirakan sampai akhir 2002 akan tercatat 19 BUMN yang akan diswastaskan tahun 2002, di luar BUMN yang sudah tercatat di bursa sejak tahun 1991 sampai Juli 2001. Dari jumlah itu ternyata 10 diantaranya diperkirakan menggunakan pola PP/SI dan atau IPO. Bahkan, empat di antaranya diperkirakan langsung menggunakan pola PP/SI, yakni BNI, ITP, Sarinah, dan Angkasa Pura II.
Contoh kasus swastanisasi di Inggris menunjukkan bahwa 54 persen transaksi swastanisasi dilakukan melalui private offering (PP/SI), dan sisanya melalui IPO. Selama 16 tahun (1977-1993) sejak dimulainya gelombang swastanisasi Inggris dengan konsep taking eapitalism to the people, Inggris sudah menswastaskan 47 BUMN dengan hasil 55 miliar pounsterling (setara 90 miliar dollar AS). Dua misi dan tujuan swastanisasi adalah meningkatkan kinerja perusahaan secara menyeluruh (capitalism) dan menyebarluaskan kepemilikan saham bagi rakyat (people). Misi penyebaran saham tercapai sehingga rakyat Inggris yang memiliki saham naik dari tiga juta orang tahun 1979 menjadi 10 juta orang tahun 1993. Harga jual produk dan jasa menurun pascaswastanisasi dan BUMN mulai untung. Padahal, sebelumnya defisit besar. Satu aspek yang belum dipenuhi dari program swastanisasi di Indonesia.

Kecenderungan global
Mengingat investasi tidak bisa lepas dari kontelasi dan dinamika keuangan global, maka kita perlu melihat bagaimana pola swastanisasi global, khususnya dilihat dari kecenderungan antara cara IPO dan SI/PP, setidaknya dari trend investasi portofolio.
Swasatanisasi global di negara berkembang antara 1990 sampai 1998, sudah mencatat nilai transaksi 271 miliar dollar AS, khusus untuk tahun 1998 nilainya menurun dari 66, 5 miliar dollar (posisi puncak) menjadi 49 miliar dollar. Ternyata pemasukan devisa dari kantung investor asing dalam swastanisasi tersebut mencapai 127 miliar dollar atau 46,7 persen sehingga sisanya dari sektor domestik yang sedikit lebih besar.
Perubahan penting dari dekade ini bahwa peranan instensi asing langsung (foreign direct investment-FDI) cenderung menyusut, meski kontribusinya masih cukup besar, yakni 71,5 persen dari sisanya melalui investasi portofolio asing (foreign potofolio investment-FPI). Tahun 1990, FDI masih menguasai 98 persen total dana asing yang masuk dalam swastanisasi dan sisanya via FPI. Menjelang era krisis ekonomi tahun 1997, porsi FDI meningkat dan FPI menurun drastis. Sudah menjadi fenomena umum bahwa investasi asing berbentuk portofolio sifatnya easy come easy go berbeda dari FDI yang hadir dengan investasi mendirikan pabrik langsung (disebut juga dengan greenfield investment) sehingga tidak mudah lari jika terjadi krisis. Perubahan porsi ini menunjukkan bahwa keikutsertaan pihak asing dalam swastanisasi masih lebih dominan lewat PP/SI, dibandingkan dengan pola penyertaan portofolio saham (FPI).
Untuk melihat daya tarik dan keunggulan sektoral itu bisa mengacu pada “Index of Marketability” yang disusun Bank Dunia tahun 1994. Indeks in menggolongkan sektor usaha berdasarkan lima kriteria, yakni tingkat persaingan, karakteristik produk dan jasa, potensi pembayaran dari konsumen, kewajiban publik, dan aspek eksternal. Semakin tinggi indeks semakin menarik. Sektor telekomunikasi dan kelistrikan punya indeks tertinggi (3) disusul oleh pengelolaan sampah, PLTU, dan jasa telekomunikasi.
Indeks ini memang tercermin dari perkembangan swastanisai global dimana telekomunikasi adalah sektor terlaris untuk diperjualbelikan. Nilai swastanisasinya mencapai 70,7 miliar dollar, 26,1 persen dari total swastanisasi global antara 1990-1998, (tabel 3).

Kesimpulan
Arah dan tujuan swastanisasi di Indonesia sudah bergeser dari tujuan utama menyehatkan BUMN bergeser menjadikan BUMN sebagai sumber uang APBN. Sementara kinerja BUMN tidak semakin sehat, ditambah dengan aneka kepentingan eksternal dari stakeholder sampai manajeman BUMN sendiri.
Oleh sebab itu, tidak heran jika swastanisasi BUMN belum memberikan manfaat langsung bagi konsumen (rakyat) dengan meningkatkan pelayanan serta menurunkan harga jual produk dan jasa ke konsumen. Malah sebaliknya, harga jual konsumen harus dinaikkan agar swastanisasinnya lebih menarik bagi investor asing. Sungguh ironis.
Tidak ada strategi khusus dalam proses swastanisasi. Jadi, kita jangan terjebak dikotomi antara IPO dan atau PP/SI, karena kedua strategi ini memiliki keunggulan dan kelemahannya. Tidak ada jaminan bahwa IPO seratus persen transparan dan sebaliknya PP/SI bisa menjamin tercapainya harga maksimal yang menguntungkan dan KKN. Sengketa SGG hanyalah puncak gunung es dari efek negatif swastanisasi.
Strategi IPO sebaiknya diterapkan kepada BUMN yang bergerak di sektor pelayanan publik dimana rakyat sebagai konsumen langsung dan captive market, misalnya di bidang air minum, kelistrikan, telekomunikasi, transportasi dan migas. Sementara PP/SI sebaiknya difokuskan pada di luar utilitas publik, misalnya manufaktur, keuangan, dan industri primer lainnya. Apalagi, jika BUMN berstatus patungan lebih baik dijual kepada mitra semula.
Demi meningkatkan kesejahteraan publik, maka perlu ditetapkan kuota saham bagi karyawan dengan harga nominal (dengan pola ESOP), terlepas dari penjualan IPO maupun PP/SI. Justru investor yang harus mengikuti semua perilaku global dengan komitmen penuh.
Perlu segera disusun undang – undang (UU) Privatisasi agar terdapat sebuah pedoman kerja yang mantap dan jelas agar dinamikanya tidak jatuh bangun, seperti kabinet dan para menterinya. Ini salah satu kelemahan kita, karena misi, program dan infrastrukturnya tidak solid dan terpadu. Pemerintah harus bersikap tegas, bersih dan kuat (strong and clean government) karena jika lemah akan terus terombang –ambing.
Dalam konteks itu, DPR juga masuk terlalu jauh mengurusi privatisasi. Cukup berperan sebagai pengawas via UU. Terlalu rajin dan pro-aktif (dengan pro-kontranya) malah membuat target swastanisasi tidak tercapai, dimana anggota DPR sendiri “mungkin” tidak ikut merasa bersalah atas kegagalan pencapaian target yang akhirnya mengganggu struktur APBN secara menyeluruh. (*)
5 November 2001

0 comment:

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP